Cari

Gambaran Konstruksi Keraton Surawisesa di Galuh Pakuan Kerajaan Galuh | Tri Tangtu di Buana

Ilustrasi Mandala

 

[Historiana] - Salah satu naskah Sunda yang memberi gambaran tentang struktur serta konstruksi kompleks keraton Galuh adalah naskah berbahan lontar yang ditulis oleh Kai Raga di Kamandalaan Gunung Kumbang, yang berjudul Carita Ratu Pakuan. Berikut ini kutipan dari naskah tersebut: 

Dicarita Ambetkasih,
(Tersebutlah Ambetkasih,)
kadeungeun sakamaruan,
(diiring para madunya,)
bur payung agung ngawah tugu,
(mengembanglah payung kebesaran ngawah tugu,)
nu saur manuk sabda tunggal,
(mereka yang sepakat pada merestui,)
nu dék mulih ka Pakuan.
(yang hendak kembali ke Pakuan.)
Saundur ti dalem timur,
(Sekepergiannya dari istana timur,)
kadaton wétan buruan,
(pelataran keraton timur,)
Si Mahut Putih Gedémanik,
(Si Mahut Putih Gedemanik)
Mayadatar ngarana.
(Mayadatar namanya.)
Sunialaya ngarana,
(Sunialaya namanya,)
dalem Sri Kancana Manik,
(istana Sri Kancana Manik,)
bumi ringgit cipta ririyak,
(rumah berukir dibuat gemerlapan,)
di Sanghiyang Pandan Larang,
(di Sanghiyang Pandan Larang,)
dalem Si Pawindu Hurip.
(istana si Pawindu Hurip.)
Bumi hiji beunang ngukir,
(Rumah pertama yang penuh ukiran,)
Kadua beunang ngaréka,
(yang kedua rumah penuh ukiran,
Katiluna bumi bubut,)
(yang ketiga rumah penuh bubutan halus,)
Kaopatna limas kumureb,
(yang keempat berbentuk limas kumureb,)
Kalimana badawang sarat,
(yang kelima tembus pandang sejagat,)
Kagenepna bumi tepep,
(yang keenam rumah beratap tumpul,)
Katujuhna hanjung méru,
(yang ketujuh anjungan pagoda,)
Kadalapan tumpang sanga,
(yang kedelapan berumpak sembilan,)
Kasalapan pagencayan.
(yang kesembilan rumah gemerlap.)

Berbeda dengan kota-kota yang berakar pada tradisi Hindu-Buddha, Kota Galuh Pakwan adalah sebuah produk budaya dari masyarakat Sunda pada masa lampau (pra-kolonial) dengan konsep tata ruang kota “modern” yang bersinergi dengan alam setempat. 

Menurut Nina Lubis, Galuh Pakuan adalah Kabuyutan. Kabuyutan bisa didefinisikan sebagai lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan (keraton/istana, tempat keagamaan, permakaman, dsb.)  (Darsa, 2015:17). Kabuyutan juga mengacu kepada dimensi gaib atau suci, yang bersifat tangible (fisik) ataupun yang bersifat intangible (makna  dari sebuah wujud fisik), atau sebuah tempat di mana wujud fisik tersebut berada.  Wujud fisik tersebut bisa sebagai manusia, situs (lahan, lokasi, tata ruang alam), atau benda-benda yang dianggap memiliki daya magis seperti: keris, pohon yang berumur tua, tempat pertapaan, dan gunung-gunung (Saringendyanti, 2018: 52). 

Dalam kebudayaan Sunda kuna "tradisi megalitik" adalah perwujudan dari pengaruh landasan nilai spiritual para karuhun yang merupakan kunci guna lebih mengenali jati diri kepribadian budaya dan bangsa. Sunda yang wiwitan dengan aspek dan perangkat simbolnya disebut dengan nama kabuyutan. Hingga masa Hindu-Buddha, di Tatar Sunda banyak ditemukan sejumlah bangunan berundak yang sebagian besar menempati bukit, gunung atau dataran tinggi, dan lingkungan pegunungan yang disebut parahyangan. Bentuk lain dari landasan nilai spiritual adalah batu datar atau batu tegak yang ditempatkan begitu saja pada suatu bukit atau teras–teras dengan elevasi rendah pada suatu dataran tinggi dengan orientasi ke gunung tertentu.

