[Historiana] - Babad Pakuan atau Babad Pajajaran ini dinukilkan dari karya Saleh Danasasmita, Atja dan Nana Darmana. Sumber berupa buku versi online yang dipublikasikan di laman kemdikbud.go.id Anda dapat mengaksesnya sebagai sumber penulisan dan referensi karya ilmiah Anda.
Nama Naskah
Transkripsi ini diambil dari wawacan Babad Pakuan atau Babad Pajajaran. Pupuh yang digunakan hanya 9 macam yaitu: 8 sekar macapat atau sekar alit (Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Pangkur, Durma, Pucung dan Magatru) dan I sekar Macatri atau sekar Tengahan, yaitu Mijil.
Naskah ini merupakan saduran dari babon yang lebih tua. Menurut penjelasan penulisnya, bagian pertama sampai peno-batan Siliwangi (mungkin juga dimaksudkannya Guru Gantangan, karena ia hanya menyebutkan Sang Nata), disebut Babad Ratu Sunda yang menjadi pega ngan silsilah para Bupati Priangan. Sejak periode burak Pajajaran sampai pemerintahan Geusan Ulun di Sumedanglarang disebut Babad Sumedang.
Babon yang dijadikan sumber kutipan mulai ditulis pada hari Rabu tanggal 6 Jumadil Akhir tahun Dhal, Hijrah 1230 (Masehi 1816), dan selesai pada hari Kamis tanggal 8 Muharam 1231, Hijrah 1231 (Masehi 1816). Disempurnakan pada bulan Rajab tahun Ba, Hijrah 1232 (Masehi 1817). Jadi pada waktu Sumedang dipimpin dalem Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata).
Penulis naskah sendiri memulai pekerjaan pada hari Minggu tanggal 21 Jumadil Awal, tahun Je Hijrah 1278, dan selesai pada hari Sabtu tanggal 22 Syaban tahun itu juga; bertepatan dengan tanggal 22 Februari tahun 1862 Masehi.
Bahasa dan Ejaan
Bahasa yang digunakan Jawa Sunda yang pada dasarnya masih sama dengan naskah-naskah atau dialek Cirebon. Sintaksis dan gaya bahasanya kelihatan Sunda. Seperti juga halnya dengan ejaan bahasa Jawa di daerah pantai Cirebon, tampak adanya ejaan yang tidak konsisten, terutama pada penggunaan konsonan d dan dh. Demikian pula t dengan th. Huruf yang digunakan adalah cacarakan Jawa dengan unsur-unsur yang lebih tua, karena ada beberapa huruf yang dalam cacarakan Jawa Barat tidak terdapat, yaitu: fa, pha dan sa.
Penulisannya rapih meskipun di sana sini ada beberapa kekeliruan akibat kepenatan dan kepegalan tangan yang umum dan tidak dapat dihapus. Beberapa huruf kadang-kadang ditulis hampir sama bentuknya (ha dengan ta, da dengan nga, pa dengan ma, na dengan sa, ba dengan ka). Juga tanda taling (paneleng) sering sama bentuknya dengan tanda wisarga (Pangwisad).
Isi Naskah
Bagian pertama mengisahkan keadaan pulau Jawa yang masih kosong sebagai pengantar untuk permulaan berdirinya kerajaan Galuh. Bagian ini ditutup dengan penobatan Prabu Siliwangi. Sebagian besar bagian ini berisi kisah Aria Bangah (Rahiang Banga) dengan Ciung Wanara (Manarah) dengan mengikuti pola babad yang umum yang mengarah kepada pembagian kekuasaan di pulau Jawa antara Majapahit dengan Pajajaran.
