Cari

Prasasti Mula-Malurung dan Daftar Nama-nama Tokoh Penting Sejarah Jawa

Prasasti Mula-Malurung
Koleksi Museum Nasional Indonesia

 

[Historiana] - Tulisan ini disadur dari suryamalang.com  dengan judul "Daftar Nama Tokoh Negara Tumapĕl, Janggala sampai Kadiri Menurut Prasasti Mūla-Malurung Tahun 1255" karya Heri Purwanto, Pengampu Grup Belajar Bahasa Jawa Kuno.
 

Prasasti Mula Malurung (Mūla-Malurung) berupa lempengan tembaga sebanyak 12 keping yang masing-masing bertuliskan pada kedua sisinya, kecuali lempeng pertama yang hanya satu sisi. Lempeng 1, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 ditemukan di daerah Kediri, Jawa Timur, pada tahun 1975, sedangkan lempeng 2, 4, dan 6 baru ditemukan pada tahun 2001, juga di daerah Kediri. Saat ini, prasasti tersebut menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta.

Tulisan berikut ini sebagian besar merujuk pada analisis Prof Slamet Muljana dalam buku "Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya" tahun 1979 ketika lempeng ke-2, 4, dan 6 belum ditemukan.

 

RAJA YANG MENGELUARKAN PRASASTI

NARĀRYYA SMININGRĀT

Prasasti Mūla-Malurung 1255 dikeluarkan oleh raja bernama Narāryya Sminingrāt yang gelarnya tertulis lengkap pada lempeng II-A berbunyi “narāryya sminingrāt śrī yawadwīpa samasta rājādiwiśeṣānindita sanggrāmaparakrama digwijayāniwāryyawīryyasnaha nāmottunggadewa, prakaśita sminingrāt nāmalañchana.”

Nama tersebut tidak terdapat dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama dan juga Sĕrat Pararaton. Namun, jika dilakukan kroscek dengan Prasasti Maribong 1248, maka akan ditemukan nama Śrī Jayawiṣṇuwardhana Sang Mapañji Sminingrāt.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Narāryya Sminingrāt adalah nama asli Bhaṭāra Wiṣṇuwardhana yang tertulis pada naskah Nāgarakṛtāgama, yaitu raja yang memerintah Kerajaan Tumapĕl tahun 1252 – 1268 Masehi.

Sementara itu, dalam naskah Pararaton disebutkan bahwa tokoh Wiṣṇuwardhana memiliki nama asli Rangga Wuni, yang memerintah pada tahun 1250 – 1272 Masehi. Maka, dapat disimpulkan bahwa Rangga Wuni dan Sminingrāt adalah orang yang sama.

ISTRI RAJA

Pada lempeng II-A tertulis: “pamanirātĕhĕr pinaka rāmātuha nira, sira sang lineng kubwan agĕng, rāma nira narāryya waninghyun.”

Disebutkan bahwa mertua Narāryya Sminingrāt adalah pamannya sendiri, yaitu ayah dari Narāryya Waninghyun. Sementara itu, pada Prasasti Wurare 1289 disebutkan bahwa nama istri Wiṣṇuwardhana adalah Jayawardhanī. Mungkin nama tersebut adalah julukan dari Narāryya Waning-hyun.

PIHAK YANG MENERIMA PRASASTI

SANG PRĀṆARĀJA
Pihak yang menerima anugerah prasasti tertulis pada lempeng II-A yang berbunyi : “mapañji buliṇḍaḥ apasĕnggahan sang prāṇarāja, padamlakna sang hyang rāja praśasti”.

Prasasti Mūla-Malurung menyebutkan bahwa Sang Prāṇarāja yang memiliki nama asli Mapañji Buliṇḍah adalah pejabat senior yang mengabdi pada masa pemerintahan kakek Narāryya Sminingrāt, dan juga mengabdi kepada para raja penggantinya berturut-turut hingga Narāryya Sminingrāt.

Tokoh Prāṇarāja juga tertulis pada Sĕrat Pararaton. Uniknya, dalam naskah tersebut ia justru dikisahkan sebagai pejabat yang menghasut Pañji Tohjaya agar melenyapkan Rangga Wuni (Sminingrāt/Wiṣṇuwardhana) dan Mahiṣa Campaka (Narasinghamūrti), dengan menyebut mereka ibarat bisul di pusar yang bisa menyebabkan kematian.

