Cari

Ternyata, Naskah Lontar Telah Menyediakan Obat Sejak Zaman Kuno

Lontas Usada Bali

[Historiana] - Ketika wabah penyakit muncul, muncul pula kekhawatiran, kegelisahan hingga kepanikan di masyarakat. Demikian pula di tengah wabah penyakit corona, kekhawatiran muncul di tengah masyarakat. Imbas dari pemberitaan media massa dan media sosial malah cenderung memunculkan kepanikan.

Bagaimana peristiwa wabah di zaman modern bisa menimbulkan kepanikan? Jawabannya karena informasi yang simpang siur, keterlambatan penanganan dan sentraliasi penanganan.

Pertama mengenai informasi media sosial sering memperburuk situasi. Terbukti beberapa penyebar berita hoax ditangkap aparat kepolisian.

Kedua, lambatnya penyediaan tim medis dan peralatan medis dari pemerintah menyebabkan kekhawatiran di masyarakat. Terbukti, petugas ambulan di Garut dan Tasikmalaya menggunakan Alat Pelindung Diri (ATD) dengan jas hujan dan sepatu boot proyek atau sepatu untuk berkebun.

Ketiga adalah Sentralisasi penangan dari pemerintah pusat. Jika kita flashbak ke tahun 89-an awal, kejadian ini sangat terasa dimana masa trasisi 'pengobatan tradisional' ke pengobatan modern. Penulis ingat persis tahun 80-an masih banyak tabib kampung yang biasa disebut dukun melakukan pengobatan herbal terhadap pasiennya. Begitu pula Paraji yang umum disebut 'Dukun Beranak" memberikan bantuan kepada ibu hamil yang melahirkan dan mengurusinya hingga 40 hari setelah melahirkan (nifas). Kondisi ini berubah drastis sejak tahun 1984. Ada larangan pengobatan tradisional dalam penanganan medis terhadap masyarakat. Sementara di sisi lain, tim medis dan paramedis termasuk bidan di desa-desa saat itu masih kurang. Situasi ini mengalami gejolak di masyarakat. Namun seiring waktu, tabib tradisional medis dan paraji akhirnya berkurang hingga menghilang di tahun 2000-an. Tabib atau Dukun atau Orang pintar pintar yang dahulu memberikan pengobatan herbal berhenti.

Situasi berubah. Tidak semua obat kimia dipercayai masyarakat. Ditambah lagi dengan keterbukaan media informasi yang menyampaikan berbagai indikasi efek samping obat kimian. Akhirnya di awal tahun 2010-an obat herbal kembali dilirik oleh masyarakat. Situasi ini direspons oleh pemerintah dengan memberikan sertifikasi obat herbal dengan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Wabah virus corona (Covid-19) yang berasal dari Wuhan Tiongkok (China) menjalar ke berbagai negara dan menulari berbagai macam bangsa di seluruh dunia. Termasuk Indonesia. Jumlah pasien terinfeksi virus corona di Indonesia mencapai 34 orang (detiknews.com 13 Maret 2020). Dari 34 kasusu corona ini, 2 pasien dinyatakan sembuh dan 1 orang meninggal dunia.

Kepanikan masyarakat muncul dengan memborong masker dan hand sanitizer. Tak ayal lagi, masker dan hand sanitizer harganya meroket. Penyebaran virus corona yang menginfeksi pasien tergolong cepat. Adalah wajar munculnya kepanikan masyarat,

Ditengah kepanikan masyarakat ini, pemerintah memberikan edukasi dan solusi peningkatan kekebalan (daya imun) tubuh dengan bahan tradisional yang ada di tengah masyarakat.

Seiring Indonesia memulai pengembangan vaksin untuk virus Covid-19, sejumlah peneliti di Indonesia mengidentifikasi senyawa-senyawa dari bahan herbal yang berpotensi sebagai obat.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta resmi ditunjuk untuk memimpin ikhtiar tersebut. Direktur Eijkman, Amin Soebandrio, berencana membentuk konsorsium yang melibatkan Kementerian Kesehatan, perguruan tinggi, dan industri.

