Cari

Nusantara telah dikenal Sejak Tahun 206 Sebelum Masehi

Peta dari Gerini, G. E. (Gerolamo Emilio), 1860-1913. 1909. "Ptolemy's geography of Eastern Asia (further India and Indo-Malay Archipelago)". London Royal Geographical Society. 

[Historiana] - Mengupas sejarah Indonesia atau dahulu disebut Nusantara, dapat kita telusuri dari penyebaran Agama Hindu dan agama pendahulunya. Sebelum 'proses Hinduisasi' di Nusantara telah memiliki kepercayaan sendiri dengan penyebutan nama Tuhannya sebagai "Hyang" atau "Sanghyang". Di Masyarakat Jawa ajaran atau agama dikenal dengan nama Kapitayan dan di Sunda dikenal Ajar Pikukuh Sunda (Sunda Wiwitan). Belakangan kita mengetahui ajaran di Tanah Pasunda disebut "Siksa", dimana Siksa (ajaran) yang dalam sejarah Hindu adalah pendahulu Weda atau RgVeda atau mungkin masuk dalam Purana. Ajar Pikukuh Jati Sunda awal Religi Peradaban.

Pada zaman pertengahan, ketika Portugis muncul di atas panggung sejarah Asia Tenggara, ternyata Asia Tenggara telah dibagi menjadi dua wilayah kebudayaan yangbesar. Wilayah kebudayaan yang pertama, oleh para sarjana Perancis, disebut dengan nama  I' Indie Exterieure, yang didominasi oleh pengaruh India. Sedangkan wilayah kebudayaan yang kedua, yang terdiri dari Tongking, Annam dan Cochinchina, didominasi oleh pengaruh China, dengan  jatuhnya kerajaan Hindu Champa pada abad ke-15 M.

Banyak para sarjana mengatakan, bahwa penggunaan istilah-istilah seperti: "Further India", "Greater India", atau "Little China", sebenarnya kurang tepat. Karena, istilah sepereti itu bisa membawa kita ke arah kekaburan dan dapat menimbulkan keberatan yang cukup serius. Memang kenyataanya, daerah-daerah tersebut banyak mendapat pengaruh India, namun dibalik itu semua sesungguhnya mereka juga memiliki ciri kebudayaan asli yang sangat kuat. Misalnya, seni dan arsitektur yang berkembang dengan subur dan indahnya di Angkor, Pagan, Jawa Tengah, dan kerajaan lama Champa, sangat berbeda dengan seni dan arsitektur Buddhis dan Hindu di India.

Adapun kunci untuk dapat mengertikan semua hal itu, adalah dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan asli yang melahirkannya. Di samping itu  juga harus disadari, bahwa semuanya telah berkembang menurut garis-garis ciri khas keperibadiannya sendiri.Pengaruh-pengaruh India terhadap Asia Tenggara yang tidak bertalian dengan politik, berbeda prosesnya dengan pengaruh China. Dalam proses penyerapan pengaruh tersebut oleh masyarakat asli di Asia Tenggara, ditransformasikan dengan cara yang sama dengan pengaruh Yunani kuno terhadap Eropah Barat. Proses tersebut bisa sama, karena masyarakat asli Asia Tenggara yang merasakan rangsangan kebudayaan India itu, bukannlah 'orang-orang liar', melainkan masyarakat yang telah berperadaban relatif tinggi. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh George Coedes, dalam Les Etats Hinduises et d'Indonesia (1948: 27).

Seperti apa yang disebutkan, bahwa negara-negara yang telah dihindukan tersebut ternyata sebagian besar masyarakatnyaa dalam waktu yang cukup panjang tidak tersentuh sama sekali oleh kebudayaan India. Sebaliknya masyarakat asli Asia Tenggara menyerap kebudayaan India itu dan mengubahnya dengan menyalurkannya sejalan dengan pikiran-pikiran dan  praktek-praktek kebudayaan asli. Dengan demikian, struktur masyarakat secara luas tidak terpengaruh oleh  pengaruh kebudayaan India. Misalnya, sistem kasta yang sangat mendasar dalam masyarakat India, ternyata sangat kecil pengaruhnya terhadap masyarakat asli Asia Tenggara. Begitu juga kedudukan wanita tetap dipertahankan yakni tetap tinggi, seperti sebelum masuknya pengaruh kebudayaan India.

