Cari

Dimanakah keraton Pajajaran? | Telusur Jejak Kota Pakuan Pajajaran

[Historiana] - Dimanakah keraton Pajajaran? pertanyaan ini banyak dilontarkan oleh para pecinta, pemerhati dan peminat sejarah.  Kerajaan Sunda, atau setelah masa kehancurannya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, didirikan oleh Tarusbawa di wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Wilayah Kerajaan Pajajaran berada di bagian barat Pulau Jawa, dengan batas wilayah sebelah barat adalah Selat Sunda, sebelah timur adalah Sungai Citarum, sebelah selatan adalah Sungai Cisarayu, dan sebelah utara adalah dengan Sungai Cipamali. Ibukota Kerajaan Pajajaran yaitu Kota Pakuan berada di pedalaman, yaitu terletak sekitar 70 kilometer dari pesisir utara maupun pesisir selatan. Lokasi topografis Kerajaan Pajajaran yang dikelilingi dataran tinggi dan perbukitan menyebabkan kerajaan tersebut berkebudayaan agraris (Ekadjati 2009).

Berdasarkan sastra lisan (folklor, cerita rakyat, dan pantun), nama yang selalu disebut adalah ‘Pajajaran’. Sementara berdasarkan sumber kontemporer (naskah kuno, prasasti, catatan perjalanan), nama yang selalu muncul adalah ‘Sunda’.Menurut Danasasmita (1983), terdapat suatu kebiasaan mengenai pemakaian nama keraton dan nama ibukota yang dipakai pula menamai kerajaan. Istilah ‘Pajajaran’ sebagai nama kerajaan diambil dari nama ibukota Kerajaan Sunda, yaitu Pakwan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Penyebutan istilah ini mulai muncul pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi dan setelah kehancuran kerajaan. Kata pakwansendiri memiliki arti ‘tempat tinggal’ (keraton untuk raja), yang berakar dari kata kuwu kemudian ditambahkan imbuhan. Menurut Poerbatjaraka (1921) kata pakuanberasal dari bahasa Jawa kuno ‘pakwwan’ yang dieja ‘pakwan’ dan apabila diucapkan dengan lidah orang Sunda menjadi ‘pakuan’. Kata ‘pakwan’ berarti kemah atau istana. Poerbatjaraka melanjutkan bahwa kata ‘Pakuan Pajajaran’ berarti istana yang berjajar.

Kawasan bersejarah Kota Bogor dilakukan berdasarkan kajian  sejarah  oleh  tim  P3KP.  Saat  ini  di  Kota  Bogor  terdapat  lapisan-lapisan sejarah yang jejaknya masih dapat terlacak dan terlihat terutama dalam bentuk fisik. Lapisan  sejarah  ini  menunjukkan  perkembangan  Kota  Bogor  dari  sebuah  daerah pertanian  menjadi  kawasan   perkotaan.  Hal  ini  mendasari  delineasi  kawasan bersejarah Kota Bogor yangterbagi menjadi 6 sub kawasan, yaitu 1) Sub Kawasan Kebun Raya dan Istana Bogor, 2) Sub Kawasan Empang, 3) Sub Kawasan Pecinan, 4) Sub Kawasan Pemukiman Eropa, 5) Sub Kawasan Pemekaran Barat, dan 6) Sub Kawasan Plan Karsten.



Sebagai pusat Kerajaan Pakuan-Pajajaran, sejarah Kota Bogor pada periode tersebut tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Pajajaran. Keberadaan Kerajaan Pajajaran di wilayah bagian barat Pulau Jawa tercatat pada naskah-naskah Sunda kuno, catatan perjalanan bangsa asing yang berkunjung, dan dari benda peninggalan kerajaan itu sendiri. Benda peninggalan yang dimaksud adalah batu yang berukir tulisan atau prasasti.

Sumber sejarah Kerajaan di Bogor berasal dari prasasti dan naskah-naskah kuno. Informasi sejarah yang terdapat dalam kedua sumber tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Teks pada naskah jauh lebih panjang isinya dibanding dengan isi pada prasasti. Teks naskah yang panjang memungkinkan masuknya unsur subyektifitas penyusun atau penulis. Hal ini berdampak pada nilai informasi yang berkurang namun memperkaya informasi makna budaya di dalamnya. Menurut Ekadjati (2009), terdapat beberapa buah naskah yang telah dipelajari dan memiliki sumber informasi sejarah yang relevan, yaitu naskah Carita Parahiyangan, Fragmen Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, Sèwaka Darma, Serat Dèwa Buda, Kawih Paningkes, Carita Ratu Pakuan, Carita Waruga Guru, Sanghiyang Hayu, Serat Catur Bumi dan Sanghiyang Raga Dèwata, Bujangga Manik, Sri Ajnyana, dan naskah Ramayana.

Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.

Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Selama ratusan tahun, ibukota Pakuan Pajajaran ditinggalkan penduduknya. Lokasi serta gambaran ibukota Pajajaran itu seperti hilang ditelan bumi. Masa kehancuran Kerajaan Pajajaran ditandai dengan terjadinya penyerangan yang dilakukan pihak penguasa Banten sehingga rantai sejarah keberadaan wilayah ini hilang. Setelah tahun 1579, tidak terdapat keterangan tertulis mengenai peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut (missing link) hingga masa munculnya ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler pada tahun 1690, dan Abraham van Riebeeck pada tahun 1703, 1704, dan 1709. Berdasarkan laporan dalam ekspedisi-ekspedisi tersebut, diketahui keberadaan berbagai situs sejarah, benteng, sisa parit, batas, dan letak gerbang masuk Kerajaan Pajajaran, hingga batu-batu artefak bercorak megalitik (P3KP 2013).

