Cari

Sindang Barang Pusat Kegiatan Agama Sunda Buhun


[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Melanjutkan artikel sebelumnya "Menelusuri Agama Sunda Buhun - Agama Jati Sunda", berikut ini rincian salah satu tempat peribadahan Urang Sunda di zaman Pajajaran. Di dalam Rajah Demung Kalagan (Pantun Ki Kamal, 1969.), nama Sindang Barang sudah disebut-sebut sebagai mantra pembuka dan penutup cerita :
"...ulah Sindang Barang geusan tata pangkat diganti deui, sang pamunah sang darma jati, tanah lemah tutup bumi, tutup buana dat mulusna..."
(...jangan sindang barang sebagai tempat awal -agama sunda- diganti lagi, yang menyucikan pendeta sang darma jati, tanah tempat penaung dunia, pengayom alam kesempurnaan...)

Kata-kata dalam rajah tersebut mengindikasikan bahwa Sindang Barang dikategoikan "tempat suci" bahkan dianggap sebagai penaung dunia dan pengayom dari segala kesempurnaan. Disebutkan pula penata kesuciannya bernama Sang Darma Jati.

Hal ini sejalan dengan berita pantun-gede Ki Uyut Juru Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung, yang menceritakan bahwa:
"Babalayan Sanghyang Parakan Jati, Mandala suci Pamujan Kadatuan Sindang Barang saluareun dayeuh pakuan. Saha tah anu ngeuyeukna...? Nya inyana Pandita Agung anu ngaran inyana Sang Kumara Jati tea. Nya inyana oge anu ngabebenah Sanghiyang Talaga Tampian Dalem salebakeunana"
(Babalayan Sanghyang Parakanjati, Mandala suci Pemujaan Kadatuan Sindang Barang sebelah luar ibukota pakuan. Siapa yang mengurusinya? Dialah Pendeta Agung yang namanya Sang Kumara Jati, Dialah juga yang memperindah Sanghyang Talaga Tampian Dalem di sebelah bawahnya)

Berita ini memperjelas, bahwa entitas Sindang Barang benar sebagai tempat suci. Memiliki sarana peribadatan Balay Pamujan inti Sanghyang Parakan Jati dan Sanghyang Talaga Tampian Dalem. (Pendeta) Kumara Jati atau Darma Jati orangnya pasti itu-itu juga. Mandala tersebut sebagai tempat peribadatan agama sunda wilayah Kadatuan Luar Dayeuh Pakuan, Kadatuan Sura Bima Sindang Barang.

Perkiraan sementara lokasi telaga ada di lahan luas sebelah bawahnya Kampung Budaya Sindang Barang sekarang, yaitu di Cilegok. Hal ini bisa diasumsikan bahwa bekas Kabuyutan agama sunda Mandala Parakan Jati masa lalu adalah Kampung Budaya Sindang Barang (Cimenteng) sekarang.

Baca juga - Sunan Ambu: Dewi Sunda Purba | Menelusuri Sunda Buhun

Masih menurut Ki Uyut Juru Pantun, seorang raja Pajajaran bernama Prabu Rakean Heulang Dewata, dikisahkan "dipendem" (dikurebkeun / dimakamkan) dekat Hyang Talaga Tampian Dalem ("parek ka Sang Hyang Talaga Tampian Dalem").  Jika tokoh ini identik dengan salah seorang Raja Pajajaran menurut berita sejarah, ia pasti Ratu Dewatabuana (1535-1543 M). Sebab ia pun diberitakan dipusarakan di "sawah" Tampian Dalem. Secara hipotesis tempatnya itu-itu juga. Pusara (kuburan) dimaksud perkiraan sementara sebuah Kuburan-kuno panjang 5 meter yang juga berlokasi di Cilegok, sampai sekarang kuburan kuno itu belum dikenal oleh siapapun (Maki,2008).

Berita lain menceritakan Prabu Wisnu Brata memerintah Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan "Sanghyang Saka Bumi" di kaki Gunung Sanghyang Purwo (Gunung Gede). Di sana ia mendirikan Balay Pamunjungan "Arca Dornas" di kaki "Giri Parangguh" (Gunung Pangrango) dengan Brahmesta (pendeta agung) pemimpinnya bernama Sang Jati Jatra.

Pada akhir pemerintahannya, Wisnu Brata menyerahkan tahta kerajaan kepada keponakannya bernama Prabu Kalang Carita. Raja ini lalu pindah ke Pakuan Pajajaran dan mendirikan Balay Pamunjungan Kihara Hyang di tutugan Ardi Munda Mandala sebelah timur Arda Welah.

Di sini mungkin ada kekeliruan yang diberitakan Juru Pantun. Yakni antara lokasi Ardi Munda Mandala atau Arda Welah yang kini dikenal dengan nama Gunung Salak, dengan lokasi Kihara Hyang. Pada lakon Pantun yang sama, Kihara Hyang disebutkan ada di "Leuweung Songgom" di seberang-timur Pakuan, sebelah atasnya Sungai Cihaliwung (sekitar kampung Bantar Kemang sekarang). Dalam lakon Pakujajar di Lawang Gintung versi Jonggol disebutkan:
"Pamujan di Leuweung Songgom di mumunjul Kihara Hyang, pamujan batu anu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan..."
Kedua cerita tadi memberitakan Balay Kihara Hyang adanya di Leuweung Songgom bukan di ujung kaki Gunung Salak.

