Historiana - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Tulisan ini disadur dari tulisan berjudul "Mitologi Perempuan Sunda" karya Agus Heryana, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung yang dipublikasikan dalam Jurnal "Patanjala" Vol. 4, No. 1, Mei 2012: 156-169 .
Indung, Mata Holang Spiritualitas Ki Sunda. "Mata holang" adalah idiom Sunda yang berarti sumber sekaligus pusat kehidupan atau ujung tombak dalam beraktivitas. Penyebutan indung bila disandingkan dengan ayah atau bapak akan lebih dominan penyebutan indung ketimbang ayah atau bapak; sekurang-kurangnya lebih awal atau lebih didahulukan. Misalnya, dalam bentuk sapaan sehari-hari kita lebih mendahulukan "ibu" daripada "bapak"; ibu bapak. Lebih dari itu kita mengenal sebutan "Ibu Pertiwi" dan "Ibu Kota". Hingga sekarang ini, kita belum mendengar ada yang mengorbitkan atau sekurang-kurangnya mengusulkan "Bapak Pertiwi" dan "Bapak Kota" sebagai sandingan "Ibu Pertiwi" dan "Ibu Kota".
Peribahasa-peribahasa atau ungkapan-ungkapan tradisional yang digunakan pada tulisan ini pun lebih dominan penyebutan indung ketimbang bapak. Misalnya peribahasa Indung nu ngandung bapa nu ngayuga; Indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat; Munjung mah kudu ka indung muja mah kudu ka bapa; indung hukum bapa darigama; ngindung ka waktu mibapa ka zaman.
Pemosisian atau penyebutan kata indung sebelum bapa (bapak) bukanlah sebuah kebetulan atau sesuka hati pemakainya. Tetapi didasari oleh adanya pandangan-pandangan yang lebih menghargai indung (baca: perempuan) ketimbang laki-laki. Seolah-olah indung menjadi pusat aktivitas, pusat dunia. Oleh karenanya mudah dimengerti bila pada sebagian masyarakat tradisional indung menjadi pusat pemujaan atau puncak tertinggi "kekuasaan".
Dalam sebuah keluarga pun kadang-kadang posisi indung ditempatkan pada posisi strategis ketika terjadi peristiwa yang menggoncangkan tatanan keluarganya. Misalnya, kesalahan yang diperbuat oleh seorang anak, seringkali permintaan maaf dimohonkan terlebih dahulu pada atau melalui ibu daripada ayah, seperti tercermin dalam ungkapan bahwa Indung mah gede hampura (Ibu selalu memberi maaf). Hal ini tidak saja memperlihatkan hubungan anak sangat dekat dengan ibunya, tetapi tampaknya juga meletakkan suatu status tersendiri bagi wanita dalam masyarakat Sunda (Judistria Garna dalam Ekadjati, 1984: 36).
Menghayati peran sebagai seorang indung bukanlah hal yang mudah. Perjuangan dan pengorbanan seorang indung begitu besar dalam mendedikasikan hidupnya bagi tumbuh dan berkembangnya generasi berkualitas. Tugas yang diemban seorang indung dalam proses regenerasi manusia menempatkan dalam posisi sentral dalam kehidupan manusia. Peran seperti ini tampaknya "teruraikan" dalam upacara adat tradisional pertanian. Saat panen tiba terdapat upacara nyalin yang menunjukkan aktivitas pemotongan padi sebagai bakal ibu (indung) (Prawira Suganda: 1982: 157-163). Ibu pare ini merupakan bibit untuk disemaikan kembali pada masa tanam berikutnya. Perlakuan pada Ibu pare sangat istimewa; diawali dari pemotongan hingga penyimpanan ke leuit, lumbung; sarat dengan upacara-upacara khusus. Ibu pare jarang sekali dikonsumsi, fungsinya tidak lain sebagai "penyimpanan" benish padi. Dalam rentang sekian bulan bahkan tak jarang ada yang berusia puluhan tahun, ibu pare (indung pare) "disemayamkan" di Gedong Ratna Inten (leuit) menunggu untuk disemaikan kembali.
