Cari

Serakah atau Mabuk Agama dalam Naskah Kuno Sunda


[Historiana] - Hidup manusia itu "menyejarah". Alangkah anehnya ketika mendengar "Awas bahaya mempertahankan budaya leluhur". Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal Nusantara bukanlah suatu bangsa "jahiliyah" yang buta terhadap adat dan budaya yang "memanusiakan manusia sebagai manusia", tetapi telah memiliki kebudayaan dan kepercayaan yang adiluhung.

Kita mengkonsumsi makanan khas Nusantara dengan berbagai rempahnya yang gurih di lidah adalah hasil tinggalan budaya leluhur. Pun demikian dengan tata cara menggunakan pakaian, bercocok tanam, membuat dan menggunakan perkakas kerja, senjata dan alat-alat teknologi dari zaman ke zaman. Belum lagi tinggalan bangunan tahan bencana gempa, puting beliung bahkan petunjuk "evakuasi" dari ancaman "Caah dengdeng cai ngagulidag" (banjir bandang dan air bah).  Sudah pasti kepercayaan-kepercayaan yang telah ribuan tahun dianut oleh luluhur kita adalah bukti tinggalan sejarah bangsa.


Lalu kita mengharamkan budaya leluhur kita? 

Mau jadi apa bangsa kita bila meninggalkan budaya leluhur bangsa sendiri. Sudah sangat sering para dalang wayang mengingatkan kita, contohnya (alm) Asep Sunandar Sunarya, mengatakan bahwa hancurkan suatu bangsa dimulai dengan hancur budayanya. Akankah kita meninggalkan seluruh tinggalan budaya leluhur bangsa sendiri? Bisakah? menurut penulis tidak mungkin. Jika memaksakan diri meninggalkan tinggalan budaya leluhur bangsa, menunjukkan kita "kehilangan kesadaran" dan hilangnya kesadaran kalau tidak disebut pingsan ya mabuk!

Leluhur bangsa kita sudah mewariskan tinggalan pengetahuan mengenai jenis makanan yang baik untuk kita konsumsi. Mereka mengajarkan cara menanamnya, menyianginya, memeliharanya serta menjaganya dari gangguan hama, mengolahnya hingga menyajikannya. Itulah Contoh makanan yang kita konsumsi adalah tinggalan leluhur kita. Mampukah kita mengkonsumsi jenis makanan dan cara makan dari bangsa lain? bisa! tentu sangat bisa. Ya.. jika dipaksakan.

Cara kita berpakaian juga merupakan tinggalan budaya leluhur bangsa. Kita tinggal di negeri tropis dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi, maka budaya menciptakan jenis pakaian. Selain itu, aktivitas sehari-hari sebagai peladang, petani atau nelayan membutuhkan konsep dan jenis pakaian yang mendukungnya. Budaya ngeuyeuk atau menenun boeh (kain) telah ada sejak zaman dahulu. Anda bisa bayangkan jenis pakaian yang serba lebar dan tak nyaman manakala digunakan di kebun apalagi untuk memanjat pohon kelapa. Bayangkan juga nelayan yang menggunakan jenis pakaian bangsa lain yang tidak cocok digunakan di perahu apalagi untuk menyelam.

Tinggalan budaya leluhur bangsa Indonesia yang paling cocok dengan peristiwa bencana alam kekinian adalah petunjuk-petunjuk teknis menyelamatkan diri dan harta benda (evakuasi). Bencana gempa bumi, longsor, gunung meletus, banjir bandang dan tsunami telah dialami oleh leluhur kita di Nusantara. Adakah tinggalan berita, informasi atau catatan dari leluhur kita untuk menyelamatkan diri dari bencana? tentu ada. Baca juga: "Begini Kisah Leluhur Nusantara Tentang Gempa Bumi Dan Tsunami" dan "Sejarah Gempa Bumi Dan Tsunami Indonesia Sejak Tahun 416 | Berkaca Dari Jepang". Mengapa kita mengabaikannya, sementara peneliti asing menggunakan sumber-sumber leluhur bangsa kita dalam meneliti bencana geologi? contohnya bisa dibaca pada "Begini Efek Letusan Gunung Krakatau 1883".

Pemahaman bencana dari leluhur kita sangat baik. Mari kita perhatikan. Mengapa rumah-rumah leluhur kita terbuat dari kayu atau bambu? apakah mereka tidak mampu membangun dari dinding yang lebih kokoh? Tentu sangat bisa. Kita dapat melihat buktinya dari tinggalan Candi di Batujaya Karawang yang berangka tahun abad ke-2 Masehi (zaman Salakanagara). Ada juga candi-candi dari batu di Jawa, Sumatera, kalimantan dan lain-lain. Situasi yang terbalik dengan rumah-rumah penduduknya. Mereka memilih menggunakan bahan kayu dan bambu untuk mencegah dari bencana gempa bumi. Catatan gempa bumi tersebar dalam beberapa Naskah kuno. Pilihan terbaik demi keamanan adalah bangunan tahan gempa yaitu bambu atau kayu dengan beratap rumbia atau ijuk. Beberapa daerah lainnya seperti di Mojokerto dan Trowulan Jawa Timur (zaman Majapahit), rumah penduduk beratapkan genting dari tanah liat. Alasannya daerah tersebut sering diterjang angin puting beliung. Dengan atap yang lebih berat, menjadikan rumah lebih tahan dari terjangan angin puting beliung.