Inti kisah Babad Pajajaran (sebenarnya lebih tepat dinamakan Wawacan Guru Gantangan), sangat mirip dengan lakon Mundinglaya Dikusumah. Sumber kisah ialah: Mimpi Prabu Siliwangi. Guru Gantangan pun naik ke langit; juga pernah mati dan hidup kembali. Dalam pengembaraannya ia diiringi oleh Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung dan dalam perjalanan mencari Ratna Inten (Mimpi Prabu Siliwangi) ia menaklukan Yaksa Jongrang Kalapitung. Perbedaan hanyalah pada tokoh ibunya. Ibu Mundinglaya disebut Padmawati, sedangkan ibu Guru Gantangan bernama Kentringmanik Mayang Sunda. Akan tetapi nama Padmawati justru unik, karena tidak t;erdapat atau tercantum dalam sumber-sumber lain yang menyebutkan istri-istri Siliwangi. Se-baliknya nama Kentring Manik Mayang Sunda banyak disebut dalam sumber lain, termasuk kropak 410 (Carita Ratu Pakuan) yang menyebutkan secara lengkap para istri Ratu Pakuan.
Pamongmong Guru Gantangan ada tiga orang dengan Purawa Kalih. Di kalangan masyarakat Bogor ia lebih populer daripada Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung, karena salah satu patung kuno di daerah Batutulis dikenal penduduk setempat sebagai Patung Purwakalih. Perbedaan menyolok antara lakon Guru Gantangan dengan Mundinglaya, hanyalah terletak pada bumbu ceritera. Kisah Guru Gantangan lebih lengkap dan lebih romantis. Satu gejala perbedaan yang umum dan logis antara tradisi (lisan) pantun dengan tradisi (tertulis) babad: dengan membandingkan posisi masing-masing terhadap tokoh Siliwangi posisi sekunder dalam hak waris dan posisi sebagai pengganti setelah perjuangan dan penderitaan yang berat), dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tokoh Guru Gantangan (dalam babad) sama dengan tokoh Mundinglaya (dalam pantun).
Dari segi lain, ada indikasi bahwa tokoh Guru Gantangan sama dengan tokoh Surawisesa dalam kropak Carita Parahyangan. Ia adalah keponakan Sang Murugul penguasa Sindang Barang yang terkenal sebagai Senapati (pamuk) Pajajaran, Mantri Agung Murugul ini terkenal dengan sebutan Surabima. Dua di antara empat orang putranya bernama Sura Subat dan Sura-kandaga. Dalam suatu negara yang rajanya beristeri banyak (menurut naskah ini, istri Prabu Siliwangi ada 151 orang), kedudukan putra raja menurut garis ibu sangat menentukan. Mungkin predikat sura ini berasal dari kakeknya (ayahnya Kentring Manik). Bila benar Guru Gantangan identik dengan Surawisesa, ia cukup menarik untuk disoroti dari segi sejarah; sebab kemungkinan tersebut akan menetapkan Guru Gantangan sebagai peran utama dalam tiga peristiwa besar. Pertama Guru Gantanganlah yang membuat prasasti Batutulis di kota Bogor yang mengabadikan silsilah dan karya-karya Sri Baduga. Kedua, Guru Gantanganlah yang memimpin perutusan Sunda ke Malaka dalam tahun 1512 dan 1521 untuk menemui Alfonso d'Albuquerque. Ketiga, Guru Gantangan pulalah yang membuat perjanjian dengan Portugis (perutusannya dipimpin oleh Hendrique de Leme, ipar d'Albu-querque) di Pakuan pada tanggal 21 Agustus 1522. Jadi dialah yang disebut sebagai Ratu Samiam [ Ratu (daerah) Sangiang] dalam berita Portugis. Masa pemerintahannya pun dapat ditetapkan, yaitu antara 1521/1522 -1535. Dalam naskah ini ia dilukiskan sebagai salah seorang yang banyak melakukan pelayaran. Semua ini untuk menetapkan kebenarannya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Gambaran Penulisnya
Yang juga cukup menarik ialah pengetahuan penulis yang luas tentang jenis kesenian dan senjata. Hal ini minimal dapat dijadikan gambaran pada jamannya (abad ke XIX awal) tentang jenis kesenian yang hidup di masarakat dan jenis senjata yang biasa digunakan dalam perang waktu itu. Ia pun tampaknya seorang pencinta laut. Penulis naskah akan segera, tenggelam dalam keasikan bila ia melukiskan keramaian seni, pelabuhan dan perang senapan. Dikhayalkannya pelabuhan Siem itu, seperti Pamanukan. Dalam pengembaraan Guru Gantangan, tidaklah kita jumpai petapa atau pendeta seperti biasanya terdapat dalam naskah-naskah Sunda yang kemudian, melainkan selalu kita temukan nakhoda dan syahbandar. Pengawal pribadinya yang utama pun kakak beradik penguasa laut (Dewa Sagara dan Buta Sagara). Gaya pantai ini tampak pula dalam bahasa serta ejaannya.
