Cari

Prasasti Huludayeuh Cirebon: Bukti Proyek Besar Kerajaan Pajajaran

Prasasti Huludayeh. Foto: HIMASPI (Himpunan Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

[Historiana] - Prasasti Huludayeuh ada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang – Cirebon. Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991.  Kepala Bidang Permusemuan, Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat. menjelaskan Batu Prasasti Huludayeuh ini ditemukan di tanah milik Martawi (60 Tahun), penduduk setempat pada tanggal 27 Februari 1991.

Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991. Prasasti Huludayeuh dipahatkan pada batu alam. Batu prasasti yang ada sekarang berukuran tinggi 75 cm x lebar 36 cm x tebal 20 cm.

Penemuan benda purbakala yang ditujukan kepada Kepala Bidang Permusemuan, Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat. Laporan tersebut dialmpiri dengan dekripsi singkat. Batu Prasasti Huludayeuh ini ditemukan di tanah milik Martawi (60 Tahun), penduduk setempat pada tanggal 27 Februari 1991. Selanjutnya informasi itu semakin terangkat ketika  bulan September dan Oktober media massa Pikiran Rakyat, Kompas dan Bahari memuat berita temuan prasasti ini.

Baca juga:


Hingga saat ini sudah beberapa kali telah dilakukan penanganan dalam rangka pelestarian dan penelitian, baik oleh Bidang Muskala Kanwil Depdikbud Jabar, Suaka peninggalan Sejarah dan Purbakala, Balai Arkeologi Bandung dan Puslit arkenas Jakarta. Sejak ditemukan batu prasasti dianggap keramat oleh penduduk setempat, hingga keberadaan prasasti tersebut dipertahankan oleh penduduk setempat.


Isi Prasasti

Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Untuk Hasil sementara transkripsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

…………..tra….na….
………..sri mahharaja ratu
haji di pkwan sya sang ratu
dewata pun/ masa sya……..
……..ngretakeun bumi ngaha……
….....lipukkeun/ bumi ngaha……
..ngarah sang di susuk/ lampu…
…….i ngareubhkeun/ ikang….ka…
susi padakah. Ngalasan…
na udugbasu. mipataka…….
is/nikang kala pun….

Terjemahan dari teks tersebut adalah:
"Prasasti ini dibuat atas perintah Sri Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sya Sang Ratu Dewata sebagai tanda peringatan atas pekerjaan-pekerjaan yang telah dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.

Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya.

Prasasti ini diduga sebagai tanda selesainya pengerjaan sebuah proyek besar. Tidak dijelaskan proyek apa yang dimaksud, mengingat hanya sebegitu sajalah tulisan yang mampu dibaca oleh para peneliti, mengingat tulisan lainnya mengalami kerusakan dimakan usia sehingga tidak dapat terbaca.

Meskipun demikian setidak-tidaknya prasati itu menggambarkan bahwa di wilayah Kab Cirebon yang kini dikenal dengan desa Bobos tersebut pernah tersentuh pembangunan besar di Jaman Kerajaan Sunda, sehingga sang Raja Sunda sendiri kemudian memerintahkan pembuatan Prasasti untuk tanda kenang-kenangan atau peringatan. Perlu dipahami bhawa tidak mungkin seorang Raja memerintahkan pembuatan Prasasti kalau proyek pemerintah yang dijalankan itu hanya proyek kecil-kecilan saja.

Kini Prasasti itu masih tetap ditempat asalnya, mengingat penduduk setempat melarang pihak pemerintah untuk membawa prasasti itu ke Musium. Hal tersebut dikarenakan amanat dari pendahulu-pendahulu desa itu agar prasasti tersebut jangan dipindah tempat dan terus dijaga ditempat asalnya.


Analisis Asal Mula "Huludayeuh"


Secara Harfiah-denotatif, "Hulu" diartikan sebagai kepala. Sedangkan "dayeuh" berarti kota atau wilayah pemukiman. Konon, tiap wilayah yang dibentuk atau ada sejak abad 8 hingga akhir abad 16 M biasanya memiliki tempat yang disebut Hulu Dayeuh. Mungkin jika dianalogikan zaman sekarang ini sebagai pusat kota.

Konon menurut tokoh yang dipercaya atau dekat dengan kerajaan jika hendak mendirikan suatu kampung, wilayah atau tempat harus mencari tempat berdasarkan wangsit atau firasat-firasat tertentu. Kelak tempat tersebut dinamakan Hulu Dayeuh. Hulu Dayeuh ditentukan oleh orang pertama hati mendiami suatu tempat untuk tujuan mendirikan perkampungan. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa "Huludayeuh" bukan pusat kota, tetapu "Awal Mula kota".

