Cari

Mana Galuh - Mana Mataram Kuno? Analisis Sejarah dan Wilayah Kedua Kerajaan

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Kerajaan Galuh sejak didirikan oleh Wretikandayun 612 Masehi sering kita bahas. Keberlangsungan kerajaan Galuh hingga terakhir pada zaman Prabhu Cipta Permana (Galuh Salawe) tahun 1595 Masehi.

Berikut nama Raja-raja Kerajaan Galuh
  1. Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
  2. Mandiminyak atau Prabu Suraghana (702-709)
  3. Sanna atau Séna/Sannaha (709-716)
  4. Purbasora (716-723)
  5. Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
  6. Tamperan Barmawijaya (732-739)
  7. Sang Manarah (739-746)
  8. Rakeyan ri Medang (746-753)
  9. Rakeyan Diwus (753-777)
  10. Rakeyan Wuwus (777-849)
  11. Sang Hujung Carian (849-852)
  12. Rakeyan Gendang (852-875)
  13. Dewa Sanghiyang (875-882)
  14. Prabu Sanghiyang (882-893)
  15. Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
  16. Sang Lumahing Winduraja (900-923)
  17. Sang Lumahing Kreta (923-1015)
  18. Sang Lumahing Winduraja (1015-1033)
  19. Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
  20. Sang Lumahing Taman (1183-1189)
  21. Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
  22. Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
  23. Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
  24. Aki Kolot (1229-1239)
  25. Prabu Maharaja (1239-1246)
  26. Prabu Bunisora (1357-1371)
  27. Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475) Galuh bersatu dengan Sunda
  28. Prabu Dewa Niskala (1475-1483)
  29. Prabu Ningratwangi (1483-1502)
  30. Prabu Jayaningrat (1502-1528)
  31. Prabu cipta sanghyang di galuh ( 1528-1595 )
  32. Prabu Cipta Permana (1595-1618) 
Sementara menurut Naskah Wangsakerta daftar lengkap raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh antara lain:
  1. Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612-670) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.
  2. Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702-709) M.
  3. Sang Senna atau Sanna, 631-638 Saka/ (709-716) M.
  4. Sang Purbasura (638-645) Saka/ (716-723) M.
  5. Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723-732) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  6. Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732-739) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  7. Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.
  8. Sang Manisri (705-721) Saka/ (783-799) Masehi sebagai raja Galuh.
  9. Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799-806) sebagai raja Galuh.
  10. Sang Welengsa (728-735) Saka (806-813) M sebagai raja Galuh.
  11. Prabhu Linggabhumi (735-774) Saka/ (813-852) M sebagai raja Galuh.
  12. Danghyang Guru Wisuddha (774-842) Saka/ (852-920) M sebagai ratu Galuh.
  13. Prabhu Jayadrata (843-871) S/ (921-949) M sebagai ratu Galuh.
  14. Prabhu Harimurtti (871-888) S/ (949-966) M.
  15. Prabhu Yuddhanagara (888-910) S/ (966-988) M sebagai ratu Galuh.
  16. Prabhu Linggasakti (910-934) S/ (988-1012) M sebagai ratu Galuh.
  17. Resiguru Dharmmasatyadewa (934-949) S (1012-1027) M sebagai raja Galuh.
  18. Prabhu Arya Tunggalningrat (987-1013) S/ (1065-1091) M sebagai raja wilayah Galuh.
  19. Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya (1013-1033) S/ (1091-1111) M sebagai ratu Galuh.
  20. Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111-1152) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.
  21. Prabhu Dharmmakusuma (1074-1079) S/ (1152-1157) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
  22. Prabu Guru Darmasiksa (1097-1219) S/ (1157-1297) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
  23. Rakeyan Saunggalah (1109-1219) S/ (1167-1297) M sebagai ratu Galuh, (1219-1225) S/ (1297/8-1303/4) M menjadi Maharaja Galuh dan Sunda.
  24. Maharaja Citragandha (1225-1233) S/ (1303¬-1311) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  25. Maharaja Linggadewata (1233-1255) S/ (1311-1333) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  26. Maharaja Ajiguna (1255-1262) S/ (1333-1340) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  27. Maharaja Ragamulya (1262-1272) S/ (1340¬-1350) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  28. Maharaja Linggabhuwana (1272-1279) S/ (1350-1357 M) sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
  29. Mangkubhumi Suradhipati (1279-1293) S/ (1357-1371) M, Maharaja Galuh dan Sunda .
  30. Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1293-1397) S/ (1371¬-1475), Maharaja Galuh dan Sunda.
  31. Dewa Niskala atau Ningrat Kancana (1397-1404) S/ (1475-1482 M), sebagai raja Galuh.
  32. Prabhu Ningratwangi (1404-1423) S/ (1482-1501) M, sebagai ratu Galuh
  33. Prabhu Jayaningrat (1423-1450) S/ (1501-1528) M Kerajaan Galuh Salawe di Cimaragas, Ciamis.
  34. Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh Salawe (1528-1595) di Cimaragas, Ciamis.termasuk galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram.
  35. Prabu Cipta Permana (1595-1618) M raja Kerajaan Galuh terakhir.


