[Historiana] - Beberapa artikel mengenai Sanghyang Hayu telah ada di blog Historiana ini. Diantaranya: "Naskah Sanghyang Hayu | Naskah Sunda Kuno" dan "Naskah Kuno Asli Nipah, Kropak 24 Sanghyang Hayu (Sa Hya Hayu?) | Naskah Jawa Kuno". Naskah Sunda Kuno yang berjudul Sang Hyang Hayu berbahan daun nipah ditulis pada tahun panyca warna catur bumi (1445 Saka/1523 Masehi).
Berikut ini, kami mengutip tulisan Undang A. Darsa pada lama naskah-sunda.blogspot.com Laman ini dikelola oleh Filolog muda Aditia Gunawan. Karya ini dipublikasikan pada Jurnal Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara) Vol. 1 No. 2 Tahun 2010. Artikel itu berjudul "Sang Hyang Hayu; Sebuah Pengetahuan Tentang Kabajikan". Berikut petikannya
Manusia pada dasarnya terikat erat pada alam semesta dan memiliki pandangan akan adanya hubungan secara timbal balik dengan alam semesta. Pandangan demikian, antara lain, tampak dalam masyarakat Sunda sebagaimana digambarkan dalam salah satu teks khazanah naskah Sunda Kuno yang berjudul Sang Hyang Hayu. Naskah tersebut kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan kode kropak: Br.634 (Serat Catur Bumi), Br.636 (Serat Buwana Pitu), Br.637 (Serat Sewaka Darma), dan Br.638 (Serat Dewa Buda). Keempatnya berbahan nipah ditulis dalam model aksara Gunung dengan tinta. Pada tahun 1988, Ayatrohaédi melakukan transliterasi dan terjemahan Br.638. Dilihat dari nama yang tertempel pada tiap-tiap kropak jelas berbeda judulnya, namun ketika dibaca keempat kropak itu isinya sama, semua diawali dengan Ndah Sang Hyang Hayu ‘Inilah Pengetahuan Tentang Kebajikan’. Di antara keempat kropak itu hanya satu yang secara jelas mencantumkan angka tahun, yaitu Br.634: panyca warna catur bumi (1445 Saka/1523 Masehi). Naskah Sang Hyang Hayu ini terdapat pula dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut.
Menurut teks naskah Sang Hyang Hayu, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan. Ini menggambarkan bahwa, konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis cenderung bersifat triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’. Dalam tatanan ini, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.
Menurut teks naskah Sang Hyang Hayu, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan. Ini menggambarkan bahwa, konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis cenderung bersifat triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’. Dalam tatanan ini, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.
Susunan Ruang
Teks Sang Hyang Hayu diawali dengan seruan Sang Pembicara kepada para pendengarnya, khususnya kepada para pencari ilmu pengetahuan supaya dapat menyimak secara sungguh-sungguh mengenai pokok cerita dari ajaran suci yang dituturkan seorang mahaguru (wiku). Pembicaraan diawali dengan asal mula penciptaan terjadinya para dewa golongan Siwais (Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa) maupun golongan Resi yang dikenal dengan istilah Pancakusika (Kusika, Garga, Mestri, Kurusya, dan Patanjala), aneka ragam Buda, dan termasuk ruh-ruh jahat (yaksa ‘raksasa jahat setengah dewa’, pisaca ‘kuraci, setan’, prata ‘hantu’, buta ‘raksasa rakus’ pitara ‘arwah leluhur gentayangan’).Menurut tuturan para leluhur, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia bawah, saptapatala ‘tujuh neraka’, (2) buhloka adalah bumi tempat kita berada saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‘tujuh sorga’. Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada, yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’.
Saptapatala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas tujuh neraka: patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala ‘neraka terdalam yang sangat mengerikan’. Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas tujuh sorga: buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta artaloka ‘sorga tertinggi’.