Jadi, baik Hinduisme maupun Buddhisme dalam perkembangannya di Asia Tenggara mengalami penyesuaian disesuaikan dengan agama yang telah mereka anut sebelum mereka datang.(Hal itu justru bisa terjadi, karena agama Hindu dan Buddha mempunyai sifat: isthadewata dan adhikara).

Adapaun peradaban Asia Tenggara yang telah dimilikinya pada saat  pengaruh India datang, Coedes telah merangkumnya sebagai berikut:a. Bidang material : (1) persawahan / perladangan padi dengan irigasi, (2) peternakan sapi dan kebau, (3) penggunaan logam, dan (4) ahli dalam navigasi b. Bidang sosial : (1) pentingnya kedudukan wanita dan keturunan garis ibu, -- di India posisi wanita ditinggikan pada zamannya aliran sakti tumbuh subur, yaitu sekitar abad ke-8 M dan kitaaa bisa menyaksikan pentingnya kedudukan para wanita dalam kehidupan sosial dan agama dalam masyarakat sakta di propinsi West Bengal dan Orissa-, dan (2) organisasi sebagai hasil pertanian dengan irigasi.c. Bidang agama : (1) animisme, (2) pemujaan nenek moyang dan dewa bumi, (3) lokasi tempat suci di tempat yang tinggi,--di India hal itu tidak penting, bahkan altar suci orang-orang India diletakkan di lantai, (4) penguburan dalam guci / gentong atau dalam dolemen, dan (5) mythology bercampur dengan dualisme cosmogony gunung laut, mahluk bersayap lawan mahluk dalam air, orang gunung dengan orang pantai.

Kemudian Krom dalam studinya pada orang Jawa menambah kan hasil  penelitiannya ke dalam daftar Coedes: (1) orkes gamelan, (2) wayang, dan (3) kerajinan batik. Lebih lanjut, banyak para indolog / indologist berendapat bahwa istilah Hinduisasi terhadap negara-negara Asia Tenggara sesungguhnya tidak tepat. Hal itu dinyatakan demikian, karena sebenarnya bukan Hindu saja yang mempengaruhi Asia Tenggara, tetapi juga Buddhisme. Bahkan, pengaruh Buddhisme di Asia Tanggara besar sekali, terutama di Burma, Arakan, Kamboja dan Thailand. Namun, harus disadari, bahwa sangat susah untuk mencari garis  pemisah antara kedua agama itu (Hindu dan Buddha).

Apalagi dalam agama Buddha Tantrayana; bahkan pada abad ke-13 M di Jawa terdapat pemujaan terhadap Siva Buddha sekali gus. Di samping itu, di setiap negara yang didominasi oleh agama Buddha Theravada, masyarakatnya masih tetap menggunakan upacara Hindu. Mungkin saja hal seperti itu yang menyebabkan istilah Hinduisasi masih sering juga digunakan.

Sebenarnya, hubungan perdagangan antara India dan Asia Tenggara, sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Misalnya, dengan ditemukan banyak koloni-koloni kecil India di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara. Namun, juga sebaliknya kita dapat menemukan adanya koloni-koloni dagang Indonesia di  pelabuhan-pelabuhan dagang Bengal dan Coromandel. Hal itu tidak mustahil, karena orang-orang Indonesia adalah pelaut yang ulung Munculnya kerajaan-kerajaan di Semenanjung dan di Indonesia, yang kemudian munculnya praktek agama dari India, kesenian dan adat serta bahasa Sanskerta sebagai bahasa suci. Semua hal itu masih sulit dipastikan kapan tepatnya dimulai. Sedangkan bahan- bahan yang berasal dari catatan-catatan China, India dan Eropah masih sulit juga memberikan keterangan yang pasti. Kitab Jataka
 yang banyak berisi ceritera-ceritera tentang pelaut Jawa dan Sumatera. Demikian juga kitab Ramayana. Sylvain Levi juga menyebutkan kitab berbahasa Pali Niddesa banyak menyebutkan nama-nama tempat di Indonesia.

