Cari

Bilamana Prabu Siliwangi bertemu Nyai Subang Larang? Sedang mengaji?

 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Prabu Siliwangi adalah sosok legendaris yang dihormati di tatar Pasundan. Ia adalah salah seorang Raja Pajajaran yang paling termashur. Namanya tetap terpatri di hati sanubari warga Nusantara hingga kini.

Sosok Prabu Siliwangi ini dinisbatkan kepada Prabuguru Dewataprana Ratu Haji di Pakuan Sri Baduga Maharaja, sebagaimana namanya tertulis di Prasasti Batu Tulis Bogor dan Prasasti Lempeng Tembaga Kebantenan. Ketika Prabu Siliwangi masih muda dikenal dengan nama Pamanahrasa. Siliwangi adalah sebuah gelar, bukan nama sebenarnya.

Tersebutlah nama Nyai Subang Larang sebagai salah satu dalam kronologi sejarah kehidupan Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang ini kemudian menjadi titik pangkalan sejarah selanjutnya yang terkait para raja/sultan Cirebon.

Sosok Nyai Subang Larang ini harus ditelusuri dari sumber naskah dari Cirebon dan Priangan Timur. Tidak ada prasasti terkait namanya. Tentu nama para istri tidak dicantumkan dalam sebuah prasasti di zaman itu bahkan hingga zaman sekarang ini.

Dalam naskah yang terbuat dari lembaran kulit kayu atau Daluwang adalah Naskah Cariosan Prabu Siliwangi. Naskah berasal di Sumedang (kini tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang). Naskah pertama kali ditulis tahun 1357 Saka atau 1435 Masehi yang diidentifikasi dalam candrasengkala 'wasita satata sakti katimut'. Sengkala atau sengkalan adalah sandi penulisan tahun dengan kalimat yang tiap kata atau bendanya merupakan perlambangan dari suatu angka. Ada beberapa naskah salinannya dengan kode Ms.A hingga Ms.E. Naskah salinan Cariosan Prabu Siliwangi pada tahun 1675 Saka/1753 (1133 Hijriyah) dan naskah lainnya pada 'wengining buda wahana (likur) lukar' atau 1714 Saka/1787 Masehi arau 1202 Hijriyah. Naskah salinan lainnya tidak diketemukan angka tahun. Namun dipastikan jauh lebih muda usianya.

Naskah Cariosan Prabu Siliwangi (CPS) menjadi naskah paling tua yang ditulis pada zaman Siliwangi masih hidup (naskah Ms.A - Bahasa Jawa Cerbonan dan aksara Carakan). Bahkan ia belum menjadi raja Pajajaran. Pada tahun 1435 M, Siliwangi masih disebut Pamanah rasa atau Raja Sunu atau Raja Siwi. Baca juga: Dimanakah makam Nyai Subang Larang. Dalam naskah ini, nama Subang Larang dituliskan Rajaputri Mrajalarangtapa putri raja Singapura (Cirebon) yang saat itu diskusi dengan seorang Mangkubumi (patih) negeri Singapura yang mempunyai putri bernama Subang Laran sebelum pertandingan sayembara untuk menemukan calon suami putrinya itu. Ayah dari Subang Larang adalah Patih negeri Singapura sejalan dengan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) yang bernama Ki Ageng Tapa (Ki Gedeng Tapa). Namun dalam beberapa naskah dianggap utri raja Singapura. Dalam ulasan peneliti EFEO (EFEO, École française d'Extrême-Orient) pada naskah ini menuliskannya Nyai Mrajalarangtapa Dyah Subang Larang. Dalam naskah CPS Ms.B (Arab Pegon) dengan judul Serat Babad Siliwangi naskah Ms.B menyebut Retna *Larangtapa putri Raja Singapura dan Dewi *Sumbang Larang putri Mangkubumi (Patih) Singapura. Tanda bintang (*) diberikan peniliti EFEO sebagai kesalahan dibandingkang dengan naskah CPS, sehingga betapa jauhnya tafsiran pembuat naskah Ms.B ini.

Naskah Cariosan Prabu Siliwangi (kode Ms.A)
Naskah Cariosan Prabu Siliwangi Ms.A
Museum Geusan Ulun Sumedang
Cariosan Prabu Siliwangi naskah Ms.B dan Ms.C
sumber: copy buku peneliti EFEO hlm.27
Cariosan Prabu Siliwangi naskah Ms. D dan Ms.E
copy buku peneliti EFO hlm.29


Sementara itu dalam naskah Ratu Pakuan (Kropak 410 Museum Nasional Jakarta dan Atja, 1970), menuliskannya Nhay Subanglarangan dan dalam Cariosan Prabu Siliwangi disebut Nyai Subanglarangan sepupu Rajaputri Mrajalarangtapa sepupu Nhay Ambetkasih putri Ki Gedeng Sindangkasih (istri pertama Prabu Siliwangi). Baca Juga: Misteri Istri Pertama Prabu Siliwangi - Nhay Ambetkasih atau Nyai Rambutkasih | Cariosan Prabu Siliwangi | Kerajaan Dayeuh Luhur & Pasir Luhur.