Setelah saptabuana masih ada tempat tujuh susun yang bersuasana “sunyi-hampa”, yaitu sunya, atisunya, paramasunya, atyantasunya, nirmalasunya, suksmasunya, dan acintyasunya. Di atasnya lagi adalah tujuh susun yang berupa tempat “kesirnaan-lenyap”, yaitu taya, atitaya, paramataya, atyantataya, nirmalataya, suksmataya, dan acintyataya.
Kemudian, di atas tempat tersebut masih ada tempat yang dinamakan abyantarataya ‘bagian terdalam kesirnaan’. Abyantarataya artinya tidak dapat terjangkau oleh cahaya bintang, rembulan, matahari, pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh ‘partikel-partikel kecil, atom’, dan berbagai suara mahluk hidup. Semua itu tidak akan pernah sampai ke sana.
Setelah abyantarataya adalah pancatanmantra ‘lima unsur halus’ yang terdiri atas buddi ‘bijak’, guna ‘pandai’, pradana ‘saleh’. Di atas itu terdapat sunyataya nirmala ‘kesunyisenyapan suci abadi’; dan berakhir pada kanirasrayan ‘kemahakuasaan/kebebasan tertinggi’, yakni “takdir”.
Hal tersebut adalah salah satu tugas para mahaguru untuk menjelaskannya kepada pencari pengetahuan, di samping terus berlomba dalam belajar serta beribadah demi mencapai kesempurnaan hidup, baik di sakala ‘dunia kini’ maupun di niskala ‘akhirat kelak’. Pada bagian berikutnya ditegaskan bahwa tidak ada lagi tempat selain yang telah disebutkan tadi.
Alam semesta ini pada kenyataannya tanpa batas. Yang namanya arah penjuru mata angin (utara – timurlaut – timur – tenggara – selatan – baratdaya – barat – baratlaut), atas maupun bawah itu hakikatnya hanya ada dalam angan-angan. Di dalam angan-angan itu pulalah bahwa sorga itu adanya di atas, tempat para ruh halus, seperti ruh para mahluk suci, ruh para leluhur, dan ruh para pemimpin yang saleh.
Tigarahasia
Para pandita ‘kaum cendikia’ menyerukan kepada semua manusia untuk senantiasa memperhatikan Sang Hyang Darma ‘Kitab Suci Petunjuk Keadilan’. Ada prinsip tigarahasya penting yang mesti diketahui dengan susunan sebagai bertikut:- Brahma – Wisnu – Iswara;
- Buddi – Guna – Pradana. Kedua susunan ini dinamakan Triyantahkarana ‘pancaindera terdalam’. Kemudian adalah
- Prabu – Rama – Resi, yang disebut tritangtu di buana ‘tiga pelaksana ketentuan di alam dunia’. Berikutnya ialah
- Darmakaya – Darmadatu – Darmatar;
- Kaya – Wak – Citta;
- Darma – Buda – Sangga;
- Pratiwi – Akasa – Antara;
- Mata – Talinga – Tutuk;
- Ulah – Sabda – Ambekrahayu;
- Sunyataya Paramarta – Linglanghening – Nirawarana;
- Sekul – Twak – Iwakiwak.
Setiap manusia harus dapat melepaskan diri dari kebodohan. Lihatlah ahli bangunan, pelukis, pemahat, perangkai bunga, dan pekerja lainnya, termasuk pula bermacam ajian berupa ayat-ayat suci dan doa-doa. Semua itu adalah kepandaian yang harus dianggap sebagai pangkal ilmu pengetahuan. Inilah yang dinamakan Sang Hyang Ajnyana ‘Ilmu Pengetahuan’ yang harus dicari para siswa, yang pada hakikatnya sudah ada di dalam setiap diri manusia, hewan, tumbuhan, serta seluruh benda di jagat ini.
