Ilustrasi: hariansejarah.id |
[Historiana] - Kita sering mendengar, membaca nama gelar pada nama-nama Bupati, Wedana dan Gubernur di masa awal kemerdekaan. Itulah penanda nama-nama bangsawan yang memiliki kedudukan tinggi dalam budaya masyarakat di Pulau Jawa. Lalu dimanakah mereka sekarang ini?
Penulis menyadur karya Sailal Arimi, Staf pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dan mitra peneliti pada Pusat Studi Asia Pasifik, UGM dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 10 No. 2 Tahun 2008. Dalam karyanya yang berjudul "Pergeseran Kekuasaan Bangsawan Jawa Indonesia: Sebuah Analisis Wacana Kritis" menjabarkan pertanyaan kita di atas.
Identitas Kebangsawanan dari Perspektif Linguistik dan Sosial
Sampai saat ini etnografi Geertz (1962) tentang pemakaian tingkat tutur (speech level) masyarakat Jawa masih diacu oleh para linguis termasuk bidang analisis wacana (seperti Wardhaugh, 1976: 131; Wardhaugh, 1986: 267; Coulthard, 1977: 38). Geertz meyimpulkan bahwa, “before one Javanese speaks to another, he or she must decide on an appropriate speech style: high, middle, or low” bergantung pada sejumlah faktor seperti status sosial, usia, pendidikan, dan pekerjaan (lihat pula Siegel, 1986; Pabottingi, 1996). Yang dimaksud Geertz dengan ragam high, middle atau low itu masing-masing adalah ragam krama, madya, dan ngoko; krama dipahami sebagai ragam yang halus, sangat sopan dan tinggi, madya dipandang menengah, dan ngoko sebagai ragam yang kasar, dan rendah. Kelas bangsawan Jawa diasosiasikan sebagai kelompok sosial yang tinggi yang diperlakukan orang lain dengan sopan, hormat dan tinggi. Pilihan ragam bahasa Jawanya pun yang paling tinggi yaitu krama.
Walaupun kaum bangsawan diasosiasikan dengan pemakaian bahasa krama, tidak berarti mereka tidak (pernah) menggunakan ngoko. Pemakaian ngoko kepada kelompok yang berstatus di bawahnya (kawula) menunjukkan relasi kekuasaan (power), sementara pemakaian krama kepada sesama bangsawan justru memperlihatkan hubungan kesantunan (politeness) dan sesekali kesempatan penggunaan ngoko pada sesama mereka khususnya menyatakan keakraban (solidarity).
Yang menarik adalah bahwa setiap kawula, kelas rakyat jelata, harus menggunakan krama kepada kaum bangsawan untuk menghormati dan memperlihatkan posisi mereka yang berada di bawah (subordinate). Pemilihan ngoko kepada mereka diartikan tidak sopan, kasar, dan tidak tahu diri. Dari segi pilihan ragam bahasa ini jelas bahwa relasi kekuasaan terlihat dari pilihan bahasanya. Kaum bangsawan mengendalikan tindakan bahasa kawula, termasuk bagaimana kawula harus memperlakukan mereka. Menurut analisis Anderson (1990; via Arimi, 2007), dalam pemikiran orang Jawa tradisional menjadi halus dengan sendirinya merupakan pertanda memiliki kekuasaan/kekuatan, karena kehalusan itu hanya bisa diperoleh dengan mengkonsentrasikan kekuatan itu.
Kekuasaan Bangsawan Jawa
Wacana awal munculnya sub-kelas priyayi adalah ketika kerajaan-kerajaan di Jawa (di Solo dan Yogyakarta) menciptakan satu sistem stratifikasi sosial untuk merujuk pada adik-adik raja, yang tentunya bukan raja karena tradisi pewarisan raja diberikan pada anak tertua yang biasanya laki-laki. Sejak itu, terdapat tiga golongan, yaitu raja, priyayi dan kawula. Kemudian keturunan para adik raja ini pun mewarisi status kebangsawanan priyayi ini dengan tanpa memandang jabatan, prestasi atau jenis kelamin.