Dalam mitos tradisional budaya Sunda lama (seperti telah diuraikan awal tulisan), mitos perempuan sangat kuat terekat dalam sosok Sunan Ambu. Sosok ini memiliki peran sentral dengan memasuki wilayah-wilayah kritis dalam setiap peristiwa kehidupan yang dialami manusia di bumi. Sunan Ambu, menurut Yanti kh (2006) adalah simbol dewi pemelihara, dewi penolong. Ia merupakan simbol spiritualitas tertinggi yang melambangkan Dunia Atas atau langit, sedangkan laki-laki melambangkan Dunia Bawah atau bumi. Peran tokoh Sunan Ambu dalam carita pantun Lutung Kasarung, misalnya, adalah tokoh tertinggi dalam alam kosmos orang Sunda, karena para bujangga yang sakti itu ternyata berada di bawah perintah Sunan Ambu. Begitu juga para Pohaci yang suci berada di bawah perintah Sunan Ambu.
Dugaan masyarakat Sunda lebih condong kepada pemuliaan Indung (baca: perempuan) sudah dirasakan oleh Atmadibrata seorang pakar seni (Mangle No. 1695). Beliau menulis dalam bahasa daerah (Sunda) sebagai berikut:
Dina gending Karesmen kungsi kaebrehkeun Sunan Ambu, nya eta hiji istri pangawasa kahiangan anu dibarengan ku para Pohaci, diantarana Pohaci Girang Candoli anu pancenna ngaruksak tutuwuhan dahareun manusa anu asalna tina waruga Pohaci Sanghyang Sri. Di kahyangan, Sunan Ambu dibarengan oge ku lalaki nu nelah para bujangga, tapi pancenna saukur tukang ancag-incig henteu boga pancen husus.
Dina carita Lutung Kasarung, anu pangreana ngalalakon teh Putri Bungsu Purbasari anu dikakaya ku putri cikal Purbararang. Dina carita Mundinglaya, aya Dewi Asri pasanganana anu ngalambangkeun kasatiaan. Sedengkeun Purbasari mah ngalambangkeun kasabaran jeung katawekalan. Dina carita Sangkuriang, aya Dayang Sumbi ibuna anu awet ngora nepi kadipibogoh ku putrana. Aya keneh wanoja lianna anu penting dina carita Sunda, nyaeta Inten Dewata, dina carita wewengkon Garut. Di Limbangan aya Rambutkasih sarta di Majalengka aya Ambetkasih. Anu gagah mah Nyi Sumur Bandung jeung Rengganis.
Artinya
Dalam gending karesmen pernah diungkapkan Sunan Ambu, yaitu seorang isteri penguasa kahyangan yang disertai para Pohaci, di antaranya Pohaci Girang Candoli yang bertugas merusak tumbuhan makanan manusia yang berasal dari tubuh Pohaci Sanghyang Sri. Di kahyangan, Sunan Ambu pun disertai laki-laki yang disebut bujangga, tetapi tugasnya hanyalah sebagai pesuruh belaka yang tidak mempunyai tugas khusus.
Dalam cerita (pantun) Lutung Kasarung, yang paling banyak diceritakan adalah Putri Bungsu Purbasari yang dianiaya kakak kandungnya sendiri, Purbararang. Pada cerita (pantun) Mundinglaya ada (tokoh) Dewi Asri sebagai pasangannya yang melambangkan kesetiaan. Sedangkan Purbasari melambangkan kesabaran dan ketawekalan. Pada cerita Sangkuriang ada Dayang Sumbi (seorang) ibu yang awet muda hingga dicintai anaknya sendiri. Masih ada tokoh perempuan lain yang penting dalam cerita Sunda adalah Inten Dewata yang berasal dari daerah sekitar Garut. Di (kota) Limbangan ada (tokoh) Rambutkasih serta di Majalengka ada Ambetkasih. Yang gagah adalah Nyi Sumur Bandung (dalam cerita pantun Nyi Sumur Bandung) dan (tokoh) Rengganis (dalam Wawacan Rengganis).