Budaya Leluhur Sunda

Sunda sebagai entitas budaya tentu memiliki sejarah. Bahkan Sejarah Sunda sangat Panjang. Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran berakhir saja berlangsung selama 909 tahun. Sebuah sejarah panjang. Tinggalan budaya Sunda juga sangat banyak dan dipergunakan untuk keturunannya hingga hari ini. Namun sayang, jejak tinggalan budaya Sunda Kuno banyak diabaikan oleh kita hingga kita sering tak mengenali diri dan lingkungan kita sendiri.

Bila kita kilas balik tulisan di atas tentang tinggalan budaya bangsa sendiri berupa makanan (kuliner), pakaian, bangunan telah kita bahas. Satu lagi tinggalan kepercayaan leluhur bangsa. Ini yang paling diabaikan oleh kita karena alasan bahwa kita tidak lagi seagama dengan leluhur bahkan berani mencap leluhur kita sebagai orang-orang kafir, musrik, jahiliyah dan lain-lain. Benarkah jahiliyah? apa arti jahiliyah? Jahiliyah adalah bahasa Arab: جاهلية, Jāhilīyyah adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa di mana penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja I pada kata jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.

Mari kita terapkan dalam budaya bangsa kita. Islam hadir ketika Rasulullah Muhammad SAW (lahir di Mekkah, 570 M – meninggal di Madinah, 8 Juni 632 M) diangkat menjadi rasul pada sekira tahun 610 Masehi. Di tahun 610 Masehi tersebut, di Jawa telah ada Kerajaan Tarumanagara dan Kalingga. Di Kalimantan sudah ada kerajaan Kutai Kertanegara. Bahkan jauh sebelumnya pada tahun 130 Masehi di Jawa Barat bagian Barat (Banten sekarang) telah ada Kerajaan Salakanagara. Kehidupan masyarakat telah teratur dan kehidupannya dipimpin seorang raja dengan aturan kerajaan (undang-undang). Jadi, kiranya tidak tepat jika kita menganggap leluhur bangsa sendiri sebagai orang-orang Jahiliyah.

Di sinilah letak alasan generasi sekarang meninggalkan budaya leluhur karena alasan keyakinan agama atau kepercayaan. Tidaklah menjadi masalah. Jangan meninggalkan seluruh catatatannya. Sekalipun sebuah tinggalan berkaitan dengan kepercayaan, kita masih dapat melihatnya dari sisi yang lain agar tidak kehilangan petunjuk atas apa yang pernah menimpa leluhur kita. Contohnya dapat dibaca pada "Waspada Bila Ada Arca Ganesha".

Sebaliknya, jika kita menolak mentah-mentah seluruh tinggalan budaya leluhur karena alasan agama yang taklid buta, maka ini yang disebut loba (serakah) dalam Naskah Carita Parahyangan.


"...Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa."
(...yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang yang serakah (loba) dengan ajaran agama)

Dari Naskah ini dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah banyak orang Pajajaran yang beralih agama baru dengan meninggalkan agama lama.

Melalui pergulatan hidup, setiap manusia punya pengalaman, dan setiap pengalaman ada ceritanya. Ada pengalaman emosional, ada pengalaman kejadian, ada pengalaman spiritual. Yang pasti dalam hari-hari berikutnya orang akan bertambah pengalaman dan bertambah kekayaan batinnya sehingga bisa mengubah arah. Di sana ada yang mengarah ke kanan, ada yang mengarah ke kiri. Bahkan bisa mengarah pada hal yang lebih jauh dan tak terkendali.

Janganlah kita loba atau serakah dalam beragama sehingga "lupa daratan" agar kita tidak seperti orang kehilangan akal atau mabuk. Adakah orang yang mabuk agama? Mabuk bisa terjadi di dalam hal apa saja. Mabuk bahasa Jawa "mendem" yakni kebanyakan yang dalam bahasa Sunda Loba. Kalau beragama kebanyakan mengklain "yang paling" itu adalah dirinya dan agamanya ya bisa mendem atau loba, disebut mabok agama.

Adalah sebuah kenyataan bahwa kita dipengaruhi oleh gen keturunan dan lingkungan, bahkan oleh alam dimana kita tinggal. Setiap kepribadian punya titik lemah/kekurangan dan juga punya titik kekuatan/ kelebihan. Semua manusia berbeda-beda dan juga saling menyerupai, tetapi tidak sama persis. Kita diberikan hak untuk memilih, juga kadang harus menjalani apa yang mestinya dijalani.

Semoga bermanfaat
*Cag*
Baca Juga

Sponsor