Cari

Menjadi Kaya Menurut Perspektif Jati Sunda Zaman Pajajaran | Filsafat Kipayah atau Rezeki

 


Historiana - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Di zaman Pajajaran dikenal upacara Kuwera Bakti. Upacara Kuwera Bakti merupakan bagian upacara syukur sekaligus memohon rezeki berupa kekayaan. Hasil panen yang melimpah dengan peribahasa yang menggambarkannya adalah "bru di juru, bro di panto, ngalayah di tengah imah". 

Upacara dilaksanakan di Pakuan, saat dayeuh pajajaran ramai meriah dihadiri dari seluruh pelosok wilayah Sunda dengan puncaknya di Pamunjungan Agung dilantunkan Kitab Suci Layang Salaka Domas (kitab suci 800 ayat). Kuwera Bakti dilaksanakan selama 10 hari, diawali pada bulan mangsa bakti sebelum bulan purnama dan puncaknya yaitu pada hari malamnya bulan purnama yakni pada esok harinya tanggal 1 Mangsa Guru (awal tahun sunda).

Pengertian Kaya menurut Kamus besar bahasa Indonesia (KKBI) mengartikan kaya sebagai mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), (Online, Kbbi,web.id, 28 Januari 2022). Dari arti tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa kaya adalah suatu pandangan yang ditujukan kepada orang yang memiliki harta benda banyak dan seluruh kebutuhannya dapat terpenuhi.

Kaya dalam bahasa yang tercantum dalam naskah lontar Sunda disebut Kreta yang berasal dari kata keadaan-Artha. Jadi Kreta adalah kata kerja atau kata benda. Kemudian terjadi evolusi kata kreta yang berubah menjadi kerta.

Kaya dalam ajaran agama Jati Sunda disebut Kreta atau Artha (harta benda). Artha merupakan bagian dari Catur Purusa Arta yaitu empat tujuan hidup dalam ajaran Jati Sunda yang memiliki kesamaan dengan konsepsi atau mungkin berasal dari agama Hindu yaitu dharma, artha, kama, dan Moksa. Di zaman Pajajaran ada doa-doa yang memohon kekayaan sepeti Mugia Kreta waluya jatnika (Semoga berlimpah harta, sehat sentosa, dan bahagia). Kreta adalah: kekayaan (artha atau Kreta) merupakan target hidup yang ingin dicapai manusia Sunda zaman Pajajaran untuk mencapai moksa. Jadi tidak ada salahnya jika urang Sunda kaya, karena memang itu tujuan hidup manusia sesuai dengan konsep moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Kebahagiaan jasmani (Jagadhita) merupakan tujuan hidup seseorang.

Lalu bagaimanakah caranya menjadi kaya menurut ajaran Jati Sunda? Sebelum membahas bagaimana caranya, kita pahami dahulu konsep kipayah atau rezeki. Kipayah berasal dari bahasa sansekerta "Siti Payah". Siti berarti Tanah atau Bumi. Mengaitkan dengan tanah dan Bumi dapat diapahami, dimana di zaman Pajajaran, tumpuan utama ekonomi kerajaan dan rakyatnya adalah pertanian. Siti Payah atau Kipayah diartikan sebagai Rezeki atau Penghidupan. Dalam kebiasaan sehari-hari, seringkali bahasa disingkat menjadi "Tipayah". Perubahan fonetik menjadi Kipayah mungkin karena terjadi evolusi bahasa Sunda yang berlangsung ratusan atau ribuan tahun.Di zaman sekarang, kita sering mendengar seorang bapak atau mungkin ayah kita sendiri mengatakan "Keur usaha neangan kipayah" (Lagi berusaha mencari rezeki). Jadi Kipayah bukan berasal dari bahasa Arab Kifayah. Waktu penulis masih kecil sempat berpikir kata Kipayah dalam bahasa Sunda berasal dari bahasa Arab seperti "Fardu Kifayah" yang dalam lafal lidah orang Sunda dibaca "Pardu Kipayah". Ternyata artinya jauh berbeda. Arti dari kata kipayah dalam Kamus Bahasa Sunda Modern adalah: mata pencaharian, pekerjaan. Dari penjelasan leluhur saya, Kipayah sarua jeung pakasaban atawa rijki. Sedangkan Fardu kifayah adalah status hukum dari sebuah aktivitas dalam Islam yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur.

Menurut Pitutur Sunan Ambu, Kipayah (rezeki) ibarat patanjala atau air hujan: jelas nyata dan berlimpah. Tuhan menebarkan kipayah/rezeki kepada seluruh makhluknya di buana panca tengah/muka bumi. Siapkanlah wadah untuk menampung air hujan itu. Berfokuslah dalam menyediakan tampungan untuk air hujan itu (patanjala). Sekali lagi fokus pada wadah yang mampu kita siapkan dan sediakan, bukan pada air hujannya. Wadah rejeki mereka itu ibaratkan sebuah wadah dan rejeki itu ibaratkan hujan yang turun dari langit. Semakin besar wadah untuk menampung air hujan maka air hujan yang kita dapatkan pun juga akan semakin besar. Misalnya wadah yang kita miliki adalah mangkuk, maka air hujan yang tertampung maksimal adalah satu mangkuk itu. Bagaimana jika wadah itu berupa baskom, kolam atau danau? wow, akan banyak sekali yang tertampung!! Lalu mungkinkan sebesar lautan? Tidak! Lautan itu milik Tuhan yang Maha Kaya, Sanghyang Kreta.