Niskalawastu Kancana memindahkan pusat pemerintahan dari Bojong Galuh (Karangkamulyan) ke Kawali yang bernama Kadatuan Surawisesa. Dalam prasasti Kawali I disebutkan bahwa ia memperbaiki kompleks keraton yang memang telah ada, serta membuat saluran/parit sebagai fungsi pertahanan.

 

Kompleks Keraton Surawisesa

Keraton Surawisesa menjalankan fungsi pemerintahan sebagai ibukota Kerajaan Galuh pada saat Niskala Wastukancana berkuasa (1371–1475 M), hal ini berdasarkan informasi yang tertulis pada prasasti Kawali I dan naskah Carita Ratu Pakuan (Lubis, dkk., 2013: 181). 


Prasasti Kawali I

Terjemahan bagian muka menurut pembacaan Hasan Djafar sebagaimana dikutip oleh Lubis, dkk., (2013: 15) menjelaskan: 

inilah jejak (tapak) kawali yang Mulia tapa ba-ga Parebu Raja Wastu,  bertahta  di  benteng  Kawali yang memperindah Kadatuan Surawisesa, yang mendirikan pertahanan di sekeliling [kerajaan] dan yang menyuburkan seluruh wilayah pemukiman, kepada yang datang hendaknya menjaga keindahan tempat ini agar berjaya di dunia.

Teks bagian tepian menurut pembacaan Djafar dan terjemahan Ayatrohaedi sebagaimana dikutip oleh Lubis, dkk. (2013: 15) menjelaskan: 


hayua dicawuh-cawuh
hayua diponah-ponah
inya neker inya angger
inya ninycak inya rempag

“jangan dimusnahkan!
jangan disemena-menakan!
ia dihormati ia tetap
ia diinjak ia roboh”.

Sementara itu, menurut isi naskah Carita Ratu Pakuan (Darsa, 2007: 204-205), yang lebih bercerita tentang penggambaran tata ruang arsitektur di dalam kompleks Keraton Surawisesa di masa Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja dengan istri pertamanya, Sakyan/Nhay Ambetkasih. Kutipannya sebagai berikut:

Tersebutlah Ambetkasih, diiring para madunya, mengembanglah payung kebesaran ngawah tugu, mereka yang sepakat pada merestui, yang hendak kembali ke Pakuan. Sekepergiannya dari istana timur, pelataran keraton timur, Si Mahut Putih Gedemanik. Mayadatar namanya. Sunialaya namanya, istana Sri Kancana Manik, rumah berukir dibuat gemerlapan, di Sanghiyang Pandan Larang, istana Si Pawindu Hurip. Rumah pertama yang penuh ukiran, yang kedua penuh hiasan, yang ketiga rumah dibentuk halus, yang keempat berbentuk limas kumureb, yang kelima tembus pandang sejagat, yang keenam rumah tepep, yang ketujuh anjungan pagoda, yang kedelapan berumpak sembilan yang kesembilan berkilauan. Anjungan berderet dengan bale-bale, bale-bale berderet dengan anjungan, namanya istana Kalangsu. rumah Permata Gemerincing, namanya Ganggang Hotapih. Gemerisik di sanghyang Sumur Bandung... 

 




Tata ruang kompleks Keraton Surawisesa terdiri dari tiga zona, yaitu Keraton Sri Kancana Manik  (Dalem  Sri Kancana Manik), Keraton Kalangsu (Dalem Kalangsu), dan Keraton Si Pawindu Hurip (Dalem Si Pawindu Hurip), yang  melintang  dari  arah  timur  laut-barat daya  mengikuti  kontur  bukit  (Lubis,  dkk., 2013:  218).  Keraton Sri Kancana Manik merupakan area sakral (istana dan tempat beribadah raja), sedangkan Keraton Si Pawindu Hurip sebagai area profan (terdiri dari bangunan-bangunan fungsi publik), dan Keraton Kalangsu berfungsi sebagai ruang transisi. Konsep pembagian tata ruang  antara  ruang  privat,  ruang  transisi dan ruang publik (sakral - transisi - profan) dipakai  hampir di seluruh kota kuno di Nusantara. 



Dari uraian tersebut didapat gambaran tentang urutan tata ruang kompleks  Keraton  Surawisesa,  baik  dari segi  pembagian  zona  fungsi  ruang  dengan area  transisinya,  maupun  orientasi  secara kosmologisnya.