Bayu, Sabda, Hedap
Ajnyana itu sendiri sesungguhnya merupakan jelmaan dari Tigajnyana yang terdiri atas: (1) A simbol dari bayu ‘angin’ yang keluar-masuk melalui hidung hakikatnya sebagai nafas; (2) Jnya simbol dari sabda ‘bunyi ucapan’ yang biasa terdengar hakikatnya merupakan peringatan; (3) Na simbol dari hedap ‘itikad hati nurani’ yang dapat menjangkau apa saja dan mampu menjelajah ke mana pun tanpa mengalami kesulitan, bahkan sanggup menembus Saptapatala, Saptabuana, dan sebagainya. Inilah yang namanya angan-angan atau pikiran.Tanpa bayu, sabda, dan hedap manusia seolah-olah hanyalah bangkai-bangkai yang lama-kelamaan busuk dan hancur. Segala mahluk beserta alam semesta ini hakikatnya ialah jelmaan tigarahasya dari unsur bayu sabda hedap yang bisa melenyapkan kebingunan dan kebodohan, dapat menyingkirkan sifat-sifat tamak, dendam, iri dan dengki. Bayu sabda hedap harus digunakan untuk mempelajari kitab suci dan melaksanakan syariat peribadatan sehingga akan tercapai suatu kekuatan dan kemuliaan.
Bagi para mahaguru, Sunyataya Paramarta Wisesa ‘Keagungan Keheningan Alam Sirna Abadi’ adalah tempat pengobar bayu guna melenyapkan kebingungan, kenikmatan tidur, dan nafsu birahi. Sedangkan Ajimantra Barali ‘Petunjuk Puja Illahi’ adalah alat pengobar sabda tatkala melantunkan ayat-ayat kitab suci. Kemudian, Yogasamadi ‘Kekhusukan’ merupakan upaya pengobar hedap untuk mengagungkan Sang Khalik.
Bagi para mahaguru, Sunyataya Paramarta Wisesa ‘Keagungan Keheningan Alam Sirna Abadi’ adalah tempat pengobar bayu guna melenyapkan kebingungan, kenikmatan tidur, dan nafsu birahi. Sedangkan Ajimantra Barali ‘Petunjuk Puja Illahi’ adalah alat pengobar sabda tatkala melantunkan ayat-ayat kitab suci. Kemudian, Yogasamadi ‘Kekhusukan’ merupakan upaya pengobar hedap untuk mengagungkan Sang Khalik.
Adapun bayu itu mengandung makna yang sangat luas. Bayu itu tidak terbatas tempatnya. Bayu itu adalah segala yang terasa dan teraba. Megenai peristilahan maupun pengertiannya dapat dipelajari dalam Dasanama Pariyaya ‘Kamus Istilah’. Dari sekian banyak istilah tentang bayu, di antaranya dapat digolongkan menjadi:
Berbagai istilah serta keterangan mengenai hedap terinci dalam Dasanama Pariyaya. Kita tak usah bingung dengan istilah-istilah, seperti: hedap ‘kalbu’, angen-angen ‘angan-angan’, kira-kira ‘dugaan’, upaya ‘akal’, cintya ‘asmara, birahi’, budi ‘perilaku’, manah ‘hati’, pratijnya ‘janji’, smita ‘senyuman’, atma ‘jiwa’, paratma ‘jiwa tertinggi’, suksmatma ‘jiwa halus’, dan sebagainya.
- Pancabayu dengan urutan: (a) prana ‘hidup’, yakni bayu yang keluar dari kepala; (b) apana ‘nafas’, yakni bayu yang keluar dari dubur dan alat kelamin; (c) samana ‘nyawa’, yakni bayu yang keluar dari hati; (d) byana ‘sukma’, yakni bayu yang keluar dari bulu roma; dan (e) udana ‘angin’, yakni bayu yang keluar dari ubun-ubun.
- Bayulanggeng ialah bayu yang berada di tempat terdalam.
- Angin ialah bayu yang berhembus.
- Riwut ialah bayu yang meniup deras.
- Bayusedung ialah bayu yang memporakporandakan.
