[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Bahasa Sunda adalah salah satu bahasa yang ada di Nusantara seiring dari eksistensi suku Sunda di Pulau Jawa. Sunda sebagai bahasa merupakan hasil karya cipta Urang Sunda sebagai bagian budaya Sunda.
Dalam bertutur bahasa Sunda dikenal bahasa kasar, sedang dan halus. Benarkah zaman dahulu dalam budaya Sunda tidak mengenal kata kasar dan halus? Banyak sudah 'tudingan' dialamatkan ke masa dimana wilayah Tatar Pasundan di bawah kekuasaan Mataram Islam. Konon, disebut-sebut tingkatan basa Sunda atau disebut Undak-usuk Basa berasal dari Mataram. Aksara pun disebut-sebut berasal dari Mataram yaitu aksara Cacarakan (Ha-na-ca-ra-ka).
Sebenarnya istilah tingkatan bahasa dalam basa Sunda telah ada sejak zaman Kerajaan Pajajaran. Dalam Naskah Lontar Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) menyebutkan tingkatan bahasa. Istilah itu disebut kanista, madya, utama (kasar, sedang, halus).
Ini ma upama janma tandang ka Cina. Heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di tingkah Cina, di polah Cina, di karampésan Cina. Katemu na carék teulu: kanista, madya, utama.
‘Ini mengumpamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina, paham perilaku orang Cina, kebiasaan Cina, pasakanCina, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah, sedang, dan tinggi’.
‘Ini mengumpamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina, paham perilaku orang Cina, kebiasaan Cina, pasakanCina, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah, sedang, dan tinggi’.
Dalam naskah menyebutkan seolah di dalam bahasa Cina terdapat tingkatan bahasa. Sebenarnya dalam bahasa Cina Mandari atau Hokkian tidak terdapat tingkatan bahasa. Naskah memberikan ukuran atas sudut pandang urang Sunda bahwasannya bahasa Cina sama dengan bahasa Sunda dan Jawa yang memiliki tingkatan bahasa. Meskipun demikian, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Mengingat Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak L 630 dan L 624) diterjemahkan dan ditulis dalam kertas stensil pertama kali diumumkan oleh Atja dan Danasasmita tahun 1981. Kemudian, diterbitkan kembali dalam bentuk buku oleh Danasasmita dkk. tahun 1985 dan 1987.
Mengapa kita seolah tidak mengenal adanya tingkatan bahasa sejak zaman Pajajaran? Seperti kita ketahui, Pajajaran telah runtuh (burak) dan jejaknya pun hilang (ngahiyang). Selama ratusan tahun jejak bahasa Sunda yang ditulis para Mahakawi dan para pujangga Hindu/Buddha turut menghilang.
Dari sejak zaman Pajajaran telah ada bahasa wewengkon, yaitu bahasa yang dituturkan pada wewengkon (wilayah) tertentu. Ada Sunda Basisir, dan Sunda Kamalayon (Sunda ke-Melayu-melayuan). Penutur Basa Sunda Basisir sepanjang pesisir Utara Jawa dan Pesisir Selatan Jawa. Biasanya dituturkan oleh para nelayan. Ciri bahasa Sunda Basisir adalah bahasa lugas dan sering disebut bahasa Kasar. Dan seperti kita ketahui, kerajaan yang berkuasa setelah Pajajaran burak adalah Kesultanan Cirebon dan Banten. Kedua bahasa itu termasuk Basa Sunda Basisir. Kemudian hari terpengaruh besar dengan bahasa Jawa pesisir juga.
Alasan di atas cukup memberikan kita pemahaman atas berkurangnya atau tidak diketahuinya bahasa Sunda para Pangagung (dituturkan para bangsawan). Pengaruh bahasa Jawa dalam kosakata Basa Sunda tidak hanya terjadi ketika Tatar Pasundan di bawah Kesultanan Mataram. Buktinya pada naskah-naskah Sunda Kuno banyak sekali kesamaan bahasa Jawa dan basa Sunda.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan awal abad ke-17. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut: Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518).
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut: Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518).
“Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16).
“Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India.
Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah-naskah abad ke-16, misalnya Carita Parahyangan terdapat kata yang berasal dari Bahasa Arab misalnya duniya, niyat, selam (Islam) dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa dan dalam bahasa Sunda disebut Undak Usuk Basa Sunda (UUBS).
Lantas siapa yang memulai menggunakan atau mengajarkan UUBS itu? Merekalah para bupati dan ménak Sunda. Mengapa? Sebab pada masa kekuasaan Mataram, setiap tahunnya mereka wajib séba. Di samping itu, banyak ménak-ménak Sunda di Mataram untuk menerima perintah raja sambil mesantren dan belajar kabudayan Jawa, termasuk kabiasaan dalam hal menggunakan bahasa, tentunya.
Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera wawacan dengan menggunakan Aksara Pegon.
Pada awal kedatangan Belanda ke Pulau Jawa, mereka menganggap bahasa Sunda itu sebagai salah satu dialek bahasa Jawa (bergjavaans, Jawa Gunung). Lalu dianggapnya sebagai varian dari bahasa Jawa. kemudian Thomas Stamford Raffles lewat bukunya The History of Java (1817), John Crawfurd dalam History of The Indian Archipelago (1820), atau kemudian Andreas de Wilde pada 1829 sudah memisahkan orang Sunda dari Jawa, namun mereka masih menganggap bahasa Sunda itu sebagai varian dari bahasa Jawa, yang oleh Crawfurd disebutnya sebagai minor language of the archipelago. Baru pada 1841-lah bahasa Sunda dianggap sebagai bahasa tersendiri dengan terbitnya Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek karya Taco Roorda.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah. Buku-buku bahan ajar di sekolah disusun oleh Menak Sunda (bangsawan Sunda).