Status bangsawan adalah status kelas atas sehingga dipandang sangat mulia dan terhormat. Untuk memelihara keningratan ini, kerajaan mengamankan status ini sebagai status yang hanya dapat diwariskan karena keturunan atau perkawinan sehingga awalnya priyayi murni sebagai status yang diwariskan (ascribed status) bukan status yang diperoleh lewat usaha tertentu (achieved status).
Para adik raja ini memiliki keluarga yang semakin lama semakin banyak jumlahnya.
Di wilayah kekuasaan raja, mereka beserta keturunan-keturunannya menguasai tanah-tanah (Adam, 2004: xiii) yang dikerjakan oleh kaum petani hingga di tingkat desa-desa. Ketika VOC masuk ke tanah Jawa, priyayi yang dikenal golongan ningrat yang memiliki tanah yang luas dengan mudah ditaklukkan karena kaum priyayi justru menganggap kedatangan bangsa kulit putih ini sebagai upaya untuk memperkuat posisi mereka sebagai penguasa lokal (inlands bestuur) (Onghokham, 2004: 10). Merestui masuknya Belanda justru menjadi bumerang bagi mereka, karena Belanda akhirnya menguasai tanah-tanah yang mereka miliki walaupun dengan ganti rugi baik berupa uang (Gulden) ataupun legitimasi kedudukan yang kokoh di mata rakyat. Priyayi keturunan ini mendapatkan peran-peran baru baik dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Priyayi dikukuhkan perannya sebagai mediator antara raja dan rakyat kebanyakan (kawula). Mereka bertugas mengumpulkan upeti, mengorganisasi kerja bakti, memobilisasi rakyat dalam peperangan dan lain-lain (Onghokham, ibid). Digantikannya VOC oleh Belanda dengan membentuk pemerintahan Hindia Belanda telah memberi pengaruh pada pelemahan identitas priyayi secara politik. Priyayi tidak hanya tunduk pada superioritas raja tetapi juga harus patuh pada Belanda.
Semakin lama pengaruh pemerintahan Hindia Belanda semakin kuat. Pada tahun 1830 dan setelahnya kaum elit priyayi membangun identitas kepriyayiannya sebagai kelompok yang berafiliasi dengan ’keningratan’ bangsa kulit putih dengan pendidikan barat, kehidupan barat dan bahasa Belanda-nya, bahkan priyayi cenderung kebelanda-belandaan. Mesranya hubungan dua bangsa berbeda ini sebenarnya memperkuat posisi kolonisasi di tanah Jawa dengan cara mengukuhkan kembali posisi priyayi sebagai penguasa lokal dengan sebutan volkshoofden (pemimpin rakyat), artinya pemimpin adat/agama, dan penyelesai semua masalah intern masyarakat (Onghokham, 2004: 29). Sejalan dengan itu, Belanda menggunakan kaum priyayi untuk membantu jalannya birokrasi pemerintahan. Mereka menjadi media efektif untuk menghubungkan pemerintah penjajah dengan rakyat. Agar berjalan optimal, birokrasi diawasi dan dikontrol secara ketat. Tidak cukup dengan kontrol terhadap perkawinan, para pangreh praja juga diharapkan tidak fanatik terhadap agama (Islam), karena ini bisa menjadi benih timbulnya perlawanan terhadap kolonial. Priyayi yang suka minum, memelihara anjing, atau menunjukkan sifat “sekuler” seperti tidak menjalankan ibadah puasa, shalat, dll., lebih mudah naik jabatan dalam hirarki pangreh praja daripada yang fanatik (Ibid., hal. 18) Mereka ini umumnya menjadi lebih loyal terhadap Pemerintah Hindia-Belanda.