Catatan-catatan mengenai Indonesia, kebanyakan berasal dari era  berkisar abad ke-5 M. Kutai memakai tulisan Sansekerta, berasal dari raja Mulawarman, bera pertengahan abad ke-5 M. Patung-patung Buddha bergaya Amaravati ditemukan di Kedah, Sulawesi. Catatan tertua Cina tentang Indonesia  berasal dari buku riwayat dinasti Han "Tsien-han-shu" yang berkisar abad 206 SM - 24 SM. Catatan berikutnya bertahun 132 M yang menceritakan Kaisar Han menerima utusan-utusan yang membawa hadiah dari Raja Ye-tiao yang bernama Tiao-pien. Istilah China itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta oleh para indolog menjadi Javadvipa, dan rajanya Devavarman. Beregang paga catatan itu mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada tahun itu sudah ada proses Hinduisasi di Indonesia.


Adapun sebab-sebab penyebaran kebudayaan India ke Asia Tenggara, tidak mudah diketahui. Sehubungan dengan itu ada dua teori untuk menentukan nya. Teori yang pertama mengatakan, bahwa orang Kalingga karena desakan  berdarah yang dilakukan Asoka pada abad ke-3 SM. Yang kedua mengatakan, adanya imigrasi yang disebabkan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh dinasti Kushana pada abad ke-1 M. Kedua teori itu masih belum diterima oleh semua sarjana Sementara itu hipotesis Coedes mengatakan, bahwa tidak ada imigrasi  besar-besaran, namun yang ada adalah hubungan perdagangan. Terutama pada zamannya dinasti Kushana. (Silk road, tumbuh subur pada era pemerintahan dinasti Kushana, terutama pada zamannya Kanishka) Selama dua abad sebelum masehi, India kehilangan import logam berharga. Kaisar Vespasianus (69 - 70 M) dari Roma menghentikan eksport logamnya ke India. Di sinilah Coedes mengirakan India berpaling ke Svarnabhumi (dataran Asia Tenggara) dan Svarnadvipa (Sumatera) yang merupakan tempat emas yang terkenal. Pada zaman transportasi laut sudah maju, ada kapal berpenumpang 700 orang dengan peralatan yang mampu berlayar menentang angin. Buddhisme menolong kemajuan kelautan itu, sebab sebelumnya orang-orang Hindu sangat takut kehilangan kastanya, seandainya menyeberangi lautan. (Hilangnya kasta seseorang karena mengarungi lautan juga menyebabkan pemberontakan Sepoy, pemberontakan tentara Inggeris pada tahun 1835. Salah satu penyebab  pemberontakan itu adalah usaha pengiriman tentara untuk menundukkan Burma dengan jalan laut dari Calcutta).

Maka melalui perdagangan terbawalah kebudayaan India dan kesusastraan Sansekerta. Menurut Dr. Hall dengan begitu sebenarnya tidak ada imigrasi massal yang mengubah tipe fisik penduduk. Juga ada laporan orang-orang Cina, bahwa masyarakatnyalah yang telah mengambil kebudayaan Cina,  jadi bukan koloni-koloni orang India.Adalah sangat langka dokumen-dokumen yang dapat memperlihatkan yang menyatakan baahwa dari bagian India yang manakah asalnya pengaruh kebudayaan India itu yang mengalir masuk ke Asia Tenggara / Indonesia Ho-ling, nama Cina untuk kerajaan kuno di Jawa. Mungkin yang dimaksudkan adalah Keling, yang juga dipakai di India Selatan, Kalingga.

