[Historiana] - Negara Pasundan adalah salah satu negara bagian dari negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didirikan oleh Belanda pada tanggal 24 April 1948. Letaknya di bagian barat Pulau Jawa (sekarang DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Banten) dan beribu kota di Bandung. Presiden pertama dan terakhirnya adalah Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema. Berdirinya Negara ini sangat tergantung akan bantuan Belanda, tampak terlihat saat Soeria Kartalegawa akan memproklamasikan pendirian negara ini di Bandung tahun 1947, Soeria Kartalegawa menunggu terlebih dahulu Pasukan Divisi Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta pergi. Dalam pemerintahan Negara Pasundan di bawah RAA Wiranatakoesoema, Soeria Kartalegawa menjabat menjadi Menteri Pengairan dan Lalu Lintas.
Hijrahnya Pasukan Divisi Siliwangi terjadi akibat perjanjian Renvile adar wilayah yang dikuasai Belanda dikosongkan dari Militer Republik.Tidak hanya Divisi Siliwangi yang harus melakukan hijrah. Divisi Brawijaya dari Jawa Timur yang terdiri dari Brigade Narotama, Suropati dan Ronggolawe pun juga harus meninggalkan markasnya menuju Yogyakarta. Hijrah ke Yogyakarta menggunakan Keretapi, Truk, kapal dan berjalan kaki.
Pasukan Siliwangi di Jawa Barat mendapatkan perintah hijrah dari Jendral Sudirman melalui ”Tim Perhubungan” yang dibentuk di Yogyakarta untuk menyampaikan perintah hijrah secara langsung kepada panglima divisi dan komandan brigade Divisi Siliwangi. Tidak semua pasukan Siliwangi dihijrahkan karena sesuai perintah Jendral Sudirman agar sebagian pasukan tetap melakukan aksi-aksi gerilya terhadap Belanda untuk tetap menjaga de facto wilayah RI di Banten Jawa Barat.
Baca juga: Mengenal Negara Pasundan di Awal kemerdekaan RI | Perjalanan Sejarah Bangsa Indonesia.
Negara Pasundan yang menjadikan Bandung sebagai ibu kotanya, teorinya meliputi Jawa Barat sekarang termasuk Jakarta. Sebagai sebuah negara yang mempunyai seorang kepala negara yang disebut wali negara. Negara Pasundan menganut Demokrasi Parlementer, dimana kepala negara dipimpin presiden dan kepala pemerintahan dipimpin perdana menteri.
Kabinet negara Pasunda dipimpin oleh seorang perdana menteri. Presiden Negara Pasundan pertama dan terakhir adalah RAA Wiranatakusumah V. Perdana menteri berganti-ganti beberapa kali dengan periode wakti singkat. Ketika Wiranatakusumah diangkat menjadi Presiden atau Walinegara Pasundan, ia berada di Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibukota Republik Indonesia hasil perjanjian Renvile.
Di Negara Pasundan, terdapat lembaga parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dan diangkat. Meskipun demikuan, kenyatannya pemerintahan negara Pasundan tidak mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya untuk menjalankan pemerintahan dan berfungsi sebagaimaha seharusnya. Negara yang diproyeksikan untuk menjadi salah satu bagian dari negara bagian RIS yang akan dibentuk, mendapat kontrol yang kuat dari Belanda.
Pemerintah Umum di Jakarta tidak mau menyerahkan sepenuhnya kekuasaan kepada pemerintah negara ini karena dianggap bahwa para anggota pemerintahan dan parlemennya terlalu menunjukkan sentimen pro-Republik yang kuat. Belanda tidak banyak dapat bergantung pacta dukungan sejumlah anggota " oportunis politik" yang tidak begitu berpengaruh. Itu sebabnya Negara Pasundan diberikan "otonomi yang lebih kecil" dibandingkan dengan yang diberikan Belanda kepada Negara Indonesia Timur misalnya.