Pemerintahan Kerajaan Galuh

Pemerintahan Kerajaan Galuh memiliki kekhasannya sendiri, yaitu terbagi dalam tiga kekuasaan. Prebu-Rama-Resi. Tiga kekuasaan itu disebut Tri Tangtu di Buana. Dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Ng Karesian (ditulis 1518) disebutkan :

Ini ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ ka prebu, sabda kita pina/h/ ka rama, h(e)dap kita pina/h/ka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Ini triwangsa di lamba, Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya (Danasasmita dkk,1987: 90)

 

Terjemahan kurang lebih adalah sebagai berikut:

Ini ujar sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya (Danasasmita dkk, 1987:114-115)

 
Prebu adalah pemegang tampuk pemerintahan yang utama. Prebu menjalankan fungsi eksekutif atau pemerintahan. Prebu inilah yang disebut Raja Galuh dan tinggal menetap di keraton yang terletak di ibukota kerajaan sebagai pusat pemerintahan. Lalu yang kedua adalah Rama. Rama kurang lebihnya berfungsi sebagai penasehat atau badan legislatif yang berfungsi juga sebagai penasehat dan pembimbing. Tempat tinggal Rama ini adalah Keramaan atau Kebataraan. Letaknya di luar ibu kota kerajaan. Kemudian yang ketiga adalah Resi. Resi berfungsi sebagai pengadilan atau badan yudikatif. Resi tinggal di Karesian. Letaknya juga di luar ibukota negara seperti halnya Kebataraan (Lubis dkk, 2013: 207).

Ketiga kekuasaan tersebut yang membentuk suatu segitiga pemerintahan dalam Kerajaan Galuh yang disebut Tri Tangtu di Buana. Ketika Karangkamulyan menjadi pusat pemerintahan kerajaan atau tempat bertahtanya Prebu maka yang diduga menjadi tempat Keramaan adalah Galunggung, dan yang diduga tempat Karesiannya adalah di daerah yang bernama Denuh di Ciamis sedangkan Astana Gede sebelum menjadi tempat bertahtanya Wastu Kencana diduga menjadi Kabuyutan suatu tempat pemujaan atau Balay Pamujan (Kartakusuma, 2015). Begitu pula ketika Astana Gede Kawali menjadi pusat pemerintahan Wastu Kencana maka Rama diduga tetap bertempat di Galunggung dan Denuh diduga menjadi tempat Resi sehingga Tri Tangtu di Buana Kerajaan Galuh itu adalah Prebu bertahta di Karangkamulyan dan Astana Gede, Resi berada di Denuh dan Rama berada Galunggung.
 
 

Birokrasi dalam Kerajaan Galuh

Birokrasi dalam Kerajaan Galuh tidaklah banyak diketahui. Raja adalah penguasa tertinggi dalam kerajaan. Seperti telah disebutkan diatas bahwa dalam pola pemerintahan Sunda Tri Tangtu di Buana, raja disebut Prebu. Dia bertahta di keraton yang menjadi tempat tinggalnya dan sekaligus menjadi pusat pemerintahannya. 

Selain raja di keraton biasanya terdapat Putra Mahkota. Putra Mahkota adalah seorang yang dididik dan dipersiapkan untuk menjadi pengganti raja jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Sebagai perbandingan, pada Kerajaan Sunda seorang Putra Mahkota tidak selalu berasal dari anak raja yang tengah bertahta, bisa juga berasal dari raja-raja bawahan yang berkuasa di daerah dalam kekuasaan Kerajaan Sunda. 

Selanjutnya, Prebu atau seorang Raja Kerajaan Sunda, dalam pemerintahannya dibantu oleh seorang Mangkubumi dalam melaksanakan tugas sehari-hari pada pusat pemerintahan kerajaannya. Mangkubumi dibantu oleh beberapa orang yang jabatannya disebut Nu Nangganan. Seorang Nu Nangganan akan dibantu oleh beberapa pejabat yang disebut Mantri. Kemudian seorang Mantri akan dibantu oleh beberapa Wado. Para Wado itu kemudian yang akan berhubungan langsung dengan rakyat di kerajaan tersebut. Hal tersebut tertulis dalam Sanghyang Siksakandang Karesian sebagai berikut:

Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, wado bakti di mantra, mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebakti ngara(n)na (Danasasmita dkk, 1987: 74) 


Terjemahannya kurang lebih adalah sebagai berikut:  

Ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak, istri tunduk kepada suami, hamba tunduk kepada majikan, siswa tunduk kepada guru, petani tunduk kepada wado, wado tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk dewata, dewata tunduk kepada hyang. Ya itulah yang disebut dasa prebakti (Danasasmita, 1987: 96)

 
Selain itu Sanghyang Siksakandang Karesian juga menyebutkan :

Ini na pamanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantra bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti ka ratu, ratu bakti di dewata. (Danasasmita, 1987: 86)

 
Terjemahannya kurang lebih adalah demikian:

Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan batara di dunia agar teguh menjadi “permata di dalam sangkar” untuk cahaya seluruh dunia. Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada mangku bumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata (Danasasmita, 1987: 110)

Dalam pemerintahan daerah, Prebu atau raja akan dibantu oleh raja-raja daerah. Raja-raja daerah ini jabatannya disebut Tumenggung Adipati. Dalam tugas sehari-hari para raja daerah ini berlaku layaknya raja merdeka walaupun masih mengakui raja di pusat pemerintahan kerajaan sebagai tuan yang utama mereka. Di pelabuhan terdapat pejabat yang bergelar Syahbandar yang tugasnya mewakili raja dalam mengurus masalah perdagangan di pelabuhan (Nastiti, 2012: 254). 

Selain itu, ada pejabat lain yang tugasnya memungut pajak. Gelar jabatan itu biasanya disamakan dengan nama pajak yang mereka pungut dari rakyat. Para penarik pajak itu disebutkan dalam Sanghyang Siksakandang Karesian dengan nama-nama pangurang, dasa, calagara, upeti panggeres reuma (Danasasmita dkk, 1987: 78). Pada umumnya disebut Pangurang. Akan tetapi, biasanya disebut dengan nama yang sama dengan nama pajak yang dipungutnya. Misalnya Dasa yang merupakan pajak dalam bentuk tenaga perseorangan. Calagara adalah pajak dalam bentuk tenaga kolektif. Kapas Timbang sering disebut juga upeti yang berupa pajak kapas sebanyak 10 pikul yang harus diberikan kepada penguasa daerah atau penguasa pusat. Lalu Pare Dongdang atau Panggeres Reuma adalah pajak berupa sisa-sisa hasil panen dari ladang yang harus diberikan pada penguasa daerah atau penguasa pusat.

Selain itu, masih ada Beya yaitu semacam retribusi yang dipungut oleh seorang petugas di pelabuhan, muara sungai, tempat penyeberangan dan tempat tempat tertentu lainnya. Pemungutnya sering disebut dengan Beya (Nastiti, 2012: 255). Jadi, birokrasi yang berlaku di Kerajaan Sunda, kemungkinan berlaku pula di Galuh mengingat hubungan yang erat di antara kedua kerajaan tersebut.

 

Agama dan Budaya

Agama yang dianut Raja-raja Sunda adalah agama Hindu terutama Hindu Saiwa. Namun toleransi Raja-raja Sunda cukup besar sehingga ada juga masyarakat yang beragama Hindu Waisnawa dan kerajaan bawahan, yaitu Kerajaan Talaga yang beragama Budha. Hal ini dibuktikan dalam prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), prasasti Kawali, naskah Carita Parahiyangan naskah Sewaka Darma (abad ke-16), atau Serat Dewa Budha (1435 M), Serat Catur Bumi, naskah Sanghyang Raga Dewata, Kawih Paningkes, naskah Jati Niskala, serta naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian (1518 Masehi).