Telah banyak artikel yang membahas dengan rinci laporan dari ekspedisi VOC hingga Belanda ke bekas kota Pajajaran. Kita langsung menelusuri jejak Ibukota Pajajaran tersebut.

Karakteristik Tata Ruang Periode Kerajaan
Sejarah periode kerajaan di Kota Bogor terbagi menjadi dua bagian, yaitu  batas  fisik tata ruang dan  objek-objek  yang merupakan  Benda  Cagar  Budaya. Batas  fisik  berupa  sisa-sisa  peninggalan sejarah Kota  Bogor  pada  masa masih  merupakan  ibukota  Kerajaan  Pajajaran  yaitu  Kota  Pakuan.  Lokasi  dan perkembangan Kota Pakuan tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang hidup pada masa itu, yaitu masyarakat Sunda.

Masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah menganggap bahwa lahan ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai, dan terlindung pegunungan. Istilah topografik lahan jenis tersebut dikenal dengan nama garuda ngupuk dan saat ini dapat dilihat di Kota Garut, Kota Bandung, dan Kota Tasikmalaya. Sementara kota-kota seperti Kota Cianjur, Kota Sukabumi, dan Kota Bogor dibangun berdasarkan konsep pengembangan perkebunan dan pertanian huma. Istilah topografik lahan jenis ini dikenal dengan nama lemah (tanah) duwur/luhur (tinggi), dimana masyarakat tidak berlindung di balik bukit, melainkan di atas bukit.

Lokasi Kota Pakuan merupakan lahan lemah duwur, dimana satu sisinya menghadap kearah Gunung Salak. Tebing Ciliwung, Cisadane, dan Cipaku merupakan pelindung alami kota. Masyarakat pada masa itu juga menganggap keberadaan Sungai Cipakancilan sebagai berkah, dimana tempat di sekitar sungai akan selalu menarik manusia untuk bermukim (Danasasmita 2012).



Tata Ruang Pakuan Pajajaran
Tata ruang periode kerajaan merupakan titik-titik lokasi peninggalan yang dulunya merupakan titik batas wilayah kekuasaan Pakuan. Titik-titik batas tersebut kemudian membentuk suatu batas. Batas fisik tata ruang yang teridentifikasi terbagi menjadi 3 bagian, yaitu 1) Benteng Kota Luar, 2) Benteng Kota Dalam, dan 3) Parit Kota.

Benteng Kota Luar wilayahnya mencakup sebagian Jalan Suryakencana, Jalan Sukasari, Jalan Siliwangi, Jalan Batutulis, dan tebing Cipaku. Benteng Kota Luar berfungsi melindungi wilayah Pakuan termasuk keraton kerajaan. Benteng ini juga berdampingan dengan gerbang masuk menuju Pakuan yang terletak di daerah Batutulis, Lawang Gintung, dan Sukasari-Tajur. Benteng Kota Dalam memiliki wilayah yang mencakup paling banyak di Batutulis, sebagian Empang dan Sukasari. Benteng Kota Dalam berfungsi melindungi inti kota seperti keraton kerajaan dan tempat penobatan raja. Sementara itu untuk delinesi Parit, merupakan jalur delineasi yang terbagi menjadi dua, yaitu parit alami dan parit buatan. Umumnya parit alami mengambil bagian terbanyak dari delineasi karena apabila dilihat dari topografi wilayah Batutulis, banyak lereng dan tebing curam yang bagus untuk dijadikan perlindungan kota. Jalur parit ini membentang dari arah barat menuju selatan Batutulis, dekat dengan Stasiun Batutulis dan tebing Cipaku. Gambaran ketiga delineasi ini dapat dilihat pada Peta Batas Fisik Lanskap Sejarah.

Deskripsi catatan perjalanan dan laporan ekspedisi yang dimulai tahun 1687 menjelaskan rute-rute perjalanan memasuki Kota Pakuan. Penjelasan ini dapat digunakan untuk melihat perkembangan Kota Bogor yang dianggap dimulai sejak pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Keberadaan batas-batas fisik ini belum menjadi cagar budaya yang terdaftar secara resmi dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor. Hal ini disebabkan mayoritas dari batas-batas tersebut telah kehilangan bentuk utuhnya sehingga keberadaannya mengandalkan dokumentasi dari masa ke masa. Namun demikian, batas fisik lanskap sejarah peninggalan Pakuan ini merupakan penciri khas lanskap sejarah di wilayah Batutulis sehingga dapat meningkatkan kekuatan karakteristik dari lanskap sejarah itu sendiri. Berikut ini adalah pemaparan kondisi batas fisik peninggalan Pakuan berdasarkan tinjauan yang dilakukan Danasasmita (2014). Pemaparan ini dibandingkan dengan kondisi yang ditinjau melalui survei lapang. Batas-batas fisik lanskap sejarah tersebut adalah:

Gerbang Menuju Keraton
Gerbang menjuju keraton ini dilaporkan oleh Adolf Winkler pada tahun 1690. Winkler bersama pasukannya memasuki bekas Kota Pakuan di wilayah Batutulis dari arah Tajur. Di daerah ini Winkler menemukan sebuah jalan berbatu yang tersusun rapi dan membentang menuju ke sebuah pasèban atau balai untuk menghadap raja. Pada balai tersebut ditemukan 7 pohon beringin dan sepasang disolit yang yang digunakan sebagai tempat duduk pengawal kerajaan. Saat ini, lokasi tempat yang dideskripsikan Winkler adalah Gang Amil di Jalan Batutulis. Gang Amil diapit infrastruktur bangunan dan letaknya berdampingan dengan jalan raya. Letak disolit tidak jauh dari mulut gang dan berada di dalam rumah salah seorang penduduk.


