Cari

Apakah Darigama itu? Berasal dari Sundarigama? | Aturan Agama, Darigama dan Nagara dalam Kehidupan Sunda

[Historiana] - oleh Alam Wangsa Ungkara | Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, orangtua -orangtua zaman dahulu bahkan hingga hingga kini menasehati anak-cucunya dalam kalimat "Ikutilah selalu aturan Agama, Aturan Darigama dan Aturan Nagara". Demikian ungkapan yang disampaikan sebagai nasihat kepada anak-cucunya atau orang lain dalam menjalani kehidupan di masyarakat sekaligus dalam bernegara.

 

Lalu apa itu Darigama?

Secara etimologis (asal-usul kata) agak sulit menelusurinya. Beberapa orang mencoba mendefinisikan "Darigama" adalah aturan lain di luar agama yang bersifat biasa atau umum (profan), meskipun yang biasa ini juga kadang-kadang berasal dari agama atau ‘diselimuti’ oleh agama (sakral.) Aturan-aturan agama adalah segala sesuatu yang harus diamalkan, diikuti, dan diyakini untuk memeroleh kebahagiaan (kabagjaan) hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di alam benjang (alam hidup setelah mati/alam arwah.) atau Nirwana atau Akhirat. Ada lagi yang membandingkannya dengan aturan agama bersifat ukhrawi (akhirat), sedangkan Darigama adalah aturan untuk hidup di dunia atau bersifat Duniawi. Benarkah demikian? Jika Darigama dimaksudkan aturan selain Agama atau urusan duniawi, mengapa ada aturan keti yaitu "Aturan Nagara" yang berupa Undang-undang dengan turunannya KHUP dan KUHAP, Perpres, Permen, Perda dan lain-lain. Sedangkan aturan Agama sudah cukup jelas dipahami oleh urang Sunda sebagai aturan baku bagaimana beribadah dan beramal dalam kehidupan sehari-hari. Jadi apa itu Darigama?

Kita lihat beberapa hal yang dikategorikan aturan Darigama. Darigama sering disebutkan berkaitan dengan aturan Adat dan Budaya secara spesifik. Misalnya aturan dalam prosesi upacara kematian secara adat menyakut aturan agama dan budaya sekaligus yang dinilai tidak berbenturan. Berikut beberapa contoh aturan Darigama yang menyertai ritual Agama

Setiap daerah mempunyai “adat istadat” sebagai karakteristik lingkaran hidup mereka. Adat istiadat bertautan dengan kepercayaan orang sunda. Kehidupan manusia semenjak dari lahir (Sambada) sampai meninggal (Winasa) selalu diwarnai dengan corak adat istiadat. Aktivitas masyarakat Sunda dalam upacara adat istiadat terbagi kedalam: 1) Upacara adat sebelum lahir 2) Upacara adat selama hidup 3) Upacara adat setelah meninggal. Keseluruhan upacara-upacara itu sebagai berikut:


1. Upacara adat sebelum lahir

  • Hajat Bangsal (gabah)
  • Tingkeban (upacara kandungan 7 bulan )
  • Hajat Bubur Lolos

2. Upacara adat selama hidup

  • Kelahiran
  • Mahinum atau tasyakur (40 hari usia bayi)
  • Sunatan/Khitanan disertai dengan Menyediakan Bakakak hayam
  • Bancakan (ulang tahun)
  • Nyangcang/Pertunangan (bethrotal)
  • Perkawinan disertai Saweran, Lempar Harupat dan lain-lain

3. Upacara kematian

  • Nyusur tanah (pada hari kematian)
  • Tiluna
  • Tujuhna
  • Matang puluh (hari ke-40)
  • Natus (hari ke-100)
  • Mendak Tahun (Ulang tahun kematian)
  • Newu (hari ke- 1000)

Contoh Bancakan Liwet
Foto: PatiNews

 

Dalam adat istiadat masyarakat Sunda pengambilan sumber berasal dari kebiasaan masa lalu yang selalu digunakan (kearifan lokal) yang bersumber dari orang-orang terdahulu pada awal masuknya Agama Islam, maupun akulturasi budaya antara Islam dan Sunda sehingga memunculkan budaya baru. Kebiasaan lama dalam budaya Sunda inilah yang disebut sebagai Darigama. Jadi, Hukum atau Aturan Nagara nampak jelas dalam pemaparan dia atas tidak termasuk aturan Darigama.

Contoh lain praktek ritual diluar Agama Islam yang dianut sebagian besar Urang Sunda sekarang ini diantaranya adalah: Puasa Weton, Puasa Mutih, Mati Geni, dan Upacara Ruwatan (Ruwat diri, kampung atau Gedung/rumah). Tata Upacara Perkawinan, Upacara Kelahiran dan Kematian. Selain itu budaya mengunjungi (Ziarah) ke tempat-tempat kramat atau contoh lainnya dalam tata cara mupusti (merawat) benda pusakan dengan cara-cara tertentu. Praktek budaya itu mengikuti aturannya sendiri yang termasuk aturan Darigama. Misalnya sebuah ritual memerlukan sesajian (sejajen/bebantenan) apa dan dilakukan pada waktu kapan. Diantara bahan upacara yang digunakan misalnya nasi tumpeng, ketan kuning, bunga-bungaan dan air dalam bejana (sekarang dalam botol kemasan).