Baca juga: Perbedaan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh

Di sisi lain, keberadaan Kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu juga sering kita bahas dalam Historiana ini. Sejarahnya berawal sejak didirikan oleh Sanjaya atau dalam Naskah Carita Parahyangan disebut Rahyang Sanjaya pada tahun 732 Masehi. Sebelumnya Sanjaya sebagai Kerajaan Lingga (Kalingga). Dalam Prasasti dituliskan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dengan demikian, kerajaan Mataram Kuno ini juga disebut sebagai Kerajaan Medang yang beribukota Mataram (meskipun berikutnya beberapa kali pindah). Raja terakhir Medang adalah Dyah Balitung 911 M.

Berikut nama Raja-Raja Kerajaan Mataram Kuno
  1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
  2. Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746 – 784 M)
  3. Rakai Panunggalan (Dharanindra) (784 – 803 M)
  4. Rakai Warak Dyah Manara (803 – 827 M)
  5. Dyah Gula (827-828 M)
  6. Rakai Garung (823 – 847 M)
  7. Rakai Pikatan Dyah Saladu (847 – 855 M)
  8. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (856 – 880 M)
  9. Dyah Tagwas Sri Jayakirttiwardhana (885 M)
  10. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra (885 – 887 M)
  11. Rakai Gurunwangi Dyah Wadra (887 M)
  12. Rakai Watuhumalang Dyah Jbang (894 – 898 M)
  13. Rakai Watukura Dyah Walitung (899 -911 M)
Raja terakhir Medang atau Mataram Kuno adalah Rakai Watukura Dyah Walitung (Balitung)  yang berkuasa dari tahun 899 -911 M dengan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Kerajaan yang dipimpin oleh Rakai Watukura ini dikenal juga dengan nama Kerajaan Galuh. Kehidupan kerajaan Mataram pada saat itu belum banyak yang bisa diungkapkan. Baca juga: Penyebutan Galuh dalam Prasasti yang Ada di Negeri Belanda.



Bagaimana Hubungan Kerajaan Galuh dan Mataram Kuno?

Dalam pembahasan ini, kita batasi Hubungan Kerajaan Galuh dan Medang (Mataram Kuno). Meskipun beberapa hal juga akan terkait Kerajaan Sunda.

Dalam Sejarah Galuh (dan Sunda), ada benang merh hubungan Sejarah dengan Kerajaan Medang. Terutama sejak Rakai Mataram Ratu Sanjaya. Tokoh ini juga disebut dalam 2 sejarah. Yang menarik lagi adalah ketika menjelang akhir hayatnya, Sanjaya meminta anaknya pindah agama. Peristiwa ini tercatat dalam Naskah Carita Parahyangan. Demikian juga dalam sumber sejarah Medang mencatatnya dalam "Prasasti Raja Sangkara". Sanjaya menyuruh anaknya, Rakai Panaraban/Panangkaran untuk pindah agama karena Sanjaya penganut Bhairawa dianggap menakutkan. Panangkaran menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur.