Namun perlu dijelaskan bahwa sejak akhir abad ke-15, muncul ajaran agama yang menekankan pemujaan terhadap hiyang, yang ditunjukkan oleh adanya “penurunan” derajat dewata berada di bawah hiyang. Hal ini secara implisit dapat dibaca pada naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian, yaitu:
“...ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang ...” ‘...raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang ...’ (Danasasmita, 1987: 74) Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental (1513-1515), menulis demikian:”...Raja Sunda memuja berhala, demikian pula semua pembesar kerajaannya...”. (Heuken, 1999: 7)
 

Lebih rendahnya kedudukan dewa-dewa mengakibatkan ajaran Hindu yang dianut tidaklah sepenuhnya dijalankan sesuai dengan ajaran dari tempat aslinya, terbukti bahwa Raja-raja Sunda tidak terlalu menekankan pada pembangunan candi-candi atau pembuatan arca-arca dewa yang monumental seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jadi, tidak mengherankan juga bahwa di Tatar Sunda, tidak banyak ditemukan candi karena kedudukan leluhur tertinggi yang diwujudkan dalam “hyang” lebih diutamakan daripada para dewa Hindu/Buddha. Hal itu sejalan dengan kelanjutan isi naskah itu ketika mengisahkan penguasa alam selesai menciptakan dunia (Danasasmita, 1987: 86)

/ ....Sakala batara jagat ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara! Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan pretyasa.

Terjemahannya sebagai berikut.

‘Suara penguasa alam ketika menyempurnakan dunia abadi. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Semua menemukan “yang Hak” dan “yangWujud”’.

Dari kutipan di atas jelas bahwa hiyang adalah Batara Seda Niskala ‘Tuhan yang maha gaib’ yaitu tokoh tertinggi yang dipercaya sebagai tujuan akhir perjalanan bakti manusia. Juga dibedakan antara tempat kedudukan hiyang di kahyangan dan tempat dewa di surga. Orang dapat masuk ke surga dengan cara munggah, dan dapat masuk ke kahiyangan dengan cara mokta. Sementara itu, dalam naskah Sewaka Darma disebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai kelepasan jiwa akan datang di kahiyangan. (Danasasmita, 1987: 53) Kepercayaan tentang alam semesta atau kosmologi pada masa Kerajaan Sunda tergambar dalam naskah yang berupa bundel nipah berjudul Sang Hyang Hyu ‘Tuntunan Kebajikan’. Isinya, antara lain, menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem kosmologi Sunda yang berdasarkan konsep triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’ yang terbagi ke dalam (1) susunan dunia bawah, saptapatala ‘tujuh neraka’, (2) buhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‘tujuh sorga hingga alam mahagaib yang tak bisa ditembus oleh makhluk halus apa pun karena tempat itu adalah persemayaman Dzat Tunggal Maha Kuasa, Hyang Manon’. Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada, yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’. Dijelaskan pula dalam teks naskah ini mengenai adanya hubungan antara jagat raya “makrokosmos” dengan jagat kecil “mikrokosmos” dalam raga manusia. Ini menggambarkan bahwa, konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis selalu bersifat triumvirate.

Dalam tatanan ini, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Sapta-patala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala ‘neraka terdalam yang sangat mengerikan’. Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta artaloka ‘sorga tertinggi’. 

Setelah saptabuana masih ada tempat tujuh susun yang bersuasana “sunyi-hampa”, yaitu sunya, atisunya, paramasunya, atyantasunya, nirmalasunya, suksmasunya, dan acintyasunya. Di atasnya lagi adalah tujuh susun yang berupa tempat “kesirnaan-lenyap”, yaitu taya, atitaya, paramataya, atyantataya, nirmalataya, suksmataya, dan acintyataya.

Kemudian, di atas tempat tersebut masih ada tempat yang dinamakan abyantarataya ‘bagian terdalam kesirnaan’. Abyantarataya artinya tidak dapat terjangkau oleh cahaya bintang, bulan, matahari, pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh ‘partikel-partikel kecil, atom’, dan berbagai suara mahluk hidup. Semua itu tidak akan pernah sampai ke sana. Setelah abyantarataya adalah pancatanmantra ‘lima unsur halus’ yang terdiri atas buddi ‘bijak’, guna ‘pandai’, pradana ‘saleh’. Di atas itu terdapat sunyataya nirmala ‘kesunyisenyapan suci abadi’; dan berakhir pada kanirasrayan ‘kemahakuasaan/kebebasan tertinggi’, yakni takdir.

Hal tersebut adalah salah satu tugas para mahaguru untuk menjelaskannya, di samping terus berlomba dalam belajar serta beribadah demi mencapai kesempurnaan hidup, baik di sakala ‘dunia kini’ maupun di niskala ‘akhirat kelak’. Pada bagian berikutnya ditegaskan bahwa tidak ada lagi tempat selain yang telah disebutkan tadi.