Amin mengakui bahwa pengembangan vaksin Covid-19 di Indonesia agak terlambat dibandingkan di negara-negara lain, karena Indonesia "baru melihat urgensinya setelah ada eskalasi [kasus]". Namun demikian, ia mengatakan lembaga penelitian Eijkman sudah berbicara dengan Biofarma sejak bulan Januari untuk menginisasi penelitian vaksin Covid-19.

Amin berharap para peneliti dapat menghasilkan bibit vaksin dalam satu tahun. Bibit vaksin itu kemudian akan diserahkan ke industri untuk diproduksi massal.

Tak cuma di Eijkman, sejumlah ilmuwan dari berbagai universitas dan lembaga riset di Indonesia juga secara independen melakukan penelitian untuk menemukan obat Covid-19. Mereka mengatakan sudah mengidentifikasi beberapa senyawa yang potensial, sebagian besarnya berasal dari obat-obatan herbal.


Propolis

Muhammad Sahlan, peneliti di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, mengembangkan propolis sebagai "alternatif pengobatan" untuk Covid-19. Propolis, yang juga dikenal sebagai "lem lebah", adalah zat resin yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai jenis tanaman.

Seluruh penelitian ini baru dilakukan di komputer atau in silico. Sahlan mengatakan, untuk bisa sampai ke tahap uji preklinis (uji coba pada hewan) dan uji klinis (uji coba pada manusia), ia membutuhkan sampel virus Covid-19.


Flavonoid

Riset serupa juga dilakukan Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (IPB). Wisnu Ananta Kusuma, pakar ilmu komputer dari IPB, mengatakan pihaknya menggunakan pendekatan big data analitycs atau analisis data.

Kepala Pusat Studi Biofarmaka Tropika IPB, Irmanida Batubara, mengatakan sebagian besar senyawa yang potensial sebagai obat Covid-19 termasuk dalam golongan flavonoid, yang dihasilkan tanaman-tanaman herbal.

"Itu sudah terbukti secara in silico bahwa mereka bisa menghancurkan protein pada virus corona sehingga dia mampu merusak virus corona, dan di sisi lain, si senyawa metabolit sekunder ini pun mampu meningkatkan daya tahan tubuh manusia sehingga bisa menangkal serangan dari virus corona," ia menjelaskan.


Empon-empon

Guru besar Universitas Airlangga (UNAIR), Chairul Anwar Nidom, menawarkan pendekatan berbeda. Ia mengusulkan masyarakat agar mengonsumsi empon-empon untuk membantu melindungi diri dari Covid-19.

"Empon-empon" adalah istilah yang biasa dipakai para ibu rumah tangga di pedesaan untuk bumbu-bumbu yang biasanya terdiri dari jahe, temulawak, kunyit, lengkuas, kunir, sereh, dan sebagainya. Nidom dan para peneliti di Profesor Nidom Foundation pernah menguji empon-empon untuk mengatasi gejala yang diakibatkan virus flu burung.

Menurut Nidom, kebanyakan orang yang menderita flu burung meninggal dunia karena paru-parunya rusak berat atau pneumonia. Hal itu bukan semata disebabkan oleh virus sendiri, melainkan efek dari infeksi virus itu yang memperberat kondisi paru-paru.

Ia menjelaskan, ketika virus flu burung menginfeksi sel paru, ia menggertak respon imun yang disebut dengan sitokin. Sitokin di paru-paru tidak hanya melawan virus, tapi juga menyebabkan sel-sel paru itu menjadi rusak. Infeksi virus menyebabkan badai sitokin atau cytokine storm di dalam paru-paru.


Terganjal Western Minded

Indonesia punya 30.000 spesies tumbuhan. Sebanyak 940 spesies di antaranya memiliki khasiat penyembuhan. Industri farmasi ramai-ramai melirik pasar obat herbal dan fitofarmaka. Tidak sepopuler obat kimia?

