Cari

Misteri Istri Pertama Prabu Siliwangi - Nhay Ambetkasih atau Nyai Rambutkasih | Cariosan Prabu Siliwangi | Kerajaan Dayeuh Luhur & Pasir Luhur

Arca Ambetkasih dari Talaga, Cirebon (Sekarang Majalengka)


[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara- Ada kisah yang tidak terlalu populer di tatar Pasundan yaitu adanya istri pertama Pamanah Rasa ialah Nhay Ambet Kasih. Kisah tentang Ambet Kasih tertera dalam Naskah Lontar "Carita Ratu Pakuan" yang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dalam kropak 410. Diperkirakan ditulis akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18.

Nama Nhay Ambetkasih mengalami perubahan pelafalan menjadi Nyai Ambetkasih dan Nyai  Rambutkasih. Nama Nyai Ambetkasih terkait sejarah kota Majalengka Jawa Barat. Kisahnya menjadi misteri karena jarang dituturkan dalam sejarah Pajajaran. Disebut-sebut bahwa Prabu Siliwangi dari Nyai Ambetkasih/Rambutkasih tidak memiliki anak dan dalam kisah legenda Majalengka, Nyai Ambetkasih berakhir dengan 'ngahiyang' alias menghilang.

Menariknya bahwa Nyai Ambetkasih justru kisahnya berlanjut di Jawa Tengah. Namanya disebutkan dalam naskah Babad Pasir. Babad Pasir ini menceritakan cikal bakal kerajaan Dayeuh Luhur (Kabupaten Cilacap) dan Kerajaan Pasir Luhur (Banyumasan). Mengapa bisa ada missing link?

Ambetkasih dalam sejarah Cilacap dan Banyumasan yang mengacu pada Babad Pasir, memiliki 3 orang anak: 2 orang putra dan 1 orang putri, yaitu Banyak Catra (Kamandaka), Banyak Ngampar (Gagak Ngampar) dan Ratna Pamekas (Retna Ayu Mrana). Pada tahun 1475 M, Kerajaan Dayeuh Luhur sudah dipimpin oleh raja Banyak Catra. Tahun 1475 ini, berarti Sribaduga Maharaja (Siliwangi) belum menjadi raja Sunda-Galuh (Pajajaran) dan masih dikenal dengan gelarnya Pangeran Pamanah Rasa. Dalam kisah Ratu Pakuan, digambarkan iring-iringan Ambetkasih yang pindah dari istana timur (Keraton Surawisesa di Galuh) menuju Istana Barat di Pakuan Pajajaran (Sunda).


Naskah Cariosan Prabu Siliwangi
"Naskah Asli Cariosan Prabu Siliwangi" digitalisasi EFEO
pada flip book maker Diakses 7 Agustus 2020.


Ada dua peristiwa yang mirip antara istri Prabu Siliwangi yaitu Nyai Subang Larang dan Nyai Ambetkasih. Keduanya tersingkir dari istana Pakuan Pajajaran. Sebab-sebab tersingkirnya Nyai Subang Larang tertulis dalam naskah Merta Singa Cirebon. Silahkan baca: Sakit Hati Kesultanan Cirebon Penyebab Penyerangan ke Pakuan Pajajaran? | Subang Larang Sang Istri Siliwangi yang Terbuang. Namun, sebab-sebab Nyai Ambetkasih tersingkir dari istana pakuan tidak begitu jelas, kecuali sebab tidak diangkatnya putra Ambetkasih sebagai raja Pajajaran tersurat dalam Babad Pasir.

Pada tahun 1475 Pajajaran dibagi 2 kerajaan untuk kedua anak Prabu Wastukancana, Kerajaan Sunda untuk Prabu Susuk Tunggal dan Kerajaan Galuh Untuk Prabu Dewa Niskala. Pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana masih berkuasa, Susuk Tunggal telah memiliki putri bernama Kentringmanik Mayangsunda dan Amuk Marugul (Murugul atau disebut juga Surabima), sedangkan Dewa Niskala telah memiliki putra bernama PAMANAH RASA yang menjadi cucu kesayangan Niskala Wastu Kencana.