 

PARA LELUHUR RAJA

AYAH RAJA

Tertulis pada lempeng II-B : “ri pangḍiri nīra rāma nira narāryya, gumantya ni pangḍiri nira kaki nira … sira sang tlas pinratiṣṭa makaswarūpang wiṣṇwarccha de nira narāryya sminingrāt, ngkane sang hyang dharmma ri kiḍal ….”

Prasasti Mūla-Malurung tidak menyebutkan siapa nama ayah Narāryya Sminingrāt, hanya disebutkan bahwa sang ayah naik takhta menggantikan sang kakek, yang setelah wafat didharmakan di Kiḍal dengan perwujudan sebagai arca Wiṣṇu.

Menurut Kakawin Nāgarakṛtāgama, ayah Wiṣṇuwardhana bernama Bhaṭāra Sang Anūṣanātha yang naik takhta pada 1227 dan meninggal pada 1252, serta didharmakan di Kiḍal sebagai Śiwa.

Sementara itu menurut Sĕrat Pararaton, ayah Wiṣṇuwardhana bernama Sang Anūsapati yang naik takhta pada tahun 1247 dan meninggal dunia pada tahun 1249, serta didharmakan di Kiḍal juga. Lokasi tersebut saat ini dapat ditemukan di Desa Rejokidal Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.

KAKEK RAJA
Tertulis pada lempeng II-B : “sira kaki nira narāryya sminingrāt, sira sang līna ring ḍāmpa mās, sira sang pinratiṣṭa nira narāryya sminingrāt, makaswarūpang wiṣṇwarccha, mangkāne sang hyang dharmme kagnĕngan ….”

Lalu tertulis pula pada lempeng IX-A : “sira kaki nira, namaste sira bhaṭāra namaśśiwāya, sira sang līna ring ḍampa kanaka.”

Prasasti Mūla-Malurung menyebut nama kakek Narāryya Sminingrāt dengan julukan Bhaṭāra Namaśśiwāya yang meninggal di takhta emas, dan didharmakan di Kagnĕngan dalam perwujudan arca Wiṣṇu.

Menurut Kakawin Nāgarakṛtāgama, ayah Sang Anusanātha bernama Śrī Ranggah Rājasa yang lahir pada tahun 1182. Kemudian pada tahun 1222 ia berhasil menggulingkan Śrī Kṛtajaya raja Kaḍiri, serta mendirikan Kerajaan Tumapĕl. Kematiannya tercatat pada tahun 1227, di mana ia didharmakan di Kagĕnĕngan sebagai Śiwa-Buddha.

Sementara itu, menurut Sĕrat Pararaton, Sang Anūsapati bukanlah anak kandung Sri Rājasa Sang Amurwabhūmi yang memiliki nama asli Ken Angrok. Dikisahkan bahwa ayah kandung Sang Anūsapati bernama Tunggul Amĕtung yang mati dibunuh Ken Angrok.

Kemudian Ken Angrok menikahi istri Tunggul Amĕtung yang saat itu sedang hamil, bernama Ken Ḍĕḍĕs. Setelah mengetahui cerita ini, maka pada tahun 1247 Sang Anūsapati mengirim utusan untuk membunuh Ken Angrok alias Sang Amurwabhūmi yang saat itu sedang makan. Ken Angrok pun tewas dan didharmakan di Kagĕnĕngan.

Berita dalam prasasti Mūla-Malurung bahwa kakek Narāryya Sminingrāt bergelar Bhaṭāra Namaśśiwaya yang meninggal di takhta emas ternyata cocok dengan berita dalam Pararaton, bahwa Ken Angrok pernah memakai gelar Bhaṭāra Guru (Dewa Śiwa) dan meninggalnya di atas kursi saat sedang makan. Sementara itu, tokoh ini menurut Nāgarakṛtāgama disebut sebagai putra Śrī Girīndra. Adapun nama Girīndra adalah julukan untuk Dewa Śiwa juga.

BUYUT RAJA
Prasasti lempeng III-A tertulis : “ri kāla kapratiṣṭa nira yuyutira, ngkāne sang hyang dharmma ri kalang bret.”

Prasasti Mūla-Malurung tidak menyebutkan siapa nama buyut Narāryya Sminingrāt, hanya disebutkan bahwa tokoh tersebut didharmakan di Kalangbret. Lokasi tersebut saat ini dapat ditemukan di Desa Kalangbret Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.