Tempat Penobatan Raja
Adanya tempat penobatan raja ini dilaporkan oleh Adolf Winkler pada tahun 1690, tepat setelah Winkler dan pasukannya menemukan bekas keratonPakuan. Winkler melaporkan penemuan batu yang berisi tulisan sebanyak 8,5 baris. Batu bertulis tersebut terletak berdampingan dengan batu panjang dan bulat yang tingginya sama dengan batu bertulis. Batu-batu ini terletak di suatu kompleks bersama beberapa jenis batu lainnya. Saat ini lokasi tersebut dinamakan Situs Prasasti Batutulis.

Pada jaman Kerajaan Pajajaran, Situs Prasasti Batutulis merupakan wilayah terbuka sebagai tempat upacara penobatan raja-raja Pajajaran. Saat ini cungkup Situs Prasasti Batutulis masih dipertahankan. Cungkup ini dilaporkan keberadaannya pada tahun 1864. Menurut Danasasmita (2014), cungkup mulai dibuat pada akhir abad 18. Bentuk cungkup yang menutupi objek di dalamnya memutuskan hubungan kesatuan ide posisi artefak-artefaknya. Lokasi situs saat ini diapit bangunan-bangunan yaitu rumah, tempat usaha, dan sekolah. Situs juga berada berdekatan dengan jalan raya sehingga membahayakan pejalan kaki yang berjalan di sisi situs.



Jalan Masuk Menuju Pakuan
Temuan jalan masuk menuju Pakuan dilaporkan oleh Abraham van Riebeeck pada tahun 1709 yang datang dari arah Baranangsiang. Riebeeck melaporkan penemuan alun-alun yang di sekelilingnya terdapat 3 pohon beringin yang disebutnya sebagai bitsarboom atau pohon ‘bicara’. Sebutan ini disebabkan rapat umum kerajaan pada jaman dahulu dilakukan di bawah naungan pohon beringin dimana pembesar kerajaan yang akan berbicara berdiri di bawahnya. Saat ini alun-alun yang dideskripsikan Riebeeck adalah Alun-Alun Empang yang dikelilingi bangunan padat penduduk dan dilewati jalur lalu lintas yang ramai setiap harinya.Pembangunan fasilitas umum seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan penambahan pemukiman semakin membuat padat wilayah ini.

Setelah melewati alun-alun tersebut, Riebeeck melewati sebuah parit, kemudian jalanan menanjak yang sempit dan diapit dua parit yang terjal dan dalam. Saat ini jalan yang dilewati Riebeeck adalah Tanjakan Empang-Bondongan dan dua parit terjal tersebut menjadi jalur kereta api dan deretan pemukiman penduduk.




Bekas Parit
Bekas parit ini dilaporkan oleh Abraham van Riebeeck pada tahun 1704. Dalam perjalanannya Riebeeck menemukan batu tinggi berisi tulisan (Prasasti Batutulis) dan 3 buah patung arca (Situs Purwakalih), yang menandakan bahwa Riebeeck telah memasuki kawasan Pakuan. Kemudian Riebeeck mencatat di sebelah barat 3 patung arca tersebut terdapat jalanan menurun terjal menuju Sungai Cisadane. Di sisi jalan tersebut diapit oleh parit yang juga terjal. Saat ini jalanan menurun tersebut adalah Jalan Drs. Saleh Danasasmita dan pada bekas parit kini dibangun jalur rel kereta api Stasiun Batutulis.



Rel kereta api di Jalan Layungsari yang dibangun di bekas parit Pakuan saat ini diapit pemukiman padat penduduk. Jalur kereta masih aktif digunakan, yaitu rute Batutulis-Cianjur-Sukabumi.



Bekas parit yang menjadi pelindung alami kota membentang dari tebing Cipaku menuju rel kereta api Stasiun Batutulis, kemudian membentang melewati belakang Istana Batutulis, Jalan Jerokuta, Taman Makam Pahlawan, Jalan Lolongok, hingga berakhir di wilayah Empang.

Bentangan rel kereta api pada bekas parit Pakuan saat ini diapit oleh pemukiman penduduk dan Sungai Cisadane pada sisi kiri, sementara pada sisi kanan merupakan tebing batu terutama nampak di belakang Istana Batutulis.

Sisa Benteng Pakuan
Sisa benteng pakuan ini dilaporkan oleh Scipio pada tahun 1687. Dalam catatan perjalanannya menuju bekas Kota Pakuan, Scipio menemukan sisa-sisa benteng Pakuan, yaitu tembok yang terbuat dari deretan dan tumpukan batu-batu setinggi 6,8 sampai 10 meter. Batu-batu yang menyusun benteng tersebut merupakan batu sungai. Sisa-sisa benteng ini berlokasi tidak jauh dari Situs Batu Congkrang, yang searah dengan Situs Prasasti Batutulis. Scipio kemudian menyimpulkan bahwa pada jaman Kerajaan Pajajaran untuk memasuki wilayah Pakuan terutama keratonnya harus melalui dua gerbang.