Keadaan semacam ini tentu saja menimbulkan rasa tidak puas di kalangan pemerintah Negara Pasundan dan menimbulkan kecaman-kecaman dalam sidang-sidang Parlemen. Jangankan dalam urusan dalam negeri , dalam urusan-urusan lain seperti keuangan, sosial, kesehatan, pendidikan, kehakiman, kehtitanan, pertanian, kerajinan dan pekerjaan umum, semuanya diatur dari Jakarta. Baru pacta bulan September 1948, urusan-urusan terakhir ini diserahkan satu demi satu kepada Negara Pasundan.
Negara Pasundan tidak m empunyai tentara sendiri. Karena wilayah Jawa Barat ditempatkan oleh Belanda di bawah SOB (staat van oorlog en beleg), keadaan darurat perang, maka urusan pertahanan dan keamanan dipegang sepenuhnya oleh tentara Belanda. Memang ada usaha untuk membentuk tentara sendiri yang disebut "batalyon keamanan ", tetapi tidak pernah berfungsi.
Raymond Pierre Paul Westerling |
Demikian pula menjelang berakhirnya Negara Pasundan, sejumlah bekas anggota KNIL yang dipimpin oleh mantan Kapten Westerling memberikan ultimatum kepada RIS dan Negara Pasudan agar mereka diterima menjadi "Tentara Pasundan" dan menolak pembubaran Negara Pasundan. Akan tetapi sebelum dijawab, Westerling yang memimpin pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dari bekas-bekas anggota KNIL itu tiba-tiba menyerbu Kota Bandung serta menewaskan sejumlah anggota TNI dari Divisi Siliwangi pada 23 Januari 1950. Gerakan APRA pada akhimya gagal ketika akan menyerbu Jakarta. Selain peristiwa di Bandung, Westerling melakukan pembataian orang Indonesia di Sulawesi Selatan.
Terbagi menjadi 3 Wilayah dan 3 Kubu Perseteruan
Wilayah Jawa Barat yang dianggap sebagai wilayah dari Negara Pasundan, selama tahun 1949 praktis terbagi menjadi tiga daerah kekuasaan: pertama, daerah kekuasaan Negara Pasundan sendiri yang dilindungi oleh pasukan-pasukan Belanda, kedua, daerah kantong-kantong gerilya yang dikuasai oleh TNI dari Divisi Siliwangi, dan ketiga, daerah yang dikuasai oleh DI dari "NII" Kartosuwiryo.
TNI yang kembali memasuki Jawa Barat dalam long march yang sulit dan menelan korban jiwa sejak agresi militer Belanda kedua bulan Desember 1948, menghadapi tidak saja tentara Belanda tetapi juga DI. Proses pertumbuhan dan perkembangan DI ini tetjadi ketika TNI harus "hijrah" meninggalkan Jawa Barat pada bulan Februari 1948 sebagai konsekuensi dilaksanakannya persetujuan "Renville''. Pasukan-pasukan/ laskar-laskar petjuangan yang tidak mau ikut hijrah dengan alasan akan melanjutkan terus perlawanan terhadap Belanda di Jawa Barat, menggunakan "kewakuman" tentara Republik untuk kemudian menjadi inti kekuatan DI yang memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" (NII) di bawah Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949.
Dalam situasi semacam ini terjadi interaksi yang cukup kompleks dan konflik bersenjata segi tiga di Jawa Barat: TNI dari RI melawan Belanda, Belanda melawan TNI dan DI/TII, dan DI/TII melawan TNI dan Belanda. Keadaan semacam ini dengan sendirinya membuat rakyat Jawa Barat (Pasundan ataupun Republik) tetjepit dan menderita.
Kegiatan-kegiatan DI/TII merupakan ancaman sekaligus bagi RI dan negara Pasundan. Negara Pasundan berada dalam posisi serba tanggung. Karena tidak mempunyai tentara sendiri, maka negara ini bersandar sepenuhnya kepada tentara Belanda dan TNI untuk melindungi warganya. Situasi semakin buruk bagi Pasundan ketika tentara Belanda siap mundur menghadapi pengakuan kemerdekaan. Posisi-posisi tentara Belanda direbut oleh TNI yang akan menjadi inti dari tentara RIS yang akan merdeka.
