Cari

Para Ratu dari 16 Kerajaan Memberontak terhadap Kerajaan Pajajaran


 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Kekuasaan Sri Baduga Maharaja berakhir pada tahun 1443 Saka (1521/1522 Masehi). Pada tahun itu Sri Baduga wafat. Ia kemudian digantikan oleh putra Sulung dari Permaisurinya Sakyan Kentring Manik Mayang Sunda (Dewi Mayangsunda) yaitu Sang Surawisesa. Sebelumnya Surawisesa menjabat sebagai Adipati Sunda Kalapa bergelar Ratu Sanghyang Surawisesa Jayengrana atau Surawisesa Jayaperkosa. 

Selama pemerintahan Surawisesa, terdapat 16 kerajaan bawahan yang memberontak terhadap Kerajaan Sunda atau Pajajaran. Dengan berani mereka melawan Prabhu Surawisesa. Ked 16 ratu atau raja wilayah dimaksud adalah:

  1. Kyai Arya Baroh dari Kalapa Dalem atau Kalapa Kulon.
  2. Kyai Wudhubasuraga dari Tanjung.
  3. Nyai Ngajirasa dari Ancol.
  4. Adhipati Suranggana dari Wahanten Girang.
  5. Sang Arya Suraprasa dari Simpang.
  6. Arya Pulunggana dari Gunung Batu.
  7. Ratu Hyang Banaspati dari Saung Agung.
  8. Arya Sukara dari Rumbut.
  9. Tumenggung Linggageni dari Gunung Ageung.
  10. Sang Adhipati Patala dari Padang
  11. Prabhu Yasanagara dari Pagawok.
  12. Sang Arya Wirasakti dari Muntur
  13. Arya Senapati Bhimajaya dari Hanum.
  14. Sang Arya Wulunggada dari Pagerwesi.
  15. Pradharmaya dari Medhang Kahyangan
  16. Sang Prabhu Walahar dari Gunung Banjar.

Prabhu Surawisesa sendiri tidak merasa gentar sedikit pun menghadapi pemberontakan para ratu wilayah itu, karena sangan percaya diri dari kekuatan kesatuan bersenjata Kerajaan Sunda (Pajajaran). Para artu yang memberontak tersebut telah menganut Agama Islam. Kemudian Prabhu Surawisesa mengumpulkan ratu-ratu wilayah yang masih setia kepadanya, guna menghimpun kekuatan dan merapatkan barisan membela Pajajaran.

Pada pertengahan tahun 1444 Saka (1522 Masehi), Prabhu Surawisesa dengan kekuatan bersenjatanya mulai melakukan penyerangan terhadap ratu-ratu wilayah yang memberontak. Satu demi satu ratu-ratu wilayah itu diserang dan ditundukannya. Perang saudara di Bhumi Jawa Kulon itu berlangsung selama tiga tahun. Akhirnya pihak Pajajaran memperoleh kemenangan dan ke 16 ratu wilayah yang memberontak itu dapat ditundukkan. Tidak sedikit pula pihak pemberontak melarikan diri ke Pakungwati, Cirebon. Angkatan bersenjata Pajajaran tidak berani mengejar ke Cirebon, karena Cirebon dilindungi oleh kesatuan bersenjata Kerajaan Demak.

Pada saat itu yang menjadi penguasa di Kerajaan Cirebon adalah Syarif Hidayat, cucu Sri Baduga Maharaja dari istrinya yang ketiga, Nyai Subanglarang. Syarif Hidayat disebut juga Makdum Jati atau Susuhunan Jati Cirebon. Disamping menjadi raja, ia pun menjadi guru agama Islam dan menjadi salah seorang wali diantara sembilan wali (Wali Songo) di Pulau Jawa.

Ketika Pakungwati Cirebon didatangi pengungsi dan pelarian pemberontak dari wilayah Kerajaan Pajajaran, Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) seperti memberi isyarat sudah saatnya wilayah-wilayah kafir diserang oleh kesatuan muslim. Oleh karena itu, ia mengutus seseorang pergi ke Demak. Maksudnya memberitahu agar Sultan Demak merebut semua wilayah yang terletak di sepanjang pantai utara Jawa Kulon (Jawa bagian Barat). Selain itu, diberitahukan pula bahwa tidak lama lagi kesatuan bersenjata Portugis akan tiba untuk memberi bantuan kepada raja Pajajaran.