Adalah menjadi penasaran, bagaimana hubungan 2 kerajaan ini? Lihat tabel di bawah ini


Oleh Poerbatjaraka, Panangkaran disamakan dengan Panaraban dalam Carita Parahyangan. Isi prasasti Raja Sankhara ini secara garis besar sesuai benar dengan kisah dalam Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa Raja Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban (Rakai Tamperan) untuk berpindah agama, karena agama Siwa yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Nusantara, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana.

Pada awalnya, kata "Dyah"  berarti "telah berlalu" alias mendiang atau dalam Naskah carita Parahyangan disebut "Lumah ing" atau "Mokteng/mokta ing" artinya dikebumikan atau "diprabukan di" atau "didharmakan di". Jadi Rakai Panangkaran yang diprabukan di Sangkara. Demikian pula Rakai Watukura diprabukan di Walitung/Balitung. Penyebutan nama ini menunjukkan bahwa penulisnya menuliskan kisah setelah raja yang bersangkutan tiada. Namun di zaman Majapahit, kata Dyah setara dengan "Pangeran" atau "Rakai/Rakryan" di zaman Medang (Mataram kuno). Bahkah di zaman lebih muda kata "Dyah" diartikan sebagai "wanita" atau "putri". Contohnya Citraresmi Dyah Pitaloka. Mungkin bisa kita terjemahkan, Citraresmi, "yang mendiang" di Pitaloka.(?)

Lihat lagi tabel di atas. Apakah Sang Manarah dan Dyah Manara sosok yang sama? Angka tahun berbeda mungkin terjadi kekeliruan dalam naskah yang tidak sama dengan prasasti. Ataukah memang 2 sosok tersebut memang benar-benar berbeda.

Kembali ke pembahasan mana Galuh, mana Medang (Mataram kuno)? Adanya kesamaan nama pada tabel di atas memerlukan penelitian lebih lanjut. Apakah kemiripan nama menunjukkan sosok yang sama? Lalu dimanakah Galuh dan Medang? Selain itu adalah hal aneh ketika Medang berdiri tahun 711 M hingga berakhir tahun 911 M tidak ada hubungan kedua kerajaan ini, kecuali di masa awal pendirian. Apakah 2 kerajaan ini sama di waktu tertentu dan kemudian ada pemisahan? Sepertinya ada banyak irisan peristiwa dan irisan wilayah yang sama.

Di bawah ini adalah peta sebaran prasasti peninggalan Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Data diolah sendiri berdasarkan lokasi temuan prasasti.


Dimanakah Letak Kerajaan Mataram Kuno?

Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.

Sementara itu, ada lagi gambaran wilayah di masa Sanjaya. Gambaran wilayah Galuh lebih ke timur dari sungai Serayu. Berdasarkan naskah Carita Parahyangan, mengindikasikan bahwa Sanjaya memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya.
  1. Kalingga diperintah oleh Sanjaya (di bumi Mataram )
  2. Galuh-Sunda diserahkan kepada Tamperan.
  3. Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja diserahkan kepada Saung Galah dibawah kekuasaan Resi Demunawan.
  4. Daerah sebelah Timur Paralor dan Cilotiran menjadi daerah kekuasaan Iswara Narayana adik  Parwati Putra Maharani Sima. 
Jadi, pada abad ke-7 atau 8 di Jawa Timur sudah ada kerajaan yang jarang dibahas. Di zaman Rakai Sanjaya berkuasa di Kalingga, ada kerajaan Galuh, Sunda, Galunggung dan Jawa Timur (?) yang tidak disebutkan namanya dalam Naskah Carita Parahyangan.

Berdasarkan gambaran dari Naskah Carita Parahyangan, batas Kerajaan Galuh lebih ke timur di Kali Progo Sleman daerah Istimewa Yogyakarta di bagian selatan. Sedangkan nama Cilotiran (Sungai Cilotiran), tidak dapat penulis tentukan. Nama Cilotiran sudah tidak eksis di zaman sekarang. Yang jelas, nama Cilotiran harus dicari di bagian utara Jawa Tengah berupa sungai yang bermuara ke Laut Jawa. Di bawah ini perkiraan wilayah pembagian oleh Sanjaya.