Orang Batak Karo mempunyai nama-nama marga seperti Chola, Pandya, Pallawa dan Malaya, semua itu adalah nama-nama India dari bangsa Dravida. Menngenai aksara atau huruf, Prof. Dr. R.C. Majumdar berpendapat bahwa inskripsi / prasasti tertua berbahasa Sansekerta di Funan menggunakan tulisan Kushana. Sehubungan dengan itu N.A. Nilakanta Sastri berpendapat bahwa semua abjad yang dipakai di Asia Tenggara berasal dari India Selatan; bahkan tulisan Pallawa mempunyai pengaruh besar.

Tetapi Coedes menunjukkan bahwa ada banyak pengaruh Bengali pada huruf-huruf yang dipakai di Asia Tenggara pada abad-abad ke-8 dan awal abad ke-9 M. Sementara itu Kalimantan menunjukkan bukti-bukti tertua pengaruh India, pada tujuh prasasti yang ditemukan di Kuati. Prasasti-prasasti itu bertahun 400 M yang dkeluarkan oleh Raja Mulawarman, yang menyebutkan kakeknya  bernama Kudungga dan ayahnya bernama Asvavarman. Nama kakeknya ternyata bukan nama Sansekerta, tetapi masih memakai nama asli Indonesia. Di lembah-lembah sungai Kapuas dan Mahakam, banyak ditemukan patung-patung Hindu dan Buddha yang bergaya Gupta.

Sedangkan prasasti yang tertua di Jawa ditemukan dekat Bogor, bertahun kira-kira 450 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanagara, waktu mengadakan upacara Hindu untuk memulai penggalian irigasi. Nama kerajaannya mengingatkan nama daerah di India Selatan dekat Tanjung Comorin. Kerajaan itu masih ada sampai pertengahan abad ke-7 M, yang dinuktikan oleh orang-orang Cina yang mencatat utusan dari To-lo-mo,  pada tahun 666-669 M. Diperkirakan 20 tahun kemudian ditaklukkan oleh Srivijaya.

Berkuasanya Sailendra yang beragama Buddha di Jawa Tengah pada abad ke-8 M, menyebabkan Sivaisme mencari tempat pengungsian di bagian timur pulau Jawa. Terdapat bukti adanya kerajaan merdeka di sana dalam  pertengahan abad itu, dengan pusatnya di sekitar Malang. Kerajaan itulah yang mendahului kerajaan Singasari. Ada bangunan-bangunan yang gayanya sama dengan gaya bangunan Sailendra di Jawa Tengah, tetapi bangunan- bangunan itu diperuntukkan guna pemujaan Agastya, maharesi Hindu yang menghindukan India Selatan. Dokumen tertua di Jawaa Timur bertahun sekitar abad itu, ada yang bertahun 760 M, berbahasa Sansekerta, dan menyebutkan pendirian tempat suci untuk Agastya, di Dinoyo oleh seorang raja yang berama Gajayana. Kembalinya Sivaisme pada pertengahan abad ke-9 M dianggap sebagai petunjuk runtuhnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah. Kemudian Balitung (898 - 910 M) dalam prasastinya menyebutkan nama kerajaan Mataram yang untuk pertama kalinya dan dia merupakan empat raja pertama yang  beragama Siva.