Caita Prahyangan menggambarkan Ratu Dewata sebagai "raja yang lemah", sehingga mengabaikan pemerintahan dan lebih memilih mengabdikan diri pada Tuhan. Sementara Prasasti Huludayeuh menggambarkan pembangunan untuk kepentingan rakyat.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).

Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah zaman susah).

Mengapa seperti ada perbedaan antara isi Naskah Carita Parahyangan dan Prasasti Huludayeuh? Karena kita salah mengidentifikasi tokoh.

Kembali ke Prasasti Huludayeuh. Sumber lain mengatakan bahwa yang dimaksud dalam prasasti Huludayeuh sebagai Sang Ratu Dewata adalah berasal dari abad IX - X Masehi. Menurut Disparbud, Prasasti Huludayeuh ini diperkirakan sejaman dengan Kayuwangi-Balitung. Pemerintahan  Rakai Kayuwangi. (Dyah Lokapala) - Rakai Watumalang. - Dyah Belitung adalah pemerintahan Mataram kuno (Medang Kamulan). Lho.... mengapa tidak membandingkan dengan rujukan dari Pajajajaran?

Bila kita lihat raja-raja Pajajaran (Sunda-Galuh) yang berkuasa dari abad IX hingga abad X adalah sebagai berikut:
  • Pucukbumi Darmeswara (795-819 M).
  • Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
  • Prabu Darmaraksa (891 - 895 M).
  • Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
  • Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
  • Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa  (916-942 M).
  • Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
  • Limbur Kancana ,(954-964 M).
  • Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
  • Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
  • Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
Tidak terdapat gelar raja Sang Ratu Dewata, kecuali Cucu Sri Baduga Maharaja yaitu Ratu Dewata yang naik tahta tahun  1535 hingga 1543 dan bertahta di Pakuan. Artinya raja ini berkuasa pada abad XVI (ke-16) Masehi.

Dibuat zaman Prabu Raga Dewata (Siliwangi V)?

Jika merujuk isi teks menyebutkan pembuatnya adalah Sang Ratu Dewata, bisa jadi merujuk pada putera Prabu Surawisesa dan Ratu Dewata merupakan cucu Sri Baduga Mahara atau (Prabu Siliwangi III). Jika demikian Prabu Surawisesa (ayah Ratu Dewata) adalah Siliwangi IV dan Prbu Ratu Dewata dapat disebut sebagai Siliwangi V.

Dalam Naskah Carita Parahyangan, Ratu Dewata diceriatakan sebagai sosok yang sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang vegetarian. Pada saat pemerintahannnya ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).



Dalam cerita yang beredar selama ini adanya serangan kilat ke Pakuan Pajajaran di masa pemerintahan Ratu Dewata. Sedangkan ia mampu menyelesaikan sebuah proyek di Huludayeuh yang sangat dekat dengan Cirebon. Lokasi Dusun Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Dukupuntang (Pemekaran dari Kecamatan Sumber), Koordinat : 06º 47' 046" S, 108º24' 205" E. Hanya terpaut jarak Sekitar 15 km sebelah barat daya Kota Cirebon dan mungkin masuk wilayah Cirebon Larang (Gabungan atau peleburan kerajaan Wanagiri, Sing Apura dan Japura). Sedangkan Cirebon dipimpin Sunan Gunung Jati yang sama-sama cucu Prabu Siliwangi (beda nenek). Jadi siapakah yang menyerang Pajajaran?

Kisah lain yang dinisbatkan kepada Sultan Banten bahwa penyerangan ke Pajajaran atas perintah Maulana Hasanuddin (Cicit Prabu Siliwangi putera Sunan Gunung Jati) yang memerintah tahun 1552 - 1570 M.

Kita kilas balik dahulu kerajaan/kesultanan Banten. Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Logikanya pembangunan takkan bisa berjalan tanpa situasi yang aman. Apabila dalam suasana ketegangan perang tidak mungkin terlaksana. Efek pembangunan juga bermanfaat bagi masyarakat Cirebon.

Catatan serangan kilat dari Kerajaan Banten ke Pajajaran di masa pemerintahan Ratu Dewata dipertanyakan. Karena saat bersamaan pemerintahan Maulana Hasanuddin tidak melakukan tindakan keras dalam menyebarkan Islam. Sementara kesultanan Banten dimulai dari Maulana Hasanuddin. Raja Pertama Kesultanan Islam Banten adalah Maulana Hasanuddin Banten bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang beribukan Nya Rara Santang binti Prabu Siliwangi + Nyai Subanglarang. Sedangkan Maulana Hasanudin beribukan Nyai Kawunganten binti Surasowan bin Prabu Siliwangi + Nyai Kentring Manik Mayangsunda binti Haliwungan (Prabu Susuk Tunggal) + Baramuci Larang puteri dari Surendrabuanaloka/ raja daerah yang pernah bertahta di Pakuan.
Lokasi Prasasti Huludayeuh Cirebon (dilingkari)

Tampaknya tidak sesuai kronologi jika pembuat prasasti Huludayeuh adalah Prabu Ratu Dewata (Cucu Sri Baduga Maharaja. Prasasti paling baru yang ditemukan di Kabupaten Ciamis adalah prasasti Jambansari. Secara paleografi, prasasti ini ditulis dalam aksara tipe “Jawa Kuna”. Jika melihat bentuk aksaranya yang ditulis tegak mengingatkan pada prasasti Huludayeuh yang dikeluarkan oleh Raja Sri Baduga Maharaja pada abad ke-16 (Nastiti & Jafar, 2014).