Penyebutan nama Nyai Subang Larang mulai dengan jelas pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) karya Pangeran Arya Cerbon atau Pangeran Wangsakerta. Naskah CPCN termasuk naskah-naskah karya Wangsakerta yang dianggap kontroversial.

 

Pertemuan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang

Dalam Naskah Cariosan Prabu Siliwangi (CPS), pertemuan Siliwangi (Pamanahrasa) ketika menghadiri Sayembara Raja Singapura untuk mencari calon suami Putrinya Nyai Mrajalarangtapa Dyah Subang Larang. Siliwangi hadir bersama Nhay Ambetkasih ke acara Sayembara Kerajaan Singapura. Saat itu ada pernyataan takluk dari para raja untuk mengabdi kepada Siliwangi dengan menyerahkan putrinya atau saudarinya untuk diperistri Siliwangi (Pamanahrasa). Pernikahan sebagai simbol dan politis dalam rangka penyatuan wilayah beberapa kerajaan di bawah Siliwangi dalam panji Kerajaan Pajajaran.

Kisah senada dengan CPS adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) bahwa Pamanahrasa memenangkan sayembara, sehingga berhasil mempersunting Subang Larang.  Meskipun ada 2 perbedaan jenis pertandingan. Dalam CPS, diawali pertandingan sabung ayam, sedangkan dalam CPCN bertanding adalah para tokohnya.  Sementara itu, dalam buku Kerajaan Cirebon, terbitan Kementrian Agama, tidak mengisahkan pertemuan Siliwangi dengan Subang Larang. Namun menyebutkan bahwa Ki Ageng Tapa adalah Kakek Walangsungsang (Rosidin, 2013:36) putra Subang Larang. Jadi ada kesamaan silsilahnya mengerucut pada Ki Gedeng Tapa.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, penulis mendapat berbagai pemberitaan bahwa Pamanah Rasa (Siliwangi) bertemu Nyi Subang Larang ketika tiba di Pesantren Syekh Quraa Karawang. Maksud ketangan Pamanahrasa ke Pesantren itu untuk melakukan penutupan atau penyegelan kalau zaman modern ini.

Saat itu Pamanah Rasa terpikat dengan alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quraa, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik dan halus budinya.

Pinangan tersebut diterima tapi, dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid yang berada di Mekkah. permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa.Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah. 

Untuk kisah pertemuan Pamanahrasa di Pesantren Syekh Quraa ini, penulis tidak mendapati sumber babad yang dimaksud. Namun ada kisah yang mirip dengan kisah Wawacan Keyan Santang (Satria Tanpa Tanding) mengenai syarat Lintang Kerti Jejer Seratus untuk mendapatkan seorang putri. Namun tokohnya bukan Siliwangi tetapi Kian Santang.

Mari kita bertindak sesuai literasi yang memili daya ktiris. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis. Inilah yang akan menjadi pondasi perkembangan dunia pengetahuan yang objektif dan konstruktif. Tidak lagi diarahkan oleh 'kepentingan' dan standar aturan yang ditentukan, tetapi dat data-data yang direkonstruksi menjadi sebuah informasi apa adanya. 

Sejak masa awal kebijakan pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda bernama Politik Etis hingga sekarang, pemahaman literasi sering kali disandingkan dengan berpendidikan. Walau pada hari ini kenyataannya kita bisa saksikan bahwa banyak orang berpendidikan tinggi ternyata tidak punya kemampuan literasi. 

Beberapa hal mesti kita konfrontir dengan premis terdahulu.