Sedangkan pengganti Balitung, Dhaksa (910-919 M) mungkin yang mendirikan kelompok candi Prambanan, dengann 8 candi terbesarnya diperuntukkan guna pemujaan Siva. Salah satunya adalah patung Durga yang dikenal sebaagai Loro Jonggrang, "gadis ramping". Sestelah itu Mpu Sendok (929-947 M) memindahkan kerajaan itu ke Jaawa Timur dengan alasan yang masih belum diketaaahui dengan pasti oleh para sarjana. Mungkin karena wabah  penyakit dan gempa bumi. Atau mungkin saja karena rasa ketakutan terhadap kekuasaan Srivijaya yang menuntut wilayah Sailendra di Jawa Tengah. Mpu Sendoklah sebagai pendiri dinasti baru yang memerintah Jawa Timur sampai tahun 1222 M. Di memerintaah bersama-sama dengan permaisurinya Rakryan Bawang dan kemudian penggantinya adalah putrinya, Sri Isanatunggavijaya. Hal itu menunjukkan kedudukan wanita waktu itu sangat penting dalam masyarakat. Karena perpindahan itu, banyak lahan pertanian yang belum digarap secara intensip sehingga ekonomi kerjaan berpaling yakni ditekannkan pada perdangan dengan luar Jawa: dengan Maluku, Sumatra, dan Semenanjung Melayu. Dalam hal itu Bali untuk pertama kali memainkan peranan yang penting dalam sejarah Jawa. Kemudian pada abad ke-10 M seorang raja Bali mengawini putri cucunya Sendok dan dengan demikian terbuka jalan untuk memasukkan kebudayaan Jawa ke Bali.

Kemudian keturunan Sendok, Dharmawangsa (985 - 1006 M), adalah raja yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Atas perintahnya banyak hukum Hindu dibukukan dan banyak terjemahan dilakukan dari bahasa Sansekerta ke bahasa Jawa. Salah satu di antaranya adalah bagian Mahabharata. Pada saat itulah berkembang kesusastraaan prosa tertua di Indonesia. Pengganti Dharmawangsa, adalah Airlangga putra raja Bali Dharmodayana, dari perkawinannya dengan cucunya Sendok. Kesusastraan juga mengalami masa-masa emas pada zamannya. Salah satu di antaranya adalah Arjuna wiwaha-nya Mpu Panuluh. Yang mungkin mengumpamakan  perkawinannya Airlangga sendiri.

Versi itu diterima dengan populer dan disajikan dalam pentas-pentas Jawa dan menjadi tema populer dalam wayang. Dalam syair dan wayang susunanya sepenuhnya bersifat Jawa. Pada masa itu agama Hindu berdampingan secara damai dengan agama Buddha. Menurut Prof. Dr. Hall, kedua agama itu sudah menjurus kepenyatuan. Sivaisme dianggap tingkat pertama pada jalan menuju cahaya kebenaran. Setelah melalui itu yang bersangkutan siap diberi pelajaran pengetahuan Buddhisme yang lebih tinggi daripada Hindu. Kemudian setelah Airlangga wafat, ia sendiri dipuja sebagai penjelmaan Visnu di Belahan. Praktek seperti itu menjadi umum oleh keturunannya, yakni setelah mangkat lalu dipuja dalam bentuk Visnu. Pemujaan nenek moyang adalah tugas khusus yang dibebankan kepada seorang raja. Pada waktu-waktu tertentu raja harus melaksanakan upacara yang berhubungan dengan nenek moyang untk memperkuat posisinya dengan menerima kekuatan-kekuatan magis. Karena itu banyak kita temukan candi-candi tersebar di Jawa Timur untuk memperingati seorang raja dalam pakaian Siva, Visnu, Avalokitesvara. Mereka itu semua adalah pusat-pusat pemujaan nenek moyang dan menujukkan survival pemujaan pre-Hindu. Di Bali, agama Hindu terdiri dari tiga aspek: Hindu, Buddha, dan aspek-aspek prapengaruh India.

Selain dengan India, Bali sebenarnya sudah mengadakan hubungan dengan China sejak dahulu kala. Banyak orang-orang China yang datang ke Bali, bekerja pada raja-raja Bali sebagai tukang Walaupun tugas kontrak mereka sebagai tukang sudah selesai, tetapi banyak di antara mereka yang tidak maau pulang kembali ke negerinya. Mereka memilih lebih  baik tinggal menetap terus di Bali. Kemudian mereka membuka usaha dagang  berbagai macam barang di Bali. Pengaruh mereka nampak pada seni dan arsitektur di Bali, misalnya: meru, barong, rumah dan pekarangan dan sebagainya.