Alam semesta ini kenyataannya tanpa batas. Yang namanya arah penjuru angin (utara-timur laut-timur-tenggara-selatan-barat daya-barat-barat laut), atas maupun bawah itu hakikatnya hanya ada dalam angan-angan. Di dalam angan-angan itu pulalah bahwa sorga itu adanya di atas, tempat para ruh halus, seperti ruh para mahluk suci, ruh para leluhur, dan ruh para pemimpin yang saleh. Para pandita ‘kaum cendikia’ menyerukan kepada semua manusia untuk senantiasa memperhatikan Sang Hyang Darma ‘Kitab Suci Petunjuk Keadilan’. Setiap manusia harus dapat melepaskan diri dari kebodohan. Lihatlah ahli bangunan, pelukis, pemahat, perangkai bunga, dan pekerja lainnya, termasuk pula bermacam ajian berupa ayat-ayat suci dan doa-doa.

Semua itu adalah kepandaian yang harus dianggap sebagai pangkal ilmu pengetahuan. Inilah yang dinamakan Sang Hyang Ajnyana ‘Ilmu Pengetahuan’ yang harus dicari para siswa, yang pada hakikatnya sudah ada di dalam setiap diri manusia, hewan, dan tumbuhan.

Buana adalah bumi dan angkasa, sedangkan sarira adalah semua yang ada di bumi dan di angkasa serta di antara keduanya. Sarira di angkasa adalah benda-benda langit, seperti bulan, bintang, matahari, dan planet-planet lainnya pengisi jagat raya. Sarira di bumi adalah benda-benda bumi, seperti air, gunung, samudra, manusia, binatang, tumbuhan, dan sebagainya.

Semua itu ialah Sang Hyang Ajnyana ‘sumber ilmu pengetahuan’ Dinyatakan bahwa tanpa bayu, sabda, dan hedap manusia seolah-olah hanyalah bangkai-bangkai yang lama kelamaan busuk dan hancur. Segala mahluk beserta alam semesta ini hakikatnya ialah jelmaan tigarahasya dari unsur bayu sabda hedap yang bisa melenyapkan kebingunan dan kebodohan, dapat menyingkirkan sifat-sifat tamak, dendam, dan iri. Bayu sabda hedap harus digunakan untuk mempelajari kitab suci dan melaksanakan syariat peribadatan sehingga akan tercapai suatu kekuatan dan kemuliaan. Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung; lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar, terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat digunakan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap karena tak pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak bersisa.

Bagi para mahaguru, Sunyataya Paramarta Wisesa ‘Keagungan Keheningan Alam Sirna Abadi’ adalah tempat pengobar bayu guna melenyapkan kebingungan, kenikmatan tidur, dan nafsu birahi. Sedangkan Ajimantra Barali ‘Petunjuk Puja Illahi’ adalah alat pengobar sabda tatkala melantunkan ayat-ayat kitab suci. Kemudian, Yogasamadi ‘Kekhusukan’ merupakan upaya pengobar hedap untuk mengagungkan Sang Khalik. Seseorang dinyatakan sebagai pandita ‘cendikia’ jika memiliki: (1) Seruan berupa ilmu pengetahuan; (2) Kasih sayang berupa bayu sabda hedap; (3) Kesibukan untuk memberi petunjuk, memutuskan, menemukan, berwibawa, berkuasan, dan teguh.
 
Dijelaskan pula mengenai Astaguna “delapan kearifan’ sebagai pedoman yang harus diketahui dan dijiwai serta dilaksanakan oleh Sang Sewaka Darma ‘Para Pengabdi Hukum’, terutama bagi mereka yang memiliki jabatan sebagai pemimpin. Hal yang dimaksud masing-masing ialah (1) animan ‘berbudi halus/ramah, (2) ahiman ‘tegas’, (3) mahiman ‘berwawasan luas’, (4) lagiman ‘gesit-terampil’, (5) prapti ‘tepat sasaran’, (6) prakamya ‘ulet-tekun’, (7) isitwa ‘jujur’, dan (8) wasitwa ‘terbuka bagi kritik’.