Pamanah Rasa sangat sakti dan mewarisi ilmu dan kebijaksanaan kakeknya, ia menikahi sepupunya putri Ki Gedeng Kasih (cucu Sanghyang Bunisora Suradipati - Prabu Borosngora) yang bernama Dewi Ambetkasih dan memiliki 3 orang anak, Banyak Catra (Banyak Cotro), Banyak Ngampar dan Dewi Ratna Pamekas. Karena Dewi Ambetkasih meninggal, Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi III) mengawini gadis muslim Dewi (Nyi Mas) Subanglarang. Selanjutnya Prabu Siliwangi III menikah dengan sepupunya Kentring Manik Mayang Sunda (seperti dibahas di atas). Dari perkawinanya dengan Kentring Manik Mayang Sunda dikarunia anak lelaki bernama Banyak Blabur (Surawisesa) dan Surasowan yang menjadi adipati Banten dan anak putri Surawati yang menikah dengan adipati Sunda Kelapa.


Naskah Cariosan Prabu Siliwangi

Dalam naskah Cariosan Prabu Siliwangi, kisah Ambetkasih diceritakan panjang lebar hingga menjelang pernikahannya. Penelitian terhadap Naskah Cariosan Prabu Siliwangi dilakukan oleh Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh (EFEO, École française d'Extrême-Orient). Hasil penelitiannya diterbitkan tahun 1983.

Kurun waktu yang digambarkan oleh Cariosan prabu Siliwangi adalah bagian pertama dari hidup Siliwangi ketika ia sebagai seorang putra mahkota muda berumur sembilan tahun, Pamanahrasa, putra kedua Anggalarang (Dewa Niskala) dari permaisuri Umadewi. Wajahnya bersinar, sehingga dapat dianggap sebagai jelmaan Wisnu (Pupuh I:29.6). Kakaknya adalah putra dari Selir yang bernama Astunalarang (Sang Astunawangi). Ada satu lagi anak Prabu Anggalarang (si bungsu) bernama Rangga Pupuk. Kakaknya sangat iri terhadap pamanahrasa, karena ia Putra permaisuri. Astunalarang mencoba membunuh Pamanahrasa, adiknya itu. Kemudian Pamanahrasa diasingkan dari kerajaan dan dijualnya sebagai budak hitam dengan dibaluri ceumeung. Jika tidak dibaluri ceumeung dan kelihatan bersih serta wangi, serta memakai perhiasan kerajaan, ia tak akan dibeli orang.  Seorang panakawan (pelayan) Rajaputra Astunalarang yang bernama Tandesang menganjurkan agar Pamanahrasa mengubah namanya menjadi asilih wawangi (Pupuh III: 57.7-58.2). Itu pun disetujui Pamanahrasa yang menjawab: "sebut saja saya si Siliwangi", yaitu Si Ganti Harum dan mengubah gelang emasnya dengan gelang besi. Siliwangi atau Pamanahrasa dalam teks Cariosan Prabu Siliwangi disebut juga sebagai Rajasunu atau Rajasiwi.

Hilangnya Pamanahrasa dari keraton berlangsung 5 tahun. Kemudian pengembaraannya menjauhkan Siliwangi dari tahta Kerajaan. Sedangkan sifat-sifatnya yang luar biasa, membawanya untuk mengadakan persekutuan dengan sekian banyak raja, misalnya raja Ponggang, Singapura (Cirebon), Sumedang Larang, Kawali, Panjalu, Pekalongan, Balangbangan (Balungbungan?) yang memilihnya sebagai raja mereka, karena mengakui keunggulan dan kesaktian Siliwangi. Agar lebih memperkuat Siliwangi dalam kedudukannya yang menonjol itu, mereka menghadiahkan saudarinya untuk diperistri. Perkawinan yang ada lebih berisfat politis dan simbolis. Tradisi mengawinkan saudara perempuan raja dengan raja yang memiliki kharisma tinggi dicatat oleh para penjelajah Portugis ketika tiba di Sunda Kalapa.

Negeri Balangbangan mungkin berasal dari kata Balungbungan bukan Blambangan dalam naskah ini disebutkan dirajai oleh Amukmurugul atau nama lainnya Surabima Lembugora Panji Wirajaya/Wirajayeng Satru/Rajapanji. Mungkin, dalam naskah ini penyebutan Balangbangan diartikan sebagai "negeri timur". Kini negeri atau Kerajaan yang dirajai oleh Amukmurugul adalah Kerajaan Japura yang berlokasi di timur Kabupaten Cirebon, meliputi Sindanglaut hingga Ciledug.