- Haliyusus ialah bayu yang berputar-putar menyapu segala benda.
- Wagyut ialah bayu yang menyertai hujan.
- Ampuhan ialah bayu yang menyertai gelombang di laut.
- Maruta ialah bayu yang menerjang hebat.
- Pawana ialah bayu yang meniupkan wewangian.
- Ambekan ialah bayu yang keluar-masuk hidung.
- Dewamasih ialah bayu yang menggetarkan ruh.
- Hurippurusa ialah bayu yang tinggal diam berkuasa di dalam tubuh.
- Windupepet ialah bayu.yang digerakan di dalam tubuh.
- Mretumbayu sangkreti ialah bayu menebarkan angin kenangan.
- Windunada ialah bayu yang menyerukan tiga suku kata suci di dunia nyata, biasa dinamakan heubheub ‘tempat bernaung’.
- Windurahasya ialah bayu yang tinggal menjelma dalam indera.
- Pinggala ialah bayu penghantar kehidupan dan kematian.
- Susumena ialah bayu yang hadir dan mengganggu dalam tidur sebagai mimpi, berkelap-kelip seperti kunang-kunang.
Berbagai istilah serta keterangan mengenai hedap terinci dalam Dasanama Pariyaya. Kita tak usah bingung dengan istilah-istilah, seperti: hedap ‘kalbu’, angen-angen ‘angan-angan’, kira-kira ‘dugaan’, upaya ‘akal’, cintya ‘asmara, birahi’, budi ‘perilaku’, manah ‘hati’, pratijnya ‘janji’, smita ‘senyuman’, atma ‘jiwa’, paratma ‘jiwa tertinggi’, suksmatma ‘jiwa halus’, dan sebagainya.
Hedap juga seperti bayu dan sabda, tanpa batas. Hedap itu ketika digunakan untuk: melihat keluar dari mata, mendengan keluar dari telinga, mencium keluar dari hidung, merasa keluar dari lidah, dan meraba keluar dari kulit. Hedaplah yang membuat sesuatu hadir dan sirna dalam mimpi.
Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung; lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar, terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat digunakan untuk melihat, mendengan, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap tak pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak bersisa.
Pratiwi dan sarira disimbolkan sebagai Bujangga. Buh ialah pratiwi, angga ialah sarira; juga buh ialah sarira dan angga ialah pratiwi. Jadi, semua pratiwi adalah sarira. Pratiwi terbalik ialah tanah, dan pratiwi bergerak ialah sarira. Inilah arti sesungguhnya dari pengetahuan yang dinamakan Syaku ‘Yang mengakui tak terakui’. Meleburnya antara Syaku dengan bayu sabda hedap adalah menjadi Syanu yang disebut Sang Ywaga ‘cikal bakal’.
Syanu adalah pembangkit kenikmatan dan manfaat bagi pasangan ayah-ibu yang mana pun, yang kelak menjelma menjadi penghuni dunia. Syanu adalah sastra ‘buku petunjuk’ yang tak dipelajari, guru yang tak bisa ditanya, dan diri di dalam dirinya sendiri.
Bayu sabda hedap adalah batas dari segala yang terasa, teraba, dan terdengar. Sementara Syanu sama sekali tidak berada di antara batas itu dan dia memiliki tidak dimiliki. Syanu adalah ayah, ibu, dan anak sekaligus yang akan tersusun menjadi pria maupun wanita. Syanu diibaratkan pandita yang memberi kesempurnaan lewat Sang Hyang Darma ‘Hukum Keadilan’. Syanu pada hakikatnya adalah cikal bakal atas kehendak Sang Manon yang tergenggam dan menggenggam.