Tumbuh-tumbuhan sebagai obat mujarab dikisahkan sejak dulu. Dituliskan pada daun-daun lontar, dipaparkan dalam naskah-naskah primbon, dan terpahat pada relief Candi Borobudur. Kini tradisi nenek moyang itu tumbuh dan berkembang, melintasi samudra, menjejak benua-benua, menorehkan sebuah kenyataan. Enam puluh lima persen penduduk negara maju dan 80% penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal.

Buah mengkudu untuk penurun kadar gula darah, daun jambu biji sebagai terapi demam berdarah, akar tanaman senggugu untuk obat sesak napas, daun seledri untuk obat antihipertensi, dan banyak lagi jenis tumbuhan yang ampuh mengobati pelbagai jenis penyakit, menunjukkan "pesona" bahan herbal di tengah terpaan obat-obatan kimia modern. "Salah satu keunggulan obat-obat dari tanaman tradisional Indonesia adalah mengandung antioksidan," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), H. Sampoerno, seperti dilansir Majalah Gatra.

Tanaman yang sudah berhasil "naik pangkat" menjadi produk fitofarmaka adalah meniran (Phyllanthus niruri). Berawal dari temuan berupa hasil riset Dr. Suprapto Ma'at, peneliti dari Universitas Airlangga, Surabaya, meniran yang secara tradisional memiliki khasiat menanggulangi sakit perut, sakit gigi, batu ginjal, diabetes, disentri, dan sindrom menstruasi itu diproduksi PT Dexa Medica dengan nama pasar Stimuno.

Menurut farmakologis molekular PT Dexa Medica, Raymond R. Tjandrawijaya, produk yang sudah terdaftar di Badan POM sebagai fitofarmaka itu telah teruji memiliki khasiat untuk memperbaiki sistem imun agar daya tahan tubuh dapat berfungsi optimal melawan gangguan penyakit. Produk ini diresepkan dokter dalam bentuk kapsul dan sirup, bisa diminum orang dewasa dan anak-anak. "Melihat potensi dan kekayaan Indonesia, kami akan terus-menerus mengembangkan fitofarmaka," kata Raymond kepada Anna Ervita Dewi dari Gatra.

Ada juga tanaman kumis kucing (Orthosiphon siamineus) dan seledri (Apium graviolens), yang dikemas sebagai produk obat fitofarmaka bernama pasar Tensigard Agromed oleh PT Phapros. Sejauh ini, Phapros memiliki dua produk berlabel fitofarmaka. Lainnya adalah X-Gra yang berfungsi sebagai suplemen peningkat stamina pria.

Berbeda dengan X-Gra yang cukup laris di pasaran, Tensigard, yang dikonsumsi dengan resep dokter, agak seret pemasarannya. Tidak mudah memasarkan Tensigard itu kepada para dokter di Indonesia. Menurut Marketing Manager Divisi Agromed PT Phapros, Yosaphat Nasution, para dokter Indonesia masih bersikap western minded dalam memberikan resep bagi pasiennya. "Dokter yang setuju dengan konsep pengobatan herbal mungkin tidak lebih dari 5%. Sehingga kami harus benar-benar menemukan segmen pasar yang tepat," kata Yosaphat.