Peranan perempuan dalam arti "pemuliaan" kepada kaum perempuan (indung) lebih kentara pada upacara-upacara yang bertalian dengan adat pertanian. Diawali dengan cerita mitologi Sanghyang Dewi Sri hingga diakhiri dengan berbagai tata laku yang berhubungan dengan perlakuan istimewa pada saat menanam padi. Perilaku hormat kepada Dewi Sri tampak pada awal penanaman hingga pascapanen. Di dalamnya sarat dengan upacara-upacara dan mantra-mantra untuk memulai sebuah pekerjaan. Upacara Seren Taun (1991) oleh masyarakat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar yang diselenggarakan setiap tahun menunjukkan betapa mendalamnya kecintaan kepada Dewi Sri. Kemudian di daerah Banjaran Kabupaten Bandung sering digelar pula upacara Seleh Taun (2000) yang waktunya digelar setelah panen padi.
Sementara di Urang Kanekes (Baduy), berdasarkan pada catatan pribadi Bapa Surya Saputra (1950: 3-4) yang pernah meneliti perikehidupan Baduy sekitar tahun 50-an menyebutkan adanya kosmologi Sunda yang didasarkan pada peranan perempuan. Dalam kepercayaan urang Kanekes, ada yang disebut Ambu Langit yaitu perempuan yang akan menugaskan Aing, Aku (aku yang masih dalam kandungan) untuk turun ke alam dunia. Oleh Ambu Langit, si Aing itu diserahkan kepada Ambu Tengah yang bernama Nyi Randakasih. Dari Ambu Tengah kemudian turun lagi ke Ambu Bumi yang bernama Ambu Dayang Wirati. Di sini Si Aing berkenalan dengan Ambu Dayang Wirati dan menerima cinta berahi. Maka dengan perantaraan cinta berahi dan kasih mesra seorang ibu dan seorang ayah yang disebut Indung Simbarang Kandung dan Bapa Simbarang Jadikeun, Si Aing bersemayan di dalam perut Indung Simbarang Kandung. Sesudah sembilan bulan Si Aing berbicara kepada Ambu untuk memohon izin mengembara di Buana Pancatengah.
Di dalam perut Indung Simbarang Kandung yang artinya bunda di dunia, maka Si Aing seolah-olah bertapa untuk melengkapi segala alat tubuh agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan isi di Buana Panca Tengah. Cara bertapa Si Aing adalah sebagai berikut:
- Sabulan Ngaherang (Sebulan bening gemilang)
- Dua bulan Ngalenggang (Dua bulan bergerak)
- Tilu bulan Ngarupa (Tilu bulan berupa)
- Opat bulan Ngareka (Empat bulan mereka-bentuk)
- Lima bulan Malik-muter (Lima bulan berbalik-berputar)
- Genep bulan Tumpang pitu (Enam bulan tampang tujuh)
- Tujuh bulan Nunjuk ka Sangiang Manggung (Tujuh bulan menunjuk Sangiang Manggung
- Dalapan bulan Lilimbungan di Tanah Payung (Delapan bulan berlimbung di Tanah Payung
- Salapan bulan Matur ka Ambu rek ngumbara ka buana Panca Tengah (Sembilan bulan pamitan kepada ibu hendak mengembara di Buana Pancatengah.
