Candi Blandongan merupakan salah satu Candi di Kompleks Percandian Batujaya-Pakisjaya Karawang - Jabar |
[Historiana] - Candi Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa,
yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Talagajaya, Kecamatan
Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sebaran candi di situs
Batujaya ini diperkirakan mencapai awalnya 5 km2. Terletak di
tengah-tengah areal persawahan dan sebagian candi dekat permukiman
penduduk seperti candi Serut atau Batujaya VII dan Candi Sumur atau
Batujaya VIII. Situs Batujaya berada pada 6 km dari garis pantai utara
Jawa Barat (Ujung Karawang).
Saat ini, kompleks Candi Batujaya
merupakan areal persawahan dan pemukiman penduduk. Sebagian besar
bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun dalam 'unur' atau 'lemah duwur'
(tanah darat menyembul diantara pesawahan). Sampai dengan pertengahan
tahun 2004, penggalian dan penelitian di kompleks percandian di Batujaya
masih terus berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti Situs Batujaya
dari Universitas Indonesia.
Baca juga:
- Candi Situs Batujaya Karawang Jawa Barat
- Candi Batujaya Salakanagara-Tarumanagara diantara Kerajaan kalingga, Sunda dan Sriwijaya
Komplek candi Batu Jaya terdapat 62 titik sebaran candi di areal ini, tetapi tidak menutup kemungkinan kalau candi itu akan bertambah, seiring ditemukannya unur unur yang lain. Adapun candi yang sudah dipugar dan sudah memiliki bentuk candi meski belum sempurna ada 4 buah yang dinamakan: 1. Candi Jiwa atau Batujaya I, 2. Candi Blandongan atau BatuJaya V, 3 Candi Serut atau Batujaya VII, dan 4. Candi Sumur atau Batu jaya VIII.
Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.
Pada 11 Maret 2019 turun surat keputusan perihal penetapan situs Percandian Batujaya menjadi kawasan cagar budaya nasional. Kini kompleks percandian seluas 500 hektare ini berada di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telukbuyung, Kecamatan Pakisjaya, Karawang. Kawasan ini dibagi menjadi zona inti seluas 337 hektare dan sisanya zonasi penyangga.
Candi-candi
tersebut diduga sebagai tempat peribadatan masyarakat Hindu-Budha pada
masa itu. Sebelumnya juga ditemukan fosil dan artefak berupa delapan
makam dan menhir dari zaman prasejarah masyarakat Buni. Peninggalan
tersebut, sebagian disimpan di Museum Percandian Batujaya. Sebagian
lain, seperti emas dan arca, disimpan Museum Kemendikbud, dan Balai
Perlestarian Cagar Budaya Serang.
Percandian mulai diteliti sejak 1984 hingga saat ini. Hasil penelitian melalui carbon dating pada Candi Blandongan diketahui dibangun pada abad ke-7. Dilihat dari warna batanya diindikasikan bahwa candi-candi di Batujaya ini pernah dipugar pada masanya. Inilah salah satu keunikan dari Lokasi Percandian Batujaya. Menurut Hasan Djafar, hasil pemugaran pada masanya terlihat pada warna batanya. Warna bata yang agak gelap memiliki indikasi candi sebelum dipugar. Warna merah muda merupakan hasil pemugarannya. Pemugarannya menggunakan spesi (pengerat batu), dan hanya beberapa bagian saja yang menggunakan spesi tersebut. Berbeda dengan hasil pemugaran, pada pembangunan pertama candi-candi ini tidak lah menggunakan spesi.
Menurut Hasan Djafar, keunikan lain
dari Percandian Batujaya dapat ditemukan di Candi Blandongan. Candi ini
dibangun di atas pemakaman. Mengapa disebut pemakaman? Oleh karena saat
penggalian di Candi Blandongan ditemukan beberapa tengkorak manusia
dewasa beserta bekal kuburnya berupa gerabah, dan peralatan yang terbuat
besi. Bahkan beberapa tengkorak manusia menggunakan perhiasan.
Identifikasi tengkorak sebagai manusia dewasa dapat dilihat bentuk gigi
dan jumlah giginya. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa umur
dari tengkorak-tengkorak tersebut berasal dari abad ke-2 Masehi.
Masyarakat
yang membangun candi-candi ini mengetahui bahwa ada pemakaman di dalam
tanah. Mereka menganggap bahwa yang dimakamkan itu adalah leluhurnya.
Mereka pun tetap menghormati dengan tidak mengganggu pemakaman tersebut,
dan tetap melanjutkan pembangunan candi. Mereka juga mengikuti posisi
makam tersebut yang berorientasi baratdaya-timurlaut.