  1. Pamanahrasa adalah seorang pangeran kerajaan Galuh. Wilayah karawang adalah wilayah kerajaan Sunda yang dirajai oleh Uwak Pamanahrasa yaitu Prabu Susuk Tunggal (kelak menjadi mertuanya). 
  2. Sejak tahun 1375, kerajaan dibagi 2 oleh Maharaja Nisakala Wastu Kancana kepada 2 orang putranya yaitu Dewa Niskala (Anggalarang) sebagai raja Galuh dan Susuk Tunggal sebagai raja Sunda. Batas 2 kerajaan ini adalah Sungai Citarum. Jadi, Karawang adalah wilayah Kerajaan Sunda. Seharusnya yang keberatan dengan adanya pesantren Quraa Karawang adalah Prabu Susuk Tunggal. Dan seharusnya yang diutus adalah Pangeran Amukmurugul, saudara Kentring Manik Mayang Sunda. Bukan mengutus Pamanahrasa.
  3. Pamanahrasa bertemu dengan Nyi Subang Larang di Karawang tahun berapa? Sedangkan dalam naskah Cariosan Prabu Siliwangi yang ditulis tahun 1435 M, Pamanahrasa sudah bertemu dengannya dalam sebuah sayembara. Kisah pada CPS, setidaknya menjadi acuan tahun pernikahan Siliwangi-Subang Larang adalah terjadi sebelum tahun 1435.
  4. Pamanahrasa dan Subang Larang menikah dan dikaruniai anak: Walangsungsang, Rara Santang dan Raden Sangara (Kian Santang). Menurut Hamam Rochani dalam Babad Cirebon , Walangsungsang dilahirkan di  tanah  Sunda  (Pasundan) yaitu  di Galuh  (Kawali), Priangan Timur pada tahun 1423 M. Tahun 1423 ini masuk akal, bila dihitung mundur diperkirakan Pamanahrasa-Subang Larang menikah 1 tahun sebelumnya yaitu 1422 M. Jadi sebenarnya saat menikah usia Pamanahrasa saat menikah 21 tahun dan Subang Larang 18 tahun. Ini cocok dengan naskah CPS yang menyebutkan saat sayembara itu, usia Subang Larang 18 tahun. Selanjutnya lahir saudara Walangsungsang yaitu: Rara  Santang (1427 M) dan Sangara (Kian Santang) lahir pada tahun 1429 M. Kesimpulan ini sama persis dengan Naskah CPCN, bahwa Subanglarang menikah tahun 1422 M.
  5. Dari tahun-tahun kelahiran Putra-putri Pamanahrasa dari Subang Larang, bahkan yang terakhir (Kian Santang) tahun 1429 M. saat itu Pamanahrasa belum menjadi Raja Pajajaran yang dimulai tahun 1482 M. Mungkin sekali mereka berkedudukan di Galuh.
  6. Menurut Zulfah (2018, 179) Raden Pemanah Rasa (Prabu Siliwangi) menganut agama Shang Hyang (Jati Sunda -pen), sedangkan ibunya, Subang Larang, menganut agama Islam.
  7. Pondok Quraa yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Lihat.P.S. Sulendraningrat, Carita Purwaka Tjaruban Nagari, (Djakarta: Bhratara, 1972) hlm. 13-14. Dikisahkan anak-anak Subang Larang dididik secara Islami oleh ibunya. Namun dalam Babad Cirebon, dan Cariyos Walangsungsang, mengisahkan bahwa Walangsungsang berumur 21 tahun yaitu pada tahun 1444 M, berikrar memantapkan diri ingin mendalami agama Islam kemudian bersyahadat setelah melakukan perjalanannya mencari guru agama Islam akhirnya bertemu dengan Syekh Nur Jati di Amparan Jati. 
  8. Subang Larang dikisahkan meninggal pada usia 40 tahun. Berarti bertepatan dengan Walangsungsang pergi dari istana pada tahun 1444 M. Baca juga: Dimanakah Makam Nyai Subang Larang?
  9. Melihat dari beberapa refrensi dalam naskah Babad Cirebon, Cariyos Walangsungsang, Purwaka Caruban Nagari terdapat kisah yang menarik dari ketiga naskah tersebut, diantaranya menjelaskan pengembaraan Walangsungsang, hal ini merupakan kategori wujud dari fakta sejarah dalam bentuk mentifacts atau fakta mental, berupa kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat sesuai tradisi berfikir. Dengan kisah ini menegasikan (membantah) bahwa ketika pernikahan Pamanahrasa-Subang Larang dilangsungkan, Pamanahrasa telah beragama Islam. Ataukah kemudian Pamanahrasa kembali ke keyakinan sebelumnya? Ataukah berkeyakinan masing-masing seperti diutarakah Zulfah (2018: 179). Ini menegasikan juga bahwa putra-putri Subang Larang dididik seperti keyakinan ibunya.
  10. Kedatangan Syekh Quraa ke Tanah Jawa menumpang Kapal Cheng-Ho. Adapun nama Cheng Ho, atau Zheng He, baru muncul dalam Ming Shi atau Sejarah Dinasti Ming. Dia diutus ke Jawa pada 1405. Perjalanan Cheng-Ho ke Jawa terjadi 7 kali. Dalam Sejarah Dinasti Ming, sejarawan Dinasti Ming memasukkan namanya dalam bab biografi orang terkenal dengan judul Catatan Zheng He. Mengutip situs resmi Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Barat, Syekh Hasanuddin menginjakkan kaki pertama kali pada tahun pada tahun 1416 dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming). Ini terjadi pada perjalanan Cheng-Ho ke-5 tahun 1416-1419. Syekh Hasanudin menikahi wanita Karawang pada tahun 1417. Satu tahun kemudian. Pesantren Syekh Quraa didirikan tahun 1418 M. Dengan demikian, bisa kita duga Subang Larang mesantren di Pondok Quraa antara tahun 1418-1422 M dalam rentang waktu 3 tahun sampai menikah dengan Pamanahrasa. 
  11. Pada sumber lain menyebutkan Syekh Hasanuddin (Syekh Quraa) pertamakali tiba di Cirebon tahun 1409 M pada perjalanan Cheng-Ho ke-3 tahun 1409-1411 M.  Dikisahkan masayarakat Cirebon tertarik memeluk agama Islam. Mungkin termasuk Raja Singapura dan Mangkubuminya: Ki Gedeng Tapa. Bisa jadi Subanglarang, yang saat itu berusia 5 tahun sudah dididik agama Islam. Dan saat itu usia Pamanahrasa 8 tahun.

