Cari

Siapakah Prabu Surawisesa? | Menakar Klaim Kesultanan Selaco (Selacau) Tasikmalaya

[Historiana] -  Fenomena Keraton Agung dan Sunda Empire saat ini tengah hangat menjadi perbincangan. Di wilayah Priangan Timur, tepatnya di Kecamatan Parung Ponteng, Desa Cibungur, Kampung Karangtengah, Kabupaten Tasikmalaya, juga diketahui ada kerajaan bernama Kesultanan Selacau.

Rodidin, "Sultan" Selaco Tasikmalaya

Sejak 2004, Kesultanan Selacau atau Selaco itu berdampingan dengan pemerintah daerah. Kesultanan Selaco didirikan oleh Raden Rohidin Patra Kusumah (40) dengan gelar Sultan Patra Kusumah VIII. Rohidin mengaku sebagai keturunan kesembilan Surawisesa, Maharaja Kerajaan Pajajaran yang kemudian di tahun 1527 dikudeta saudaranya sendiri.

Beberapa pekan terakhir ini kita dihebohkan dengan keberadaan Kesultanan Selacau Tasimalaya. Pimpinan Kesultanan Selaco, Rohidin mengklaim turunan ke-8 dari Prabu Surawisesa. Siapakah Prabu Surawisesa?

Daftar Silisalh Kesultanan Selaco TAsikmalaya

Dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) mencatat adanya kerjasama Kerajaan Pajajaran dan Portugis terkait pelabuhan milik Pajajaran. Putera mahkota, Surawisesa diutus Pajajaran untuk perjanjian itu.Surawisesa adalah putera Sri Baduga Maharaja, Surawisesa dari permaisuri (garwa padmi) Kentring Manik Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Pada tahun 1434 – 1443 Caka (1513 – 1521 Masehi) = 9 tahun.Setelah Adhipati Krandha sebagai pimpinan Sunda Kalapa meninggal, kepemimpinan dipegang langsung Surawisesa. Sepertinya sudah menjadi budaya birokrasi Pajajaran, putra mahkota akan memimpin kerajaan atau daerah bawahan sebelum dilantik menjadi raja. Saat menjadi Adipati, ia disebut "Rajamuda Surawisesa". Sedangkan nama nobatnya "Ratu Sanghyang Surawisesa Jayengrana". Karena berbeda pelafalan, Portugis menyebut Prabu Surawisesa, Raja Sanghiyang dengan "Raja Samiam".

Baca juga:


Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran atau disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor) pada tahun 1522. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Sunda dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.

Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".

Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal) sebagai tanda persahabatan.

Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.

Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Selanjutnya Sunda Kalapa jatuh ke tangan Demak.

Cek Fakta Sejarah

Keturunan ke-9 Prabu Surawisea atau ke-10 dari Prabu Siliwangi
"Sultanan Selaco", Rohidin mengaku turunan Prabu Surawisesa Ke-9 (dikutip dari merdeka.com).

Fakta Sejarah
Kita telusuri silsilah raja Pajajaran yang disebut Prabu Siliwangi yang oleh Rohidin diidentikan sebagai Sribaduga Maharaja (Siliwangi III). Sedangkan data sejarah yang umum diakui bahwa Prabu Siliwangi III memiliki istri: Nyai Ambetkasih (Rambut Kasih), Nyai Subanglarang dan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda. Sementara itu, Prabu Surawisesa adalah putra Prabu Siliwangi dari Kentringmanik Mayang Sunda. Disi lain, Subang larang berputrakan: Walangsungsang, Rara Santang, dan Kian Santang. Sedang dari Ambetkasih disebutkan tidak berputra (berdasarkan legenda di Kabupaten Majalengka, tetapi menurut Legenda Dayeuh Luhur Cilacap, Ambetkasih memiliki 3 orang putra-putri - dibahas dalam artikel berbeda).

Bila kita cermati bahwa, Prabu Surawisesa sebagai raja Pajajaran (1521-1535) dan Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon (1448) bersaudara (berbeda ibu) adalah satu generasi alias sezaman.

Ditahun 2020 ini, Sultan Kasepuhan Cirebon, Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat, menyatakan bahwa Raja Surawisesa itu hidup di abad 15, jadi sudah 500 tahun sampai sekarang. Siklus manusia per 100 tahun itu empat (4) orang yaitu buyut, kakek, ayah dan anak. "Jadi kalau 500 tahun, ya ada 20 orang. Jadi harusnya kerurunan yang ke 20, jadi kalau keturunan yang ke 9 itu terlalu dekat, jadinya aneh," ujarnya.


Sultan Sepuh XIV Cirebon, PRA Arif Natadiningrat
Prabu Surawisea dikudeta tahun 1527?
Rohidin mengaku sebagai keturunan kesembilan Surawisesa, Maharaja Kerajaan Pajajaran yang kemudian di tahun 1527 dikudeta saudaranya sendiri.