Kearifan Lokal Pengobatan dalam Naskah Kuno Bali

Istilah Husada sudah diketahui secara umum bahwa kata husada itu berkaitan dengan rumah sakit, kebidanan dan lembaga medis lainnya. Tahukah Anda bahwa kata Husada berasal dari bahasa Sansekerta. Di Pulau Bali, naskah pengobatan kuno disebuta Lontar Usada. Istilah usadadisebutkan sebagai berikut kamus Bali–Indonesiamenyebutkan kata usadaberarti ilmu pengobatan (Warna, 1990:782). Kamus Bali Indonesia BidangIstilah Pengobatan Tradisional Balimenyebutkan kata usada  berarti ilmu pengobatan tradisional Bali (Sukantra, 1992:124). Kata usada dipungut dari bahasa Jawa Kuno dan  secara etimologi berasal dari kata bahasa Sanskerta yaitu Aushadha ‘obat: rempah-rempah’ (Mardiwarsito, 1978: 212). Sedangkan buku Usada Bali menyebutkan kata usada berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Ausadi yang  berarti tumbuh –tumbuhan yang mengandung kasiat obat–obatan (Nala, 1993:1). Arti–arti yang disebutkan itu  sekilas memang berbeda namun saling melengkapi.

Naskah klasik Bali yang memuat masalah pengobatan dapat digolongkan menjadi 2 yakni golongan usada dan golongan tutur. Golongan usada berisi tentang cara–cara memeriksa pasien, memperkirakan penyakit yang  diderita, peramuan obat, pengobatan, berbagai upacara yang berkaitan dengan masalah pencegahan dan pengobatan serta rehabilitasi. Golongan tutur berisi tentang ajaran anatomi, falsafah sehat sakit, aksara gaib, lambang pengusir penyakit dan untuk penyembuhan, padewasan, mengobati orang sakit serta berbagai penafsiran terhadap masalah sehat dan sakit (Nala, 1993:93).

Kedua golongan naskah pengobatan itu sampai kini jumlahnya masih cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat di Bali. Di Bali naskah jenis usada sering terdapat dirumah–rumah pengobat tradisional (balian) atau keluarga yang leluhurnya pernah menjadi balian (dukun), di rumah para  pendeta serta di rumah penduduk yang gemar mengumpulkan dan mempelajari naskah lontar.

Naskah lontar Bali, Usada Taru Pramana difungsikan menjadi salah satu sumber utama dalam memperlajari dan meramu obat–obatan yang bahan utamanya berasal dari tumbuh–tumbuhan. Bahan dari tumbuh–tumbuhan tersebut sering pula dicampur lagi dengan unsur mineral, bagian dari binatang, bahan–bahan lain yang sebenarnya juga  merupakan bagian dari tumbuh–tumbuhan tetapi telah mengalami suatu proses seperti arang, cuka, nira, dan minyak. Diantara mineral, yang sering dan paling banyak dicampurkan adalah garam dapur dan air kemudian menyusul serbuk kapur, batu apung, belerang, dan sebagainya. Unsur–unsur yang merupakan bagian dari binatang seperti hati, limpa, empedu, daging, lemak, tulang, sering juga menjadi campuran dari obat–obatan tersebut. Tentunya bahan obat dan campurannya itu berbeda, disesuaikan lagi dengan jenis penyakit yang  diderita seseorang.

Bentuk obatnya juga bermacam-macam, dan ini menunjukkan khas sebutan Bali, seperti loloh (jamu), boreh (param, tutuh (cairan yang dimasukkan  melalui hidung), simbuh (sembur), apun(diurut dengan lemak atau minyak) dan sebagainya. Ramuan–ramuan obat tersebut jika berhasil menyembuhkan pasien tidak jarang pula diberikan ramuan obatnya kepada keluarga dekat, kerabat, dan menyebar ke masyarakat secara lisan. Maka masyarakat luas pun ikut memfungsikannya dalam kehidupan secara praktis terutama dalam kasus–kasus penyakit tahap stadium dini.

Distibusi obat di zaman kuno nusantara, tidak ada kepentingan kapitalis. Oleh karena itu, pengetahuan pengobatan herbal tradisional disampaikan kepada mayrakat luas secara cuma-cuma. Dengan demikian, masyakat hanya memerlukan pengtahuan pengolannya untuk kemudian menggunakannya kepada orang yang sedang sakit.