Batas Kerajaan Sunda, Galunggung, Galuh dan Kalingga oleh Sanjaya menurut Naskah Parahyangan
Dalam lintasan sejarah Kerajaan Galuh tidak banyak membicarakan kehidupan rakyat atau terkait para elit kerajaan di wilayah Jawa Tengah bagian barat. Apalagi dalam peta di atas lebih membingungkan. Sepertinya terjadi irisan wilayah kekuasaan yang tumpang tindih antara Medang (Mataram Hindu) dengan Kerajaan Galuh.

Selain dari itu, Prasasti Tulangan menyebutkan nama seseorang yang disebut sebagai Sri Maharaja Galuh Garuda Mukha Dharmodhayamahasambu. Siapakah dia? Ada artikel di internet, romadecade.org yang menyebutkan bahwa Rakai Watukura Dyah Balitung, Raja Mataram Hindu disebut juga sebagai Raja Galuh. Lho... jadi kenapa nama ini tidak ada dalam silsilah raja-raja Galuh? Apakah ini Galuh yang lain? Jika benar Galuh mengalami perpecahan sejak abad ke-9. disebabkan oleh apa? dan wilayah manasaja yang memisahkan diri?

Berdasarkan penelitian sejarahwan senior Purbacaraka, nama “Bagelen” berasal dari kata “Galuh” atau “Pagaluhan”, masuk wilayah kerajaan Galuh. Bukti lain kepopuleran Bagelen juga ditunjukkan hasil penelitian sejarah purbakala yang menemukan bahwa salah seorang Raja Mataram Kuno terbesar, Dyah Balitung Watukura berasal dari Bagelen. “Ditandai dengan adanya desa bernama Watukura (sekarang masuk kecamatan Purwodadi) di muara sungai Bogowonto.

Dyah Balitung adalah raja kesembilan Kerajaran Mataram Kuno. Itu menurut silsilah dalam prasasti Mantyasih (907 M) dan raja ke 13 menurut silsilah prasasti Wanua Tengah III (908 M). Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh raja Balitung sendiri semasa memerintah Mataram Kuno.

Awalnya Dyah Balitung merupakan seorang pangeran dari Kedu Selatan, yaitu Watukura. Sebelum menjadi raja, dia sebagai rakai di Watak Watukura yang bergelar Haji. Watak Watukura merupakan satu wilayah Mataram Kuno yang lokasinya cukup jauh dari pusat kerajaan.

Watak sendiri diartikan sebagai wilayah atau jenjang administrasi semasa pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno di bawah kerajaan (rajya) dan di atas desa (wanua). Watak terdiri atas kumpulan beberapa desa yang membentuk federasi. Watak dipimpin oleh seorang Rakai atau Raka. Sedang desa dipimpin oleh Rama dan Rajya dipimpin oleh Maharaja.

Di Desa watukura, telah ditemukan dua buah lumpang batu di dekat sungai Bogowonto yang dalam naskah Bhujangga Manik yang ditulis sekitar abad XV atau awal abad XVI M sungai tersebut disebut CI Watukura.

Kita lihat nama raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah lengkap dengan gelarnya Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu. Ia adalah yang memerintah sekitar tahun 899–911 M.

Dalam tahun 899 Dyah balitung sudah memakai Abhiseka Sri Dharmmodaya Mahasambhu, sedangkan perkawinannya disebutkan pada prasasti 907, maka tidak mungkin perkawinan itulah yang menyebabkan dirinya menggunakan gelar. Gelar tersebut menagndung arti “ yang kebajikannya selalu meningkat dan yang maha pemurah” sehingga mungkin gelar itu dipakai karena Dyah Balitung yang berhasil membawa keluarga raja yang dipimpinnya ke puncak kekuasaan. Dyah Balitung semakin meluaskan kekuasaan sehingga kemudian bergelar Sri Iswarakesawotsawatungga atau Sri Iswarakesawasamarattungga yang artinya yang terkemuka dalam peperangan yaitu siwa dan wisnu. Pada akhir kekuasaannya dia bergelar “Garuda Muka” seperti yang disebutkan dalam prasasti Tulanan (832 saka). Mungkin saja gelar itu berkaitan dengan Wisnu yang dianggap sebagai tokoh pembebas.