Setelah mendapat kabar dari Cirebon, kemudian Sultan Demak memerintahkan Panglima Fadhillah, adik iparnya untuk pergi ke Jawa bagian Barat guna menyelidiki wilayah-wilayah pantai utara Jawa bagian Barat. Fadillah disuruh menemui Pangeran Sabakingkin di Banten, yang sedang mengacau bersama para santrinya. Berangkatlah Sang Panglima Fadillah bersama pengiringnya ke Jawa Bagian barat. Mereka menyamar sebagai pedagang yang berkeliling kota, pedukuhan, bandar dan desa-desa. Selama berbulan-bulan Fadillah dan pengiringnya keluar masuk wilayah dibawah kekuasaan Pajajaran. Setelah itu, mereka kembali ke Demak dan singgah dahulu di Cirebon.

Panglima Fadhillah menyampaikan laporan tentang penyelidikannya di wilayah pantai utara Jawa Bagian Barat kepada Sultan Demak. Situasi wilayah-wilayah itu dipaparkannya secara rinci, juga pertemuannya dengan Pangeran Sabakingkin. Selanjutnya, Sultan Demak mengerahkan angkatan bersenjatanya ke Cirebon dan bergabung dengan angkatan bersenjata di sana. Tentu saja Cirebon pun pasukan bersenjatanya telah siap tempur.

Pada tahun 1448 Saka (1526 Masehi), gabungan pasukan bersenjata Demak dan Cirebon berduyun-duyun menuju wilayah Banten. Gabungan pasukan bersenjata tersebut berjumlah 1967 orang di bawah pimpinan Panglima Besar Fadhillah dan beberapa orang panglima Demak lainnya. Dari kalangan angkatan bersenjata Cirebon yang diserahi tugas sebagai pemimpin yaitu Pangeran Cirebon, Dipati Keling dan Dipati Cangkuang.

Pada saat itu situasi Banten sendiri sedang gawat. Penduduk sedang panik karena menghadapi kekacauan yang digerakkan oleh golongan muslim di bawah pimpinan Pangeran Sabakingkin, Putra Susuhunan Jati Cirebon. Keadaan kian bertambah kacau, setelah pasukan Panglima Fadhillah datang menyerbu. Pangeran Sabakingkin dan anak buahnya menyerbu kesatuan bersenjata Banten yang dianggap kafir. Perang berkecamuk dengan hebatnya. Warga masyarakat Banten kian terdesak dan banyak yang melarikan diri. Begitu pula Adipati Banten Sang Arya Surajaya (Kakak Nyai Kawunganten) dengan kaum kerabatnya mengungsi ke Ibukota Pakuan Pajajaran. Maka sejak saat itu kekuasaan Adhipati Surajaya sebagai penguasa Banten berakhirm setelah berkuasa sejak tahun 1441 Saka (1519 Masehi).

Wilayah Banten telah dikuasai Pangeran Sabakingkin, namun perjuangan belum selesai. Begitulah kira-kira perasaan Sultan Demak dan Cirebon setelah pasukan bersenjatanya berhasil mengalahkan Banten. Mereka kemudia menghimpun kekuatan dan menyusun taktik lagi untuk melakukan penyerbuan ke wilayah Sunda Kalapa. Pada tahun 1449 Saka (1527 Masehi) pasukan muslim yang terdiri atas 1452 orang prajurit menyerang Sunda Kalapa. Pecahlah pertempuran di darat dan di laut dengan dahsyatnya. Pihak Sunda Kalapa kewalahan menghadapi pasukan lawan yang begitu banyak dan terampil berperang. Pasukan Sunda Kalapa yang jumlahnya sedikit itu kian lama kian terdesak dan banyak korban dari prajurit Sunda Kalapa. Prajurit lainnya diantara meraka melarikan diri ke hutan dan ke Pakuan.

Saat itu, Adhipati Sunda Kalapa Sang Surakerta bersama permaisuri, keluarga dan pengirinya gugur tak bersisa. Sejak itu, Arya Surakerta dijuluki Sang Lumahing Kalapa. Surakerta berkuasa di Sunda Kalapa sejak tahun 1443 Saka (1521 Masehi).