Telah banyak tetumbuhan yang datang menghadap Mpu Kuturan dan menyampaikan khasiat masing–masing. Macam–macam penyakit juga telah disebutkan dari yang bersifat ringan  seperti  kurang  nafsu  makan  sampai  penyakit  yang dianggap cukup berat seperti lepera, digigit ular berbisa, keruron (keguguran), dan sebagainya sampai  kemudian diceritakan tumbuh–tumbuhan seperti ketimun uku, tebu malem, pohon tanjung yang semua datang   memberikan  keterangan. Semua hasil wawancara Mpu Kuturan dengan tumbuh–tumbuhan tersebut kemudian dicatat  kembali oleh putra beliau yang bernama Prabu Narayasa.


Naskah Sunda Kuno tentang Pengobatan

Catatan ilmu pengobatan Nusantara tak hanya ditemukan pada naskah kuno Bali. Masyarakat kuno di daerah lain juga menuliskannya. Salah satunya, masyarakat Sunda kuno yang punya catatan Kumpulan Mantra, Paririmbon, dan Petangan. Pada naskah Kumpulan Mantra dari Jampang Kulon, Sukabumi, ditemukan 189 mantra yang 20 di antaranya mantra terkait pengobatan, seperti membasmi wabah penyakit, membuang racun, dan menyembuhkan penyakit cacar.


Dalam pengobatan, masyarakat tradisional Sunda dan Jawa sangat memperhatikan waktu dan peristiwa terkait siklus manusia. Masing-masing siklus mempunyai cara pengobatan yang berbeda. Nama siklus dan cara pengobatannya tertulis dalam Paririmbon (Sunda) atau Primbon (Jawa). Primbon atau paririmbon masih digunakan.

Dalam khazanah naskah Sunda terdapat informasi dari berbagai jenis penyaktit, obat, dan mantra yang digunakan dan ritual penyembuhan. Masyarakat masa kini bisa memanfaatkannya untuk meneliti tanaman-tanaman obat yang digunakan agar berkembang menjadi pengobatan modern.


Budaya Jawa Kuno dalam Pengobatan

Keadaan geografis pulau Jawa didukung oleh keanekaragaman hayati yang terhimpun dalam berbagai tipe  ekosistem yang pemanfaatannya telah mengalami sejarah panjang sebagai bagian dari kebudayaan. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di pulau Jawa telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo, dokumen serat primbon jampi, Serat Centini, Serat Racikan boreh wulang dalem (bahasa Jawa) yang memanfaatkan berbagai tanaman untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Tanaman yang sering digunakan untuk pengobatan dalam Naskah Jawa adalah tanaman dari famili Zingiberaceae. Adapun tanaman yang sering dijadikan dalam ramuan obat adalah adas (pimpinella ansium), aren (Arenga pinnata), asam (Tamarindus inddica L,), bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium Satirum), bangle (Zingiber purpureum), cabe jamu (Piper retrofractum), kelapa, (Cocos nucifera L.), kunir (Curcuma domestica), lada (Piper nigrum), Pala (Myristica fragrans), pulasari (Alyxia stellate), dan jahe (Zingiber officinale).

Dalam prasasti disebut beberapa tanaman, terutama pada prasasti Jawa Kuno. Tanaman sebagai komoditas perdagangan inilah yang diduga tanaman obat-obatan. Jadi komoditas karena dibutuhkan banyak orang. Salah satu tanaman yang tertulis dalam prasasti Jawa Kuno adalah wungkudu (mengkudu), bawang, pisang, dan lada.

Data terkini menunjukkan, ada 40.000 lebih jenis tumbuhan di dunia, 30.000 di antaranya di Indonesia. Data baru Perpustakaan Nasional menunjukkan, ada 9.600 spesies tanaman berkhasiat obat. Sayangnya, baru 300 jenis yang dimanfaatkan dan diproduksi sebagai ramuan obat oleh industri obat.

Di dalam negeri, ketika ilmu pengobatan dunia barat dianggap membawa efek samping, orang kembali melirik pengobatan tradisional dari tanaman obat atau jamu. Sayangnya, justru klinik pengobatan tradisional China yang laris.