Riebeeck yang memasuki bekas Kota Pakuan dari arah barat laut yaitu dari Empang dan Bondongan menuju Suryakencana dan Sukasari, pada saat ini juga melaporkan keberadaan benteng kota. Benteng ini terbuat dari tanah dan diapit bentangan parit.

Sisa benteng Pakuan yang membentang di Jalan Sukasari dan Jalan Siliwangi saat ini mengelilingi kompleks komersil dan terminal. Fisik benteng mengalami perubahan yaitu adanya tambalan semen pada beberapa tempat. Terdapat pula bangunan semi-permanen seperti tenda warung dan bengkel yang menempel pada sisa benteng. Hal ini membuat fisik benteng kotor dan rusak.



Pada simpang Jalan Pahlawan dan Jalan Batutulis, terdapat bentangan sisa benteng Pakuan yang lokasinya berada di lahan milik pribadi. Gambar 24 menunjukan pagar yang menutupi lahan sekaligus sisa benteng. Di atas sisa benteng saat ini dibangun minimarket yang dikelilingi dinding permanen. Tidak jauh dari lokasi tersebut, tepatnya di Jalan Cendrawasih, Bondongan, terdapat sisa benteng Pakuan dengan struktur serupa. Diatasnya telah dibangun rumah milik pribadi (Gambar 25).



Sementara itu terdapat bentangan sisa benteng Pakuan lainnya yang berada di dalam kompleks militer Sukasari-Lawang Gintung. Sisa benteng ini diapit sungai dan merupakan lokasi padat penduduk. Kondisi fisik benteng mengalami perubahan, yaitu kerusakan di bagian permukaan karena adanya bangunan permanen diatasnya.




Batas Fisik Lanskap Sejarah
Sampai saat ini batas-batas fisik lanskap sejarah peninggalan Pakuan masih sering diperbincangkan. Terdapat berbagai versi peta persebaran yang dibuat oleh Tim  Program  Penataan  dan  Pelestarian  Kota  Pusaka  (P3KP)  pada  tahun  2013,  Zahorka  pada tahun  2007,  dan  Danasasmita  pada  tahun  1980-an.  Masing-masing peta memiliki perbedaan interpretasi terhadap lokasinya, tetapi secara keseluruhan semua  peta  tersebut menggambarkan  delineasi  batas  fisik  lanskap  yang  memiliki nilai signifikansi sejarah.

Tim P3KP menyusun delineasi perkiraan wilayah pusat Kerajaan Pajajaran berdasarkan deskripsi batas-batas fisik peninggalan Pakuan oleh Sarilestari (2009), yaitu sebagai berikut:
  1. pada bagian  barat  berupa  benteng  alam,  yaitu  puncak  tebing  Cipaku yang  curam  sampai  lokasi  Stasiun  Kereta  Api  Batutulis  dan  membentang sepanjang jalur rel kereta api. Bentangan ini sampai ke tebing Cipakancilan setelah  melewati  lokasi  Jembatan  Bondongan  yang  terdapat  di  Kampung Cincau,
  2. pada bagian  timur  berupa  benteng  yang  membentang  sejajar  dengan Jalan  Suryakencana  hingga  ke   Gardu   Tinggi.   Benteng  ini  kemudian mengikuti puncak lembah sungai Ciliwung dan melintasi pertemuan antara Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis, berlanjut hingga sepanjang puncak lereng sungai Ciliwung yang melewati Komplek Perkantoran PAM dan memotong Jalan Pajajaran,
  3. pada bagian utara berupa tebing terjal, yaitu dari ujung lembah sungai Cipakancilan (Kampung Cincau) yang tersambung dengan tebing Gang Beton hingga memotong Jalan Suryakencana, dan pada
  4. bagian selatan berupa benteng yang membentang dari pertemuan Jalan Pajajaran, menembus Jalan Siliwangi, dan terus membentang hingga Kampung Lawang Gintung.


Danasasmita dalam Sejarah Bogor (2012) memetakan delineasi batas fisik peninggalan Kota Pakuan berdasarkan kajian sejarah laporan perjalanan dan naskah kuno. Batas yang dipetakan adalah parit lebar, alun-alun luar, benteng dan keraton Pakuan (Gambar 28). Lebih lanjut Danasasmita mendeskripsikan lokasi batas-batas fisik lanskap namun tidak seluruhnya dipetakan.



Zahorka dalam The Sunda Kingdoms of West Java (2012) memetakan sisa benteng Pakuan berdasarkan peta yang dibuat C.M Pleyte pada tahun 1910 dan dipublikasikan oleh Haan pada tahun 1911 (Gambar 29). Kegiatan turun lapang menunjukkan delineasi yang relevan dan masih dapat dilihat keberadaan fisiknya, walaupun telah mengalami perubahan terutama secara spasial.