Mengenai budaya waktu itu dapat dijejaki dari tinggalan yang ada. Namun, tidak banyak tinggalan budaya Sunda dari masa kuna yang bertahan hingga kini, kecuali tinggalan budaya yang terbuat dari bahan yang tahan lama, misalnya prasasti, bangunan suci, dan sebagian naskah yang terbuat dari lontar atau daun nipah. Mengenai arsitektur zaman Kerajaan Sunda, seperti yang diamati Tome Pires, telah dikemukakan. Hanya karena bahan bangunan kebanyakan dari kayu, tak ada bangunan yang tertinggal karena lapuk dan hancur dimakan waktu.

Dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, diketahui adanya para ahli sastra, lukis, ukir, gamelan, dan bahasa. Di antara para ahli itu, misalnya memen ‘dalang’. Ia mengetahui sejumlah cerita, antara lain Boma, Damarjati, Sanghyang Hayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarna, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Sumana, Tantri, Ranggalawe, Kalapurbaka, dan Jarini. Mengherankan juga jika pada masa itu prepantun ‘ahli pantun’, baru mengetahui empat buah cerita pantun, cerita-cerita yang pada umumnya dianggap asli Sunda, yaitu Langgalarang, Banyakcatra, Haturwangi, dan Siliwangi.

Berbagai jenis kawih seperti kawih pengpeledan, kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih babaha-nan, kawih bangbarongan, kawih sasambatan, kawih tangtung, bongbong kaso, parerane, dan porod orih dapat diperoleh penjelasannya dari paraguna.
 

Dalam pada itu, kepada hempul dapat ditanyakan beraneka permainan (pamacoh), dari ceta macoh, ceta nirus, noroy panca, tatapukan, bangbarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, munikon, lembur, ngadu lesung, asup kana lantar, sampai ngadu nini. Dalam kedua jenis kesenian itu ada petunjuk yang menarik. Ke dalam kelompok kawih disebutkan ada kawih bangbarongan, sedangkan ke dalam kelompok pamacohada yang disebut bangbarongan. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa itu, sangat mungkin sudah ada jenis permainan yang peragaannya harus diiringi nyanyian, yaitu bangbarongan.

Menurut Tome Pires (1513-1515), orang Sunda sudah mengenal berbagai jenis kain impor, sementara itu menurut naskah lokal, di dalam negeri juga dikenal kain-kain lokal, yaitu jenis-jenis batik (tulis), dengan ahlinya disebut lukis, antara lain pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisiringan, taruk hata, kembang tarate, sedangkan macam-macam ukiran seperti dinanagakon, dibarongkon, ditirupaksi, ditiruwere, dan ditirusingha dapat ditanyakan kepada marangguy yang ahli di bidang itu. Jika ingin tahu bahasa-bahasa yang dikenal di Nusantara oleh penduduk negara Sunda, dapat ditanyakan kepada jurubasa darmamurcaya. Bahasa asing pada waktu itu disebut carek paranusa, antara lain terdiri atas bahasa-bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Benggala, Makasar, Pahang, Palembang, Siem, Kalaten, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Tego, Pasay, Parayaman, Dinah, Nagaradekan, Andeles, Moloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Lawe, Saksak, Bali, Sebawa, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanagen, Kumering, Simpangtiga, Gumantung, Bubu, Manumbi, Nyiri, Sapari, Patukangan, Lampung, Surabaya, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Sologong, Cempa, Indragiri, Tanjungpura, Samapung, Baluk, dan Jawa. Disebutkannya nama-nama bahasa dan tempat itu sekaligus menjadi petunjuk, dengan daerah mana saja negara Sunda ketika itu bersentuh budaya, dan dalam kegiatan itu nampaknya peranan jurubasa darmamurcaya tidak dapat diabaikan. Tome Pires, memberikan kesaksian, bahwa bahasa Sunda jelas sekali berbeda dengan bahasa Jawa, meskipun berada dalam satu pulau (Ayatrohaedi dkk, 1987: 77; Danasasmita, 1987: 83-84; Heuken, 1999: 38)

Menurut naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, masyarakat telah mengenal berbagai macam keahlian pekerjaan atau mata pencaharian hidup seperti pandai besi, pandai emas, penangkap ikan, peternak, dan petani. Pertanian (terutama di ladang) merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sunda, sehingga hasil pertanian disebutnya permata yang keluar dari bumi.