Kerajaan Medang Bhumi Mataram ketika diperintah oleh Raja Dyah Balitung Rakai Watukura kekuasaannya mencakup wilayah yang sangat luas. Meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur hingga ke pulau Bali. Dan kerajaan tersebut dikenal juga dengan nama “Galuh”. Kehidupan kerajaan Mataram pada masa itu belum banyak terungkap. Namun dari beberapa relief yang ditemukan di candi- candi di Jawa Tengah banyak yang mencerminkan kebesaran kerajaan tersebut seperti: Borobudur dan Prambanan. Dalam sejarah Mataram Kuno, telah ada hubungan diplomatik dengan luar negeri seperti yang terungkap dalam kronik dan catatan Tiongkok.

Semakin dibahas, semakin banyak pertanyaan muncul. Sejarah kuno Nusantara masih jauh dari kata selesai. Temuan artefak dan prasasti yang bermunculan belakangan ini, merupakan Puzzle sejarah yang masih terserak.

Dalam Naskah Bujangga Manik

Penggambaran batas wilayah Sunda (Pajajaran) dalam Naskah kedua adalah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun nipah dengan tinta hitam di zaman Kerajaan Sunda masih eksis. Walau tak ada penanggalan di dalamnya, naskah ini memberikan bayangan latar belakang cerita sang tokoh utama yang bernama Bujangga Manik alias Ameng Layaran alias Prebu Jaya Pakuan, ini berlangsung di akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Bayangan ini diperoleh berdasarkan toponimi Malaka, Demak, dan Majapahit yang disebutkan oleh naskah bersangkutan.

Istilah "Tuntung Sunda" artinya ujung Sunda (Pajajaran). Tentu bahwa pada zaman Bujangga Manik, Mataram Kuno sudah tidak ada lagi. Namun Majapahit disebut dalam naskah itu. Secara umum, masyarakat Sunda (termasuk Galuh) menganggap bahwa batas wilayah Galuh (bagian timur kerajaan Sunda-Pajajaran) adalah masih tetap.

Bujangga Manik, pertapa Hindu-Sunda, melakukan pengembaraan suci dari istana Pakuan (sekarang, Bogor), melewati wilayah utara Jawa bagian barat. Dia lalu menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Dari sana, dia kembali ke Sunda lewat selatan.

Dalam perjalanannya, Bujangga Manik melalui perbatasan budaya Sunda dan Jawa, yaitu Sungai Cipamali. Di perbatasan kedua negara ini rupanya ada tempat yang dikeramatkan. Sebelum menyeberang ke Jawa, dia menyempatkan diri singgah di Arega Jati kemudian ke Jalatunda.

Agus Aris Munandar dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaha Sunda Kuna menjelaskan, Arega jati mungkin merupakan suatu perbukitan atau bukit yang dinamakan Jati. Sebab arega berasal dari kata Sanskerta, Agra yang artinya Gunung. Sementara Jalatunda merupakan petirtaan atau sumber air yang disucikan.

Sekarang, di dekat perbatasan Kabupaten Kuningan dan Brebes ada tiga puncak bukit yang disebut penduduk dengan Gunung Tilu. Bentuk tiga bukit berdekatan, dalam budaya Jawa kuno dan Sunda Kuno, merupakan jelmaan puncak Mahameru yang bergerigi. Sementara Arega Jati bisa berarti Gunung Sejati atau sejatinya gunung. Itu tak lain adalah simbol Gunung Meru, di mana dewa-dewa bersemayam.

Batas Kerajaan Sunda-Galuh dan Jawa (Majapahit) menurut Naskah Bujangga Manik

 

Hal ini menunjukan terjadi "kekosongan sejarah" kewilayahan di Pulau Jawa setidaknya sejak abad ke-8 hingga 16 Masehi. Informasi hanya kita dapatkan pada awal penetapan batas abad ke-8 oleh Sanjaya dan kemudian informasi baru diketahui pada abad ke-16 dalam Naskah Bujangga Manik.

Prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno banyak ditemukan di wilayah yang disebut-sebut sebagai wilayah Kerajaan Galuh. Diantaranya Prasasti Salingsingan/Kikil Batu (Berangka tahun 880 M dan 905 M dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi), Prasasti Er Hangat (ditemukan di Daerah Banjarnegara, Jawa Tengah berangka tahun 885 M dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Tagwas Sri Jayakirttiwardhana). Prasasti Er Hangat menyebut nama-nama desa di daerah Kabupaten Cilacap, misalnya desa Limo manis atau Jeruklegi, desa Nusa seperti Nusajati, Nusawangkal, Nusawungu, di wilayah Kecamatan Binangun. Selain itu juga nama Nusa Tembini, dan Nusakambangan; Pasasti Panunggalan 896 M (Ditemukan di daerah Purbalingga, desa Panunggalan (sekarang desa ini berada dalam wilayah Kecamatan Cahyana, Kabupaten Purbalingga). Dalam prasasti Panunggalan disebut nama-nama desa, diantaranya Air Bulang (sekarang Desa Bolang, di Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap), Maddhyapura (sekarang Desa Madura di Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap), Danu atau Donan di Cilacap Tengah, serta beberapa nama desa yang lokasinya belum jelas seperti desa Bhratma, Tegangrat, Air Pelung, Rayun Haruan, Tiwuran, Pringn Sungudan, dan Jamwi.; Prasasti Pabuharan (tidak ada angka tahun, namun dari nama tempat yang disebutkan diperkirakan dari tahun 900 M. Menyebutkan nama Hasinan sebagai Sima. Hasinan (Asinan) yang masuk wilayah Desa Pabuharan. Di antara nama-nama desa tersebut sekitar tahun 900 Masehi, tiga buah desa dapat ditafsirkan lokasinya berada di Kabupaten Banyumas sekarang, yaitu desa Hasinan (Asinan) nama desa ini menjadi desa Pengasinan. Sedangkan desa Pabuharan yang membawahi desa Asinan, istilah di prasasti Imah Asinan susukan Sima I Pabuharan, sekarang menjadi Pabuwaran atau Buwaran. Kemudian desa Pasir, merupakan batas di sebelah Timur, dapat dibandingkan dengan desa Pasir yang sekarang terletak di sebelah Barat Kota Purwokerto, yaitu Pasir Lor, Pasir Kidul, Pasir Wetan dan Pasir Kulon. Sebenarnya istilah Pasir juga berkaitan dengan babad Pasir Luhur, yang mengacu pada nama desa Pasir yang sudah dikenal sejak tahun 900-an. Prasasti Luitan (ditemukan di Cilacap tahun 1977 berangka tahun 901 M). Prasasti ini berisi tentang pengaduan penduduk Desa Luitan atau wilayah Kapung kepada Rakyan Mapati I Hino Pu Daksa Sri Bahubaajrapratipaksasaya, sehubungan dengan yang diukur oleh pemungut pajak yangsebenarnya sempit tetapi dikatakan seluas datu tampah, dan ketika diukur ulang ternyata sempit.

Selama ini masyarakat tatar Sunda memercayai batas timur Pajajaran adalah Sungai Cipamali (Kali Pamali) di Brebes Jawa tengan -untuk sebelah utara Jawa Tengah. Sedangkan bagian Selatan Jawa tengah itu diyakini batas timur Pajajaran adalah Kali Serayu. Sungai ini melintasi lima kabupaten yakni Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, hingga bermuara di Samudra Hindia di wilayah Kabupaten Cilacap.

Pernahkah Anda mengamati gambar 'prakiraan' batas Galuh (Pajajaran paling timur) ini?