Kontak-kotak terjadi antara pemerintah Pasundan dengan pasukan-pasukan Siliwangi, bahkan sebelum terjadi persetujuan "Roem van Royen" bulan Mei 1949. Di bidang diplomasi internasional, sejak Januari 1949 Belanda telah ditekan oleh Dewan Keamanan PBB untuk menerima resolusi atas dasar Linggajati dan "Renville". Kemudian ditambah lagi tekanan-tekanan di medan pertempuran seperti perang gerilya dan serangan umum TNI atas Yogyakarta 1 Maret 1949 yang mempunyai dampak besar bagi harga diri bangsa dan keyakinan Republik untuk tetap dapat bertahan hidup.
Sejak bulan Maret 1949 pemerintah Pasundan dengan persetujuan militer Belanda mencoba mendekati dua komandan batalyon Siliwangi yaitu Akhmad Wiranatakusumah dan Nasuhi untuk mengakhiri permusuhan dan membantu pengembalian ketertiban dan keamanan sehingga tercipta wilayah damai bagi Negara Pasundan. Kontak-kotak ini menunjukkan sikap tidak percaya diri yaitu mencari dukungan dari kekuatan (TNI/RI) yang tidak mendukung kedaulatannya. Menyadari ini maka Negara Pasundan harus berhati-hati juga dalam menghadapi dan membuat persetujuan dengan TNI yang potensial mengancam eksistensinya sebagai negara maupun teritorialnya.
Ajakan kerjasama untuk menghadapi DI bagi TNI menunjukkan kelemahan tentara Belanda yang ternyata tidak mampu mengalahkan TNI ataupun DI. Wibawa TNI meningkat karena diminta untuk menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi mereka juga tidak terlalu antusias karena permintaan itu dalam kerangka Negara Pasundan, sedangkan mereka tidak dipersiapkan untuk mengajukan Pasundan sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Akhirnya kontak-kontak itu tidak membawa hasil bagi kedua belah pihak meskipun panglima Belanda untuk Jawa Barat Mayor Jenderal Engels telah mengeluarkan pernyataan bahwa Siliwangi telah menghentikan permusuhannya.
Sementara itu rencana KMB semakin dekat. Tentara Belanda akan menarik diri dari Indonesia. Negara Pasundan akan kehilangan tu1ang punggungnya- kecuali membalik sepenuhnya kepada TNI untuk menghadapi DI/TII. Dengan perasaan cemas pemerintah Pasundan me1ihat kekuatan DI/TII semakin meningkat di daerah kebupatian-kebupatian Bandung, Garut, Tasik:malaya, dan Ciamis. Pada bulan November 1949, dalam sidang Par1emen Pasundan, pemerintah didesak untuk memberikan perlengkapan senjata yang lengkap kepada TNI yang ditempatkan di Tasikmalaya agar kuat menghadapi serangan DI/TII.
Baca juga: The East atau De Oost, Film bertema Sejarah Indonesia | Siapakah Sosok Westerling? - SI/TII Antek Jenderal Spoor.