Kemudian akhirnya Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 M. Bathara Maospahit (Maspahit, Majapahit), sampai kini masih dipuja di setiap merajan, (di altar / pelinggih yang berisi patung kepala menjangan) di Bali.Kitab Buddhis Manjusri Mulakalpa, bertahun sebelum 920 M, menyebutkan nama Bali sebagai negeri tempat tinggal kaum barbarian. Sedangkan catatan China abad ke-5 - 6 M menyebutkan P'o-li. Nama Dwa-pa-tan (negeri di timur Kaling), yang disebutkan pada dinasti Tang (647 M) mungkin Bali. Catatan itu memberikan informasi bahwa huruf-huruf ditulis di atas daun, mayatnya dibakar di atas tumpukan kayu api, dihiasi emas, dan dengan emas di mulutnya, dengan segala macam harum-haruman. Bukti langsung, adalah lempengan copper (tembaga), bertahun 882-914 M menyebutkan berdirinya satu pertapaan di Sukawana ( di bukit Penulisan), dan peletakan dasar sebuah pura untuk bhatara Da Tonta di desa Trunyan. Kedua tempat itu masih sangat penting bagi umat Hindu di Bali. Bhatara Da Tonta masih dipuja. Prasasti Bali menggunakan tahun Saka. Prasasti-prasasti tua tidak menyebutkan nama raja. Singhamandava yang disebutkan pasti tempat tinggal raja. Nama raja disebutkan pertama kalinya pada prasasti tugu batu Sanur 914 M, namanya Adhipatih Sri Kesari Varma ..., nama istanya Singhadhavala. Prasasti Seri Singhamandava berikutnya brtahun 915 - 933, berisi nama raja Sang Ratu Sri Ugrasena. Setelah berjarak 20 tahun, pengganti-penggantinya adalah:

  1. Sang Ratu Sri Aji Tabanendra dan isteri Subhadrika (tiga prasasti  bertahun 955). 
  2. Sang Ratu Sri Chandrabhayasingha (960) 
  3. Sang Ratu Sri Janasadhu (975) 
  4. Sri Maharaja Sri Mahadevi (984)

Kecuali yang terakhir, semua raja di atas setelah tahun 955 memakai nama famili Varmadeva.

Sanur Pillar (Tugu Sanur) setengah berbahasa Bali kuno dan setengahnya Sansekerta. Melihat tulisan yang dipakai yaitu tulisan pre Nagari atau early Nagari. Tulisan tersebut dipakai pada tugu-tugunya Soka (abad 3 SM), dan di negara-nrgara Buddha di Bengal. Jadi tidak sepenuhnya sama dengan tulisan di Jawa Tengah. Kelihatannya ada hubungaan langsung dengan Bali. Cap-cap di Pejeng (Pejeng clay seals) kemungkinan besar datangnya dari negeri-negeri Buddha Bengal. Walaupun ada catatan dari kitab-kitab Jawa, carita Parahyangan yang mencatat raja Sanjaya (730) menaklukkan Baali, namun jelas ada hubungan langsung antara Bali dengan India.

Bahasa yang kini disebut 'bahasa Bali kasar', ternyata tidak ada hubungannya dengan bahasa Jawa. Bahasa ini lebih erat hubungannya dengan Sumbawa dan Sasak. Dari penggunaan baahasa di pulau Nusa Penida dan desa-desa yang sulit terjangkau di Bali Utara, ternyata mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Bali kasar. Penggunaan bahasa Jawa kuno, dimulai pada akhir abad ke-10 di kalangan istana. Penggantian bahasa Bali kuno ke bahasa Jawa kuno, berhubungan erat dengan perkawinan Sang Ratu Maharani Sri Gunapriyadhamapatni yang berasal dari Jawa dengan Sang Ratu Maharani Sri Dharmodayana Varmadeva (989).