Menurut naskah Nāgarakṛtāgama, tokoh Śrī Ranggah Rājasa (kakek Sminingrāt/Wiṣṇuwardhana) adalah putra dari Śrī Girīndra yang konon lahir tanpa melalui rahim. Apakah buyut Narāryya Sminingrāt yang didharmakan di Kalangbret sama dengan Śrī Girīndra? Bisa jadi demikian.

Secara harfiah, nama Girīndra bermakna “raja gunung”, yaitu julukan untuk Dewa Śiwa. Pada era Majapahit akhir, nama tersebut digunakan oleh beberapa orang raja, antara lain:
- Girīśawardhana Dyah Sūryawikrama (giri-iśa-wardhana = penerus raja gunung)
- Giripatiprasutabhūpati Dyah Suraprabhawa (giri-pati-prasuta-bhūpati = pemimpin anak-anak raja gunung)
- Girīndrawardhana Dyah Wijayakaraṇa, Girīndrawardhana Dyah Wijayakusuma, Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya (Girīndrawardhana = keturunan raja gunung)

Jadi, tidak benar pendapat yang menyebutkan bahwa Wangsa Girīndra telah mengalahkan Wangsa Rājasa dan merebut Majapahit, karena ternyata Śrī Rājasa adalah putra dari Śrī Girīndra, sehingga istilah Wangsa Rājasa dan Wangsa Girīndra sesungguhnya sama saja.

MERTUA RAJA
Tertulis pada lempeng III-A : “kapratiṣṭa nira pamanirātĕhĕr pinaka rāmātuha nira, sira sang lineng kubwan agĕng, rāma nira narāryya waninghyun, kaki nira rānakira, sira śrī kṛtānagara, sira maka swarūpang wiṣṇwarccha. ngkāne sang hyang dharmme pikatan.”

Juga tertulis pada lempeng I-B : “maka purassārānugraha nira bhaṭāra parameśwara, śrī sakalayawadwīpa naranāthādiguru.”

Disebutkan dalam prasasti Mūla-Malurung bahwa mertua Narāryya Sminingrāt adalah pamannya sendiri, yaitu ayah dari Narāryya Waninghyun dan juga kakek dari Śrī Kṛtanāgara, yang meninggal di Kubwan Ageng dan didharmakan sebagai Wiṣṇu di Pikatan, serta disebut dengan julukan Bhaṭāra Parameśwara.

Narāryya Sminingrāt dalam naskah Pararaton disebut dengan nama Rangga Wuni merupakan anak Sang Anusapati. Adapun Sang Anūsapati memiliki adik tiri bernama Mahiṣa Wong-atĕlĕng, yaitu putra Ken Angrok dan Ken Ḍĕḍĕs yang paling tua. Mahiṣa Wong-atĕlĕng adalah ayah dari Mahiṣa Campaka alias Narasinghamūrti, yaitu leluhur raja-raja Majapahit. Oleh sebab itu, kemungkinan besar Mahiṣa Wong-atĕlĕng ini sama dengan tokoh Bhaṭāra Parameśwara dalam prasasti, yaitu paman sekaligus mertua Narāryya Sminingrāt.

NARĀRYYA GUNINGBHAYA
Tertulis pada lempeng III-A : “sangke līna nira pamanira pwa, aṇḍiri ta sira pamanira, sira narāryya guning bhaya.”

Setelah mertua sekaligus paman Narāryya Sminingrāt meninggal, yang menggantikannya sebagai raja adalah paman yang lain, bernama Narāryya Guningbhaya. Tokoh ini mungkin sama dengan Agnibhaya, yaitu adik kandung Mahiṣa Wong-atĕlĕng yang tertulis pada Sĕrat Pararaton.

Berita ini sungguh menarik, karena dalam Pararaton tokoh bernama Agnibhaya hanya diceritakan sekilas saja, sedangkan dalam prasasti ternyata pernah menjadi raja dengan nama Guningbhaya.

NARĀRYYA TOHJAYA
Tertulis pada lempeng III-B : “swarggastha pwa narāryya guning bhaya, gumanti ta narāryya toḥ-jaya, pramaṇa ring jagat kaka sira dai narāryya guning bhaya, paman muwaḥ dai narārya sminingrāt.”