Adapun Sang Manon itu memiliki sebelas sifat, yaitu: (1) acintya ‘tak terperkirakan’, (2) adresya ‘tak terjangkau penglihatan’, (3) abyapadesa ‘tak terketahui tempatnya’, (4) adwaya ‘tak ada duanya’, (5) awijnyana ‘mahapandai, tak terjangkau oleh ilmu pengetahuan’, (6) awimohita ‘tak kebingungan’, (7) awarna ‘tak berwujud rupa, bentuk, jenis kelamin’, (8) awasta ‘tak berasal-usul’, (9) awacya ‘tak terkatakan’, (10) prabutarebawa ‘raja dari segala raja mahakuasa’, dan (11) atyantarebawa ‘mahakekal abadi’.
Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung; lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar, terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat digunakan untuk melihat, mendengan, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap tak pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak bersisa.
Haikat Kebendaan
Buana adalah bumi dan angkasa, sedangkan sarira adalah semua yang ada di bumi dan di angkasa serta di antara keduanya. Sarira di angkasa adalah benda-benda langit, seperti bulan, bintang, matahari, dan planet-planet lainnya pengisi jagat raya. Sarira di bumi adalah benda-benda bumi, seperti air, gunung, samudra, manusia, binatang, tumbuhan, dan sebagainya. Semua itu ialah Sang Hyang Ajnyana ‘sumber ilmu pengetahuan’.Pratiwi dan sarira disimbolkan sebagai Bujangga. Buh ialah pratiwi, angga ialah sarira; juga buh ialah sarira dan angga ialah pratiwi. Jadi, semua pratiwi adalah sarira. Pratiwi terbalik ialah tanah, dan pratiwi bergerak ialah sarira. Inilah arti sesungguhnya dari pengetahuan yang dinamakan Syaku ‘Yang mengakui tak terakui’. Meleburnya antara Syaku dengan bayu sabda hedap adalah menjadi Syanu yang disebut Sang Ywaga ‘cikal bakal’.
Syanu adalah pembangkit kenikmatan dan manfaat bagi pasangan ayah-ibu yang mana pun, yang kelak menjelma menjadi penghuni dunia. Syanu adalah sastra ‘buku petunjuk’ yang tak dipelajari, guru yang tak bisa ditanya, dan diri di dalam dirinya sendiri.
Bayu sabda hedap adalah batas dari segala yang terasa, teraba, dan terdengar. Sementara Syanu sama sekali tidak berada di antara batas itu dan dia memiliki tidak dimiliki. Syanu adalah ayah, ibu, dan anak sekaligus yang akan tersusun menjadi pria maupun wanita. Syanu diibaratkan pandita yang memberi kesempurnaan lewat Sang Hyang Darma ‘Hukum Keadilan’. Syanu pada hakikatnya adalah cikal bakal atas kehendak Sang Manon yang tergenggam dan menggenggam.
Adapun Sang Manon itu memiliki sebelas sifat, yaitu: (1) acintya ‘tak terperkirakan’, (2) adresya ‘tak terjangkau penglihatan’, (3) abyapadesa ‘tak terketahui tempatnya’, (4) adwaya ‘tak ada duanya’, (5) awijnyana ‘mahapandai, tak terjangkau oleh ilmu pengetahuan’, (6) awimohita ‘tak kebingungan’, (7) awarna ‘tak berwujud rupa, bentuk, jenis kelamin’, (8) awasta ‘tak berasal-usul’, (9) awacya ‘tak terkatakan’, (10) prabutarebawa ‘raja dari segala raja mahakuasa’, dan (11) atyantarebawa ‘mahakekal abadi’.
Syanu adalah mokta jiwa ‘jiwa bebas’ karena berada dalam dirinya sendiri, namun terpusatkan ke dalam Sang Manon. Ketika Syanu menjelma dalam wujud kasar, ketika itu pula dia mengalami suka-duka, lapar-kenyang, tua-mati. Dalam keadaan sengsara derita, Syanu terkena oleh pancagati sangsara (panca ‘lima’, agati ‘rasa derita’, sangsara ‘kesengsaraan’). Ini artinya menunjukkan adanya konstelasi sebagai berikut: (1) Buwana adalah tempat dia berpijak; (2) Sarira adalah tempat penjelmaannya; (3) Bayu adalah penyebab derita, ibarat air neraka; (4) Sabda adalah penyebab perkataan dosa, ibarat api neraka; (5) Hedap adalah angan-angan jahat, ibarat panas neraka.