Berdasarkan kajian ketiga delineasi tersebut, terdapat beberapa perbedaan pada jenis batas fisik lanskap yang dipetakan maupun keberadaannya. Delineasi yang dipetakan tim P3KP memfokuskan pada batas fisik berupa sisa benteng dan lokasi gerbang Kota Pakuan. Namun keterangan terkait kondisi fisik dan dokumentasinya tidak disertakan, sehingga dalam buku Inventarisasi Aset Pusaka Kota Bogor yang dipublikasikan tahun 2013, sejarah Kota Bogor pada periode kerajaan adalah bagian yang paling singkat dibahas dibandingkan sejarah pada periode setelahnya. Padahal periode ini merupakan periode yang sangat berkaitan dengan perkembangan periode berikutnya.

Delineasi yang dipetakan Zahorka memfokuskan pada batas fisik berupa jalur sisa benteng Pakuan dan dugaan lokasi keraton Pakuan berdasarkan kajian terhadap laporan perjalanan Pirès. Penjelasan delineasi Zahorka terpusat pada kondisi fisik sisa benteng dan situasi di sekitarnya yang telah mengalami perubahan. Pada delineasi yang dipetakan tim P3KP dan Zahorka tidak disertai keberadaan batas fisik lanskap berupa parit. Batas ini berdampingan dengan benteng dan merupakan batas alami yang melindungi keberadaan Kota Pakuan pada masa itu.

Batas fisik lanskap berupa parit dideskripsikan secara rinci oleh Danasasmita dalam kajian yang dilakukannya pada tahun 1980-an. Terdapat keterangan berupa dokumentasi foto yang menampilkan kondisi fisiknya. Selain batas parit, Danasasmita juga mendeskripsikan batas fisik lanskap lainnya yaitu sisa benteng, alun-alun, keraton, tempat penobatan raja, dan gerbang kota. Berdasarkan survei lapang, beberapa batas fisik lanskap masih dapat dilihat keberadaan fisiknya. Sementara itu ada pula yang bentuk fisiknya sudah hilang sama sekali dan hanya dapat dilihat dari dokumentasi Danasasmita, seperti adanya tunggul pohon yang menandakan arah gerbang masuk Pakuan, lokasi kebun kerajaan, dan runtuhan parit, namun tidak ada penjelasan lebih mendetil terkait hal tersebut.

Penjelasan kondisi batas-batas fisik lanskap dibahas secara rinci dan beberapa diantaranya disertai dokumentasi. Survei lapang yang telah dilakukan membuktikan relevansi keberadaan batas fisik pada rentang tahun 1980-an hingga saat ini dan dalam rentang tersebut terdapat perubahan baik pada kualitas fisik maupun kualitas lingkungan di sekitarnya.

Untuk menilai tingkat reliabilitas dari pustaka Tim P3KP, pustaka Zahorka, dan pustaka Danasasmita tersebut, dilakukan pengkajian menggunakan metode Analisi Isi. Masalah yang dikaji adalah pustaka manakah yang frekuensi kemunculan kata-kata batas fisik lanskap tinggi. Serta pustaka manakah yang tidak membahas kata tertentu. Kata-kata tersebut adalah titik-titik batas yang membentuk delineasi wilayah kekuasaan Pakuan, yaitu 1) gerbang menuju keraton, 2) tempat penobatan raja, jalan masuk menuju Pakuan, 4) bekas parit, dan 5) sisa benteng Pakuan. Keseluruhan batas berasal dari periode yang sama, yaitu pada saat Kota Bogor masih merupakan ibukota Kerajaan Pajajaran.

Dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan di antara ketiga pustaka tersebut. Tim P3KP tidak membahas keberadaan Gerbang Menuju Keraton, Tempat Penobatan Raja, dan Jalur Parit. Begitu pula dengan pustaka Zahorka yang tidak membahas Gerbang Menuju Keraton dan Jalur Parit.

Zahorka memfokuskan pada batas fisik berupa jalur sisa benteng Pakuan dan dugaan lokasi keraton Pakuan berdasarkan kajian terhadap laporan perjalanan Pirès. Penjelasan delineasi Zahorka terpusat pada kondisi fisik sisa benteng dan situasi di sekitarnya yang telah mengalami perubahan. Pada delineasi yang dipetakan tim P3KP dan Zahorka tidak disertai keberadaan batas fisik lanskap berupa parit. Batas ini berdampingan dengan benteng dan merupakan batas alami yang melindungi keberadaan Kota Pakuan pada masa itu. Batas ini dideskripsikan secara rinci oleh Danasasmita dalam kajian yang dilakukannya pada tahun 1980-an.

Secara keseluruhan yang dipetakan Danasasmita terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Benteng Kota Dalam, Benteng Kota Luar, dan Parit. Terdapat keterangan berupa dokumentasi foto yang menampilkan kondisi fisiknya. Selain batas parit, Danasasmita juga mendeskripsikan batas fisik lanskap lainnya yaitu sisa benteng, alun-alun, keraton, tempat penobatan raja, dan gerbang kota. Berdasarkan survei lapang, beberapa batas fisik lanskap masih dapat dilihat keberadaan fisiknya. Sementara ada pula yang bentuk fisiknya sudah hilang sama sekali dan hanya dapat dilihat dari dokumentasi Danasasmita, seperti adanya tunggul pohon yang menandakan arah gerbang masuk Pakuan, lokasi kebun kerajaan, dan runtuhan parit. Pustaka Danasasmita menjadi pustaka yang relevansi informasi di dalamnya tinggi sehingga informasi tersebut menjadi reliable (dapat dipercaya). Hal ini dibuktikan dengan intensitas penyebutan kata-kata kelima batas fisik lanskap itu tinggi dan keseluruhannya dibahas secara mendetil.