Moh Sutaarga menuliskan ada 151 istri Prabu Siliwangi. Tentunya sebagian besar para istri/selir ini merupakan perkawinan politis-simbolis. Tujuannya adalah pemersatuan wilayah kerajan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Siliwangi dengan panji Kerajaan Pajajaran.

Ada yang paling perlu kita catat adalah perkawinan Siliwangi (Pamanahrasa) dengan putri raja Singapura, yang bernama Mrajalarangtapa (Subanglarang). Siliwangi acuh tak acuh terhadap perkawinan politik itu. Siliwangi ditakdirkan Dewa kepada seorang putri cantik Ambetkasih, putri seorang juru pelabuhan Sindangkasih yang telah menukarkan kayu jati serta satu jungkung (Kapal Jung) dengan budak hitam (Pamanahrasa), ketika mau dijual di pelabuhan. Rencananya Pamanahsara akan dibeli oleh Minadi, Sang Juragan Nahkoda dari Palembang. Selanjutnya, Pamanahrasa mandi di Pancuran Cibasale, sehingga ia kembali kepada rupa asalnya.  Menarik, bahwa nama Cibasale kini ada di kecamatan Majalengka kulon, Majalengka. Ada lagi wilayah 'katenggang' alias neggang dapat terlihat dari kejauhan, tempat Lampungjabul dan kawan-kawan diami, kemudian diganti nama menjadi Pan(y)ingkiran. Kemudian disebut negeri Maoslengka (Pupuh XIV:27) sebagai negeri asal nenek moyang Amukmurugul, sebelum ia memerintah Balangbangan (peneliti EFEO menuliskan = krama dari Majalengka?).

Kisah Cariosan Prabu Siliwangi berakhir di tengah percintaan Ambetkasih dan Siliwangi diambang perkawinan mereka. Ambetkasih disebut sebagai bidadari Supraba.


Teks Cariosan Prabu Siliwangi dengan demikian termasuk di tengah cyclus Babad Pajajaran, diantara akhir Prabu Anggalarang dan Putra Sulungnya, Rajaputra dengan gelar Parbamenak (di lain sumber Parbamenak adalah adik Anggalarang). Dan pengambilan kembali tahta kerajaan yang diduduki secara tidak sah. Petualangan luar biasa itu, dapat dibayangkan, pasti membantu Siliwangi di tengah legenda -telah kita ketahui dari Carita Ratu Pakuan (Kropak no 410, Museum Nasional Jakarta dan Atja, 1970). Teks tersebut menggambarkan episode yang secara kronologis bersambung dengan akhir cerita Cariosan Prabu Siliwangi, yaitu keberangkatan keberangkatan raja Sumedang Larang dan Ratu Ngabetkasih (Ambetkasih) diikuti 31 istri, termasuk Mrajalarangtapa serta perjalanan mereka secara besar-besaran dari timur ke barat menuju ibukota Pakuan dalam sebuah iring-iringan panjang melewati setiap tempat penting untuk pemujaan Wisnu di daerah Sunda. Kejadian tersebut telah dicatat pada waktunya, di atas lontar dan hubungannya dengan prasasti Batu tulis mungkin merupakan mata rantai yang erat: keduanya mencatat zaman baru (Sutaarga, 1964: 11-13).

Beberapa kerajaan Sunda, yang sejak masa lampau berada di bawah kekuasaan Anggalarang, kemudian ditambah dan digabungkan di bawah bendera seorang raja pemersatu, Siliwangi, dalam tempat asal: Pakuan. Itulah sebenarnya dapat menerangkan, kemungkinan besar bahwa betapa sulitnya bilamana kita ingin mencocokkan secara terpaksa, silsilah-silsilah yang terdapat dalam sumber-sumber epigrafi, naskah dan cerita lisan. Oleh karena sumber-sumber itu merupakan cabang yang berlainan  mengenai beberapa turunan raja-raja yang memang terikat, karena mereka menjadi satu oleh perkawinan-perkawinan riil atau simbolik yang dilakukan oleh Siliwangi.