Setelah Narāryya Guningbhaya meninggal dunia, yang menjadi raja adalah kakaknya yang bernama Narāryya Tohjaya, yang juga paman Narāryya Sminingrāt. Tokoh ini tentunya sama dengan Pañji Tohjaya yang tertulis pada Sĕrat Pararaton.

Menurut Pararaton, Pañji Tohjaya adalah anak pertama Ken Angrok yang lahir dari Ken Umang, sedangkan Agnibhaya adalah anak ketiga Ken Angrok yang lahir dari Ken Ḍĕḍĕs. Dari berita ini dapat dipahami mengapa Narāryya Tohjaya dalam prasasti disebut sebagai kakak Narāryya Guningbhaya.

Meskipun demikian ada perbedaannya yaitu, naskah Pararaton menyebut Pañji Tohjaya menjadi raja setelah membunuh Sang Anūsapati, sedangkan Agnibhaya (dan juga Mahiṣa Wong-atĕlĕng) tidak disebutkan pernah menjadi raja, bahkan nama mereka hanya disebutkan sekilas saja dalam naskah itu.



PARA RAJA BAWAHAN

ŚRĪ KṚTANĀGARA
Pada lempeng I-B tertulis : “śrī mahārāja śrī lokawijaya puruśottama wīrāṣṭabasudewādhipāniwāryyawiryyanindita parakrama mūrddhaja namottunggadewa. kṛtānagarābhiseka nāmalañcana.”

Kemudian pada lempeng VII-A tertulis : “sira narāryya mūrddhaja, atmaja nira muwaḥ, sira śrī kṛtānagara nāma niraninabhiśeka, pinasangakĕn ngkāneng maṇikanaka singhāsana, ring nagara daha, sinewita ning bhūmi kaḍiri.”

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa putra Narāryya Sminingrāt yang bernama Śrī Kṛtanāgara memiliki nama asli Narāryya Murddhaja, yang diangkat sebagai raja bawahan di nagara Daha yang terletak di Bhūmi Kaḍiri.

Menurut naskah Nāgarakṛtāgama, Śrī Kṛtanāgara adalah raja terakhir Tumapĕl yang mulai naik takhta sejak tahun 1254 dan meninggal pada tahun 1292. Berita tersebut ternyata kurang tepat, karena menurut prasasti Mūla-Malurung, pada tahun 1255 Śrī Kṛtanāgara masih menjabat sebagai raja Daha. Kiranya yang benar adalah pada tahun 1254 Śrī Kṛtanāgara dilantik oleh ayahnya menjadi raja bawahan. Barulah kemudian setelah Wiṣṇuwardhana (alias Sminingrāt) meninggal pada tahun 1268, Śrī Kṛtanāgara pun naik takhta menjadi raja Tumapĕl.

NARĀRYYA TURUKBALI dan ŚRĪ JAYAKATYĔNG
Tertulis pada lempeng VII-A : “sira turuk bali, putrī nira narārya sminingrāt, pinaka parameśwarī nira śrī jayakatyĕng, sakṣat kapwanakanira Narārya Sminingrāt sira pinratiṣṭa ngkāneng maṇikanaka singhāsana, maka nagare glang glang, sinewita dai nikang sakala bhūmi wurawān.”

Turukbali adalah nama anak perempuan Narāryya Sminingrāt yang menikah dengan Śrī Jayakatyĕng. Adapun Śrī Jayakatyĕng disebut bagaikan keponakan Narāryya Sminingrāt sendiri, yang diangkat sebagai raja bawahan di nagara Glang-Glang, yang terletak di Bhūmi Wurawan.

Śrī Jayakatyĕng juga tertulis dalam Prasasti Kudadu 1294 yang dikeluarkan oleh Dyah Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit. Dalam prasasti itu dikisahkan bahwa Śrī Jayakatyĕng raja Glang-Glang telah memberontak dan menyebabkan terbunuhnya Śrī Kṛtanāgara, raja terakhir Tumapĕl.

Pemberontakan tersebut menurut Kakawin Nāgarakṛtāgama terjadi pada tahun 1292, sedangkan Śrī Jayakatyĕng dalam naskah itu ditulis dengan nama Śrī Jayakatwang raja Kaḍiri. Sementara itu, dalam naskah Pararaton, tokoh ini disebut dengan nama Aji Jayakatong raja Daha.