Ketergantungan Negara Pasundan pada TNI yang menjadi inti dari tentara RIS ini menempatkannya pada posisi lemah untuk bertahan lebih lama sebagai negara bagian dari RIS. Apalagi setelah terjadi peristiwa APRA bulan Januari 1950, maka semakin terbuka jalan bagi Negara Pasundan untuk meleburkan diri ke dalam Republik Indonesia. APRA dipimpin Westerling mendesak Pemerintah Negara Pasundan menjadikan pasukannya sebagai tentara Pasundan. Padahal, Westerling sendiri sejak awal tahun 1949 tidak lagi menjadi tentara Pasukan Khusus Belanda, melainkan sudah bersalin mata pencaharian sebagai pengusaha angkutan perkebunan. Bisnisnya cukup lancar. Tak ada aparat atau gerombolan liar yang berani mencegat truknya. Menurut Dominique Venner dalam Westerling de Eenling (1983: 35) dan Challenge To Terror (1952: 147) yang ditulis Westerling sendiri, trayek truk angkutan Westerling itu adalah Jakarta-Bandung. Pada Februari, bekas bos besar Westerling di ketentaraan Belanda, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, mengajak Westerling berpetualang lagi. Spoor yang bersilang jalan dengan politisi sipil Belanda, terbersit pikiran untuk memulai “jalan sendiri”: sebuah rencana kudeta di Indonesia. Di mana Westerling akan menjadi motornya. Tak lupa, Westerling diberi uang muka untuk membeli senjata dari pasar gelap. Westerling tampak begitu bersemangat dengan rencana itu. Meski belum sampai seminggu Spoor justru membatalkannya pada Maret 1949. Westerling bukannya patah arang dengan sikap Spoor yang ternyata “panas-panas taik ayam” itu. Sekitar dua bulan setelahnya, Spoor meninggal pada 25 Maret 1949. Akhirnya Westerling menjalankan aksinya sendiri dengan bantuan dari pengusaha-pengusaha yang anti-republik memberi sokongan duit kepadanya. Beberapa pengusaha berdarah Eropa dan Tionghoa dari perusahaan dagang, angkutan, dan perkebunan di sekitar Bandung dan Jakarta memberikan sumbangan kepada gerakan terselubung Westerling itu.
Bagaimana dengan DI/TII atau NII? Meskipun jumlah personel maupun persenjataan yang dimiliki oleh TII memang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan TNI, namun dengan keuletan dan kegigihannya, DI/TII mampu mempertahankan eksistensi Negara Islam Indonesia di wilayah Jawa Barat hingga tahun 1962. Ada hal kekuatan persenjataan DT/TII yang tidak disampaikan dalam sejarah buku-buku Nasional. Menjadi tanda tanya besar mengapa tentara resmi negara (TNI), yang merupakan gabungan para pejuang revolusi, bisa keteteran menghadapi gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)? Hampir seluruh Jawa Barat jatuh di bawah kontrol mereka.
Ternyata DI/TII di bawah pimpinan Sekarmadji Kartosoewirjo, yang mencita-citakan berdirinya negara Islam Indonesia, dibiayai dan dipasok senjata oleh Jenderal Spoor.
Hal itu terungkap dari sebuah nota rahasia Bureau Algemene Zaken van de Directie Beleidszaken Indonesië (Biro Urusan Umum Direktorat Urusan Kebijakan Indonesia), Kementerian Luar Negeri Belanda (Willems). Nota tersebut ditemukan oleh promovendus Fredrik Willems, MA ketika sedang melakukan riset untuk penyusunan biografi Kapten Raymond Westerling, seperti dikutip detikcom dari NRC Handelsblad (23/11/2013).
NII bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia. Namun, gerakan NII ternyata juga meresahkan masyarakat. Dikutip dari tulisan Irfan Teguh berjudul “Digorok Gerombolan: Kesaksian Kekejaman DI/TII di Bandung”, diungkapkan kesaksian warga bernama Emeh. Emeh ingat betul bagaimana ia dan warga lainnya hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk orang-orang DI/TII dan sering diperlakukan kasar oleh anak-anak buah Kartosoewirjo itu.
NII ternyata bukan hanya berperang melawan TNI, namun juga bertindak semena-mena hingga mulai timbul perasaan curiga antara ulama, pemerintah, dan masyarakat akhirnya menimbulkan peristiwa fitnah.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo bukanlah orang Sunda. Ia lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 7 Januari 1905. Ia anak Kartosoewirjo, seorang mantri candu. Kartosoewirjo adalah salah satu dari 7 anak Kartodikromo, seorang lurah di Cepu. Salah satu adik Kartosoewirjo yang bernama Marco Kartodikromo adalah seorang penulis anti-Belanda berhaluan kiri.
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam merespon ajaran-ajaran Islam.