Adapun masa bertahta yang baru dimulai oleh Siliwangi dengan gelar Ratu Pakuan, hingga usia lanjut dengan nama Prabu Sepuh. Beliau menyerahkan tahtanya kepada putranya, sedangkan beberapa putranya dan cicitnya mulai meninggalkan agama leluhurnya. Ituah yang dilukiskan dalam bagian akhir cyclus Babad Pajajaran dengan teks seperti Babad Banten, Babad Cirebon, Babad Pasir, Carita Waruga Guru, dan Babad Walangsungsang. Akan tetapi tradisi lisan berhenti pada putra-putra Siliwangi dalam pantun seperti Carita Guru Gantangan, Munding Laya, Sunten Jaya, Nyi Sumur Bandung dan sekian banyak lagi.

Walaupun dalam tradisi lisan dianggap sebuah zaman emas. Namun, hanya sedikit saja yang diketahui tentang masa Kerajaan Pajajaran zaman Siliwangi, paling tidak apa yang pernah disumbangkannya kepada Pajajaran dengan disaksikan oleh beberapa sumber kemudian: Pajajaran diluksikan sebagai kerajaan makmur, dengan organisasi yang bagus sekali berdasarkan (diantaranya) sebuah jaringan jalan darat yang dibanggakan (Ten Dam, 1957), lalu susunan kerajaan, kepangkatan, teknologi dan administrasi yang mantap (Holle, 1866). Pelabuhan yang banyak dan subur di sepanjang oesisir utara sehingga Kalapa merupakan pelabuhan internasional (H.M Ambary: 1975), dimana diekspor lada dan beras (Pires, 1967). Sedangkan hubungan perdagangan dijalin dengan banyak negara (Djajadiningrat: 1913). Bahkan itulah kemungkinan hubungan erat dengan dunia Barat (Schrieke: I 1966).

Babad Imbanagara dan Wawacan Talaga Manggung, sebagai lanjutan Cariosan Prabu Siliwangi.

Menururt naskah Cariosan Prabu Siliwangi, petilasan Nyai Rambutkasih di desa Pasirlenggik desa Sindangkasih di selatan kota Majalengka adalah tempat pertapaan Ambetkasih (Rambutkasih). Dikatakan bahwa Ambetkasih sering datang mengasingkan diri dan dimana diperkirakan beliau ngahiyang ke alam baka. Sebuah kompleks purbakala berupa tumpukan batu besar berliang dianggap oleh penduduk sebagai tempat duduk Ambetkasih beserta para pengiringnya, sedangkan ditengahnya disebut Arca Ambetkasih. Terlihat, di depan setiap batu, jelas ada bekas tempat pemujaan yang terus menerus.


Referensi

  1. "Naskah Asli Cariosan Prabu Siliwangi" digitalisasi EFEO pada flip book maker Diakses 7 Agustus 2020. 
  2. Ambary, Drs. Hasan M. 1975. "The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta". In Aspect of Indonesian Archaeology no. 1. Jakarta
  3. Asby, H. 1978. "Senja Pajajaran". Jakarta: Balai Pustaka
  4. Atja, Dr.s. 1968. "Tjarita Parahjangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka 16 Masehi".  Bandung.
  5. ________ 1970. "Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda Kuno dari Lereng Gunung Cikuraj". Bandung.
  6. ________ 1972. "Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari". Sejarah Mulajadi Cirebon Seri Monografi no 5. Jakarta: Ikatan Karyawan Museum Pusat Jakarta.
  7. ________ 1973. "Beberapa Catatan yang Bertalian dengan Mulajadi Cirebon". Lembar diskusi Sejarah. Bandung.
  8. ________ 1973. "Siksa Kanda Karesian". Bandung: LKUP
  9. Atja, Drs. & Saleh Danasasmita. 1981. "Sanghyang Siksakanda ng Karesian". (Naskah Sunda Kuno Tahun 1517 Masehi). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  10. Atmamihardja. 1955. "Sadjarah Soenda". Bandung
  11. Brackel, L.F. 1975. " The Hikayat Muhammad Hanafiyah". Bibliotheca Indonesica 12. The Hague
  12. Brandes, Dr. J.L.A. 1914. "Babad Tjerbon". Batavia: VBG LIX
  13. Dam, H. Ten. 1957. "Verkenningen rondom Padjadjaran". IndonesieX no 4.
  14. Djajadiningrat, Drs. Husein. 1932. "Critische Beschouwingen van de Sedjarah Banten. Bijdrage ter kenschet-sing van  de Javaasche Geschiedschrijving". Leiden 1913. Majalah Djawa no 1 Januari 1932: 35.
Baca Juga

Sponsor