Situasi pemerintahan Hindia-Belanda yang menggunakan kaum priyayi sebagai perpanjangan tangan pemerintahannya semakin menguat dan menanamkan akar politik kekuasaan pribumi (inlandsch bestuur). Tidak mengherankan jika seorang sarjana Inggris, J.S. Furnivall, menyebut pemerintahan seperti ini sebagai pemerintahan kolonial tak langsung (via Onghokham, 2004:8). Karena semakin luasnya kolonikoloni Hindia Belanda di tanah Jawa, rekrutmen terhadap penghubung-penghubung di daerah semakin banyak diperlukan. Hal ini diawali dengan keberhasilan Belanda memisahkan daerah-daerah dari raja Jawa, yang pada waktu itu adalah Mataram. Pemerintahan kolonial tidak hanya memanfaatkan priyayi-priyayi yang sudah tersedia karena keturunan raja-raja, tetapi juga mengangkat priyayi-priyayi baru. Bupati yang baru untuk wilayah kekuasaan Ngawi, misalnya diangkat 1830 sebagai pegawai negeri yang berasal dari keluarga biasa, bukan keturunan keluarga raja (ibid, hal.10). Fenomena penobatan priyayi baru ini terus bergulir sampai jatuhnya rezim kolonial di tanah air.
Terbukanya peluang menjadi priyayi ini membuat antusias segilintir orang untuk mencapai posisi terhormat di atas mayoritas rakyat jelata yang buta huruf, miskin dan tertindas. Sikap kaum priyayi mendua ketika bangkitnya semangat nasionalisme di kalangan intelektual muda Indonesia di awal abad ke-20. Pada masa ini priyayi mulai diakui karena keterpelajarannya walaupun tidak memiliki darah ningrat atau abdi dalem kerajaan. Sejak Boedi Oetomo dipimpin oleh dr. Radjiman menggantikan K.P.A Notodirojo karena sakit, organisasi kaum muda ini semakin terasa gaungnya sebagai perkumpulan priyayi terpelajar. Walaupun pada mulanya Belanda menerapkan strategi adu domba dengan cara menekan kritik kaum pergerakan dan sebaliknya mendukung posisi kaum priyayi. Namun, cara ini mengisolasi kaum priyayi dari masyarakat karena tidak diizinkan melakukan kontak dengan kaum nasionalis dan gerakan Muhammadiyah (lihat Sutherlands, 1980: 210). Sutherlands (1980: 13) juga menunjukkan bahwa berbagai kontradiksi internal dalam korps pangreh praja terutama telah menumbuhkan nasionalisme di kalangan pangreh praja bawahan, artinya di bawah bupati, khususnya pada tahun 1930-an.
Pergeseran nilai semakin dirasakan ketika pemerintah kolonial tertaklukkan setelah perang dunia ke-2. Kekalahan Belanda membuat pemerintahannya tidak berdaya bak ‘macan ompong’. Orang-orang kembali memilih orientasi keraton sebagai afiliasi keningratan. Rekonstruksi identitas priyayi dikaitkan dengan pengangkatan sebagai abdi dalem. Sejak awal kemerdekaan hingga sekarang ini relasi historis terhadap kebelandaan tidak dapat dikatakan lenyap walaupun tidak dapat diklaim masih berasosiasi. Nostalgia ciri-ciri kebelandaan masih ditemukan pada segelintir orang-orang tua yang masih hidup. Demikian pergeseran kekuasaan ternyata signifikan mengubah orientasi kepriyayian karena ketika rezim Hindia Belanda beralih ke rezim Jepang ternyata nyaris tidak memberi pengaruh kultural yang mendasar pada pembentukan kebudayaan baru di negeri ini. Belanda telah menanamkan akar feodalisme yang kokoh pada tubuh kaum priyayi, hirarki aristokratis, dan tingkat tutur dalam bahasa, serta simbol-simbol pada pakaian, rumah dan upacara. Di era kolonialisme ini posisi, identitas dan orientasi loyalitas priyayi dicirikan cukup berbeda dengan periode-periode setelahnya (lih.tabel). Priyayi merupakan individu atau kelompok dengan status sosial terpandang yang mendapat kesempatan mengeyam pendidikan Belanda sebab keturunan atau sebab diangkat sebagai kaki tangan atau pegawai negeri Belanda.
