Cari

Sarana Peribadatan Agama Sunda di Zaman Kerajaan Pajajaran

Punden Berundak Lebak Cibedug
Kampung Cibedug, Kelurahan Citorek Barat,
Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.
Sumber: kemdikbud.go.id

 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Menghadapi proses ini manusia sunda dihadapkan kepada dua jagat yang disebut "Jagat jadi carita dan Jagat kari carita" (dunia fana dan alam baka).

Di jagat kari carita. terdapat mandala dan buana karma atau Jagat pancaka. Mandala tersebut terdiri dari 9 tingkat secara vertikal, diantaranya dari bawah keatas:

  1. Mandala Kasungka
  2. Mandala Parmana
  3. Mandala Karma
  4. Mandala Rasa
  5. Mandala Seba
  6. Mandala Suda
  7. Mandala Jati
  8. Mandala Samar
  9. Mandala Ageung.
Setiap roh orang mati, harus masuk dulu ke Mandala Kasungka (mandala paling bawah). Jika semasa hidupnya tidak-baik, harus pindah dulu ke Kawah Panggodogan di Buana Karma, untuk mendapatkan ujian-ujian. Bagi yang masa hidupnya baik-baik, bisa secara langsung naik sampai ke mandala yang lebih tinggi.

Sarana sebagai tempat peribadatan Agama Sunda zamannya Pajajaran ada tiga macam yang termasuk inti:

l) Balay Pamunjungan,

Balay Pamunjungan berupa bukit Punden Berundak 12 undakan, yang dibagian puncaknya dan di 2 tingkat di bawahnya terdapat Arca-arca sebanyak 800 buah, yang lajirn disebut "Arca Domas". Konon, Balay Pamunjungan yang paling mewah dan megah di Pakuan Pajajaran, pada zarnannya Prabu Siliwangi. Yakni yang disebut Balay Pamunjungan Kihara Hyang berlokasi di "Leuweung Songgom" (hutan songgom) kira-kira wilayah Kampung Bantar Kemang sekarang. Selain lapangan di bawahnya sangat luas juga di puncali bukit yang disebut balay, dipadati oleh arca-arca emas seutuhnya sebanyak 400 buah. Arca lain yang 400 lagi dari batu, terdapat di tingkat kedua ketiga yang disebut Babalayan.

Punden semacam ini terdapat hanya di Pakuan (pusat kerajaan), sebagai sarana upacara peribadatan "munjung" kepada Hyang Maha Agung baik dalam Seren Taun Guru Bumi (tahunan) maupun Seren Taun Tutug Galur (Kuwera Bakti) delapan tahunan. Bahkan kegiatan-kegiatan upacara kecil lainnya. Sebagai pimpinan keagamaannya disebut Brahmesta yang dibantu oleh para Ganidri, Mqrukangsa, Puun Meuray, Puun Sari, para Puun dan para Pangwereg Punjung.

Sebagai tempat mandi sucinya, telaga yang terdapat di sungai Cihaliwung, yakni yang disebut T'alaga (Wa)rena Mahawijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Leuwi Sipatahunan. Secara hipotesis Telaga dan Balay Pamunjungan Kihara Hyang (Gugunungan-ngabalay - bukit sebagai balay) ini dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sebagairnana tertera dalam prasasti Batutulis Bogor ".....ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan -samida, nyiyan sanghyang talaga (wa)rena mahawijaya......" Karya Siliwangi ini mungkin rnerupakan pengganti telaga Sanghyang Rancamaya yang sudah ditimbuni oleh Sang Haluwesi adik Prabu Susuk Tunggal karena disana ada gaib jahat yang selalu muncul. Sebagaimana dikutip dari naskah lontar Carita Parahiyangan (CP) memberitakan: "....Sanghyang Haluwesi. Nu nyaeuran Sang Hyang Rancamaya. Mijiilna ti sanghyang rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hyang banaspati ..." Yang rnenurut Pantun "Disaeurna Talaga Rancahmaya" gaib jahat itu tiap tahun selalu meminta "pimatarameun" (kurban) tujuh pasang manusia muda-mudi yang disebut "Sekar Manah" .

Berita tersebut mengisyaratkan, bahwa pada zamannya Prabu Susuk Tunggal (1382-1482 M) mertuanya Prabu Sitiwangi, Telaga Sanghyang Rancamaya sudah tidak difungsikan lagi termasuk Pasir Badigul atau menurut Rajah Pakuan disebut Sanghyang Padungkukan, sebagai Balay Pamunjungannya. Tentu saja penelitian lebih lanjut masih perlu dilaksanakan.