Sandi adalah tutur yang hakikatnya sebagai peringatan. Sifatnya tidak salah tumbuh, tidak salah wujud, dan tidak salah rasa. Buktinya manusia melahirkan manusia, ayam beranak ayam, begitu pula tanaman tidak salah berbuah. Dengan demikian, sandi adalah kodrat, kodrat adalah takdir, takdir adalah Si Tutur, yakni penjelmaan Sang Manon.
Tapa adalah membuat perasaan khusuk agar bersih dari nafsu keduniawian dan nafsu birahi. Sang Manon bersemayam dalam buana, sarira, bayu, sabda, hedap sehingga terkesan banyak. Namun sesungguhnya Dia melampaui semua itu. Tujuan tapa ialah mencari Ékatwa “Keesaan’ Sang Manon dalam penjelmaannya sebagai Sang Ménget. Sang Ménget hakikatnya adalah tempat tinggal bukan untuk ditinggalkan.
Pancamarga
Selama terkungkung dalam pancagati sangsara, Syanu itu menjelma ibarat raksasa yang rakus, serakah, dungu, garang, dan berwatak jelek lainnya. Itulah sebabnya kehidupan ini ibarat roda berputar, lahir-mati-lahir-mati berulang-ulang. Satu-satunya penangkal pancagati sangsara adalah pancamarga yang terdiri atas sandi, tapa, lungguh, pratyaksa, dan kalpaseun.Sandi adalah tutur yang hakikatnya sebagai peringatan. Sifatnya tidak salah tumbuh, tidak salah wujud, dan tidak salah rasa. Buktinya manusia melahirkan manusia, ayam beranak ayam, begitu pula tanaman tidak salah berbuah. Dengan demikian, sandi adalah kodrat, kodrat adalah takdir, takdir adalah Si Tutur, yakni penjelmaan Sang Manon.
Tapa adalah membuat perasaan khusuk agar bersih dari nafsu keduniawian dan nafsu birahi. Sang Manon bersemayam dalam buana, sarira, bayu, sabda, hedap sehingga terkesan banyak. Namun sesungguhnya Dia melampaui semua itu. Tujuan tapa ialah mencari Ékatwa “Keesaan’ Sang Manon dalam penjelmaannya sebagai Sang Ménget. Sang Ménget hakikatnya adalah tempat tinggal bukan untuk ditinggalkan.
Lungguh adalah kedudukan yang teguh. Di dalam hal ini, Sang Manon menjelma sebagai Si Pageuh ‘Yang Maha Teguh’. Agar Sang Manon tetap teguh di sakala-niskala ‘dunia-akhirat’ maka para siswa, umumnya setiap manusia harus banyak melakukan ibadat dan berbuat amal kebaikan. Dunia, surga, dan neraka sama sekali tidak ada artinya bagi Sang Manon. Buana, sarira, serta bayu sabda hedap akhirnya sirna, akan tetapi Sang Manon tetap teguh, baik dalam wujud nyata maupun dalam wujud tak nyata menurut hakikatnya, tanpa berulang dalam kelahirannya. Lungguh dapat mempertemukan manusia dengan Yang Maha Teguh bukan secara kebetulan di alam yang bersifat: senang tak kenal sedih, suka tak kenal duka, baik tak kenal jahat, terang tak kenal gelap.
Pratyaksa adalah sumber dari segala sumber kejadian, yakni Syasembawa, nyatanya adalah hakikat penjelmaan Sang Manon yang ditentukan oleh hedap sebagai sumber keindahan, dan tutur sebagai sumber yang mengatur. Sementara yang menjadi dasar kejadian adalah tigarahasya. Hakikat tigarahasya terdiri atas hedap adalah yang dibuat, tutur adalah hasil perbuatan, dan Sang Manon adalah yang membuat. Ibarat asal api yang datang dari sunyataya ‘keheningan abadi’ yang tersusun atas api (Sang Manon), nyala (hedap), dan panas (tutur).