Kamus basa Sunda - Melayu pertama dibuat oleh RAA Koesoemaningrat, Bupati Cianjur. Namun rupanya buku kamus ini tidak pernah diperbanyak secara masal.
Contoh surat zaman Belanda
![]() |
Surat tahun 1871 dalam Bijdragen tot de taal-, land en volkenkunde Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia - Soendaneesche Brieven |
Contoh Surat cerai
![]() |
Surat cerai tahun 1868 dalam Bijdragen tot de taal-, land en volkenkunde Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia - Soendaneesche Brieven |
![]() |
Surat Laporan tahun 1856 dalam Bijdragen tot de taal-, land en volkenkunde Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia - Soendaneesche Brieven |
Sebelum kita membahas pengaruh bahasa Jawa dalam undak-usuk basa Sunda, kita lihat kronologi jatuhnya Tatar Pasundan ke tangan Kesultanan Mataram.
Kerajaan Galuh berada di bawah Kesultanan Mataram tahun 1595. Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620.
Pada tahun 1613, Mas Rangsang naik tahta menjadi raja Mataram, dengan
gelar Kanjeng Sultan Agung Senapati. Dibawah kepemimpinan Sultan Agung,
terjadi perubahan sosial politik yang sangat cepat ditandai dengan
berjatuhannya kota-kota di Jawa Timur, termasuk diantaranya adalah
Madura. Kejatuhan Surabaya pada tahun 1625, merupakan puncak dari
kejayaan penaklukan Mataram atas bangsa Jawa. Mataram menguasai seluruh
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengaruh itu dengan cepat merangsak
ke wilayah Jawa Barat. Sultan Agung sangat berambisi untuk menguasai
daerah tatar Sunda.
Selama pemerintahan Kesultanan Mataram, konsolidasi wilayah kekuasaan belum selesai. Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tenteram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya. Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal. Sultan Agung wafat tahun 1645.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, tetapi melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Pada saat ini pemakaian bahasa Bagongan sudah semakin berkurang, bahkan nyaris punah. Pemakainya pun hanya dari golongan tua saja yang mengenal adanya jenis bahasa tersebut. Bahasa Bagongan digunakan oleh para pejabat istana, atau yang biasa disebut sentana dalem untuk bercakap-cakap satu sama lain. Tidak seperti bahasa Jawa pada umumnya, bahasa ini relatif kurang mementingkan hierarki sehingga terkesan lebih fleksibel.
Misalnya, apabila dalam bahasa Jawa biasa, seseorang yang lebih muda akan menyebut dirinya dengan kata ganti kula, sedangkan yang lebih tua menyebut dirinya dengan kata ganti aku. Namun dalam bahasa Bagongan, baik yang muda ataupun yang tua jika bercakap-cakap sama-sama menyebut dirinya dengan kata ganti manira.
Tujuan Sultan Agung menetapkan penggunaan bahasa Bagongan ialah untuk menciptakan persatuan di antara pejabat istana dengan menghilangkan kesenjangan yang timbul jika mereka menggunakan bahasa Jawa biasa. Namun bahasa Bagongan ini hanya berlaku apabila seorang sentana berbicara kepada sesama sentana. Apabila berbicara kepada raja, maka ia harus menggunakan bahasa Jawa umum, tentu saja dari jenis yang paling halus, yaitu bahasa krama inggil.
Misalnya, apabila dalam bahasa Jawa biasa, seseorang yang lebih muda akan menyebut dirinya dengan kata ganti kula, sedangkan yang lebih tua menyebut dirinya dengan kata ganti aku. Namun dalam bahasa Bagongan, baik yang muda ataupun yang tua jika bercakap-cakap sama-sama menyebut dirinya dengan kata ganti manira.
Tujuan Sultan Agung menetapkan penggunaan bahasa Bagongan ialah untuk menciptakan persatuan di antara pejabat istana dengan menghilangkan kesenjangan yang timbul jika mereka menggunakan bahasa Jawa biasa. Namun bahasa Bagongan ini hanya berlaku apabila seorang sentana berbicara kepada sesama sentana. Apabila berbicara kepada raja, maka ia harus menggunakan bahasa Jawa umum, tentu saja dari jenis yang paling halus, yaitu bahasa krama inggil.
Pengaruh Kesultanan Mataram sampai akhir tahun 1677. Hal itu
terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal
19-20 Oktober 1677.
Tingkatan bahasa Sunda yang sudah ada sejak zaman Pajajaran "Kanista, Madya, Utama" ini wujudnya belum kita ketahui. Kisah raja-raja Pajajaran hanya kita dapatkan dalam kisah babad yang ditulis oleh bangsawan Sunda di bawah pengaruh Kseultanan Mataram. Otomatis penggambaran dialog-dialog dengan Prabu Siliwangi menggunakan bahasa Krama Inggil.
Sepertinya, masih memerlukan penelitian lebih mendalam pada naskah kuno Sunda.
Referensi
- Danasasmita, Saleh., Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa. “Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan”
- Diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung Tahun 1987. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dibuat pada tahun 1518 M, memakai aksara Sunda kuno.
- Coolsma, S. " Bijdragen tot de taal-, land en volkenkunde Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia - Soendaneesche Brieven" Downloaded from Brill.com 07/21/2020 04:20:46AMvia free access