Hingga abad ke-21 sulit diingkari bahwa status priyayi masih tetap diperlombakan (contested status) sebagai status menengah di bawah raja (king) dan di atas kawula (ordinary people). Di zaman prakemerdekaan status priyayi berangsur beralih kepada status tinggi nasionalis. Bukti-bukti yang menunjukkan perubahan orientasi kolonialis ke nasionalis ini terlihat dari tokoh-tokoh terpelajar yang masuk dalam pergerakan kemerdekaan seperti dalam Ir. Soekarno dengan instrumen politiknya PNI, tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro, guru SR yang kemudian menjadi panglima besar Jenderal Soedirman (periksa Dhakidae, 1998) dan banyak lagi yang lain. Status sosial priyayi yang tinggi di mata masyarakat terus menerus bergeser dan mencoba melingkupi domain pendidikan, pekerjaan, agama, bahkan dari luar etnis Jawa sehingga afiliasi sosial dan budaya menjadi tidak lagi mutlak. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945 yang menjadi pegawai negeri tidak hanya dari kalangan suku Jawa tetapi juga dari berbagai daerah lain seperti Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, dsb. Demikian pula, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin luas ketika ITB dan UGM dibuka pertama kali untuk masyarakat banyak sehingga jalan menuju status priyayi terpelajar semakin terbuka.
Pergantian rezim agaknya berpengaruh pada kebijakankebijakan negara. Rezim orde baru yang menyebut pemerintahan sebelumnya sebagai orde lama ternyata berkuasa lebih lama (1967- 1998). Walaupun orientasi loyalitas masih pada pemerintah RI dan raja Jawa, identitas priyayi mengalami perluasan hegemoni. Status priyayi tidak hanya diperoleh berdasarkan keturunan, keterpelajaran, dan pengangkatan, tetapi juga berdasarkan ketokohan. Soeharto yang berasal dari keluarga petani desa di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta - dan menurut kategori Geertz termasuk abangan - menjadi priyayi terkenal karena ketokohannya sebagai pemimpin nasional, di samping dia juga menikah dengan gadis priyayi Surakarta, Siti Hartinah). Namun, ketokohan presiden Soeharto tampaknya membawa berkah bagi keluarga besarnya sehingga adik kandungnya yang berdiam di desa Kemusuk mendapat gelar Raden di depan namanya, menjadi Raden Notosuwito. Fenomena semacam ini banyak ditemukan hingga ke tingkat desa-desa. Sepertinya gelar priyayi cilik raden ini tidak sesakral asal muasalnya sehingga masyarakat bisa memberi julukan nama seseorang dengan raden walaupun bukan dengan julukan raden mas.
Di mata masyarakat yang cenderung kapitalis sesekali orang kaya lebih terpandang daripada priyayi karena aksesnya kepada kekuasaan; tetapi sesekali pula orang-orang yang diangkat menjadi abdi dalem mengukuhkan kepriyayiannya bukan karena akses kekuasaan tetapi karena motif-motif yang bersifat kognitif behavioral. Kemampuan mengayomi kawula dengan advis-advis kebudayaan serta perilaku-perilaku sosial yang ditunjukkan lebih menjamin kepriyayian seseorang daripada sekadar status yang diperolehnya karena keturunan, pendidikan atau ketokohan sekalipun.
Pada era kejatuhan orde baru yang otoriter, hampir semua lini kebijakan sosial dan budaya mengalami proses reformasi bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Rezim orde baru yang berkuasa relatif sangat lama telah mencoreng sejumlah simbol-simbol kehormatan termasuk priyayi, pegawai negeri, tokoh masyarakat yang biasanya tergabung dalam partai atau mewakili rakyat di legislatif, para intelektual atau pendidik yang lebih dikenal sebagai pejabat negara, dsb. Sikap a-priori terhadap kelompok the ruling class ini merupakan titik kulminasi terhadap ketidak-percayaan pada praktik penyelenggaraan negara yang sudah sangat korup, kolutif, dan nepotis. Institusi kepegawai-negerian dipandang tidak reliable mengemban amanah rakyat karena justru dari tingkat eksekutif presiden hingga lurah terindikasi praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat banyak. Ada perlawanan terhadap simbol-simbol kekuasaan priyayi dari tubuh internal priyayi maupun dari luar institusi priyayi. Walaupun identitas priyayi tetap dipertahankan, namun reidentifikasi terhadap status ini diperjuangkan oleh kaum priyayi lain yang mungkin terbebas dari kekuasaan. Akhir-akhir ini priyayi dipahami bukan sebagai ’person’ atau ’status’, tetapi sebagai ’perilaku’. Identitas priyayi direformasi ke dalam ranah sistem makna dan nilai, tidak lagi ke dalam sistem simbol (lihat Arimi, 2007).