Kerangka
anak-anak yang ditemukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang
pada 2013 saat membuat parit di halaman Candi Blandongan di Situs
Batujaya. Foto: Kemendikbud.go.id |
Penanggalan
Berdasarkan analisis
radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi
Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa
kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda
berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas
ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa
prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi
temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik Cina, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.
Bagaimana situasi keagamaan Tarumanagara terkait percandian Batujaya? Adakah hubungan antara percandian Batujaya dengan Kerajaan Sunda? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Masih memerlukan temuan-temuan baru di lokasi ekskavasi percandiangan Batujaya-Pakisajaya Karawang. Namun demikian, kita coba membuat hipotesis keberadaan candi-candi itu dengan Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda.
Jika berdasarkan penanggalan C-14 bahwa Candi-candi Batujaya-Pakisjaya Karawang berasal dari abad ke-5 hingga abad ke-7 berarti masih masa kerajaan Tarumanagara. Pada abad ke-5, Tarumanagara dibawah kekuasaan Purnawarman. Sedangkan di abad ke-7 adalah masa akhir kerajaan Tarumanagara dibawah kekuasaan Linggawarman. Pasca Linggawarman mengangkat menantunya sebagai Maharaja Tarumanagara, yaitu Sang Tarusbawa. Setahun kemudian pada 670 M nama kerajaan diubah menjadi Kerajaan Sunda. Ini terjadi pada abad ke-7 M. Kurun waktu ini adalah masa-masa pembangunan Candi Batu Jaya-Pakisjaya awal sebelum perombakan pada periode berikutnya.
Menurut penelitian para ahli Arkeologi dari Balar Bandung dan BPCB Serang Banten, Candi termuda dibangun atau diperbaiki pada abad ke-12 M. Kurun waktu ini juga berada dalam masa kekuasaan Kerajaan Sunda. Tidak ada sumber naskah atau prasasti yang ditemukan di tatar Pasundan yang menyebutkan secara spesifik mengenai candi-candi ini. Namun ada beberapa naskah lontar Sunda Kuno yang menyebut keberadaan candi diantaranya adalah Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Naskah Swawar Cinta. Jika dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian menyebutkan bahwa kesucian seseorang, diantaranya didapatkan setelah beribadah di candi. Sedangkah dalan Naskah Swawar Cinta menyebut gambaran candi yang terdiri dari Candi Abang (Candi merah) dan Candi Putih.
Menurut Hasan Djafar, bahwa percandian bata merah di Batujaya-Pakisjaya ini, dahulu berwarna putih dengan balutan staco (campuran kapur dan pasir). Bisa jadi ini yang disebut Candi Putih dalam Naskah Swawar Cinta. Mungkin juga sebagian percandian ini tetap warna bata merah sehingga disebut Candi Abang.
Adakah Pengaruh Sriwijaya?
Linggawarman, Raja Tarumanagara terakhir mempunyai 2 orang putri, yakni Dewi Manasih dan Dewi Sobakancana. Manasih dinikahkan dengan Terusbawa, penerus Tarumanagara yang kemudian menjadi nama Sunda, sedangkan Sobakancana di nikahkan dengan Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Hal ini menumbuhkan hubungan kekerabatan diantara raja Sunda dan Sriwijaya.
Peristiwa pernikahan Dewi Sobakancana dengan Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya bisa diperkirakan terjadi antara tahun 669 M (abad ke-7). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Candi Batujaya-Pakisjaya tidak terkait dengan kekuasaan Sriwijaya pada awal pendiriannya. Mungkin saja ada pengaruh Sriwijaya pada periode pengembangannya pada abad ke-12 M. Itu pun di masa-masa akhir Kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan Kerajaan Sriwijaya yang menerapkan agama resmi kerajaan adalah Buddha, bisa jadi sering menggunakan candi-candi di batujaya-Pakisjaya Karawang atas dasar kesamaan agama. Demikian pula pola hubungan ini terjadi antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Pala dengan mendirikan Wihara Nalanda di India Timur.
Sriwijaya bukan cuma dikenal sebagai kerajaan besar saja. Nama Sriwijaya juga sering disebut-sebut dalam berita asing sebagai pusat peradaban dan pengetahuan Buddhis. Bhiksu terkenal Tiongkok, I-tsing, pernah mengatakan, di Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi, terdapat perguruan tinggi agama Budhha yang cukup baik, dengan lebih dari 1.000 orang bhiksu. Selain memberi pengajaran agama Buddha, para bhiksu itu juga melakukan penelitian dan mempelajari ilmu-ilmu yang ada. Masih menurut I-tsing, sebelum belajar Buddhisme ke Nalanda, India, sebaiknya singgah dulu dua atau tiga bulan di Sriwijaya untuk mendalami pengetahuan agama Buddhia dan mempelajari Bahasa Sanskerta. Di kawasan Asia saat itu memang ada dua pusat studi agama Buddha yang sangat terkenal, yaitu di Nalanda dan Sriwijaya sendiri. Keduanya memiliki hubungan istimewa yang tercatat dalam sejarah. Sebagaimana dituliskan dalam Prasasti Nalanda (abad ke-9 Masehi), Raja Dewapaladewa —dari Dinasti Pala, India— memberi izin kepada raja Sriwijaya, Balaputeradewa, untuk mendirikan asrama di kompleks wihara Nalanda. Permintaan Balaputeradewa agar Dewapaladewa membebaskan pajak bagi beberapa desa di sekitar Nalanda, demi pemeliharaan asrama tersebut, juga dikabulkan. Hubungan damai yang dijembatani oleh agama ini tetap terus berlangsung hingga ke masa-masa berikutnya.