Objek Lanskap Sejarah
Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran sejarah dan observasi lapang, jenis objek peninggalan bersejarah pada lanskap sejarah periode kerajaan di Kota Bogor, dengan fokus pada Kelurahan Batutulis yaitu berupa prasasti, batu congkrang, batu disolit, arca, dan makam. Terdapat sejumlah 5 objek, yaitu Situs Prasasti Batutulis, Situs Arca Purwagalih, Situs Batu Congkrang, Situs Kupalandak, Situs Ranggapati, dengan status sudah terdaftar sebagai Situs Cagar Budaya oleh pihak Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor. Situs-situs ini memiliki keterkaitan informasi sejarah yang terkandung di dalamnya. Selain itu terdapat 1 objek yaitu pasangan batu disolit di Gang Amil, yang merupakan potensi untuk dijadikannya Benda Cagar Budaya. Objek ini juga mengandung informasi yang berkaitan dengan situs-situs yang telah disebutkan.

Situs Cagar Budaya
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu (Bappeda Kota Bogor 2014). Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat 5 objek sejarah pada periode Kerajaan Pajajaran yang berada dalam pengawasan dan pengelolaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor serta bekerjasama dengan masyarakat sekitar.

Situs Prasasti Batutulis
Batas fisik lanskap ini dilaporkan oleh Adolf Winkler pada tahun 1690. Winkler bersama pasukannya memasuki bekas Kota Pakuan di wilayah Batutulis dari arah Tajur. Di daerah ini Winkler menemukan sebuah jalan berbatu yang tersusun rapi dan membentang menuju ke sebuah pasèban atau balai untuk menghadap raja. Pada balai tersebut ditemukan 7 pohon beringin dan sepasang disolit yang yang digunakan sebagai tempat duduk pengawal kerajaan. Saat ini, lokasi tempat yang dideskripsikan Winkler adalah Gang Amil di Jalan Batutulis. Gang Amil diapit infrastruktur bangunan dan letaknya berdampingan dengan jalan raya. Letak disolit tidak jauh dari mulut gang dan berada di dalam rumah salah seorang penduduk.

Situs Prasasti Batutulis terletak di Jalan Batutulis Nomor 54, Kelurahan Batutulis dan berhadapan dengan Istana “Hing Puri Bima Sakti” peninggalan Ir. Soekarno. Letak situs ini berada di tepi jalan dan tidak ada batas antara jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan. Papan informasi situs juga terletak di tepi jalan, sehingga untuk bisa membacanya dengan jelas harus dari seberang jalan. Sementara itu lalu lintas di sekitar situs merupakan lalu lintas padat karena berdekatan dengan pabrik, perumahan, dan sekolah sehingga pada jam-jam tertentu jalanan tertutup oleh banyaknya kendaraan bermotor.

Prasasti Batutulis merupakan sakakala (tanda peringatan) untuk memperingati prebu (prabu) raja. Prasasti ini dibuat setelah Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi wafat. Pembuatannya bertujuan untuk mengabadikan riwayat dan kebesaran Prabu Siliwangi serta dalam rangka upacara srada atau upacara untuk menyempurnakan jiwa seseorang yang telah meninggal dunia. Anggapan terhadap adanya hubungan spiritual antara situs Prasasti Batutulis dengan Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi hingga saat ini masih dipercaya tidak hanya oleh masyarakat sekitar, namun oleh para pendatang dari luar Kota Bogor yang rutin berziarah.

Terdapat 15 benda peninggalan berupa batu yang tersebar di komplek situs ini. Sebanyak 6 batu berada di dalam cungkup, 1 batu di luar cungkup, 2 batu di serambi, dan 6 batu di halaman. Jenis batu-batu tersebut adalah menhir, menhir bulat, disolit, meja batu berundak, petak berbatu dengan dua buah menhir, dan petak segi empat yang ditinggikan (Danasasmita 2014).

Pada tahun 1975 dilakukan pemugaran berdasarkan konsep yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Bogor. Pemugaran ini telah disetujui oleh Kepala Direktorat Sejarah dan Purbakala. Bagian-bagian yang dipugar adalah pagar besi, tembok, dinding cungkup, dan atap cungkup. Namun pada saat pelaksanaan pemugaran, konsep yang telah diajukan tidak seluruhnya dilaksanakan sehingga tata letak benda-benda tersebut berbeda antara awal ditemukan dan pada saat ini.

Keberadaan situs Prasasti Batutulis tidak terlepas dari keberadaan Prabu Siliwangi yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran. Prabu Siliwangi dianggap telah menjadi tokoh legenda bagi masyarakat Sunda hingga saat ini. Kalangan tertentu masyarakat Sunda saat ini masih memiliki kepercayaan bahwa Prabu Siliwangi secara rohaniah masih berada di wilayah Tatar Sunda, sehingga jejak-jejak peninggalannya terutama di situs Prasasti Batutulis, rutin dilakukan ziarah oleh para pengunjung.