Bukti atau petunjuk mengenai masyarakat ladang itu terdapat bukan saja terdapat dalam sumber sastra tulis, tetapi juga dalam sastra lisan. Dalam naskah Carita Parahiyangan misalnya, hanya satu kali disebutkan sawah, itupun dalam hubungannya dengan nama tempat yang disebut sawah tampian dalem, tempat dipusarakannya Ratu Dewata. Petunjuk selebihnya mengarah kepada masyarakat ladang, dimulai dengan informasi tentang kelima orang titisan pancakusika, tiga orang di antaranya menjadi pahuma (peladang), panggerek (pemburu), dan penyadap (penyadap) yang ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Di dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, menyebutkan sejumlah perkakas yang umumnya merupakan alat untuk bekerja di ladang seperti: kujang, patik, baliung, kored, dan sadap. 

Kehidupan di ladang akan membentuk manusia yang berwatak ladang. Ciri yang paling menonjol dari masyarakat ladang itu adalah selalu berpindah tempat. Keadaan ini secara langsung turut mempengaruhi bentuk bangunan tempat mereka tinggal yang terkesan sederhana. Demikian juga dengan hasil budaya lainnya seperti sarana peribadatan, tradisi tulis, baik bentuk tulisan maupun sarana penulisan, hasil sastra dan seni lainnya. Dengan memperhatikan pola hidup seperti itu, dapatlah dimengerti keunikan budaya masyarakat Sunda yang sisa-sisanya ditemukan pada masa kini.
Dalam kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan pertanian, dan aktivitas lainnya dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sunda masa lampau telah mengenal alat yang disebut kolenjer untuk menghitung hari yang dianggap baik untuk melakukan suatu aktivitas. Bentuknya berupa titik-titik dan garis-garis yang membentuk kotak-kotak tertentu. Jumlah titik-titik dalam satu kotak mempunyai arti tertentu dan tafsiran tersendiri. Demikian juga dengan semua tanda yang digoreskan dalam kolenjer itu mempunyai arti yang tertentu pula.


Referensi

  1. Budimansyah, Nina Herlina Lubis dan Miftahul Falah. 2020. "Tata Ruang Ibukota Galuh Pakwan sebagai ibukota terakhir Kerajaan Galuh". Jurnal Patanjala Vol. 12 No. 2 Oktober 2020: 123-139. jurnalpatanjala.kemdikbud.go.id [PDF] Diakses 18 November 2021.
  2. Danasasmita,  Saleh  dkk.  1987.  "Sewaka  Darma,  Sanghyang  Siksakandang  Karesian, Amanat  Galunggung; Transkripsi  dan Terjemahan". Bandung:  Bagian  Proyek Penelitian  dan  Pengkajian  Kebudayaan  Sunda  (Sundanologi) Direktorat  Jenderal  Kebudayaan  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan. 
  3. Heuken, S.J. 1999  : 3 "Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta". Jilid I. Jakarta: Ciptaloka Caraka. 
  4. Kartakusuma, Richadiana. 2015. "Situs Kawali (Astana Gede), Desa Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis (Jawa Barat); Salah satu Balay Pamujan/ Kabuyutan  Kerajaan  Galuh-Priangan  Timur". Makalah FGD 29 September 2015 Bandung. 
  5. Lubis, Nina Herlina dkk. 2003. "Sejarah Tatar Sunda  jilid  1".  Bandung:  Lembaga Penelitian Unpad. 
  6. Lubis, Nina  Herlina  (dkk.).  2013.  "Sejarah Kerajaan  Sunda".  Bandung:YMSI Cabang  Jawa  Barat  Bekerja  Sama dengan MGMP IPS SMP  Kabupaten Purwakarta.
  7. Lubis, Nina Herlina (dkk.). 2016. "Rekonstruksi Galuh Raya di abad ke-VIII-XV". Jurnal Paramita Vol. 26 No. 1 - Tahun 2016 [ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825] Hlm. 9—22  [pdf] Diakses 18 November 2021.
  8. Tim  Peneliti.  2003.  "Laporan  Hasil  Penelitian Arkeologi  Klasik  di  Situs  Astana  Gede, Kecamatan  Kawali,  Kabupa ten  Ciamis, Propinsi  Jawa  Barat".  Bandung:  Balai Arkeologi  Bandung  (Tidak  diterbitkan).

Baca Juga

Sponsor