Menurut Nāgarakṛtāgama, pada tahun 1222 Kerajaan Kaḍiri runtuh akibat pemberontakan Śrī Ranggah Rājasa yang kemudian mendirikan Kerajaan Tumapĕl. Sejak itu Kaḍiri menjadi negara bawahan yang dipimpin Śrī Jayasabhā putra Śrī Kṛtajaya (raja terakhir Kaḍiri). Kemudian Śrī Jayasabhā digantikan putranya yang bernama Śrī Śastrajaya pada tahun 1258. Setelah itu Śrī Śāstrajaya digantikan putranya yang bernama Śrī Jayakatwang pada tahun 1271.

Menurut berita dalam Prasasti Kudadu 1294, Śrī Jayakatyĕng adalah raja Glang-Glang. Dahulu kala, banyak yang mengira Glang-Glang adalah nama lain Kerajaan Daha atau Kaḍiri. Namun, sejak ditemukannya prasasti Mūla-Malurung, barulah diketahui bahwa Kerajaan Glang-Glang terletak di Bhūmi Wurawan, bukan di Bhūmi Kaḍiri.

Bhūmi Wurawan pada zaman modern ini disebut dengan nama Dusun Ngrawan, Desa Dolopo Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun.

ŚRĪ HARṢAWIJAYA
Tertulis pada lempeng VI-B : “sira śrī harṣawijaya, parṇnaḥ pahulunan dai nira narārrya sminingrāt, inandĕlakĕn munggweng ratnakanaka singhāsana, ngkāneng bhūmi janggala.

Dalam tradisi Jawa Kuno, istilah “pahulunan” biasa digunakan untuk menyebut keponakan yang lahir dari saudara muda, sedangkan “kapwanakan” biasanya untuk menyebut keponakan yang lahir dari saudara tua. Śrī Harṣawijaya adalah anak dari saudara muda Narāryya Sminingrāt yang menjadi raja bawahan di Bhūmi Janggala. Adapun yang dimaksud dengan negara di Bhūmi Janggala tidak lain adalah Kahuripan atau Jiwana, yang saat itu telah menjadi negeri bawahan Tumapĕl.

Nama Harṣawijaya juga dijumpai dalam Pararaton yang disebut sebagai nama lain Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Tertulis dalam naskah tersebut, Raden Wijaya alias Harṣawijaya adalah putra Mahiṣa Campaka (Narasinghamūrti). Namun, dalam Prasasti Balawi 1305 disebutkan bahwa Raden Wijaya dan Śrī Harṣawijaya adalah dua orang yang berbeda. Sayangnya ada lempeng prasasti Balawi yang hilang, sehingga tidak diketahui apa hubungan antara Śrī Harṣawijaya dengan Raden Wijaya.

Dari sini dapat diperkirakan bahwa penulis Pararaton telah mencampur-aduk antara tokoh Harṣawijaya dengan Dyah Wijaya. Menurut Nāgarakṛtāgama dan Prasasti Kudadu 1294, Dyah Wijaya adalah cucu Narasinghamūrti. Dengan demikian, yang disebut sebagai anak Mahiṣa Campaka mungkin adalah Harṣawijaya, bukan Raden Wijaya.

Di atas telah diulas bahwa istri Narāryya Sminingrāt adalah Narāryya Waning-hyun anak Mahiṣa Wong-atĕlĕng. Karena Mahiṣa Campaka juga anak Mahiṣa Wong-atĕlĕng, maka tentunya ia bersaudara dengan Narāryya Waning-hyun. Kemudian, (jika Pararaton benar) Mahiṣa Campaka memiliki anak bernama Śrī Harṣawijaya yang disebut sebagai “pahulunan” Narāryya Sminingrāt.

Sementara itu naskah Nāgarakṛtāgama menyebutkan bahwa Narasinghamūrti (Mahiṣa Campaka) memiliki anak bernama Dyah Lĕmbu Tal, sedangkan Dyah Lĕmbu Tal memiliki anak bernama Dyah Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Apakah Dyah Lembu Tal adalah nama lain Śrī Harṣawijaya? Semoga ada penelitian lebih lanjut soal ini.

RAKRYAN KULUPKUDA
Tertulis pada lempeng VI-B : “putra nira sang apañji dimūrttī rakryan kulupkuda, ipe de nira narāryya smi ning rāt, inadgakĕn prahajyan ngkāneng nagara madhura.”