Logika bahwa priyayi bukan ’status’ tetapi ’perilaku’, dan identitasnya masuk ke dalam sistem makna dan nilai bukan sistem simbol merupakan penolakan terhadap imaji KKN yang dilakukan oknum priyayi yang notabene mayoritas PNS. Orientasi loyalitas, karenanya, harus dialihkan terhadap asal-usul keterpandangan dan kehormatan yaitu humanitas, bukan institusi negara baik pemerintah RI maupun raja Jawa. Dalam formula yang lain dapat ditegaskan bahwa priyayi tidaklah identik dengan figur adik raja sebagaimana makna asalnya, kaum bangsawan, para abdi dalem, pangreh praja di zaman kolonial atau pegawai negeri sipil di zaman pemerintahan RI. Berdasarkan ideologi ini, pandangan bahwa kepemilikan simbol-simbol kebangsawan seperti rumah, pakaian resmi dan perlengkapan upacara sudah tidak berarti lagi jika tata perilaku seseorang yang disebut bangsawan itu tidak merefleksikan sosok seorang yang agung, halus dan terhormat sebagai seorang priyayi bangsawan. Pandangan ini sejalan dengan potongan kutipan wawancara penulis (Arimi, 2007) dengan seorang abdi dalem berikut ini.
”Sekarang, bangsawan hanyalah sebuah keluarga, sebagaimana lazimnya keluarga lainnya, yang keberadaannya sebagai bangsawan sama sekali tidak memiliki implikasi finansial. Sehingga wajar saja kalau GBPH. H. Prabukusumo kemudian mengatakan "Kalau tidak cari makan sendiri lalu siapa yang mau ngasih makan?". Tentu saja tidak hanya dengan berdagang atau bisnis "makan" bisa diperoleh, dan memang tidak pula semua priyayi bangsawan tersebut terjun ke dunia dagang. GBPH.H Yudhaningrat, saudara HB X lainnya, misalnya memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil untuk "mencari makan". Namun sebagaimana telah maklum, menjadi pegawai negeri bukanlah cara yang efektif untuk "mencari makan". Gaji PNS yang tidak seberapa itu selalu tidak memadai untuk membiayai status sosial priyayi yang terlanjur tinggi di tengah-tengah masyarakat. Maka wajar pula kalau kemudian bangsawan yang sudah menjadi PNS seperti GBPH. Yudhaningrat tersebut tetap saja harus berusaha "mencari makan" sampingan dengan berbisnis.”
Melemahnya kekuasaan ekonomi ini serta merta atau tidak juga mempengaruhi wibawa kekuasaan dalam ranah politik. Seperti dikemukakan di atas para bupati yang semestinya patuh pada atasannya (Gubernur yang juga Sultan Yogyakarta) ternyata kini tidak lagi loyal secara otomatis. Di samping itu, seperti yang tercantum dalam kutipan di bawah ini dengan jelas dinyatakan bahwa Sultan harus mengkavling-kavling kekuasaan politik dan budayanya agar bawahan atau rakyatnya dapat menjalankan amanah atau perintahnya.