Indung menjadi sosok sentral spiritual orang Sunda. Kesempurnaan spiritual manusia memunculkan keagungan aspek humanisme sebagai simbol kediriannya. Dalam konteks demikian, pemuliaan atas indung menjadi simbol kesempurnaan bagi pencapaian spiritualitas yang dihayati melalui praktik nilai-nilai kemanusiaan. Indung adalah lambang kehidupan, lambang kesuburan, lambang ketentraman. Hal ini menegaskan pula bahwa puncak spiritualitas itu tidak melulu dicapai melalui pembacaan ayat-ayat Tuhan secara harfiah, melainkan juga dengan penyebaran dan penerapan pesan-pesan ilahiah melalui praktik kemanusiaan seperti seorang indung yang selalu memberikan upaya-upaya terbaiknya bagi terbentuknya insan kamil. Seorang ibu tidak pernah egois atas kepentingannya sendiri.
Seorang indung menemukan esensi kebahagian hidupnya melalui kebahagiaan manusia lain. Seorang indung selalu berbagi kehidupan dengan manusia lain. Dalam konteks ini, seorang ibu atau perempuan diyakini memiliki daya hidup lebih tinggi daripada laki-laki.
Di tengah konflik sosial, kemiskinan, dan kesulitan lain dalam menghadapi kelangsungan hidup, tak pelak indung dan anak-anak adalah korban yang paling rentan. Akan tetapi, dalam kondisi demikian, mereka mampu bertahan dan bangkit dari keterpurukan dan ketidakpastian hidup. Naluri alamiah untuk menjaga dan melindungi anak-anak membuat mereka mempu mengalahkan segala sakit dan derita. Sebuah kekuatan spiritual yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Sebuah lagu dalam bentuk Mamaos Sunda berjudul Pupunden Ati, yang ditulis Ny. Saodah Harnadi Natakusumah, (t.th: 18) menguraikan kecintaan dan kasih sayang indung kepada anaknya yang tanpa pamrih.
Mitologi perempuan Sunda terdapat pada cerita-cerita pantun, semacam cerita epos (kepahlawanan), dan tradisi-tradisi yang bertalian erat dengan kehidupan pertanian. Ada sejumlah sejumlah nama (tokoh) dalam mitologi Sunda yang diidentifikasikan sebagai tipikal perempuan Sunda, yaitu Dayang Sumbi, Sunan Ambu, dan Nyi Sri Pohaci. Ketiga tipikal tokoh yang berbeda karakter ini diharapkan dapat bersatu, menjelma pada sosok seorang indung, ibu. Indung menjadi lambang spiritual bukan saja untuk perempuan Sunda, tetapi untuk seluruh orang Sunda. Oleh karena dalam diri indung tercermin sifat-sifat teguh pendirian, bijaksana, pengayom, dan pendidik. Lebih dari itu semua, indung merupakan kekuatan moral atau kekuatan spiritual, baik untuk diri, keluarga, maupun bangsa.
Referensi
- Atja dan Daleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakandang Karesian. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
- Adimihardja,Kusnaka. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh. Bandung: Tarsito
- Bakri, Ahmad. 1976. Sanghiang Lutung Kasarung. Jakarta: Pustaka Jaya
- Ekadjati,Edi S. 1983.'Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan'. Bandung: Lembaga Kebudayaan Unpad ± The Toyota Foundation.
- ---------------- et.al.1987. Peta Sejarah Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Ditjarahnitra, Depdikbud.
- ----------------. 2005. Kebudayaan Sunda Jilid 1-2. Jakarta: Pustaka Jaya
- "Kawanitaan Anu Dipuhit ku Ki Sunda" oleh Enoch Atmadibrata. Mangle No. 1695.
- "Ngalaksa, Upacara Ungkap Rasa Syukur". Pikiran Rakyat: 6 Juli 2002.
- "Seni Tarawangsa di Dalam Mitos Dewi Sri " oleh Cahya Hedy. Pikiran Rakyat: 27 Desember 1999.
- "Sosok Ibu dan Spiritualitas". Oleh Neneng Yanti Kh. Pikiran Rakyat: 22 Desember 2006.