Kehidupan manusia tidak hanya mengacu pada aturan-aturan agama saja, melainkan juga pada aturan-aturan bukan agama, karena banyak acuan yang dibutuhkan oleh manusia tidak tertampung oleh dan dalam agama. Acuan-acuan inilah yang ditampung dalam darigama sehingga orang memperoleh kemudahan dalam menghadapi lingkungannya. 

Aturan-aturan darigama ini tidak pernah bertentangan dengan aturan-aturan agama, demikian pula sebaliknya. Kerukunan kedua aturan inilah yang jika diamalkan, disebut oleh orang Pasanggrahan, akan memeroleh kehidupan tata tentrem kerta raharja (hidup tertib, aman, dan makmur.) Walaupun kedua aturan itu berbeda sumber namun bertujuan sama yaitu membahagiakan (ngabagjakeun) manusia. Demikian menurut Tihami dalam Jurnal Refleksi berjudul "Kiyai dan Jawara Banten: Keislaman, Kepemimpinan dan Magi" (Tihami, 2015).


Adakah Jejak Naskah tentang Darigama?

Menurut hipotesis penulis, Darigama berasal dari Sundarigama. Kebiasaan Urang Sunda suka menyingkat istilah. Sundarigama disingkat Darigama saja. Barangkali karena mengingat kata di depannya adalah "Sunda" berarti tidak perlu disebutkan lagi karena menyangkut "Urang" atau istilah milenial mah "kita-kita" sebagai Urang Sunda.

Penulis ingat pepatah orang-orang tua bahwa "Sunda geus pareumeun obor. Lamung hayang nyaho ka-Sundaan, pek geura teangan ka nagri Walanda atawa ka Pulo Bali" (Orang Sunda sudah kehilangan jejak. Jika ingin tahu tentang Ka-Sundaan, pergilah ke negeri Belanda atau ke Pulau Bali). Kenapa disuruh pergi ke negeri Belanda? Ya, di Negeri Belanda tersimpan banyak artefak berkaitan dengan Sunda. Baik artefak berupa barang antik ataupun berupa naskah-naskah lontar atau naskah Daluwang (kulit kayu). Sedang Pulau Bali, konon menyimpan banyak rahasia ke-Sunda-an. Ada banyak naskah lontar yang dapat membuka tabir Ka-Sunda-an.

Ada sebuah naskah Lontar "Sundarigama". Sundarigama berasal dari kata Sunda ri Gama. Sunda artinya bersih, suci atau cahaya. Ri sebagai kata depan sebagai penghubung kalimat "Seperti" atau "menunju". Gama berasal dari kata Agama. Jadi secara letterlech didefinisikan sebagai "cahaya atau jalan terang mencapai kesempurnaan". Didalam Lontar Sundarigama berisi bagaimana tata cara atau ritual atau upacara agama dilakukan.

Lontar Sundarigama adalah lontar yang bersifat filosofis-religius karena mendeskripsikan norma - norma, gagasan, perilaku, dan tindakan keagamaan, serta jenis-jenis sesajen persembahan atau yadnya yang patut dibuat pada saat merayakan hari-hari suci umat Hindu Bali, mengajarkan kepada umatnya untuk berpegang kepada hari-hari suci berdasarkan:

  • wewaran sebagai hari yang baik menurut perhitungan tarikh Bali.
  • wuku, dan
  • sasih yang dilaksanakan setahun sekali.

Teks Sundarigama merupakan penuntun dan pedoman tentang tata cara perayaan hari raya suci Hindu yang meliputi aspek

  • tattwa (filosofis),
  • susila, dan
  • upacara/upakara.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan dan makna perayaan hari-hari suci menurut Lontar Sundarigama adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia yaitu :

  1. Hubungan manusia dengan Tuhan/Gusti Hyang Widi  (parahyangan)
  2. Hubungan manusia dengan manusia (pawongan); dan
  3. hubungan manusia dengan alam lingkungan (palemahan).

Naskah Lontar peninggalan Budaya Sunda adalah Sanghyang Tatwa Ajnyana. Naskah Sanghyang Tatwa Ajnyana (STA) yang diteliti, ditransliterasikan dan diterjemahkan oleh Aditia Gunawan, Tien Watini Mamat Ruhimat, dan Ruhaliah ini berasal dari naskah kropak 1099. Saat ini naskahnya tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dengan nomor koleksi L 1099 peti 68. Kropak 1099 ditulis di atas daun gebang, sejenis daun palem yang oleh para sarjana sebelumnya disebut nipah.

Naskah Sanghyang Ta(t)twa Ajnyana
Kropak 1099 Koleksi Perpusnas RI

 

Kropak 1099 dibungkus oleh kotak kayu berwarna merah, berukuran 24,5 x 3,7 cm. Naskah terdiri dari 70 lempir dan mengandung 4 baris setiap lempirnya. Ditulis menggunakan aksara Buda/ Gunung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda Kuna. Naskah berbentuk prosa didaktis yang dikenal dengan istilah Tutur (Ajaran).