Prasasti Jambansari terletak di bawah gerumbulan pohon waregu (kiri atas), prasasti Jambansari (kanan atas), abklats dan aksara yang dipahatkan pada prasasti Jambansari (kiri dan kanan bawah). (Sumber: Dokumen Titi Surti Nastiti, 2014)
Prasasti Jambansari terdapat di dalam gerumbulan pohon waregu (rhapis excelsa), yang berada di kompleks Makam Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, bupati Galuh ke-3 (1839–1886). Kompleks makam tersebut secara administratif terletak di Kampung Rancapetir, Kelurahan Ciamis, Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis. Ukurannya adalah tinggi 36 cm, lebar 50 cm, dan tebal 36 cm. Aksara sudah ada yang aus sehingga sulit untuk dibaca. Bentuk aksara persegi empat dan tegak.

Menurut juru pelihara, Nana Hidayat, prasasti ini sudah terletak di lokasi tersebut sejak ia menjadi juru pelihara pada tahun 2004. Penduduk setempat sudah mengetahui tentang prasasti tersebut dan menyebutnya dengan nama “batu kunci” atau “batu gede”. Pada tahun 2015, tim peneliti Balai Arkeologi Bandung menelusuri asal prasasti tersebut.

Menurut informasi dari Dadang Muhammad Rohlik, guru SMP Negeri 1, Ciamis, prasasti tersebut berasal dari Bojong Salawe yang dipindahkan ke Jambansari oleh Indra Sugih pada tahun 2014 tanpa sepengetahuan juru kunci. Beberapa bulan kemudian ia menyampaikan kepada salah seorang juru pelihara bernama Yus, bahwa ia menitipkan barang yang disimpan di bawah pohon waregu, tanpa menyebutkan jenis bendanya. Indra Sugih menemukan prasasti itu pada tahun 2013 di Ci Tanduy, Bojong Salawe dekat Situs Galuh Salawe (Saptono, 2015: 25).

Prasasti Batu Tulis 1920-an. wikipedia.org
Sang Ratu Dewata rupanya menyebut nama Prabu Sri Baduga Maharaja, yaitu Ratu Jaya Dewata atau Sang Pamanah Rasa. Mungkin prasasti ini dibuat ketika Prabu Siliwangi berkuasa di Kerajaan Sindangkasih setelah menikahi Nhay Ambet Kasih dan ia menjadi Raja daerah.

Sebagaimana dituliskan dalam Prasasti Batu Tulis Bogor bahwa Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi III) banyak melakukan pembangunan. Mungkin juga kebiasaan dalam membangun sudah sejak ia menjadi raja daerah.

Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana, di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi"

Berdasarkan peta lokasi Prasasti Huludayeuh (yang dilingkari merah) berada di perbatasan Majalengka- Cirebon. Di sisi wilayah Majalengka bagian selatan prasasti Huludayeuh terdapat "Situs Buyut Huludayeuh" berupa makam keramat, Petilasan Prabu Siliwangi, Di sisi wilayah Cirebon terdapat tugu patung Kuya Keramat.

Seperti dibahas sebelumnya bahwa Huludayeuh adalah asal mula dayeuh, maka bukan berarti dilokasi tersebut dayeuhnya. Sementara di sisi barat daya terdapat Situs Buyut Huludayeh. Situs Buyut menunjukkan bahwa yang dimakamkan di sana adalah pendiri kampung. Asal mulanya di lokasi prasasti, lalu makam pendiri dikuburkan di lokasi yang jauh.

Situs Buyut Huludayeuh

Berikut contoh Jabatan pengurus pakuwuan yang dibangun berdasarkan pola pajajaran adalah  Buyut, Kuwu, Kliwon (wakil Ki Kuwu), Carik,  Raksabumi, Lelugu  Desa Mayor (selaku pembantu Reksabumi), Bahu (selaku pembantu umum), Capgawe (pembantu Lelugu  Desa),  Bekel.,  Lebe dan  Kemit.