Proses kejadian manusia, hewan, dan tumbuhan dasarnya pun tigarahasya dalam susunan hantelu/hantiga ‘telur’ yang terdiri atas kulitnya, putihnya, dan kuningnya. Pada manusia dan hewan tersimbolisasikan menjadi Kama, Ratih, dan hedap yang terproses dalam rahim. Pada tanaman padi, misalnya, biji adalah hedap, lumpur adalah Ratih, dan air adalah Kama. Demikianlah salah satu sifat Sang Manon dari Maha Wenangnya, yakni wenang menciptakan dunianya sendiri, memperbadankan dan tak diperbadankan, tunggal maupun banyak.
Ada yang namanya rahasia kehidupan tersusun sebagai berikut: (1) Wujud kasar Sang Manon adalah tutur; (2) Wujud kasar tutur adalah hedap; (3) Wujud kasar hedap adalah nafsu dan kesenangan; (4) Wujud kasar nafsu dan kesenangan adalah Kama dan Ratih; (5) Wujud kasar Kama dan Ratih adalah sarira.
Cara memuliakan kehidupan dari nafsu dan kesenangan dapat diltunjukkan dalam perilaku: (1) Lembutnya diri manusia adalah Kama dan Ratih; (2) Lembutnya Kama dan Ratih adalah nafsu birahi dan kenikmatan;(3) Lembutnya nafsu birahi dan kenikmatan adalah hedap; (4) Lembutnya hedap adalah tutur; (5) Lembutnya tutur adalah Sang Manon; (6) Lembutnya Sang Manon adalah terhindar dari: nafsu birahi, dosa, tamak, bodoh, iri, dan sifat jelek lainnya.
Akhirnya adalah sifat tangkes, artinya berusaha memahami secara singkat dan tepat. Ini dimaksudkan agar para siswa, umumnya manusia yang senantiasa belajar dan membaca sepanjang masa dapat menemukan bagian-bagian penting dari alam kehidupan. Intisarinya adalah tuturan Sang Hyang Hayu ‘kebenaran yang indah’ yang dapat dipakai sebagai jalan penerang. Kebenaran itulah yang menjamin kebahagiaan di sakala ‘dunia kini’ maupun di niskala ‘akhirat kelak’, sekaligus sebagai sarana untuk mencapai kaleupasan ‘kebebasan hakiki’.
Seseorang dinyatakan sebagai pandita ‘cendikia’ jika memiliki: (1) Seruan berupa ilmu pengetahuan; (2) Kasih sayang berupa bayu sabda hedap; dan (3) Kesibukan untuk memberi petunjuk, memutuskan, menemukan, berwibawa, berkuasa, dan teguh. Salah satu hal penting adalah tentang Astaguna ‘delapan kearifan’. Astaguna itu adalah pedoman yang harus diketahui dan dijiwai serta dilaksanakan oleh Sang Sewaka Darma ‘Para Pengabdi Hukum’, masing-masing ialah (1) animan ‘berbudi halus/ramah, (2) ahiman ‘tegas’, (3) mahiman ‘berwawasan luas’, (4) lagiman ‘gesit-terampil’, (5) prapti ‘tepat sasaran’, (6) prakamya ‘ulet-tekun’, (7) isitwa ‘jujur’, dan (8) wasitwa ‘terbuka dikritik’. Astaguna inilah yang mesti dijiwai, terutama oleh pada raja, kaum intelektual, dan para pejabat pelayan masyarakat lainnya.
