Cari

Dentuman Misterius dalam Uga Wangsit Siliwangi




[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Indonesia dibuat terkejut dengan suara dentuman misterius yang terjadi pada Sabtu dini hari (11/4/2020). Warga di Jakarta, Bogor, Depok, dan sekitarnya heboh lantaran terdengar suara dentuman keras, Sabtu (11/4/2020). Dentuman misterius tersebut terjadi sekira pukul 01:45 WIB hingga lebih dari pukul 03:00 WIB dini hari.

Karena bingung dengan suara dentuman, alhasil warga banyak yang menumpahkan pertanyaannya di media sosial. Dentuman itu terdengar saat erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) tengah erupsi. Namun demikian, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kasbani justru menyatakan suara detuman tidak terkait dengan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.

Suara dentuman terus terdengar mulai dari Jumat (10/4/2020) malam hingga Sabtu (11/4/2020) dini hari di sejumlah wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang. Dentuman tersebut bahkan bisa membuat rumah bergetar. Masyarakat menyatakan bahwa terjadi beberapa kali ada suara dentuman. Kaca sama pintu rumah bergetar.

Dikutip dari cnn.com, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan suara dentuman yang didengar sejumlah warga di wilayah DKI Jakarta hingga Jawa Barat pada Sabtu (11/4) dini hari bukan berasal dari erupsi Gunung Anak Krakatau, tapi petir yang terdengar lebih keras dari biasanya.


Dentuman berasal dari Gunung Salak?


Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi atau PVMBG Kementerian ESDM, Hendra Gunawan, mengatakan dentuman terdengar dari pos pengamat Gunung Gede dan Gunung Salak pada Jumat malam, 10 April 2020. Namun, Hendra memperkirakan dentuman tersebut berasal dari hujan petir di kedua gunung tersebut.

Namun di Pos Gunung Salak mengidentifikasi dentuman petir, tapi cuaca tidak hujan di sekitar pos. Demikian seperti dikutip dari Tempo, Sabtu, 11 April 2020.

Tidak hanya membingungkan karena cuaca gunung Salak saat itu tidak hujan, teteapi juga Gunung Salak tidak menunjukkan aktivitas vulkaniknya.

Ada baiknya kita lihat sejarah Gunung Salak tahun 1699. Gunung Salak pernah disebut meletus pada 1699, akan tetapi kabar itu dibantah setelah dilakukan penyelidikan dan penelitian. Gunung Salak disebut telah meletus pada awal tahun 1699, tepatnya tengah malam menjelang tanggal 5 Januari. Banyak referensi yang mengutip keyakinan ini, termasuk yang tercantum dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia (Edisi Kedua) yang disusun oleh Badan Geologi pada 2011.

Catatan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menyebut Gunung Salak mengalami erupsi. Laporan J.A. van der Chijs dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 (1886) menuliskan bahwa yang terjadi adalah gempa bumi, bukan letusan gunung.

Van der Chijs mencatat: “Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane, di belakang bekas keraton raja-raja yang disebut Pakuan, yang semula berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, sama sekali tidak ada pepohonan.”

T. Bachtiar dalam artikel “Guguran Puing dari Gunung Salak” (Pikiran Rakyat, 2018) cenderung meyakini bahwa apa yang terjadi pada 1699 itu bukan letusan, melainkan debris avalanche atau guguran puing. Puing-puing di lereng gunung longsor dan berguguran akibat diguncang gempa bumi kemudian membentuk lembah besar dan dalam, sebagaimana laporan van der Chijs.

Uga Wangsit Siliwangi tentang Gunung Salak. 

Berikut penulis kutip sebagai dari Uga Wangsit Siliwangi:

Engké jaga, mun tengah peuting, ti Gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana, saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Diterjemahkan
Nanti, suatu saat, kalau di tengah malam dari Gunung Halimun suara bertalu-talu, nah itulah tandanya, seluruh keturunan kalian dipanggil oleh dia yang akan menikah di Lebak Cawene. Jangan telat serta jangan bersikap dan berperilaku berlebihan sebab telaga akan meluap menimbulkan banjir. Cepat pergi! Jangan menengok ke belakang!
Dalam lanjutan Uga wangsit, adalah kehadiran Budak angon dan seterusnya. Dalam artikel ini tidak membahas mengenai kehadiran Budak Angon seperti termaktub dalam Uga Wangsit Siliwangi. Namun, pembahasan lebih mengacu pada peristiwa alam yang disebutkan yaitu "ti Gunung Halimun kadenge sora tutunggulan..." yang kita terjemahkan sebagai "suara bertalu-talu". Suara bertalu-talu dalam bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia adalah suara yang terus menerus. Contohnya adalah kohkol atau kentongan yang dipukul terus menerus (ditihtirkeun).  Bunyi kentongan bertalu-talu atau sora kohkol ditihtikeun digunakan sebagai tanda bahasa di zaman Sunda kuno bahkan umum di seluruh budaya Melayu Nusantara. Kata tutunggulan setara dengan "bertalu-talu. Entah mengapa "tutunggulan" juga diterjemahkan atau tepatnya ditafsirkan sebagai "terdengar teriakan meminta tolong". Mungkin karena "sora tutunggulan" atau suara bertalu-talu sebagai pertanda bahaya yang diidentifikasikan sebagai "suara minta tolong".