2). Babalayan Pamujan

Babalayan Pamujanini pun berupa punden yang terdapat di Kabupatian-kabupatian Luar Dayeuh aiau Kapuunan-kapuunan. Undakan pada punden macam ini hanya sebanyak 9 atau 7 undak dan tidak terdapat arca-arca, yang ada hanya kumpulan batu-batu besar pada tiap tingkat undakannya. Fungsinya sebagai tempat upacara "Muja" baik kepada para Sanghyang maupun kepada para Karuhun, yang dipimpin oleh Pandita atau Puun dan Kokolot.

3). Saung Sajen (Pancak Saji)

Saung Sajen (Pancak Saji), berupa bangunan khusus untuk menyimpan sesaji dalam upacara "nyajen",terbuat semacam rumah panggung mini tanpa kamar-kamar, tapi ada semacam altar untuk penyimpanan sesaji. Bangunan ini terdapat di lingkungan pemukiman baik dekat Keraton, Rumah Puun, Rumah Bupati ataupun rumah warga'

Disamping sarana tersebut, masih ada tempat-tempat "sajen" yang tersebar di tempat-tempat ylang dianggap memiliki daya gaib atau keramat seperti didepan gua, dibawah pohon besar, dihulu sungai, tengah hutan dsb. Tempat-tempat semacam itu sebahagian besar senantiasa ditandai oleh adanya "batu-batu besar" dan "batu-datar" sebagai wahana penyatuan diri antara manusia dengan sang gaib yang dihormatinya'. Tujuan demi terselenggaranya keselarasan hidup antar sesama makhluk dan unsur alam lainnya sesama ciptaan Sang Hyang Keresa. Sebab dalam ajaran Aganma Sunda, makhluk manusia yang sudah "nyunda", mesti menyadari, bahwa yang diistilahkan:

"utek tongo walang taga, manusa buta detia, lukut jukut rungkun kayu, keusik karihkil cadas batu, cinyusu talaga Sagara, bumi langit jagat mahpar, angin leutik angin puih, bentang rapang, bulan ngempray, Sang herang ngenge nongtoreng. Eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal. Keur inyana mah kabeh geh sarua euweuh bedana".

(satwa terkecil sampai yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut-rumput-perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas sampai bebatuan, mata air-telaga sampai iautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin topan, bintang bertaburan-Bulan terang, Matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal.Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada perbedaannya).

Beranjak dari faham inilah, maka bagi manusia sunda "alam itu bukan untuk ditaklukan, tetapi harus disahabati, diakabi bahkan dihormati". Implementasinya, melalui pranata "puja-puji-saji" lewat mandala suci sarana peribadatan.

Sarana peribadatan agama sunda yang disebut-sebut Pantun Bogor diantaranya Balay Pamunjungan Rancamaya-Pasir Badigul pendetanya Resi Tugu Perbangsa, Balay Pamunjungan Kihara Hyang-Sipatahunan, pendetanya (Brahmesta Tunda Pura), Babalayan Pamujan Mandalawangi-Talaga Wana, pendetanya Resi Handeulawangi, Babalayan Pamujan Genter Bumi-Cisakawayana Resi Tutug Windu. Balay Pamunjungan Mandala Parakanjati (SBR) - Sanghyang Tampian Dalem, pendetanya Sanghyang Resi Kumarajati dan lain-lain.

Dambaan utama orang sunda setelah meninggal, bukan untuk mencari surga, tetapi menghendaki bisa kembali ke "Kahyangan" (Mandala Agung) sebagaimana asalnya, tanpa mesti melewati dulu mandala-mandala dibawahnya. Sebab ketika lahir datang dari "mandala Hyang" tanpa rencana, kembali pun melalui proses "Ngahiyang" tanpa mesti direncanakan menginginkan sorga. Hal inilah yang dalam pengistilahan Sunda disebut "mulih kajati mulang ka asal".

Sarana peribadatan Sunda Kuno yang tidak bernuansa l{indu-Budha, jika ditilik dari aspek historis nasional, memiliki nilai-nilai spiritual yang mandiri. Dalam hal ini, jika semua pusat pemerintahan masa silam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan berdiri megahnya Candi-candi, di pusat-pusat Kerajaan Sunda Pajajaran, Galuh, Talaga, Singaparna juga Kawali, yang jadi penanda kebesarannya adalah "tradisi megalitiknya" bercirikan batu-batu besar. Inilah suatu bukti bahwa orang sunda telah memiliki agama lokal yang cukup mapan.


Referensi

  1. Djatisunda, Anis. 2008. "Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuna Menurut Berita Pantun & Babad". Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar) "Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang",  t4'  19'20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupate
  2. Munandar, Agus Aris. 2010. "Tatar Sunda Masa Silam". Jakarta: Wedatama Widyasastra
Baca Juga

Sponsor