Sang Tarusbawa, Maharaja Sunda Pertama (669-723M) Ilustrasi: admin Historiana |
Menurut beberapa literatur sejarah Sunda, wilayah kerajaan Sunda dibatasi Sungai Citarum di sebelah timur hingga ke barat pulau Jawa. Pada kesempatan lain wilayah Sunda menyatu dengan Kerajaan Galuh hingga batas sungai Cipamali Brebes Jawa Tengah. Jika melihat sejarah Kerajaan Sunda sejak tahun 699 M (abad ke-7) hingga burak atau runtuh tahun 1579 M (Abad ke-16), setidaknya ada beberapa raja Sunda yang 'menyaksikan' pembangunan Percantian Batujaya-Pakisjaya dalam rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-12 M. Dari 40 daftar raja-raja Sunda-Pajajaran yang berkuasa, terdapat 25 raja yang 'menyaksikan' pembangunan percandian ini, ataukah para raja ini tidak mengetahuinya? Berikut daftar 25 raja Sunda dalam rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-12 M:
- Rakeyan Sundasembawa Sang Tarusbawa/ Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa (669 - 723)
- Rakeyan Mataram/Rakeyan Jambri Prabu Harisdarma rahyang Sanjaya (723 - 732)
- Rakeyan Panaraban Prabu Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Rakeyan Hujung Hulon Prabu Gilingwesi (783 - 795)
- Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara (795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Rakeyan Windusakti Prabu Darmaraksa (891 - 895)
- Rakeyan Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi Sang Mokteng Hujungcariang (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 - 942)
- Rakeyan Watuagung Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Prabu Limbur Kancana Sang Mokteng Galuh Pakuan Tapakmanggala Jayasatru (954 - 964)
- Rakeyan Sundasambawa Prabu Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Wulung Gadung Sang Mokteng Jayagiri (973 - 989)
- Rakeyan Gendang Prabu Brajawisésa (989 - 1012)
- Prabu Déwa Sanghyang Sang Mokteng Patapan (1012 - 1019)
- Prabu Sanghyang Ageung (1019 - 1030)
- Prabu Detya Maharaja Sri JayabhupatiJayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandaleswara Nindita Harogowardhana Wikramattunggadewa (1030 - 1042)
- Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Salakasundabuana Sang Mokténg Winduraja (1042 - 1065)
- Prabu Langlangbumi Sang Mokténg Kerta (1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur Langlangbhumisutah (1155 - 1157)
- Prabu Darmakusuma Sang Mokténg Winduraja (1157 - 1175)
- Rakeyan Saunggalah Prabu Darmasiksa Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
Versi Videonya..
Rentang
waktu keberadaan percandian Batujaya-Pakisjaya ini, bisa jadi dilihat
dan diketahui oleh Rakeyan Sundasambawa Maharaja Tarusbawa hingga
Rakeyan Saunggalah Prabu Darmasiksa Sanghyang Wisnu. Sedangkan dalam
kronologi sejarah Tarumanagara, bahwa agama resmi Kerajaan ini adalah
Hindu Waisnawa (penyembah Dewa Wisnu). Bisa jadi keberadaan candi-candi
ini wujud toleransi yang tinggi di zaman itu. Namun sayang, belum
ditemukan literatur mengenai keberadaan percandian Batujaya-Pakisjaya
ini dengan para raja di Kerajaan Sunda.
Referensi
- "Candi Situs Batujaya" perpusnas.go.id Diakses 13 September 2020.
- "Kompleks Percandian Batujaya Resmi Jadi Kawasan Cagar Budaya Nasional" Kompas.com - 04/04/2019 Diakses 13 September 2020.
- "Percandian Batujaya, Dibangun di Atas Pemakaman" Penulis Dit. PCBM - 16 April 2018 kemdikbud.go.id Diakses 13 September 2020.
- "Sriwijaya dan Nalanda: Hubungan Damai Dijembatani Agama" Penulis bpcbjambi - 27/08/2018 kemdikbud.go.id Diakses 13 September 2020.