”Kalau ingin melihat perbedaan pengaruh dalam tataran resmi maka bisa dibedakan dengan mencermati legitimasi dan kelengkapan-kelengkapan yang menyertai bekerjanya pengaruh itu. Misalnya kalau Sultan memerintahkan Bupati Bantul berdasarkan sebuah Surat Ketetapan Gubernur dan ditandatangani oleh Sultan selaku Gubernur dan distempel dengan stempel Gubernur, jelas pengaruh kekuasaan yang bekerja adalah kekuasaan birokratis Sultan sebagai Gubernur. Atau kalau Sultan memberi perintah kepada masyarakat di sekitar pantai selatan untuk mengenakan janur kuning pasca bencana gempa beberapa waktu yang lalu jelas itu adalah berdasarkan kekuasaan budaya Sultan sebagai raja Yogyakarta.” (Sumber: Syukri, 2007:100-101)Pengamatan Syukri (2007: 79) pada situs internet Gombalabel menangkap semiotika pada blog itu bahwa bagi sebagian kalangan masyarakat, keraton tidak lagi memiliki akar legitimasi kultural yang kuat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sebagian masyarakat begitu berani menyatakan pendapat dan bahkan penolakan mereka terhadap pengaruh keraton. Banyak faktor yang membuat mereka berani dan seolah-olah memiliki jarak relatif dari pengaruh kekuasaan budaya keraton itu, antara lain, karena faktor struktural, yaitu hilangnya kekuasaan formal keraton itu sendiri, dan juga karena transformasi kesadaran masyarakat yang disebabkan oleh tingkat pendidikan dan pengaruh budaya modern. Persoalan ini tentu saja bukan fenomena baru. Soemardjan (1981:103- 108) telah membuat sinyalemen tentang merosotnya bangsawan sebagai kelas atas dan naiknya kelas intelektual sebagai penggantinya.
Sebagai rangkuman dari kajian kekuasaan bangsawan Jawa (Indonesia) lewat penghampiran AWK di atas, berikut disajikan intisari pergeseran kekuasaan itu lengkap dengan indikasi perangkat analisis AWK yang digunakan.
Simpulan
Sebagaimana dikemukakan di atas, bangsawan (Priyayi) Jawa awalnya adalah sub-kelas sosial masyarakat Jawa yang eksklusif dari rakyat kebanyakan (kawula). Sebagai satu stratifikasi sosial, priyayi merupakan komunitas yang hegemonik terhadap nilai-nilai budaya yang adiluhung, alus yang ditandai dengan sistem tanda bahasa krama. Sifat homogenitas dalam komunitas priyayi ini telah dievaluasi menurut proses-proses seperti dirumuskan Abdullah (2006:147).Pertama, susunan masyarakat yang terdiri dari kelas sosial semestinya menyebabkan adanya pihak yang mengontrol suatu nilai di satu sisi dan kelompok yang menjadi pengikut dalam sistem itu sehingga pengetahuan, nilai, dan praktik sosial terdistribusi secara timpang dalam komunitas. Dalam kajian ini, hegemoni kekuasaan yang terdistribusi antara priyayi dan kawula sudah tidak relevan. Kedua pihak sekarang ini dapat saling mengontrol tindakan, pikiran termasuk sistem nilai yang berlaku dalam komunitasnya.
Kedua, masuknya unsur-unsur baru, baik keanggotaan baru maupun nilai-nilai baru yang dibawa oleh berbagai media telah memunculkan diferensiasi dalam komunitas dalam berbagai bentuk. Variasi dalam jenis pekerjaan dan pendidikan misalnya menjadi faktor penting dalam penataan sosial baru yang justru lebih didasarkan pada sifat-sifat yang heterogen. Sebuah komunitas kemudian bukan hanya terdiri dari anggota dengan pendidikan, pekerjaan, komposisi anggota rumah tangga yang berbeda tetapi juga anggota-anggota dari agama dan etnis yang berbeda akibat perubahan konteks makro yang terjadi. Dalam kajian ini telah dikemukakan bahwa masyarakat bangsawan Jawa secara historis memiliki kekuasaan yang sangat kuat sejak (bahkan sebelum) zaman kolonial secara sosial, ekonomi, politik dan kultural (lih Onghokham, 2004). Mereka adalah kaum kapitalis yang memiliki tanah yang luas, centeng yang banyak, berpendapatan luar biasa tinggi, dan cenderung mengikuti gaya hidup hedonis. Dalam merespon fakta-fakta sosial yang berkembang di masyarakat secara luas, setiap komunitas tidak terkecuali kaum bangsawan (priyayi) Jawa telah beradaptasi dengan nilai-nilai baru yang mengakibatkan terjadinya friksi kepentingan kelompok yang berasal dari dalam (push factor) maupun dari luar (pull factors) sehingga karakter dan ciri komunitas ini mengalami pergeseran. Pergeseran itu telah membawa kaum bangsawan ini ke domain kekuasaan yang semakin melemah. Ciri kaum bangsawan Jawa sekarang ini tidak lagi menggambarkan ciri-ciri seperti pada masa kejayaannya di zaman sebelum atau sesudah kolonial. Mereka tidak lagi mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi. Kekuasaan itu telah bergeser ke ranah kekuasaan budaya yang tidak terlalu menentukan dan mengendalikan lapisan masyarakat yang lebih rendah.