Rakryan Kulupkuda adalah ipar Narāryya Sminingrāt yang diangkat sebagai raja bawahan di Madhura (sekarang disebut Madura). Mungkin Narāryya Sminingrāt memiliki istri kedua setelah Narāryya Waning-hyun, yaitu putri Sang Apañji Dimūrtti, yang kelak menurunkan Śrī Kṛtawardhana, ayah dari Śrī Hayam Wuruk raja keempat Majapahit.

NARĀRYYA KIRAṆA
Tertulis pada lempeng VII-A : “sira narāryya kiraṇa, sakṣat ātmaja nira narārrya sminingrāt, pinratiṣṭa juru lamajang, pinasangakĕn jagatpālaka, ngkaneng nagara lamajang.”

Narāryya Kiraṇa adalah raja bawahan di Lamajang (sekarang disebut Lumajang). Ia disebut bagaikan anak Narāryya Sminingrāt. Dengan kata lain, Narāryya Kiraṇa adalah anak angkat Narāryya Kiraṇa.

ŚRĪ RATNARĀJA
Tertulis pada lempeng VII-A : “sira śrī ratnarāja, parṇnah ari wwang sānak amisan de Narārya Sminingrāt, pinratiṣṭa ngkāneng maṇikanaka singhāsana, ring rājya i moroṇo.”

Śrī Ratnarāja adalah adik sepupu Narāryya Sminingrāt yang menjadi raja di Morono.

ŚRĪ NARAJAYA
Tertulis pada lempeng VII-B : “sira śrī narajaya, parṇnah aryyamisan dai narārya sminingrāt, sirenandĕlakĕn ring maṇikanaka singhāsana, ngkāneng nagara ri hring.”

Śrī Narajaya juga disebut sebagai adik sepupu Narāryya Sminingrāt, dan ia diangkat sebagai raja di Hring.

ŚRĪ SABHĀJAYA
Tertulis pada lempeng VII-B : “sira śrī sabhājaya, parṇnah aryyamisan dai narāryya sminingrāt, sira pinratiṣṭa ngkāneng [maṇi]kanaka singhāsana, ri nagara lwa.”

Śrī Sabhājaya adalah adik sepupu Narāryya Sminingrāt yang diangkat sebagai raja bawahan di Lwa. Uniknya, nama Sabhājaya mirip dengan Jayasabhā, yaitu putra Śrī Kṛtajaya raja terakhir Kaḍiri. Setelah ayahnya dikalahkan oleh Sri Ranggah Rājasa pada tahun 1222, Sri Jayasabhā diangkat sebagai raja Kaḍiri yang telah menjadi bawahan Kerajaan Tumapĕl, sebagaimana yang telah disinggung di atas.

Tapi, mungkin juga kemiripan nama antara Jayasabhā dan Sabhājaya hanyalah kebetulan saja.

 

PARA PENDUKUNG RAJA

SANG APAÑJI PATI-PATI
Tertulis pada lempeng III-B : “līna pwa nāraryya toḥ jaya, narārya sminingrāt ta pinasangakĕn prajāpatya, dai para śaiwaka makādi sang pamgat ing raṇu kabayān sangapañji pati pati, maka ḍapur ikang nagara tumapĕl”

Setelah Narāryya Tohjaya meninggal, yang menggantikannya sebagai raja adalah Narāryya Sminingrāt dengan didukung para abdi yang dipimpin Sang Pamgat ing Raṇu Kabayān Sang Apañji Pati-Pati, sehingga bersatulah negara Tumapĕl. Berita ini ternyata sesuai dengan Sĕrat Pararaton, yang mengisahkan Pañji Tohjaya mengirim Lembu Ampal untuk membunuh Ranggawuni dan Mahiṣa Campaka, namun kedua pemuda itu selamat karena bersembunyi di rumah Pañji Patipati.

Menurut prasasti Mūla-Malurung, tokoh bernama Sang Apañji Pati-Pati mendapat anugerah sima swatantra bernama Tahĕn Manis.

RĀGHAWADEWA BRAHMĀRĀJAGURU
Tertulis pada lempeng III-B dan IV-A : “hana ta sira brāhmana paramartwengajñā, sira rāghawadewa ngaranira, apasĕnggahan brahmārājaguru, lāwanya ranaka nikang pañjing dharmma ri hujung mangaran ryyayoddhya.”