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas ke-Islaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
Ketika Kartosoewirjo sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerja sama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an.Tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis yang dilancarkan oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya. Mereka ditangkap, termasuk sang imam, Kartosoewirjo. Berdasarkan keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati karena telah memberontak terhadap pemerintahan Indonesia. Permohonan grasi kepada Presiden Soekarno ditolak. Ia dieksekusi 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. Tepat pukul 05.50 WIB, Kartosoewirjo dihukum mati dan itulah akhir perlawanan DI/TII di Jawa Barat.
Pengalaman Bernegara Federal
Terbentuknya unit negara-negara di Indonesia sejak Tahun 1946 yang kemud ian menjadi ne gara-negara bagian dari negara federasi RIS pact a akhir Tahun 1949, tidak dapat dilepaskan dari kerangka sis tem politik federal y ang direkayasa oleh Dr. H.J. van Mook dan pengganti-penggantinya. Ketika itu van Mook menjabat letnan gubemur jenderal Hindia Belanda dan kepala NICA (Ne therlands Indies Civil Administration). Oleh sebab itu maka negara-negara tersebut pacta hakekatnya adalah produk pemerintah kolonial Belanda yang dipertahankan dengan militer dan polisi pimpinan Belanda.
Hubertus Johannes (Huib) van Mook (30 Mei 1894 – 10 Mei 1965) Gubernur-Jenderal Hindia Belanda |
Negara Pasundan adalah negara terbesar ked.ua dukungan Be1anda sesudah NIT. Berbeda dengan NIT, Negara Pasundan mendapat otonomi yang lebih kecil dari pemerintah kolonial Be1anda. Tetapi di da1am ruang gerak yang sempit itu, elemen-elemen unitaris yang pro-Republik da1am pemerintahan, parlemen, maupun masyarakat Sunda sendiri masih dapat mengimbangi e1emen-elemen federalis, "oportunis politik", "kolaborator" atau "pasif politik". E1emen pertama terdiri atas para nasionalis 1okal dan moderat tetapi pro-Republik.
Adapun para nasionalis radikal dan bertaraf nasional telah menjadi tahanan-tahanan politik yang memenuhi penjara-penjara Bandung, Kuningan dan Cirebon, atau telah sempat mengungsi ke ibu kota Republik Yogyakarta. Mereka selain bersuara voka1 da1am Parlemen sebagai 1atihan mereka selain bersuara vokal dalam Parlemen sebagai latihan mereka "berdemokrasi", juga berbicara dengan 1ambang-1ambang. Jika kita lihat nama-nama fraksi yang ada dalam Parlemen seperti Kesatuan, Nasional, dan Indonesia, maka nama-nama ini mendukung simbol-simbol integrasi sehingga garis-garis pemisah yang tegas antara unitaris dan federalis itu hendaknya dilihat dalam nuansa-nuansa lebih halus. Apalagi jika didengar suara wakil-wakil dalam Parlemen Pasundan yang menghendaki bahasa Indonesia (bukan bahasa Sunda misalnya, kecuali PRP) sebagai bahasa resmi, atau lagu "Indonesia Raya" sebagai lagu kebangsaan, atau bendera "Merah Putih" sebagai bendera negara. Semuanya menunjukkan sikap ambivalensi terhadap eksistensi Negara Pasundan itu sendiri dan keterikatan batin kepada negara kesatuan Republik Indonesia. Tidak jarang dalam upacara-upacara resmi dinyanyikan lagu "Indonesia Raya" seperti pada waktu memperingati hari ulang tahun pertama Parlemen Pasundan yang dihadiri oleh wali negara, atau pembukaan Konferensi Serikat Buruh Tenun Indonesia (Sarbuti) di Bandung, misalnya.
Di Kota Bandung sebagai ibukota negara masih sempat terdapat kegiatan-kegiatan sosial, budaya serta agama sebagai penyaluran aspirasi mereka meskipun dihadapkan dengan tekanan-tekanan politik Belanda dalam ruang gerak SOB. Terdapat sejumlah organisasi-organisasi seprofesi, wanita, dan pemuda seperti Prerserikatan Buruh Kereta Api, Vakbond Pamongpraja, Bond Pegawai PTT, Perserikatan Pegawai Kehutanan, Serikat Guru Indonesia (SGI), Serikat Buruh Tenun In.donesia, Persatuan Jaksa-jaksa (Perwaja), Serikat Sekerja Pamongpraja, Serikat Buruh Beca; Budi Isteri yang mengurus para pengungsi, Partai Kebangsaan Indonesia Wanita (Parkiwa).