Dalam sejarah Galuh dan Pajajaran jarang dibahas mengenai kehidupan penduduk Kerajaan Galuh di wilayah sekitar Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, hingga wilayah Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Ditambah lagi kehidupan penduduk Galuh di Brebes, Pemalang, Banyumas/Purwokerto, Purbalingga hingga kehidupan masyarakat perbatasan Tegal, Bukankah dalam peta di atas, wilayah tersebut termasuk wilayah kerajaan Galuh (Hingga kemudian menjadi bagian Timur Pajajaran)? Kisah daerah ini seolah hilang dalam sejarag Galuh maupun Pajajaran.

Mungkin karena kisah kerajaan di zaman dahulu lebih istana sentris...

- cag -

 

Referensi

  1. "Old Javanese copper charters in the British Library" British Library 20 Desember 2016. Diakses 21 Juli 2020.
  2. Abimayu, Soedjipto. 2014. Babad Tanah Jawi Cetakan Ke IV. Yogyakarta : Laksana.
  3. Ahmad, Zainollah. 2015. Topographia Sacra: Menelusuri Jejak Sejarah Jember Kuno. Jogyakarta : Penerbit Araska.
  4. Atmadibrata, Enoch et al. 2006. Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat & Yayasan Kebudayaan Jayaloka.
  5. Atja , Saleh Danasasmita. 1997. Jilid I. Babad Pakuan atau Babad Pajajaran. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdikbud. Jakarta.
  6. BA. Y. Mulyadi. 1989. Mundut Sekar Wiyaha Kusuma. Sana Budaya. Yogyakarta.Bratadimedja, RMS., Ngatidjo Darmosoewondo. 1969. Inti Silsilah dan Sedjarah Banjoemas. Bogor.
  7. Casparis, J.G.  de. Prasasti Indonesis I-Inscripties Uit de Cuilenders-Tijd. Bandung.
  8. Coedes, George. 1964. Terjemahan : Asia Tenggara Masa Hindu –Budha. Jakarta : PT. Gramedia.
  9. Dewi, Laela Nurhayati, SS.,M.Hum, dkk. 2014. Arca Hindu : Koleksi Museum Jawa Tengah Ranggawarsita. Semarang : Museum Ranggawarsita Jateng.
  10. Dwiyanto, Bambang, dkk. 2011. Sejarah Kabupaten Cilacap. Cilacap : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
  11. Kartasoedirdja, A.M. 1939. Babad Noesa Tembini. Yogyakarta. Sana Budaya.
  12. Munandar, Agus Aris. 2017. Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuna. Jakarta : Wedatama Widya Sastra
  13. MM. Sukarto K. Atmodjo. 1990. Menelusuri Sejarah Cikal Bakal Hari Jadi Cilacap Berdasarkan Data Prasasti Kuno.
  14. Museum Nasional Jakarta. 1985/1986. Koleksi Prasasti Museum Nasional Jilid I. kemendikbud.go.id
  15. Noorduyn. J. 1983. Bhujangga Manik‟s Journeys Through Java : Topogropical data From an Old Sundanese Source. Dalam BKI deel 138 4e, S-Gravenhage Martinus Nihoff.
  16. Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Pustaka
  17. Priyadi, Prof. Dr. Sugeng, M.Hum. 2013. Sejarah Mentalitas Banyumas. Jogjakarta : Penerbit Ombak.
  18. Priyadi, Prof. Dr. Sugeng, M.Hum. 2015. Menuju Keemasan Banyumas. Purwokerto : Pustaka Pelajar.
  19. Priyadi, Prof. Dr. Sugeng, M.Hum. 2017. Masa Hindu–Budha : Sejarah Indonesia Abad IV –XV. Purwokerto : Pustaka Pelajar
  20. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 1981. Sanghyang Sisksa Kanda Ng Kasian. Bandung
  21. Saktiani, Damaika, dkk. 2018. Kakawin Negarakertagama Karya Mpu Prapanca. Yogyakarta : PT. Buku Seru.
  22. Soedarto. 1975. Buku Sejarah Cilacap. Cilacap : Pemerintah Daerah Tk. II.
  23. Wibowo, M. Unggul. 2001. Nusakambangan: Dari Pulau Boei Menuju Pulau Wisata. Jogjakarta: Mitra Gama Widya.

 

Baca Juga

Sponsor