Transliterasi
Karena naskah berbentuk pupuh, kekeliruan yang terjadi pada umumnya terletak pada kekurangan atau kelebihan guru-wilang, bahkan juga kekurangan pada lisan. Untuk kekurangan diadakan addenda dalam tanda ( ); untuk kelebihan diadakan disenda dengan tanda / / .
Nomor pada (bait) dari 1309 meloncat ke nomor 1340. Hanya kekeliruan nomor saja; naskahnya tetap berurut (tidak terlewat). Vokal ö ( ejaan biasa eu) dalam terjemahan dipakai khusus bagi nama-nama diri. Karena bahasa Jawa tidak mengenal vokal tersebut, maka dalam naskah vokal tersebut diubah menjadi e (pepet):
- örön menjadi eren
- hölang menjadi elang
- badör menjadi bader
lstilah babad dalam kesusasteraan di Jawa Barat merupakan gejala yang umum dalam abad ke XIX dan awal abad ke XX. Dalam abad ke XVI -XVIII, istilah yang digunakan biasanya "carita". Istilah sejarah digunakan di Banten dalam abad ke XVII, tetapi di Priangan Timur baru digunakan oleh para pengarang dalam awal abad ke XX.
Bahasa yang digunakan adalah "Bahasa Jawa Cirebon" abad ke XIX dengan campuran unsur Sunda, sehingga banyak kata-kata yang tidak dikenal oleh orang Jawa dan orang Cirebon dewasa ini. Juga dalam kamus-kamus bahasa Jawa
Berikut cuplikan isi Babad Pakuan atau Babad Pajajaran
XXXVlll. M I J I L
- 913. Héh kang rai kakang takon aris; dén tatela alon; lan maningé kena apa mangké; oléh matur awor lawan tangis; rambut tiwul busik; Kentringmanik matur.
- 914. Inggih raka langkung kula sakit; datan émut raos; sakalangkung lali kula mangké; baya kakang boten miarseki; kula ambedagi; dhateng sang aprabu.
- 915. Apan kakang putra ndika mati; dén pateni mangko; pinatenan denira sang kathong; purwa pitnah ki Bramanasakti; malah kang ngebruki; dhateng sang Murugul.
- 916 Yén wus teges mg pratelanéki; abang sarirané; sarta peteng iku paningalé; alam dunya ora katingali; gero anggregeti; kadya banteng ngamuk.
- 917. Yén makaten si kakang metoni; miang dina mengko; dhak sun rejeg wong Pakuan kabéh; sumawona ingkang mitenahi; sun tan dék dhegisik; dén kadiga lempung.
- 918. Dopi ajeng nindak dina iki; Kentringmanik alon; nembah matur dhatenging rakané; kula ajeng ngampohi rumihin; kakang mandheg dhingin; aja gemen maju.
- 919. Ajeng nindak sang Murugul mangkin; dén adhanging mangko; Kentringmanik (ris) pangungkarané; krana tiang malikat samangkin; dhatening sang aji; tan saged puniku.
- 920. Ila-ila ujar wong karihin; tilok ujar mangko; Kentringmanik langkung mondhé mondho; sang Murugul rerep bendunéki; karaosing ati; leres rainipun.
Sumber:
Danasasmita, Saleh, Atja dan Nana Darmana. 1977. "Babad Pakuan atau Babad Pajajaran". Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. versi ebook pdf: repositori.kemdikbud.go.id Diakses 4 Juni 2020.