Adapun organisasi-organisasi pemuda misalnya: Badan Kongres Mahasiswa Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Bandung, Perserikatan Pelajar Indonesia Bandung, Pemuda Persa tuan Islam, Pemuda Indonesia Pasundan, Pemuda Buruh, dan Tunas Muda Angkatan 45.
Organisasi-organisasi ini mengadakan konferensi dan membentuk sebuah Badan Penghubung Organisasi Pemuda Indonesia yang pada 26 Agustus 1949 telah mengeluarkan resolusi yang menuntut pembebasan tahanan-tahanan politik oleh Belanda, pencabutan undang-undang keadaan perang (SOB), dan diperbolehkan mengibarkan bendera merah putih.
Sementara itu di kalangan umat Islam sendiri menunjukkan sikap yang pro-Republik. Pacta 1 April 1948, di bawah pimpinan Isa Anshary telah dihidupkan kembali kegiatan Persatuan Islam (Persis) . Pacta 13 April 1948 organisasi-organisasi Islam . seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Guru Islam Indonesia, Persis mengadakan konferensi dan menyetujui pembentukan Majelis Persatuan Umat Islam. Gerakan Islam ini tidak ingin melibatkan diri sama sekali dengan Negara Pasundan;suatu sikap yang turut membantu perjuangan Republik.
Semua sikap, pemyataan-pemyataan, dan tindakan-tindakan dari wali negara, dari kalangan pemerintah, anggota-anggota Parlemen, dari masyarakat dan rakyat di Jawa Barat sendiri selama berlangsungnya Negara Pasundan itu menunjukkan suatu pergulatan, pergesekan dan pergeseran dari gerakan-gerakan federal ke arah unitaris, dari disintegrasi Republik Indonesia Proklamasi karena sistem politik federal menuju kembali kepada reintegrasi nasional dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Reintegrasinya Negara Pasundan ke Republik Indonesia ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 113 Tahun 1950 tentang pembubaran Negara Pasundan serta Negara Pasundan digabungkan dengan Republik Indonesia, Tahun 1950 (JDIH).
Referensi
- Adi, Hery Setya dan Danar Widiyanta M.Hum. 2014. "Konflik militer antara Divisi Siliwangi dengan Divisi Panembahan Senopati yang di Surakarta tahun 1948." Ringkasan Skripsi. Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. uny.ac.id/ Diakses 20 November 2021.
- "Allies in adversity, Australia and the Dutch in the Pacific War: NEFIS" awm.gov.au
- "Negara Pasundan" Oleh Hendri F. Isnaeni | 04 Mei 2015. historia.id Diakses 4 November 2018.
- "Indonesia Raja: Pasoendans Volksied" Surat Kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-04-1949. delpher.nl Diakses 4 November 2018.
- "DI/TII Ternyata Antek Jenderal Spoor? (1)" - detikNews Jumat, 29 Nov 2013 09:14 WIB Diakses 20 November 2021.
- Ekadjati, Edi S., et. al. 1982. "Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jawa Barat." Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Hardjasaputra, A. Sobana. 1980. "Pemerintahan Daerah Jawa Barat Pada Masa Revolusi Fisik (September 1945-Juni 1948)." Bandung: Faku1tas Sastra Unpad.
- "Negara Pasundan". 2014. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat. [pdf-download] khazanah-arsip.jabarprov.go.id
- Sumantri, Iwa Kusuma. 1964. "Sedjarah Revolusi Indonesia." Djilid 11. Djakarta: Grafika.
- Sjamsuddin, Helius., Edi S. Ekadjati, letje Martina dan Wiwi Kuswiah. 1992. "Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan". Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan direktorat sejarah dan nilai tradisional proyek inventarisasi dan dokumentasi sejarah nasional. kemendikbud.go.id [pdf] Download