Menurut prasasti, tokoh bernama Rāghawadewa yang bergelar Brahmārājaguru mendapat anugerah sima swatantra bernama Hasĕm Pañjang di wilayah Bhūmi Janggala, bersama anaknya yang bernama Arya Ayoddhya.

MADAKA
Tertulis pada lempeng IV-A : “hana ta sira madaka ngaranira, parama yajurwwedajña, agamajña, paramatatwa wit sira ta pinaka purohita nira ranak nira, sira śrī kṛtanāgara.”

Disebutkan bahwa Madaka adalah guru dari Śrī Kṛtanāgara, yaitu putra Narāryya Sminingrāt.

SANG RĀMAPATI MAPAÑJI SINGHARṢA
Tertulis pada lempeng IV-A dan IV-B : “sang rāmapati, mapañji singharṣa, apatih i sira śrī śāstrajaya, śang sinung anusuka dharmma sima tantra, ngkāneng bhūmi kaḍiri.”

Sang Rāmapati yang memiliki nama asli Mapañji Singharṣa disebut sebagai patih Śrī Śāstrajaya. Menurut Nāgarakṛtāgama, Śrī Śāstrajaya adalah nama ayah dari Śrī Jayakatwang.

APAÑJI NIRAKARA
Tertulis pada lempeng IV-B : “sang apañji nirākāra, dmung ring janggala, sumiwī śrī harṣawijaya, sang wineh anusuka dharmma sīma swatantra, ngkāne bhūmi janggala.”

Apañji Nirakara menjabat rakryan demung di Janggala yang mengabdi kepada Śrī Harṣawijaya.

SANG APAÑJI DUTARAGA
Tertulis pada lempeng IV-B : “sang apañji dūtarāga, prahajyan, sang wineh anusuka dharmma sīma swatantra, ngkāneng bhūmi wetaning kawi.”

SANG APAÑJI SAMAKA
Tertulis pada lempeng IV-B : “sang apañji samaka, apatihira narapati kṛtānagara, sang inanugrahan anusuka sīma swatantra, ngkāneng bhūmi janggala.”

Sang Apañji Samaka adalah patih Śrī Kṛtanāgara yang mendapat anugerah sima swatantra di Bhūmi Janggala. Adapun Śrī Kṛtanāgara saat prasati Mūla-Malurung dikeluarkan masih menjabat sebagai raja bawahan di Daha. Dengan kata lain, Sang Apañji Samaka menjabat sebagai patih di Daha.

Jika kita kroscek Prasasti Penampihan 1269 yang dikeluarkan Śrī Kṛtanāgara setelah menjadi raja Tumapĕl, disebutkan bahwa yang menjadi patih bernama Kebo Arĕma. Apakah ia adalah tokoh yang sama dengan Sang Apañji Samaka? Saya tidak berani memastikan.

SANG APAÑJI SINGANAMBAT
Tertulis pada lempeng IV-B : “sang apañji singanambat, apatih i wurawan, amangku kaprabhū ni raji jayakatyöng, sang wineh anusuka dharmma sīma swatantra, ngkaneng bhūmi kaḍiri”

Sang Apañji Singanambat adalah patih di Wurawan yang mengabdi kepada Jayakatyöng (atau Śrī Jayakatwang), di mana ia mendapatkan anugerah sima swatantra di Bhūmi Kaḍiri. Sementara itu menurut naskah Pararaton, Aji Jayakatong memiliki patih bernama Kĕbo Mundarang yang ikut berperan menghancurkan Kerajaan Tumapĕl.

Kemungkinan besar setelah Apañji Singanambat meninggal, kedudukannya sebagai patih Wurawan digantikan oleh Kĕbo Mundarang itu.

PARA PEJABAT KEAGAMAAN

DANG ACARYA JAYANGGA: tertulis pada lempeng II-a yaitu “sang pamgat i tirwan puspapāta ḍang ācārya jayangga”

DANG ACARYA MARMANANTHA: tertulis pada lempeng II-a yaitu “sang pamgat ing kaṇḍamuhi puspāta ḍang ācāryya marmmanantha”

DANG ACARYA AGRAJA: tertulis pada lempeng II-a yaitu “sang pamgat i manghūri puspāta ḍang ācāryyagraja.”



Baca Juga

Sponsor