Lalu dimanakah dayeuh-nya? Menurut laporan Amy Retno Galih dalam "Sejarah Desa Sindanghaji Kec. Palasah Kab. Majalengka" memaparkan bahwa desa Sindanghaji terkait Situs Buyut Huludayeuh dan Prasasti Huludayeuh. Sindanghaji sebuah tempat peristirahatan para pengembara terutama pengembara yang bernama Buyut Matanghaji selanjutnya menjadi pemukiman penduduk! Dari waktu ke waktu yang bermukim di Sindanghaji semakin lamasemakin bertambah. Dalam catatan yang merupakan arsip berharga yang disimpan dikantor Desa Sindanghaji wilayah Sindanghaji dalam kepemimpinan Demang Eon mengalami kemajuan yang pesat! .Pusat .emerintahan diberi nama "Dayeuh" yang berarti pusat pemerintahan. Lokasinya antara Dukuh Bak dan Dusun Tegalmerak sekarang! Hal ini diperkuat dengan adanya tempat yang dinamai Sawah Alun. "Alun" artinya lapangan atau lahan yang berada di sekitar pusat pemerintahan. Lokasinya berada sekitar limaratusmeter arah utara dari pusat pemerintahan Desa Sindanghaji saat ini. Bukti lainnya adanya suatu tempat yang dinamai Telar Dayeuh. "Telar" dari kata "tetelar" dalam bahasa Sunda yang artinya "tegalan dayeuh" artinya pusat pemerintahan. Lokasinya sekitar satu kilometer ke arah utara dari sawah alun.

Buyut Rangga Kamasan terletak di pemakaman "astana Hulu Dayeuh" yang sekarang menjadi wilayah Desa Tarikolot. Dalam keterangan selanjutnya dijelaskan bahwa Desa Tarikolot merupakan pemekaran dari Desa Sindanghaji pada tahun dimasa kepemimpinan Haji Mansur (1880-1919).

Untuk wilayah dayeuh ketika zaman Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) mungkin meliputi Patuanan, Sindangkasih dan tarikolot. Namun semua ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

*cag*

Referensi

  1. Adeng. 1995. Batutulis Prasasti Anyar di Astana Gede Kawali. Simpay 47: 865–61.
  2. Boechari. 1977. Manfaat Studi dan Bahasa dan Sastra Jawa ditinjau dari Segi Sejarah dan
  3. Arkeologi. Majalah Arkeologi, 1(1): 5–30.
  4. Boechari. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional, volume 1. Jakarta: Proyek
  5. Pengembangan Museum Nasional.
  6. Bosch, F.D.K. 1941. Een Malaische Inscriptie in het Buitenzorgache. BKI, 100: 49–53.
  7. Brumund, J.F.G. 1868. Bijdragen tot de kennis va het Hindoeisme op Java. VBG, 33.
  8. de Casparis, J.G. 1956. Prasasti Indonesia: II. Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century
  9. A.D. Bandung: Masa Baru.
  10. de Casparis, J.G. 1975. Indonesian Palaeography. A History of Writing in Indonesia from the
  11. Beginnings to C. A.D. 1500. Leiden/Köln: E.J. Brill.
  12. Djafar, Hasan. 1991. Prasasti-Prasasti dari Masa Kerajaan-kerajaan Sunda. Makalah pada
  13. Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor, 11–13 November
  14. 1991: Universitas Pakuan Pajajaran.
  15. Djafar, Hasan. 2011a. Prasasti Batu Tulis Bogor, Amerta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
  16. Arkeologi, 29 (1): 1–13.
  17. Djafar, Hasan. 2011b. Pengenalan Aksara Prasasti-Prasasti Jawa Barat. Makalah pada Gotrasawala
  18. Aksara Sunda. Bogor, 26 Juli 2011: Dewan Kesenian Kebudayaan Kota Bogor.
  19. Djafar, Hasan. 2015. Pembacaan Kembali Prasasti Kawali dari Situs Astana Gede, Kawali,
  20. Ciamis. Makalah dalam Focus Group Discussion Rekonstruksi Situs Astana Gede
  21. Kawali. Bandung, 29 September 2015: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
  22. Vogel, J.Ph. 1925. "The Earliest Sanskrit Inscription of Java." Publicaties van den Oudheidkundigen
  23. Dienst in Nederlandsch-Indie – Deel 1: 15–35. Batavia.
  24. "Prasasti Huludayeuh, Ungkap Proyek Besar Kerajaan Sunda diwilayah Cirebon" hystoryofcirebon.id Diakses 16 Januari 2019
  25. "Prasasti Huludayeuh" Disparbud Jabar. jabarprov.go.id Diakses 16 Januari 2019
  26. "Sejarah Desa Sindanghaji Kec. Palasah Kab. Majalengka" Disusun oleh Ami Retno Galih. IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2012/2013 academia.edu Diakses 16 Januari 2019.


Baca Juga

Sponsor