Fakta sejarah
Mungkin yang dimaksud Rohidin bahwa Prabu Surawisesa dikudeta tahun 1527 bertepatan dengan penyerangan Sunda Kalapa oleh Fatahillah (Fadillah Khan) dari demak. Jadi apakah saudaranya sendiri yang dimaksud Rohidin sebagai pelaku kudeta adalah Fatahillah? kita tidak tahu. Yang jelas saat itu (1527) Kekuasaan Prabu Surawisesa tidak berakhir.  Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Masa pemerintahan Prabu Surawisesa berakhir pada tahun 1535. Jadi tidak benar tahun 1527 ada kudeta terhadap Prabu Surawisesa.

Siapakah Sultan Partrakusumah?
Rohidin dari "Kesultanan "Selaco mengatakan bahwa leluhurnya sebagai sultan bergelar Patrakusumah. Dan ia pun menggunakan gelar yang sama dan Rohidin menobatkan dirinya sebagai "Sultan Patrakusumah VIII".  Bagaimana faktanya?

Fakta Sejarah
Tidak ditemukan dalam lintasan sejaran Sunda terkait suatu wilayah bernama "Kerajaan Selacau". Jika melihat daftar silsilah yang dikeluarhan "Kesultanan" Selaco bahwa nama Patrakusumah sudah muncul ketika "putri" prabu Surawisesa (versi Selaco, Dewi Kusumah) menikah dengan Patrakusumah I (Sultan Agung Patrakusumah). Artinya ini sezaman dengan Syarif Hidayatullah Cirebon (1479 - 1495) putra Nyai Rara Santang. Nama Patrakusumah tidak teratat dalam Lintasan Sejarah Tatar Pasundan.

Raden Patrakusumah Sumedang. Dalam buku "Empat Sastrawan Sunda Lama" karya Edi S. Ekadjati, A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, dan Aam Masduki terdapat nama Raden Patrakusumah yang tercantum dalam Babad Sumedang. Patrakusumah dalam Babad Sumedang adalah Bupati ke-15 yang diangkat oleh Kompeni. Seharusnya yang menjadi Bupati Sumedang saat itu adalah Raden Jamu (Raden Surianegara). Namun menurut Kompeni, Raden Jamu belum cukup umur (16 tahun) saat itu. Kemudian Kompeni mencopot Raden Patrakusumah karena kasus kejahatan korupsi. Ia dibuang ke Batavia sampai meninggal di sana dan dimakamkan di Kampung Patuakan sehingga dikenal sebagai "Dalem Patuakan". Raden Patrakusumah atau Adipati Tumenggung Patrakusumah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) menjabat dari tahun 1773-1789. Ia disebut juga Tumenggung Tanubaya II. Putri Patrakusumah adalah Nyi Raden Radja Mira lahir 1765. Selanjutnya telusuri saja hingga saat ini.


Referensi

  1. "Seluk-Beluk Kesultanan Selaco di Tasikmalaya, Sang Sultan Mengaku Trah Raja Pajajaran" merdeka.com Diakses 4 Februari 2020.
  2. "PRA Arief: Keberadaan Kesultanan Selaco Merusak Sejarah dan Tak Terdaftar di FSKN" galamedianews.com, Penulis: Kiki Kurnia - Editor: Kiki Kurnia". Diakses 4 Februari 2020.
  3. Penulis: Kiki Kurnia Editor: Kiki Kurnia. Diakses 4 Februari 2020.
  4. Ekadjati, Edi S dkk. "Empat Sastrawan Sunda Lama" googlebooks. Diakses 4 Februari 2020.
  5. Tarling, Nicholas (ed). 1999. "The Cambridge History of Southeast Asia: Volume Two from c. 1500 to c. 1800". Cambridge University Press. googlebooks.
  6. Barbosa, Duarte. 1918. The Book of Duarte Barbosa. London: The Hakluyt Society.
  7. Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
  8. Atja & Saleh Danasasmita. 1981c. Carita Parahiyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  9. Danasasmita, Saleh. 1975. Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran. Dalam: Atja (Editor). Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hlm. 40-81. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
  10. Darsa Undang A. & Edi S. Ekadjati. 2003. Fragmen Carita Parahiyangan dan Carita Parahiyangan. Dlm. Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda, Ajip Rosidi (Editor). hlm. 173-208. Bandung: Pusat Studi Sunda (Seri Sundalana I).
  11. Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penterjemah: KITLV bersama LIPI). Jakarta: Djambatan.
  12. Heuken, A (2002) The Earliest Portuguese Sources for the History of Jakarta: including all other historical documents from the 5th to the 16th centuries. Jakarta: Cipta Loka Caraka. researchgate.net Diakses 16 Januari 2019
     

Baca Juga

Sponsor