Obat Herbal Kuno dan Pengobatan Modern

Pemanfaatan sains dan teknologi terkini, dikombinasikan dengan pengetahuan dan naskah-naskah kuno dapat membuka jalan bagi pengembangan obat-obat herbal yang sudah distandarkan, fitofarmaka, hingga penemuan zak adiktif.

Pada abad ke-17, Georg Eberhard Rumphius telah mencatat dan menulis mengenai keragaman botani, taksonomi, dan tumbuhan-tumbuhan obat-obatan di nusantara, khususnya Ambon. Georg Eberhard Rumpf adalah seorang ahli botani asal Jerman yang bekerja di VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Hindia Belanda, dan terkenal akan karyanya Herbarium Amboinense.

Di Amerika Serikat, Klinik Mayo berhasil memanfaatkan karya akbar Rumphius yang diterjemahkan dari bahasa Belanda kuno tiga tahun yang lalu, “Herbarium Amboniense”. Dari buku itu, Mayo mengembangkan antibakteri dari ekstrak pohon atun (Atuna racemosa), yang sesungguhnya banyak tumbuh di nusantara. Di AS, seperti dicatat oleh National Institutes of Health 2016, angka penjualan obat-obatan berbasis biodiversitas telah mencapai 37 miliar dolar setahun.

Ironisnya, di Indonesia, berdasarkan Data Bagian Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku, Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), pada tahun 2018, 95 persen bahan baku obat-obatan dan suplemen dalam negeri masih berasal dari impor. Ekspor baru berkontribusi sekitar 20 persen terhadap total omzet industri farmasi yang diperkirakan saat ini sekitar Rp 60 triliun.

Upaya saintifikasi tanaman berkhasiat obat di Indonesia mendesak dilakukan agar warisan budaya tidak punah. Tantangan muncul ketika hutan terus digunduli yang berakibat mematikan tanaman berkhasiat obat. Ketika tanaman obat langka, kemampuan menyembuhkan, seperti para balian Buddha Kecapi, akan tak berguna.

Naskah-naskah pengobatan kuno yang ditulis di atas daun lontar menjadi buruan perusahaan-perusahaan farmasi dari luar negeri. Bahkan naskah pengobatan herbal dihargai 15 milyar per naskah. Hebat bukan? Mengapa perusahaan farmasi asing memburu naskah kuno pengobatan nusantara, sementara kita mengabaikannya?


Referensi

  1. "Kasus Pasien Positif Virus Corona Jadi 34: 2 Sembuh, 1 Meninggal". detiknews.com. Diakses 13 Maret 2020.
  2. "Virus corona: Sejumlah peneliti Indonesia berikhtiar mencari penawar Covid-19, mulai empon-empon hingga propolis". bbc.com Diakses 13 Maret 2020.
  3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Jakarta: Balai Pustaka.
  4. Mardiwarsito, L. 1978. "Kamus Jawa Kuno-Indonesia". Ende–Flores: Nusa Indah Arnoldus.
  5. Nala, Ngurah. 1993. Usada Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra.
  6. Sukantra, I Made. 1992. "Kamus Bali Indonesia Bidang Istilah Pengobatan Tradisional Bali (Usada)". Denpasar: Upada Sastra.
  7. Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana. 2017. "Prabhajñāna: Kajian Pustaka Lontar Universitas Udaya". Denpasar: Swasta Nulus.. unud.ac.id onlines version. Diakses 13 Maret 2020.
  8. "Mengerek Obat Herbal". Majalah Gatra. gatra.com. Diakses 13 Maret 2020. 
  9. "Pengobatan dalam Naskah-naskah Kuno", kompas.com. Diakses 13 Maret 2020. 
  10. Purnomo. 2015. "Praktik-Praktik Konservasi Lingkungan secara Tradisional di Jawa". Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press). googlebooks. Diakses 13 Maret 2020.
Baca Juga

Sponsor