Kropak 1099 diperkirakan berasal dari kabuyutan  Koléang, Jasinga (NBG 50, 1912: 44 & 86; NBG 51, 1913: 24; Krom, 1914: 32). Selain naskah nipah 1099, terdapat pula salinan dalam aksara Latin dan Jawa. Salinan dalam aksara Latin terdapat di PNRI dengan nomor koleksi Plt. 118 peti 119 dan No. 278 peti 89. Salinan dalam aksara Jawa terdapat di No. 155 peti 89, Ciburuy V. Peti 119 termasuk dalam koleksi pribadi C.M Pleyte, sementara peti 89, termasuk ke dalam koleksi K.F. Holle.

Pada kolofon terdapat keterangan bahwa penulis adalah penduduk (dayeuhan) di Banua H(e)neng. Tempatnya belum dapat ditentukan, tetapi dapat diperkirakan bahwa Banua Heneng adalah sebuah kabuyutan yang terdapat di Tatar Sunda.

Sanghyang Tatwa Ajnyana termasuk fislofi atau ajaran Ketuhanan bagi Urang Sunda Zaman dahulu. Didalamnya terdapat anasir Hindu dan Sunda. Lalu tentang Susila secara lengkap terdapat dalam naskah Lontar Sunda Kuno Sanghyang Sasana Mahaguru (SSMG), Sanghyang Raga Dewata dan disinggung secara singkat pada Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Sedangkan Upakara atau Upacara masih terlihat diterapkan dalam even budaya Sunda hingga saat ini. Meskipun tidak lagi diikuti dengan aturan lama dari Agama Hindu. Misalnya penetapan waktu sudah disesuaikan dengan aturan dalam Agama Islam, misalnya terkait Bulan Mulud (Rabiul Awal), Bulan Muharam pada tanggal tertentu yang dilakukan untuk siraman Benda keramat atau Bulan dan hari tertentu dipilih untuk melakukan awal puasa khusus, seperti mulai dari hari weton dan lain-lainnya.


Referensi

  1. Ekadjati, Edi S. 1988. "Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah." Jakarta: Pustaka Jaya.
  2. Ekadjati, Edi S. 2009. "Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran", Jilid 2, cet II. Jakarta: Pustaka Jaya.
  3. Geertz, Clifford. 1969. “Religion as a Cultural System,” dalam Michael Bantom (ed.), Anthropological Approachs to the Study of Religion. London: Tavistock Publications.
  4. Hawley, Amos H. 1972. “Human Ecology,” dalam Sills (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 3 & 4. New York: The Macmillan Company & the Free Press.
  5. Iskandarwassid. 2003. "Kamus Istilah Sastra". Bandung: CV Geger Sunten.  
  6. Kridalaksana, Harimurti. (2001). "Kamus Linguistik Edisi Ketiga". Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama. 
  7. Kuswari, Usep & Hernawan. 2010. "Sintaksis Basa Sunda". Bandung: JPBD FPBS UPI. 
  8. Rai Putra, Ida Bagus. 2015. "Lontar Bali: Manuskrip Penampang Peradaban Berkarakter". Disajikan Dalam Seminar Nasional Potensi Naskah Lontar Bali yang Bernilai Luhur Dalam Penguatan Jati Diri Bangsa, Diselenggarakan UPT  Perpustakaan Lontar Unud 23-24 November 2015  unud.ac.id Diakses 28 November 2021.
  9. Satjadibrata, R. 2005. "Kamus Basa Sunda". Bandung: Kiblat Buku Utama. 
  10. Sudaryat, Yayat. (2014a). "Struktur Bahasa Sunda (Sintaksis dalam Gamitan Pragmatik)". Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. 
  11. Sudaryat, Yayat. 2014b. "Wawasan Kesundaan". Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.
  12. Suryani, Elis dkk. 2001. "Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda abad 11 s.d 18". Bandung: Komunitas Pernaskahan Purbatisti & Pemerintah Kota Bandung.  
  13. Suryani, Elis NS. 2008. "Filologi (teori, sejarah, metode dan penerapannya)". Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
  14. _____________. 2006. "Gambaran Kosmologis Masyarakat Sunda sebagaimana terungkap dalam Sanghyang Raga Dewata (Naskah Lontar Abad XVI Masehi)". Bandung : Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
    Zoetmulder & S.O Robson. 2006. "Kamus Jawa Kuna – Indonesia". Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  15. Tien Wartini, Mamat Ruhimat, Ruhaliah, Aditia Gunawan. 2011. "SANGHYANG TATWA AJNYANA Teks dan Terjemahan". viii + 138 hlm. ; 16 x 23 cm Cetakan pertama. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI bekerja sama dengan Pusat Studi Sunda.  academia.edu Diakses 28 November 2021.
  16. Tihami, H.M.A. 2015. "Kiyai dan Jawara Banten: Keislaman, Kepemimpinan dan Magi". Jurnal Refleksi, Volume 14, Nomor 1, April 2015. IAIN Sultan Hasanuddin Serang Banten.


Baca Juga

Sponsor