Sumber lain, Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung:
"...Prabu Kalang Carita nyieun Pamujan-Agung di mumunggang Giri Dwi Munda Mandala, sajajaran eujeung Taman, disebutna Mandala Sanghyang Porakan Jati, satonggoheun Talaga Sanghyang Tampian Dalem, nyela bumi ti Kuta Babaton.. "
(Prabu Kalang Carita mendirikan Pamujan Agung di kaki lereng Giri Dwi Munda Mandala, berdampingan berjajar dengan Taman, dinamainya Mandala Sanghyang Parakan Jati, sebelah atasnya Sanghyang Tampian Dalem, menyilang dari Kuta Babaton).

Baca juga:

Disebutkan pula Mandala Parakan Jati "sajajaran eujeung Taman" dan "nyelebumi ti Kuta Babaton". Nampaknya, Taman dimaksud bukan Taman Milakancana di Pakuan, tapi Taman di kompleks Sindang Barang. Dalam berita sejarah, Prabu Ragasuci (1297-1303 M) putra Prabu Guru Darmasiksa disebutkan pula "Sang Mokteng Taman" (dipusarakan di Taman). Ini berupa penanda, bahwa Prabu Kalang carita mungkin identik dengan Prabu Ragasuci. Kalaupun tidak, mungkin mereka berdua masih memiliki pertalian saudara. Taman yang dijadikan pusaranya tidak akan jauh dari Kabuyutan yang didirikan olehnya atau saudaranya, yaitu di seputar wilayah Kadatuan Surabima (Sindang Barang).

Dugaan sementara, lokasi pusara tersebut ada di kompleks Punden Sanghyang Rucita di Pasir Eurih. Nama Kuta Babaton atau Kuta Wawaton (benteng bebatuan), ini menunjukan identitas karnpung Kota-Batu sekarang, yang berdekatan dengan Kampung Sindang Barang. Dengan demikian sudah terjawab, bahwa Balay Pamunjungan di kaki Gunung Salak adalah Mandala Parakan Jati, bukan Kihara Hyang.

Dimuka diutarakan, bahwa Balay Ki Hara Hyang didirikan jaman Prabu Siliwangi abad l5-16 M- sebagai pengganti Sanghyang Padungkukan dan Rancamaya yang sudah ditinggalkan karena angker. Prabu Kalang Carita keponakan Wisnu Brata Prabu Darma Siksa memerintah pada abad ke-13 M. Terdapat tenggang waktu kurang lebih 2 abad diantara kedua raja tersebut. Semakin jelas, sesuatu hal yang tidak mungkin bersamaan.

Melihat kenyataan di lapangan sekarang, Kampung Sindang Barang sarat dengan tinggalan-tinggalan kuno berbentuk tradisi megalitikum "Non Hindu-Budha". Hal ini sebagai indikasi, bahwa semenjak Pakuan Pajajaran mulai didirikan abad ke-7 oleh Tarusbawa, Sindang Barang mungkin sudah berfungsi sebagai Kabuyutan Jatisunda sebagai kelanjutan dari Kabuyutan Arca Domas yang di Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede), Kabuyutan Gunung Padang di Cianjur Selatan dan Kabuyutan Kuta Gegelang di Gunung Bunder. Disamping itu, sebelum ada Kabuyutan Mandala Kihara Hyang karya Siliwangi, upacara-upacara besar Agama Sunda Pajajaran seperti Tata Kinariyan, Tata Duriya, Bakti Astula, Bakti Arakana, Guru Bumi, Kuwera Bakti termasuk upacara-upacara kecil lainnya, terpusat di Kabuyutan Mandala Parakan Jati (Sindang Barang), selain di kapuunan-kapuunan di luar lingkungan Kadaton. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa agama yang dianut warga Pajajaran sudah bukan Hindu-Budha lagi, namun agama yang disebut "Agama Sunda". Kalaupun adanya warna-warna ke-Hindu-Budhaan, hanya sebatas kepada aspek-aspek budaya kulit luarnya. Bisa diistilahkan "Nincak Parahu Dua": ageman agama sunda, sedangkan sistem budaya, budaya campuran Sunda-Hindu-Buddha.

Dalam hal ini mengapa Putri Padmawati (Sang permaisuri Kentring Manik Mayang Sunda) memilih tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Konon demi lebih memantapkan keyakinannya kepada agama sunda. Sebab nenek moyangnya berasal dari "Nusa Bima" bukan asli Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Karenanya Kedatonnya oleh ayahandanya, Prabu Panji Haliwungan (Susuk Tunggal) dinamai Sura Bima. Putranya pun, Prabu Guru Gantangan yang menurut catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1521-1533 M), lahir di Sindang Barang juga. Selagi kecilnya ia diasuh dan dididik oleh uwaknya Rakean Panji Wirajaya Sang Amuk Murugul di Kadaton Surabima. Barulah ketika Siliwangi wafat, ia terpilih untuk menggantikannya memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Pajajaran ke-2 di Pakuan.

Hung, rahayu suasti astu
nirmala seda malilang. Pun.


Sumber:

Djatisunda, Anis. 2008. "Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun dan Babad". Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar)" Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang ", tgl 20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Versi pdf dari sukapura.files.wordpress.com Diakses 20 Mei 2020.

Baca Juga

Sponsor