Cari

Sanghyang Patahunan | Prasasti Patakan

Prasasti Patakan
[Historiana] - Prasasti Patakan adalah batu bersurat yang terbuat dari batu andesit tinggi 104 cm, lebar atas 90 cm, lebar bawah 80 cm, tebal 24 cm, dan menggunakan huruf Jawa Kuno. Prasasti dengan petunjuk kronologi yang telah aus ini diperkirakan dibuat pada abad ke-11 M (masa pemerintahan Airlangga) dan sekarang menjadi koleksi Museum Nasional dengan nonor inventaris D.22. Isinya mengisahkan tentang adanya bangunan suci yang didirikan di Desa Patakan, sehingga daerah Patakan diresmikan menjadi sima karena warganya berkewajiban memelihara bangunan suci bagi Sanghyang Patahunan.


Prasasti Patakan, bersama-sama dengan prasasti lain, yaitu prasasti Terep, prasasti Pamwatan (1042 M, "hilang" pada tahun 2003), dan prasasti Pasar Legi (1043 M), dikaitkan dengan penemuan situs Pataan di Lamongan bagian selatan.

Adapun peristiwa kesejarahan yang terdapat dalam Prasasti Patakan meliputi daerah penetapan sima, keberadaan wargga kilalan, tokoh dewa-dewa, raja, pejabat kerajaan, Bhatara Ri Sang Hyang Patahunan, dan buyut banil. Prasasti Patakan yang berisi sima merupakan salah satu unsur sosial dan politik Airlangga dalam melegitimasi kekuasaannya.

Penyebutan wargga kilalan memberikan informasi bahwa Airlangga telah menjalin hubungan dengan negara lain dan menjadi salah satu cara Airlangga untuk menunjukkan kekuasaan Airlangga pada negara lain. Selain itu, dengan adanya orang suci yakni Sang Hyang Patahunan dan juga pengikutnya yang dapat menjamin keselamatan Airlangga, menunjukkan akan pentingnya kedudukan Desa Patakan sebagai tempat pelarian Airlangga saat diserang musuh.

 

Data Kesejarahan Prasasti Patakan

Prasasti Patakan menjadi salah satu prasasti yang memberikan informasi tentang pemerintahan Airlangga. Isi prasasti yang dapat dibaca yakni mulai dari status sima (pelarangan terhadap orang-orang untuk memasuki daerah sima Patakan), tindak pidana yang dikenai denda, pajak barang dagangan, pajak bagi pengrajin dan wargga kilalan (para profesional), serta sapatha. Adapun peristiwa kesejarahan dalam isi Prasasti Patakan dapat dikategorikan menjadi tiga aspek yakni aspek keagamaan, aspek pemerintahan, dan aspek sosial budaya. 

Aspek Keagamaan

a. Dewa
Adapun dewa-dewa yang disebut dalam isi Prasasti Patakan antara lain:

  1. Sri Haricandana Agastimaharsi adalah tokoh Agastya yang merupakan murid dari siwa dan mempunyai hubungan dekat dengan siwa, serta menjadi salah satu tokoh penting dalam agama siwa
  2. Ksiti adalah dewa dewa bumi atau dewa tanah 
  3. Jala berarti air, sehingga dapat diartikan bahwa jala adalah dewa air 
  4. Pawana adalah dewa angin atau bayu 
  5. Hutasana adalah dewa api 
  6. Yaksa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai keturunan Kasyapa dan Khasa, semula dia dianggap sebagai dewa lokal yang tinggal di hutan-hutan dan gunung-gunung serta dianggap sebagai dewa kekayaan 
  7. Gandharwa adalah dewa yang mengetahui dan membuka rahasia surga dan langit, ia juga merupakan personifikasi dari api matahari
  8. Kinnara adalah nama dari Yaksa yang berlaku pada tirthankara ke-15, disimbolkan sebagai matsya yang memakai atribut trisiras
  9. Dewa-dewa Lokapala yakni :

a) Yama adalah dewa yang menguasai arah mata angin sebelah selatan, atau dikenal juga dengan dewa kematian
b) Baruna adalah dewa yang menguasai mata angin sebelah barat, dan sebagai dewa laut
c) Kuwera adalah dewa yang menguasai mata angin sebelah utara, dan dianggap sebagai dewa kekayaan
d) Basawa adalah dewa lokapala yang menguasai mata angin sebelah timur