Dalam prasasti Calculta Stone (1041) dikatakan bahwa Gunapriyadharmapatni adalah titel yang diberikan oleh ayahnya Mahendradatta (ibunya Airlangga). Ayahnya Mahendradatta adalah Sri Makutavangsa Vardhana, cucunya Mpu Sendok, raja Jawa Timur yang pertama. Pada prasasti- prsasti yang dikeluarkan oleh pasangan itu nama Sang Ratu selalu disebutkan  pertama, mungkin dia lebih penting kedudukannya atau mungkin karena dia  putri Jawa. Patung Durga yang amat cantik diperuntukkan untuk Mahendradatta di Kutri. Menurut Goris, gambaran patung itu berhubungan dengan ilmu  blackmagic yang dikuasai oleh Gupriya. Jadi ada hubungannya kebenarannya dengan kisah calon arang (kisah itu mengisahkan bahwa ada perjanjian yakni Udayana boleh memperistri Gunapriyaa asalkan Udayana tidak kawin lagi. Ketika Udayana tidak menepati janjinya, maka Gunapriya mempelajari ilmu hitam dan kemudian ia diusir.

Menurut dugaan gambaran Durga yang cantik itu mungkin saja sama dengan gambaran di India, yang melambangkan kebesaran kasih sayang ibu kepada anak-anaknya. Kenapa Gunapriya tidak dipatungkan dalam bentuk yang menakutkan, seandainya dia dianggap begitu menakutkan Setelah adanya gap selama 25 tahun, uncul nama raja baru di Bali yaitu Paduka Haji Anak Wungsu. Prasastinya yang terakhir bertahun 1078. Patung wanita di pura Penulisan yang bertuliskan Bhatari Mandul mungkin isterinya. Melihat prasasti-prasasti dan pentingnya gunung Kawi, menunjukkaan  bagaimana besarnya anak Wungsu. Beliau merupakan salah satu raja Bali yang  besar. Monumen-monumen yang berasal dari zamannya sangat kaya dan  banyak, tersebar di daerah-daerah dari sungai Petanu sampai Pakerisan. Adapunraja dan ratu yang menyusul Anak Wungsu adalah sebagai berikut:

  1. Seorang ratu, Paduka Sri Maharaja Sakalendukirana Isanag unadharmalshmdhara Vijayottunggadevi; namanya disebutkan pada  prasasti Canggi 1098. 
  2. Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa (1115, 1119), prasasti yang  bertahun 1119 menyebutkan nama Bhatara Sri Haji Uganedra Dharmadeva, namun para sarjana belum tahu pasti siapa dia. 
  3. Jayasakti (1146-1150) 
  4. Jayapangus (1178-1181) 
  5. Paduka Sri Maharaja Haji-ra-ajaya dan ibunya Paduka Sri-rta-ya (1200) 
  6. Paduka Bhatara Guru Sri AAdikunti-ketana dan putranya Sira Bhatara Paramesvara Sri Wirama dan ratunya Dhanadeviketu (1204) 

Tahun 1284 merupakan awalnya satu era baru pada hubungan Bali dan Jawa. Setelah kehidupannya yaang pendek namun menjadi periode yang sangat  penting dari Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Bahasa resmi dan mungkin bahasa istana dipakai bahasa Jawa. Namun, tidak ada tanda-tanda adanya  pengaruh politik langsung. Agama pada masa itu adalah Siwa dan Buddha. Tetapi ada juga sekte-sekte kecil lainnya. Misalnya, sekte Ganapatya yang menyembah Gana atau Ganesa dan Sora yang menyembah surya dan sebagainya. (Patung Ganesa terdapat di gunung Penulisan, pura Penataran Sasih Pejeng, Pura Pusering Jagat dll). Sedangkan pemujaan kepada Surya (suryasevana), sampai sekarang kita dapati pada kebaktian kepada Surya atau Sivaditya.