Kata tutunggulan juga diterapkan pada proses menumbuk padi pada sebuah lesung kayu. Budaya ini masih ada di Cigugur Kuningan Jawa Barat dan beberapa tempat kasepuhan Sunda (tentu di seluruh wilayah Melayu masih ada).  Asal katanya dari Tunggul atau Tunggara (tanggara) sebagai pertanda atau pemberitahuan/mengingat  bagi orang sekampung tentang sebagai tunggul atau ciri. Misalnya tanda akan adanya sebuah hajatan beberapa hari sebelumnya. Ini terjadi karena di zaman kuno di Tanah Sunda belum ada mesin penggiling padi (mesin Heler). Maka proses menumbuk padi disebut "Nutu". Proses nutu/menumbuk padi dilakukan bersama-sama, sehingga suaranya tutunggulan atau bertalu-talu.

Di zaman modern ini, Tutunggulan menjadi kesenian khas Subang dengan bunyi-bunyian alu dan lesung yang biasanya diselenggaran dalam sebuah festival.

Penulis mengambil pengertian "sora tutungglan" sebagai suara bertalu-talu. Ada penggunaan kata tutunggulan dalam bahasa Sunda untuk menggambarkan jantung atau kalbu/bathin. "Jajantung ratug tutunggulan" yang diterjemahkan "Jantung terasa berdebar-debar". Artinya menggambar detaknya semakin kencang dan terus menerus. Kadang digambarkan sebagai jantung/bathin yang bergemuruh.

Kita mengetahui dalam budaya Sunda Buhun atau Sunda kuno ketika sebuah Gunung meletus disebut "Gunung nuju gaduh hajat", Gunung lagi punya hajat. Saat itu tidak sebut sebagai sebuah peristiwa musibah. Sepertinya istilah ini terkait dengan penjelasan di atas. Sebuah gunung punya hajat, bunyi bertalu-talu terdengar. Nah, disinilah letak adanya kesamaan dalam kutipan Uga Wangsit Siliwangi tentang Suara bertalu-talu dari Gunung Halimun. Kita bisa menggambarkan sebgai suara gunung gemuruh. Apakah Uga Wangsit menggambarkan suara gemuruh Gunung Halimun? Jika demikian apakah Gunung tersebut akan meletus? Sekali lagi penulis membahas peristiwa alamnya tidak membahas selanjutnya sebagai pertanda datangnya Budak Angon. kajiannya kita pisah.

Bisa jadi luluhur Sunda menceritakan peristiwa adanya suara gemuruh dalam tanah disekitar Gunung Halimun. Lokasi Gunung Halimun berada diantara Kabupaten Bogor, Sukabumi.Jawa Barat dan Kabupaten Lebak Banten.Gunung dengan ketinggian sekitar 1.925 mdpl ini merupakan gunung tertinggi di provinsi Banten dan termasuk dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di sebelah timur gunung ini terdapat Gunung Salak. Nama Halimun berasal dari bahasa Sunda yang berarti "kabut". Gunung Halimun terletak di sabuk volkanik dari Zona Bandung.Gunung ini adalah sebuah stratovolcano yang terbentuk pada kala Pleistosen.

Sebuah Kumpulan Gempa bumi mengguncang wilayah Malasari Kecamatan Naggung Kabupaten Bogor pada tanggal 24 Agustus 2019. Lokasi gempa bumi Bogor dekat dengan Gunung Halimun. Gunung Halimun masuk dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Kumpulan gempa atau Swarm. Oleh karena itu gempa bumi ini disebut Gempa bumi swarm. Gempa bumi jenis ini tidak besar guncangannya namun berlangsung terus menerus hingga terdengar suara gemuruh atau bahkan dentuman keras. Suara gemuruh ini mengingatkan kita pada "Tutunggulan" dalam Uga wangsit Siliwangi. Mungkinkah Uga wangsit ini benar-benar menggambarkan peristiwa gempa bumi swarm yang jarang sekali kita dapatkan dalam sumber sejarah Sunda?

*Cag*
Baca Juga

Sponsor