10. Pancakusika adalah lima kusika yang bijaksana dan dipuja sebagai dewa, serta menjadi saksi dalam rumusan kutukan, lima orang tersebut yakni Kusika, Garga, Metri, Kurusya, Patanjala
11. Durgadewi adalah dewi yang dasyat menakutkan
12. Ananta adalah salah satu gelar Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai satu-satunya manusia yang dapat hidup setelah pralaya (penghancuran) terjadi. berarti Ananta Sang Hyang Kalamrtyu adalah dewa wisnu sebagai dewa kematian

Selain nama dewa, disebut pula makhluk setengah dewa, arwah leluhur atau makhluk mitos yakni Raksasa, Picasa, Pretasura, Nadiswara, Sadvinayaka, Nagaraja, dan Ganabhuta.

Adapun nama-nama dewa di atas menggambarkan keagamaan yang ada pada masa pemerintahan Airlangga. Dari nama-nama dewa yang disebutkan dalam isi Prasasti Patakan, dapat disimpulkan bahwa agama yang dianut masa Airlangga adalah agama Hindu Siwa. Dalam hal ini, bagian sapatha pada Prasasti Patakan juga terdapat pada prasasti Airlangga lainnya. Salah satu prasasti yang menerapkan pola sapatha yang hampir sama dengan Prasasti Patakan adalah Prasasti Cane.

Dengan kesaksiaan para dewa-dewa di atas, maka hukuman bagi pembuat ulah pada daerah sima Patakan akan dikenai hukuman emas 1 kati dan hukuman terhadap pelanggar lima dosa (Pancamahapataka).
 
b. Bhatara ri Sang Hyang Patahunan
Dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, Hyang bisa dikatakan sebagai rahyanta yang berarti nenek moyang yang dipuja sebagai dewa, atau orang suci. Sang Hyang merupakan sebuah nama depan sebagai penghormatan (honorafik prefik) kepada seseorang nenek moyang ataupun orang suci. Berkaitan dengan keagamaan, yang mana kaum agamawan diberi hak istimewa oleh Airlangga dalam percaturan pemerintahannya. Sang hyang patahunan diperkirakan adalah seorang tokoh agamawan. Adanya hal tersebut dibangunlah sebuah bangunan Sang Hyang Patahunan yang harus dijaga dan menjadi leluhur atau nenek moyang dari warga Patakan.

Aspek Pemerintahan

a) Raja
Bagian depan prasasti yang telah aus menjadikan tidak bisa dijelaskan secara jelas mengenai raja yang mengeluarkan Prasasti Patakan. Namun berdasar isi dari sisi bagian lain Prasasti Patakan, bisa dijelaskan bahwa Prasasti Patakan dikeluarkam oleh Airlangga. Hal tersebut diperjelas pada kutipan isi Prasasti Patakan di bawah ini,

Buyut banil lawan anak sarika samasanak tan uiahulahen hlem dlaha ning dlaha yapwan hana sira lamlam ta n menget i rasa sang hyang ajna haji prasasti

Terjemahan : milik Kepala Desa banil dengan anak mereka dan sanak keluarga tidak boleh diganggu hingga akhir jaman, jika ada yang bertindak menuruti keinginannya sendiri tidak ingat akan isi Sang Hyang Ajna Haji Prasasti
 
Pada masa pemerintahan Airlangga, lambang kerajaan yang digunakan adalah Garudamukha yang selalu tergambarkan dalam prasasti-prasasti Airlangga. Apabila lambang Garudamukha tidak tergambarkan di bagian puncak prasasti, maka gambaran tersebut terdapat dalam isi prasasti yang disebut dengan sang hyang ajna haji prasasti tinanda garudamukha. Kalimat tersebut mengartikan bahwa prasasti berisi perintah yang bertanda Garudamukha.
 
Penyebutan sang hyang ajna haji prasasti juga dijelaskan dalam prasasti Airlangga lainnya, salah satunya adalah Prasasti Cane (1021 Masehi), Prasasti Baru dan Prasasti Kamalagyan. Prasasti Patakan yang menyebut sang hyang ajna haji prasasti memberikan suatu keterangan bahwa Prasasti Patakan dikeluarkan oleh Airlangga.
 
b) Pejabat-Pejabat Kerajaan
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh para pejabat. Kelompok pejabat yang mempunyai hubungan dekat dengan raja yakni Rakryan Kagnap yang terdiri dari hino, watu tihang (halu), bawang, sirikan, dan wka. Kelompok di bawah Rakryan Kagnap antara lain tiruan, halaran, panggilhyang atau palarhyang, wlahan, manghuri, tanjung, langkha, wadihati, makudur, dalinan, pangkur, hanangan atau tawan, dan tirip. Menurut Casparis, pankur, tawan, tirip adalah pejabat kerajaan yang tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan agar perintah raja dilaksanakan dengan baik.