Masih sangat banyak 'pekerjaan rumah' untuk menyusun kronologi Sejarah Pasundan yang lebih komprehensif. Hruas lebih banyak lagi sumber informasi yang kita kumpulkan. Setelah memperoleh sumber, langkah selanjutnya metode kritik sumber (verifikasi). Data yang telah didapat kemudian dikelompokkan menurut jenisnya. Tahapan ini terjadi proses menyeleksi dan mengidentifikasi sumber-sumber yang telah didapatkan apakah sumber asli atau tidak, baik bentuk wujud maupun isi berdasarkan keakuratan, otentisitas agar mendapatkan sumber yang sesuai dengan objek penelitian.  Semangat bagi para peneliti!!!

Dengan kita mengkritisi sebuah kronologi sejarah, diharapkan validitas sejarah semakin baik. Sumber sejarah yang semakin terpercaya (valid) akan meningkatkan kualitas bangsa ini dalam mengembangkan potensi bangsa berdasarkan Literasi yakni  kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis. Inilah yang akan menjadi pondasi perkembangan dunia pengetahuan yang objektif dan konstruktif. Tidak lagi diarahkan oleh 'kepentingan' dan standar aturan yang ditentukan, tetapi dari data-data yang direkonstruksi menjadi sebuah informasi apa adanya.

-Cag-


Referensi

  1. Atja, Dr.s. 1968. "Tjarita Parahjangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka 16 Masehi".  Bandung.
  2. ________ 1970. "Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda Kuno dari Lereng Gunung Cikuraj". Bandung.
  3. ________ 1972. "Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari". Sejarah Mulajadi Cirebon Seri Monografi no 5. Jakarta: Ikatan Karyawan Museum Pusat Jakarta.
  4. ________ 1973. "Beberapa Catatan yang Bertalian dengan Mulajadi Cirebon". Lembar diskusi Sejarah. Bandung.
  5. Atmamihardja. 1955. "Sadjarah Soenda". Bandung
  6. Brackel, L.F. 1975. " The Hikayat Muhammad Hanafiyah". Bibliotheca Indonesica 12. The Hague
  7. Brandes, Dr. J.L.A. 1914. "Babad Tjerbon". Batavia: VBG LIX
  8. Dam, H. Ten. 1957. "Verkenningen rondom Padjadjaran". IndonesieX no 4.
  9. Djajadiningrat, Drs. Husein. 1932. "Critische Beschouwingen van de Sedjarah Banten. Bijdrage ter kenschet-sing van  de Javaasche Geschiedschrijving". Leiden 1913. Majalah Djawa no 1 Januari 1932: 35
  10. Ekadjati, Edi. S, Penyebaran Islam di Jawa Barat, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, 1975.
  11. Rochani, Ahmad Hamam, Babad Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, 2008.
  12. Rosidin, Didin Nurul, MA.,Ph.D., dkk. 2013. "Kerajaan Cirebon". Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI  Flipbook Diakses 7 Agustus 2020.
  13. Sulendraningrat, P. S. 1972. "Purwaka Tjaruban Nagari". Djakarta: Bhratara.
  14. _________________. 1978. "Sejarah Cirebon". Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat.
  15. "Naskah Asli Cariosan Prabu Siliwangi" digitalisasi EFEO pada flip book maker Diakses 7 Agustus 2020. 
  16. "Napak Tilas Leluhur: Alunan Suara Nyi Subang Larang yang Meluluhkan Hati Prabu Siliwangi" hallo.id 12 Juli 2020. Diakses 7 Agustus 2020.
  17. Zulfah, Siti. 2018. "Islamisasi di cirebon: peran dan pengaruh walangsungsang perspektif naskah carios walangsungsang". Jurnal Tamaddun, Vol. 6, No. 1, Januari–Juni 2018 hlm 172-201, ristekdikti.go.id Diakses 7 Agustus 2020.
Baca Juga

Sponsor