Pratyaksa adalah sumber dari segala sumber kejadian, yakni Syasembawa, nyatanya adalah hakikat penjelmaan Sang Manon yang ditentukan oleh hedap sebagai sumber keindahan, dan tutur sebagai sumber yang mengatur. Sementara yang menjadi dasar kejadian adalah tigarahasya. Hakikat tigarahasya terdiri atas hedap adalah yang dibuat, tutur adalah hasil perbuatan, dan Sang Manon adalah yang membuat. Ibarat asal api yang datang dari sunyataya ‘keheningan abadi’ yang tersusun atas api (Sang Manon), nyala (hedap), dan panas (tutur).
Proses kejadian manusia, hewan, dan tumbuhan dasarnya pun tigarahasya dalam susunan hantelu/hantiga ‘telur’ yang terdiri atas kulitnya, putihnya, dan kuningnya. Pada manusia dan hewan tersimbolisasikan menjadi Kama, Ratih, dan hedap yang terproses dalam rahim. Pada tanaman padi, misalnya, biji adalah hedap, lumpur adalah Ratih, dan air adalah Kama. Demikianlah salah satu sifat Sang Manon dari Maha Wenangnya, yakni wenang menciptakan dunianya sendiri, memperbadankan dan tak diperbadankan, tunggal maupun banyak.
Ada yang namanya rahasia kehidupan tersusun sebagai berikut: (1) Wujud kasar Sang Manon adalah tutur; (2) Wujud kasar tutur adalah hedap; (3) Wujud kasar hedap adalah nafsu dan kesenangan; (4) Wujud kasar nafsu dan kesenangan adalah Kama dan Ratih; (5) Wujud kasar Kama dan Ratih adalah sarira.
Cara memuliakan kehidupan dari nafsu dan kesenangan dapat diltunjukkan dalam perilaku: (1) Lembutnya diri manusia adalah Kama dan Ratih; (2) Lembutnya Kama dan Ratih adalah nafsu birahi dan kenikmatan;(3) Lembutnya nafsu birahi dan kenikmatan adalah hedap; (4) Lembutnya hedap adalah tutur; (5) Lembutnya tutur adalah Sang Manon; (6) Lembutnya Sang Manon adalah terhindar dari: nafsu birahi, dosa, tamak, bodoh, iri, dan sifat jelek lainnya.
Akhirnya adalah sifat tangkes, artinya berusaha memahami secara singkat dan tepat. Ini dimaksudkan agar para siswa, umumnya manusia yang senantiasa belajar dan membaca sepanjang masa dapat menemukan bagian-bagian penting dari alam kehidupan. Intisarinya adalah tuturan Sang Hyang Hayu ‘kebenaran yang indah’ yang dapat dipakai sebagai jalan penerang. Kebenaran itulah yang menjamin kebahagiaan di sakala ‘dunia kini’ maupun di niskala ‘akhirat kelak’, sekaligus sebagai sarana untuk mencapai kaleupasan ‘kebebasan hakiki’.
Seseorang dinyatakan sebagai pandita ‘cendikia’ jika memiliki: (1) Seruan berupa ilmu pengetahuan; (2) Kasih sayang berupa bayu sabda hedap; dan (3) Kesibukan untuk memberi petunjuk, memutuskan, menemukan, berwibawa, berkuasa, dan teguh. Salah satu hal penting adalah tentang Astaguna ‘delapan kearifan’. Astaguna itu adalah pedoman yang harus diketahui dan dijiwai serta dilaksanakan oleh Sang Sewaka Darma ‘Para Pengabdi Hukum’, masing-masing ialah (1) animan ‘berbudi halus/ramah, (2) ahiman ‘tegas’, (3) mahiman ‘berwawasan luas’, (4) lagiman ‘gesit-terampil’, (5) prapti ‘tepat sasaran’, (6) prakamya ‘ulet-tekun’, (7) isitwa ‘jujur’, dan (8) wasitwa ‘terbuka dikritik’. Astaguna inilah yang mesti dijiwai, terutama oleh pada raja, kaum intelektual, dan para pejabat pelayan masyarakat lainnya.