Di samping kelompok Rakryan Kagnap maupun kelompok di bawah Rakryan Kagnap, terdapat pula pejabat yang termasuk dalam kelompok watak i jro dan mangilala drawyahaji. Watak i jro adalah golongan dalam, dan mangilala drawya haji adalah pejabat yang bertugas untuk mengelola kekayaan kerajaan. Mangilala drawyahaji juga bisa diartikan sebagai abdi dalem keraton yang tidak mendapat daerah lungguh, sehingga hidupnya tergantung dari gaji yang diambil dari perbendaharaan kerajaan. Mangilala drawyahaji terdiri dari penarik pajak, tukang ukur tanah, penghitung jumlah penduduk, atau kepala keluarga. Sedangkan, Krin merupakan pejabat dari mangilala drawyahaji yang berhubungan erat dengan panuran (pangurang).
 
Dengan demikian, pankur, tawan, tirip, krin dan mangilala drawyahaji yang disebut dalam Prasasti Patakan sama-sama tidak diberikan tanah lungguh oleh raja, dan tidak diperbolehkan untuk memasuki tanah sima di Patakan.
 
c) Buyut Banil
Dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, buyut adalah moyang, cicit, yang tertua, tua-tua. Dalam hal ini, buyut diartikan sebagai bagian dari pemerintahan yakni seorang Kepala Desa.

14. . . . . . . . . . Kanang wargga sima i patakan makadi buyut banil lawan anak sarika samasanak karuhun bhatara ri sang hyang pata hunan ri patakan tan kalungana

Terjemahan:
. . . . . . . . .adapun warga sima di Patakan seperti buyut banil dan anaknya, mereka itu sanak saudara yang dahulu kala bhatara ri Sang Hyang Patahunan di Patakan, tidak terlewatkan pula
 
Prasasti Patakan yang menyebut tentang buyut banil dan anaknya bisa dikatakan mempunyai hubungan yang erat dengan leluhur Patakan (Sang Hyang Patahunan) yang telah membantu dan menyelamatkan raja saat melakukan penyerangan. Dengan demikian, keberadaan dari buyut banil ini tidak boleh diganggu sampai akhir zaman.
 

Aspek Sosial Budaya

a) Penetapan Sima kepada Penduduk Patakan
Prasasti Patakan menjadi salah satu prasasti Jawa Kuno yang menjelaskan bahwa Desa Patakan telah diberikan hadiah sima oleh Airlangga karena memelihara bangunan Suci Sang Hyang Patahunan.
Secara etimologi, sima berasal dari bahasa Sanskerta, yakni siman yang berarti batas, batas tanah atau batas desa. Sima adalah sebidang tanah yang status pajaknya diubah oleh raja atau pejabat tinggi yakni seorang rakai atau pamgat. Tanah sima mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan mempunyai status swatantra yang berarti para penarik pajak kerajaan tidak boleh memasuki daerah sima.
Tanah sima terbagi menjadi beberapa nama-nama sima yang didasarkan pada penerimaannya, yakni :

  • Sima makudur, yakni seorang makudur yang berjasa kepada raja yang kemudian mendapat hadiah sima dari raja
  • Sima kapatihan, yakni tanah yang diberikan hadiah oleh raja kepada patih.
  • Sima pinaduluran, yakni tanah sima yang diberikan kepada beberapa patih dan penguasaannya berganti setiap tiga tahun sekali
  • Sima kamulan, yakni sebuah pemberian tanah sima karena mengamankan desa dari berbagai kerusuhan. Hadiah sima kamulan juga diberikan kepada petugas penyebrangan yang tanpa memungut biaya setiap harinya
  • Sima kajurugusalian, yakni tanah sima yangdiberikan kepada sekelompok profesi yang mempunyai bangunan peribadatan, dalam hal ini adalah tempat pemujaan untuk para pandai
  • Sima punpunan, yakni tanah sima yang diberikan untuk bangunan suci maupun bhatara.