Relasi intertekstual juga mengukuhkan bukti pergeseran kekuasaan itu; teks yang satu memperjuangkan status kelas kawula (wong cilik) yang dapat menduduki kelas priyayi, dan teks yang lain mengabsahkan realitas bahwa priyayi keraton sudah tidak berdaya lagi. Tesis analisis kedua teks ini adalah bahwa priyayi Jawa diakui masih eksis sebagaimana dipresentasikan oleh hak kepemilikan mereka pada rumah joglo, pakaian kebesaran dan perlengkapan upacara, hanya saja mereka seperti diuraikan di bagian analisis tidak lagi memiliki basis kekuasaan yang kuat dalam wilayah ekonomi dan politik. Kekuasaan yang tinggal dirasakan masyarakat adalah otoritas untuk mengelola simbol-simbol kebudayaan (seperti menyelenggarakan upacara-upacara kebudayaan). Sebagaimana negosiasi ideologi ini bergulir, sebaliknya, kawula yang berasal dari kasta petani dan pedagang tidak otomatis menjadi masyarakat marginal. Mereka bisa berjuang menelusup dalam struktur biroraksi dan ekonomi karena faktor pendidikan yang baik. Struktur masyarakat Jawa yang diklafisikasi Geertz (1962) dan Kuntowijoyo (2004) menjadi raja, priyayi dan kawula perlu dipertanyakan. Apakah masih ada trikotomi itu secara eksklusif? Dalam realitas negara kesatuan RI, yang ada adalah pemerintah dan rakyat, sedangkan dalam realitas kekuasaan budaya keraton, priyayi tidak lagi secara signifikan berasosiasi dengan kekuasaan, oleh karena itu yang ada kini adalah sultan dan rakyat.
Referensi
- Abdullah, Irwan. 2006. "Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Adam, Asvi Warman. 2004. ”Priyayi dalam Bayangan Kolonialisme” (sebagai prakata) dalam Onghokham, Dari Soal Priyayi sampai Nyai Blorong, Refleksi Historis Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Arimi, Sailal. 2007. “Menegosiasikan Identitas Kelompok Melalui Interaksi: Sebuah Analisis Diskursus Priyayi Takberdarah Biru”. Laporan Penelitian. (Tidak Terbit). Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada.
- Austin, J.L. 1962. "How to Do Things with Words". New York: Oxford University Press.
- Beaugrande, Robert-Alain de dan Wolfgang Ulrich Dressler. 1981. "Introduction to Text Linguistics". Essex, England: Longman Group UK Limited.
- Brown R. dan A. Gilman. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam T.A. Sebeok (editor). Style in Language. New York: John
- Coulthard, Malcolm. 1977. "An Introduction to Discourse Analysis." Essex, England: Longman Group UK Limited.
- Coulthard, Malcolm. 1994. "Advances in Written Text Analysis". London dan New York: Routledge.
- Dhakidae, Daniel. 1998. “Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para Priyayi.” Dalam Aprinus Salam, Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Dwipayana, AA GN Ari. 2004. "Bangsawan dan Kuasa, Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota". Yogyakarta: Ire Press.
- Eriyanto. 2000. "Kekuasaan Otoriter, Dari Gerakan Pendindasan Menuju Politik Hegemoni (Studi Atas Pidato-Pidato Politik Soeharto)". Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar.
- Fairclough, Norman. 1998. "Critical Discourse Analysis". London: Longman
- Geertz, Clifford. 1962. "The Religion of Java". London: The Free Press of Glencoe
- Gumperz, John J. 1982. "Discourse Strategies". Cambridge: Cambridge University Press.
- Hadiz, Vedi R dan Daniel Dhakidae. 2006. "Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia". Jakarta; Singapore: Equinox Publishing.
- Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1985. "Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective". Victoria: Deakin University.
- Hymes, Dell. 1972. "Foundations in Sociolinguistics: An Etnographic Approach". Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
- Jumadi. 2005. "Representasi Kekuasaan dalam Wacana Kelas". Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
- Kartasasmita, Ginandjar. 1999. “Power dan Empowerment: Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat.” Dalam Agus R. Sarjono (editor), Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
- Kassim, Ahmad (editor). 1997. "Hikayat Hang Tuah". Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan-Dewan Bahasa dan Pustaka.
- Kartodirjo, Sartono, et.al. 1987. "Perkembangan Peradaban Priyayi". Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Kartomihardjo, Soeseno. 2000. "Kekuasaan dalam Bahasa”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (editor). Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Penerbit UKI Atma Jaya dan PT. BPK Gunung Mulia.
- Kuntowijoyo, 2004. "Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915". Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- Lambert, W. E dan G.R. Tucker. 1976. "Tu, Vous, Usted: A Social Psychological Study of Address Patterns". Rowley, Mass.: Newbury House.
- Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (editor). 1996. "Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru". Bandung: Penerbit Mizan.
- Leeuwen, Theo van,. 1986. “The Representation of Social Actors”. Dalam Carmen Rosa Caldas-Coulthard dan Malcolm Coulthard (Ed). Text and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis. London dan New York: Routledge.
- Leeuwen, Theo van,. 1987. “Generic Strategies in Press Journalism”. Australian Review of Applied Linguistics. Vol. 10. No.2.
- Levinson, S. 1983. "Pragmatics". Cambridge: Cambridge University Press. Lubis, Mochtar. 1978. Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungan Jawab. Jakarta: Yayasan Idayu.
- Mills, Sara. 1997. "Discourse". London dan New York: Routledge.
- Onghokham, 2004. "Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara. (Cetakan ke-3)". Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Pabottingi, Mochtar. 1996. “Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”. Dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim. Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan.
- Renkema, Jan. 1993. "Discourse Studies, An Introductory Textbook". Amsterdam dan Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
- Searle, John R. 1969. "Speech Act, An Essay in the Philosophy of Language". Cambridge: Cambridge University Press.
- Siegel, James T. 1986. "Solo in the New Order, Language and Hierarchy in An Indonesian City". Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
- Soemardjan, Selo. 1981. "Perubahan Sosial di Yogyakarta". Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
- Soeratman, Darsiti. 1989. "Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939". Yogyakarta, Penerbit Taman Siswa.
- Sutherland, Heather A. 1980. "De Javaanse Priyayi en Het Nederlandse Bestuur". Den Haag: Martinus Nijhoff.
- Stubbs, Michael. 1983. "Discourse Analysis, the Sociolinguistic Analysis of Natural Language". Oxford, England: Basil Blackwell Publisher ltd.
- Syukri, Muhammad. 2007. “Bisnis Priyayi: Studi tentang Industri Rokok Keraton Dalem Yogyakarta”. Tesis Magister. (Tidak Terbit). Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
- Van Dijk, Teun A. 1977. "Text and Context, Explorations in the Semantics and Pragmatics of Discourse". London dan New York: Longman.
- Van Dijk, Teun A. 1989. “Structure of Discourse and Structure of Power”. Dalam J.A. Anderson (editor). Communication Year Book 12. Newbury Park California: Sage Publication.
- Van Dijk, Teun A. 1996. "Discourse, Power and Access”. Dalam Carmen Rosa Caldas-Coulthard dan Malcolm Couldhard (editor). Text and Practices: Readings in Critical Discourse Analysis. London dan New York: Routledge.
- Van Dijk, Teun A. Diakses 2008. "Critical Discourse Analysis". http://www.hum.uva.nl/teun.
- Van Niel, Robert. 1984. "The Emergence of the Modern Indonesian Elite". Dordrecht: Foris Publication.
- Vigner, G. 1978. "Savoir-vivre en France". Paris: Hachette.
- Wardhaugh, Ronald. 1976. "The Context of Language". Massachussets: Newbury House Publishers, Inc.
- Wardhaugh, Ronald. 1986. "An Introduction to Sociolinguistics". Oxford: Basil Blackwell.