Penghormatan terhadap kebesaran nama Prabu Siliwangi kemudian diabadikan dalam bentuk penggunaan nama lembaga, organisasi, bangunan, dan tempat-tempat lainnya seperti: lambang harimau (sebagai jelmaan Prabu Siliwangi) pada KODAM III Siliwangi, lambang kesatuan Tentara Nasional Indonesia di wilayah Jawa Barat dan Banten, lambang Universitas Padjajaran, Universitas Siliwangi, Universitas Galuh, Universitas Pakuan, serta berbagai organisasi budaya Sunda.

Situs Arca Purwagalih
Situs Arca Purwagalih terletak di tepi jalan pada simpang Jalan Batutulis dan Jalan Lawang Gintung, sekitar 200 meter dari arah selatan Situs Prasasti Batutulis. Situs ini ditemukan pada tahun 1991 ketika dilaksanakan proses penggalian tanah dan pelebaran jalan. Menurut masyarakat sekitar, lokasi situs ini merupakan pintu masuk ke keraton Pakuan. Selain berada di simpang jalan, lokasi situs ini terhalang pohon besar dan semak. Papan informasi terpasang menjulang tinggi sehingga cukup sulit membaca informasi yang tertera di dalamnya. Dinding yang membatasi situs ini dengan bangunan di sekitarnya mengalami kerusakan dan lapuk.



Objek peninggalan bersejarah pada situs ini terdiri dari menhir pendek bercorak megalitik, batu datar, dan 3 patung polinesis. Patung-patung ini disebut dalam naskah Babad Pajajaran dan kemudian disadur dalam bentuk tembang atau puisi pada tahun 1862.Salah satu patung tersebut berbentuk tanpa kepala dan patung inilah yang disebut Embah Purwagalih. Dua patung sisanya yang lebih kecil masing-masing disebut Embah Gelap Nyawang dan Embah Kidang Pananjung (Danasasmita 2014).

Situs Batu Congkrang
Situs Batu Congkrang terletak di simpang Jalan Batutulis dan Jalan Bale Kambang. Menurut masyarakat yang tinggal di daerah Bale Kambang, batu ini merupakan batu milik Karamat Embah Congkrang atau Karamat Prabu Guntur (Danasasmita 2014). Lokasi situs ini terletak di tepi jalan, di depan rumah seorang penduduk, dan hanya dibatasi oleh pagar besi. Papan informasi situs mengalami kerusakan di bagian tiang sebelah kiri. Kondisi di dalam situs tidak terawat dan tidak nampak adanya juru kunci yang rutin membersihkan situs. Suasana gelap, terdapat banyak sampah, dan papan informasi yang rusak dibiarkan di pojok ruangan.

Situs Kupalandak
Situs Kupalandak merupakan sebuah makam yang terletak di Kampung Kebon Pala, tidak jauh dari Situs Ranggapati dan Situs Prasasti Batutulis. Lokasinya berdekatan dengan rumah penduduk dan komplek perumahan Batutulis Mansion yang masih dalam tahap pembangunan. Pihak pengembang Batutulis Mansion membangun pembatas berupa dinding setinggi 3 meter namun tanpa pintu masuk, sehingga untuk dapat berkunjung ke situs ini harus melewati gang yang melewati rumah penduduk Kampung Kebon Pala. Sementara itu pembangunan akses menuju situs dan pintu masuknya dilakukan sepenuhnya oleh pihak penduduk Kampung Kebon Pala.

Situs ini berada di dalam lahan persegi berukuran 4 x 3 meter. Objek utama di Situs Kupalandak berupa teras berundak sebanyak dua tingkat dan keseluruhan sisinya telah disemen. Bagian teras atas ditutupi batu berukuran panjang 160 sentimeter dan lebar 70 sentimeter. Di atas undakan tersebut ditumbuhi pohon jengkol (Archidendron pauciflorum).

Dahulu di lokasi ini terdapat sebuah arca yang hilang pada tahun 1970-an. Arca tersebut mirip dengan salah satu arca yang berada di Situs Arca Purwagalih. Toponim kupa landak yang melekat sebagai nama situs ini berasal dari nama tanaman kupa landak (Eugenia edulis Vell.), yaitu tanaman kayu yang memiliki buah mirip anggur. Masyarakat Kampung Kebon Pala mengatakan bahwa dulu di lokasi situs terdapat pohon kupa landak yang sangat besar, kemudian pohon tersebut mati dan digantikan dengan pohon jengkol saat ini (Astari 2014).

Juru kunci Situs Kupalandak mengatakan bahwa situs ini masih memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Pajajaran terutama Prabu Siliwangi yang pernah memerintah di Pakuan. Makam di situs ini adalah makam milik Eyang atau Kakek Kupalandak, salah satu tangan kanan yang dipercaya oleh Prabu Siliwangi pada masa pemerintahannya di Kerajaan Pajajaran.

Situs Ranggapati
Situs Ranggapati merupakan sebuah makam yang terletak di kompleks Gudang Elpiji di Jalan Batutulis, tidak jauh dari Gereja Bethel Indonesia Elohim. Kompleks situs ditanami deretan pohon jati (Tectona grandis) tepat di depan pintu masuk situs. Pada bagian sebelah kiri dari pintu masuk situs, terdapat tumpukan sampah organik dan non-organik. Sampah-sampah ini sebagian berasal dari para peziarah yang datang berkunjung. Situs ini berada di dalam sebuah ruangan berdinding sederhana, beberapa bagian dinding tampak lapuk dan berlumut karena kurang sorotan sinar matahari. Pada bagian luar terdapat pagar berbahan material besi yang mengelilingi dinding situs dan di beberapa bagian pagar terdapat tindak vandalisme.