Prasasti Patakan yang berisi tentang pemberian hadiah sima kepada warga Patakan karena menjaga bangunan suci Bhatara ri Sang Hyang Patahunan, berarti termasuk dalam sima punpunan. Punpunan biasanya berkaitan dengan bhatara atau bangunan keagamaan, bangunan wihara atau kabikuan, yang letaknya berdekatan dengan bangunan keagamaan yang mendapat tanah punpunan.

b) Keberadaan Wargga Kilalan

Pada masa pemerintahan Airlangga, hubungan dengan bangsa asing sudah terjalin dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dari adanya Prasasti Patakan yang menyebut tentang daftar orang-orang asing, dan para profesional yang dikenai pajak. Orang-orang tersebut termasuk dalam wargga kilalan. Wargga artinya warga, kilalan berasal dari kata Jawa kuno “Kilala”( diambil miliknya) jadi kilala berarti “warga yang diambil miliknya”.

15. Ugikang wargga kilalan kling aryya singhala pandikira drawida campa remen kmir mambang hawang hunjman senamukha warahan mapadahi kicaka tarimba awayang 16. Atapukan abanol salaran wargga ri jro asing makawarggaya sawrtyanya sing deca sangkanya yawat ya tunggu riking sima ri patakan sang syang patahunan mwang

Terjemahan :

15. . . . adalah wargga kilalan (warga yang dikenai pajak khusus) yaitu klin (keling) aryya (arya) sinhala (Srilangka) pandikira (Pandikira dari India) drawida (salah satu suku dari India) campa (Vietnam) kmir (Khmer) mamban (?) hawan (?) hunjman (?) senamukha (kepala pasukan) warahan (?) sapadahi (penabuh gong) kecaka (penari) tarimba (penari) awayang (penari wayang)
16. Atapuhan (penari) abanol (pelawak) salaran (?) penghuni wilayah keraton (ibu kota kerajaan) barang siapa bersama seluruh warga dan seluruh cara hidup yang ada di seluruh desa-desanya sampai pada yang berdiam di sima di Patakan, Sang Hyang Patahunan dengan. . . .

 
Adanya penyebutan bangsa asing dalam isi Prasasti Patakan, menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Kuno telah berhubungan dengan bangsa Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Bangsa-bangsa asing itu antara lain Klin (Kalingga) adalah salah satu suku dari India, Sińhala adalah Srilanka, aryya adalah salah satu suku dari India (non Dravidian), Pandikira adalah salah satu suku dari Asia Selatan (Pandyas and Keras), Dravida adalah salah satu suku dari Asia Selatan (Tamil), Campa adalah salah satu bagian dari Vietnam sekarang (Cam), Kmir adalah Khmer sekarang, Remen (atau Mon) adalah salah satu suku dari Burma sekarang.

Selain bangsa asing, yang juga termasuk dalam wargga kilalan adalah para profesional yakni pekerja seni, pengawal, maupun kurir, dan adapula sekelompok orang pengrajin yang disebut dengan misra. Di dalam Prasasti Patakan, yang dimaksud para profesional yakni mamban (?) hawan (?) hunjman (?) senamukha (kepala pasukan) warahan (?) sapadahi (penabuh gong) kecaka (penari) tarimba (penari) awayang (penari wayang), atapuhan (penari) abanol (pelawak) salaran (?) penghuni wilayah keraton (ibu kota kerajaan). Sedangkan yang dimaksud dengan misra antara lain (pengrajin) manambul mandyan (pengrajin tempat air) manhapu (pengrajin kapur) manharen (pengrajin arang) manula wunkudu (pembuat sirup mengkudu) manlurun (pembuat minyak jarak) manlaka (?) manawrin (?) mamahanan, manula (membuat gula) magawe kisi payun wlu runki upih (pengrajin payung jenis wlu runki upih ?) kajan mamubut (tukang kebun ?) mananam (penganyam) manahap (pembuat minuman segar) mami sandun manuk makala (menjaring burung).
 

Selain Prasasti Patakan, prasasti masa Airlangga lain yang menyebut wargga kilalan adalah Prasasti Cane (1021 Masehi) dan Prasasti Turunhyang A.

__________

Disadur dari:
Eviana & Yohanes Hanan Pamungkas. "Arti Historis Prasasti Patakan Dalam Jejak Airlangga Di Lamongan", AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 2, Juli 2016. unesa.ac.id Diakses 15 November 2021

Baca Juga

Sponsor