Sebelum Mpu Kuturan datang di Bali (tahun 1039), di Bali waktu itu telah terdapat beberapa sekte agama Hindu. Konsep rwabhineda (dualisme) telah dikenal pula seperti: siang malam, baik buruk, naik turun dan sebagainya. Dalam agama dikenal Pura Penataran bertempat di hulu desa (kaja), dan Pura Setra di hilir desa (kelod). Mpu Kuturan datang di Bali dan tinggal di Padang (Padangbai), yang sekarang pura Silayukti. Ia mengajarkan konsep Trimurti dan membuat Kahyangan tiga yaitu: Pura Puseh di hulu desa untuk memuja Wisnu, Pura Desa di pusat desa untuk memuja Brahma, dan Pura Dalem di hilir desa untuk memuja Siwa (Durga).

Adapun raja Bali kuna terakhir, adalah Sri Artasura Ratna Bhumi Banten (1337-1343), menganut agama Bhairawa, (gama Bhairawa itu pernah  berkembang subur di Singosari), dan berkedudukan di Bedahulu, dengan Patih Pasunggrigis. Kemudian ditundukkan oleh Majapahit, di bawah pimpinan Gajah Mada pada tahun 1343. Perbedaan agama Bhairawa yang dianut oleh Astasura dengan agama yang dianut di Majapahit, yakni Siwa Buddha, menyebabkan raja Artsura disebut 'bedahulu'. Peninggalannya sekarang tertdapat di Pura Kebo Edan di desa Bedulu, Gianyar.Namun demikian Bali baru aman pada  pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (cucunya Sri Kresna Kepakisan), setelah Pura Dasar di Gelgel dijadikan sebagai pura Pusat kerajaan (sama dengan pura Pusering Jagat pada masa Bedahulu), dan menjadikan Pura Besakih sebagai pura  pusat di seluruh Bali.

Kemudian pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550), datanglah di Bali Dang Hyang Nirartha (tahun 1480) dengan membawa banyak perubahan, baik di bidang ketatamasyarakatan maupun agama. Dibidang ketatamasyarakatan diadakan pembagian golongan secara tegas sbb: 1) keempat  putranya menduduki tempat tertinggi yang disebut brahmana yaitu: (a) kemenuh, putranya yang ibunya dari Daha, (b) keniten, putranya yang ibunya dari Pasuruan, (c) manuaba, putranya yang ibunya dari Blambangan, dan (d) Mas, putranya yang ibunya dari Mas (Gianyar). 2) tempat yang kedua untuk keluarga yang memerintah, yang disebut ksatrya, dan 3) yang ketiga waisya. Sedangkan di bidang agama, Dang Hyang Nirartha mengajarkan sistem Ketuhanan yaitu: Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa. Paramasiwa adalah Nirguna Brahma dan Nirguna Brahman adalah Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Dang Hyang Nirartha, atau Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wau Rawuh, membangun pelinggih meru untuk memuja Wisnu, gedong anda untuk memuja Brahma, dan gedong cungkub untuk memuja Siwa (Durga). Sedangkan pelinggih padmasana untuk memuja Tripurusa.


Referensi

  1. McNally,Rand and Company. 1897. "Indexed atlas of the world map of India. (with) Southeastern provinces of India, Further India. (with) Nicobar Islands" Chicago: Rand McNally.
  2. Natih, I Ketut Nyanadeva dan Nyoman Metta N. Natih. 2016. "Agama Hindu: Sejarah, Sumber dan Ruang Lingkup. Jakarta: Universitas Indonesia. versi online academia.edu Diakses 25 Desember 2018.
  3. Gerini, G. E. (Gerolamo Emilio), 1860-1913. 1909. "Ptolemy's geography of Eastern Asia (further India and Indo-Malay Archipelago)". London Royal Geographical Society.
Baca Juga

Sponsor