Situs ini terdiri dari 7 buah batu tegak bercorak megalitik, yaitu 2 batu berukuran besar, 3 batu berukuran sedang, dan 2 batu berukuran kecil. Masing-masing batu dibungkus kain putih. Adanya bekas sesajen berupa bunga-bunga, dupa atau hio, dan kendi air mengindikasikan bahwa kegiatan spiritual masih dilakukan umumnya oleh para peziarah dari Kota Bogor. Menurut juru kunci situs, peziarah datang paling banyak menjelang bulan Ramadhan. Nama Ranggapati (sering disebut Eyang atau Embah Ranggapati) sendiri diambil dari nama salah satu tangan kanan kepercayaan Prabu Siliwangi pada masa pemerintahannya di Pakuan.

Potensi Benda Cagar Budaya
Terdapat sepasang batu disolit yang berada di dalam sebuah rumah penduduk keturunan  etnis  Tionghoa  di  Gang  Amil,  Jalan  Batutulis,  dan  hanya  berjarak beberapa   meter   dari   Situs   Prasasti   Batutulis.   Menurut   Danasasmita   (2014), pasangan batu disolit Gang Amil terdiri atas sebuah menhir persegi lima alami dan sebuah stone slabatau batu pipih yang berada berdampingan dengan menhir.

Gang Amil sebenarnya merupakan sebuah peninggalan sejarah Kota Bogor pada periode kerajaan. Danasasmita dalam bukunya mengutip laporan Winkler, yaitu disebutkan bahwa Winkler menemukan sebuah jalan yang dikeraskan dengan jajaran batu yang rapi menuju ke bekas paseban. Paseban dalam bahasa Sunda berarti ‘balai untuk menghadap raja’ atau ‘balai penghadapan’. Pasangan disolit di Gang Amil sendiri merupakan tempat duduk dan bertapa para pengawal bangsawan kerajaan.

Dalam kajian mengenai lokasi keraton Pakuan, keraton ini berada dekat dengan Prasasti Batutulis dan pasangan disolit sebagai penanda gerbang masuk keraton. Pada sisi gerbang masuk terdapat deretan 7 pohon beringin yang mengindikasikan bahwa akhir dari deretan tersebut adalah lokasi keraton Pakuan.

Kondisi Gang Amil pada saat ini merupakan gang dengan deretan perumahan padat penduduk. Tidak ada papan informasi yang menunjukkan keberadaan pasangan batu disolit Gang Amil, serta tidak pula terdaftar dalam data persebaran benda bersejarah di Disbudparektif Kota Bogor karena keberadaannya merupakan milik pribadi. Menurut penduduk sekitar, masih banyak rumah penduduk yang di dalamnya terdapat batu-batu serupa. Pasangan batu disolit ini memiliki potensi untuk dijadikan Benda Cagar Budaya sesuai kriteria Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Persebaran Objek Lanskap Sejarah
Periode Kerajaan di Kota Bogor memiliki objek-objek berupa situs bersejarah. Seluruh objek yang terdata dan dikaji dalam penelitian ini terdapat di wilayah Kelurahan Batutulis dengan Situs Prasasti Batutulis dianggap menjadi pusatnya. Hal ini disebabkan, pada masa Kerajaan Pajajaran, situs tersebut adalah tempat bagi para raja untuk memuja dewa dan sebagai balai berkumpul pada saat peristiwa penobatan raja. Objek selain Situs Prasasti Batutulis yang tersebar di sekelilingnya, seluruhnya masih memiliki keterkaitan sejarah. Pada gambar berikut ini (Gambar 42) adalah peta persebaran objek pada lanskap sejarah di wilayah Kelurahan Batutulis.

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa keberadaan objek lanskap sejarah berada di tengah-tengah laju pesat pembangunan dan juga pemukiman padat penduduk. Hal ini mengakibatkan keberadaanya sulit terlacak, didukung dengan rendahnya kelengkapan dan kualitas fasilitas pendukung, seperti adanya papan yang rusak, papan yang terhalang pohon, informasi yang terlalu dekat dengan jalan sehingga menyulitkan orang yang ingin membacanya, dan tidak adanya juru kunci.

Selain objek-objek tersebut, karakter penyusun pada lanskap sejarah dapat diperkuat dengan adanya batas fisik lanskap. Keberadaan batas fisik lanskap sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena batas fisik lanskap pun memiliki keterkaitan sejarah pada periode yang sama dengan objek lanskap sejarah. Perlakuan yang tepat untuk mempertahankan batas fisik lanskap dibutuhkan untuk menjadikannya dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya, dan dapat pula membantu pihak pemerintah dalam mengembangkan Kota Pusaka pada aset pusaka periode Kerajaan. Berikut ini adalah peta nomor 1, yaitu Peta Delineasi Wilayah Bekas Kota Pakuan.

Sumber: “Evaluasi Pelestarian Lanskap  Sejarah  Periode  Kerajaan   Terhadap  Kesiapan  Bogor   Sebagai  Kota Pusaka” oleh Astrie Syahrina Ramadhanti. Skripsi 2015. Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor.

Bacaan lebih lanjut: Zahorka, Herwig. 2007. "The Sunda kingdoms of West Java : from Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the royal center of Bogor : over 1000 years of prosperity and glory". Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka
Baca Juga

Sponsor