Bagaimana cara memperbesar wadah tampungan itu? Pertama Upaya (ikhtiar atau usaha). Kedua, Pangaweruh (Ilmu), doa (parthana/prārthanā) serta Sembah Hyang (sembahyang). Intinya adalah Trikaya Mandala Parisuda (pikiran yang tenang, ucapan yang tenang, dan kelakuan yang tenang). Uraian lengkap Trikaya Mandala Parisuda terjabarkan dengan rinci pada naskah lontar Sunda Sanghyang Sasana Mahaguru (Kropak 621).

Kenapa rezeki manusia itu berbeda? Karena wadah mereka untuk menampung rejeki juga berbeda. Ada yang kecil, ada yang sedang, dan ada yang besar. Bahkan ada yang sangat besar. Tentu kita pun tahu bahwa kenapa diluar sana banyak orang yang bekerja siang malam tapi rejekinya segitu-gitu aja, di sisi lain ada orang yang bekerjanya santai tapi uangnya banyak.

Mereka mungkin saja punya uang banyak meski bekerjanya (upaya) tidak terlalu berat karena mereka memiliki pangaweruh, dan doa (prārthanā) serta sembahyang yang tus/temen (khusyu). Rezeki itu seperti Hujan: Jelas, Nyata dan Berlimpah.

Bagaimana cara memperbesar wadah penampung tersebut? Dalam Jati Sunda telah kehilangan jejaknya. Namun bila mengacu adanya upacara yang menyebut nama Dewa Kuwera, tata caranya terkait dengan konsepsi dalam agama Hindu. Caranya adalah menjalankan Catur Purusa Artha seperti disebutkan di atas. Secara etimologis Catur Purusa Artha berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata Catur, Purusa dan Artha. Catur diartikan empat, Purusa berarti manusia dan Artha artinya tujuan. Sehingga Catur Purusa Artha dapat diartikan empat tujuan hidup manusia.

Perbuatan manusia itu pada hakekatnya didasarkan pada usaha untuk mencapai empat hakekat hidup yang terpenting yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang tidak di dorong oleh keinginannnya untuk mencapai keempat tujuan itu, sehingga dapat dikatakan bahwa keempat hal inilah yang menjadi hakekat tujuan hidup manusia. Dharma adalah kebajikan, kebenaran, peraturan-peraturan yang mendukung orang untuk mendapatkan kebahagiaan. Artha yaitu benda-benda duniawi yang dapat memuaskan kama. Artha merupakan obyek dari kama sehingga seseorang nikmat merasakan hidup ini. Kama yaitu keinginan, nafsu, motif yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu, yang mendorong orang bergairah dan bergirang dalam hidup ini. Moksa berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata “Muc” yang artinya “Membebaskan” atau “Melepaskan”.

Adalagi suatu keadaan secara spiritual, dimana seseorang sebenarnya memiliki wadah namun tertutup. Katakanlah ia memiliki mangkuk untuk menampung air hujan tetapi memiliki penutup. Maka tidak mungkin dapat menampung air hujan itu. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk membukanya. Cara membukanya berbeda-beda antara seorang individu dengan individu lainnya. Biasanya para pandhita akan menekung mujasmedi (bersemedi) memohon petunjuk Tuhan yang Maha esa.

Dalam berbagai agama lain pun memiliki cara pandangnya tersendiri.Tata caranya pun berbeda pula.

Sudah 443 tahun berlalu, 55 musim terlewati Seren Taun Tutug Galur atau Upacara Kuwera Bakti terakhir di tanah Pajajaran. Upacara 8 tahunan adat Sunda, yg tidak bisa lagi dilaksanakan karena Pakwan sudah tidak ada.

Tutug Galur Kuwera Bakti tinggal kenangan, bersembunyi dibalik zaman, Cahaya moncorong meredup, matahari berganti dengan bulan, Ki Sunda sudah banyak terlupakan.


Referensi

  1. DjatiSunda, Anis. 2008. "Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun dan Babad" Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar) "Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang ", tanggal 19-20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Pdf
  2. Sanghyang Sasana Maha Guru Dan Kala Purbaka. Suntingan dan Terjemaahan oleh Aditia Gunawan. Editor Agung Kriswanto – Nindya Noegroho. Perpustakaan Nasional RI-2009.
  3. Aditya Gunawa. naskah-sunda.blogspot.com Diakses 8 Juni 2018
  4. Khastara Perpustakaan Republik Indonesia
Baca Juga

Sponsor