Akhirnya perang pun usai, Sunda Kalapa jatuh ke tangan pihak muslim. Kemudian Susuhunan Jati mengangkat Panglima Besar Fadhillah menjadi Bupati Sunda Kalapa. Namun belum lama setelah Fadhillah menjadi bupati, mendaratlah pasukan Portugis di Sunda Kalapa. Pasukan Portugis tidak mengira bahwa Sunda Kalapa telah diduduki oleh pasukan muslimin. Selanjutnya perang pun berkobar tak terhindarkan lagi. Akhirnya pihak Portugis terdesak dan segera kembali naik kapal dan kemudian kembali ke Pasai.

Ibarat membakar hutan di musim kemarau, dalam waktu singkat tak seberapa lama akan musnahlah hutan itu dilahap api. Seperti itulah kira-kira pengalaman angkatan bersenjata muslim dalam menundukkan ratu-ratu wilayah non-muslim. Dalam waktu tidak lama, telah banyak ratu wilayah takluk kepada mereka/ Hal ini membuat permusuhan kian meruncing antara Raja Pajajaran dengan Susuhunan Jati kian meruncing.

Rupanya Raja Pajajran Prabhu Surawisesa dengan Susuhunan Jati menyadari bahwa permusuhan tidak bermanfaat bagi keduanya. Korban nyawa telah banyak berjatuhan. Menurut kesaksian Portugis, banyak Janda para tentara yang tewas melarikan diri ke hutan dan memilih belapati mengakhiri hidupnya atau bertapa hingga meninggal daripada menjadi tawanan perang. Pada tanggal 14 Paro-terang bulan Asadha tahun 1453 Saka (29 Juni 1531 Masehi), Kerajaan Pajajaran dan Cirebon mengadakan perjanjian tidak bermusuhan. Kedua belah pihak mengakui bahwa sebenarnya di antara mereka masih merupakan keluarga sedarah. Adapun bunyi perjanjian itu adalah:

  1. Mereka tidak saling menyerang
  2. Mereka akan Silih Asih (saling mnyayangi)
  3. Mereka akan saling membantu
  4. Tali kekerabatan tidak akan putus.

Dua tahun setelah perjanjian damai ditandatangani, di Kerajaan Pajajaran sibuk mempersiapkan sesuatu. Segenap aparat tidak ada yang bertumpang kaki, semua sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Ternyata Prabhu Surawisesa sedang menyelenggarakan upacara Sradha, yaitu upacara memperingati wafatnya Sri Baduga Maharaja. Upacara itu berlangsung tepat pada tanggal 7 paro-gelap bulan Bhadrawada tahun 1455 Saka (14 September 1533 Masehi). Salah satu acara dalam upacara itu adalah pembuatan 'Sasakala' tanda peringatan atau prasasti yang kelah dikenal sebagai "Prasasti Batu Tulis Bogor". Upacara srada yakni wujud "penyempurnaan sukma", yang diadakan setelah 12 tahun seorang raja wafat.

Dua tahun kemudian setelah upacara Sradha dilakukan, yaitu pada tahun 1457 Saka (1535 Masehi), awan muram di langi Bhumi Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran Prabhu Surawisesa tutup usia setelah berkuasa selama 14 tahun. Selanjutnya takhta diteruskan oleh putranya Ratu Dewata. Barangkali nama Ratu Dewata teringat kebesaran nama ayahanda Surawisesa yaitu Jayadewata alias Sri Baduga Maharaja atau Prabhu Siliwangi.

Pasca wafatnya Surawisesa, perjanjian damai dilanggar. Peperangan demi peperangan pun terjadi lagi. Kekuatan Pajajaran dan wilayahnya kian surut. Akhirnya kerajaan ini runtuh karena serangan Kerajaan Banten pada tahun 1579 M.

 

Sumber: Buku "Carita Parahiyangan Karya Pangeran Wangsakerta: Ringkasan, Konteks Sejarah dan peta" karya Abdurrahman, Etti R.S., Edi S. Ekadjati. Cetakan 1. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1991


Baca Juga

Sponsor