Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani. Nama Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin Abi Shalih Zango Dost Al-Jaelani. Ia lahir di Jailan atau Kailan pada 470 H/1077 M, sehingga di akhir namanya ditambahkan kata Al-Jaelani atau Al-Kailani atau juga Al-Jiliydan.
Adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H atau 1077 M selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H atau 1166 M.
Ia adalah orang Kurdi atau orang Persia. Syeikh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam.
Nama-nama transliterasi antar bahasa Nama Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga dilafalkan Abdulqadir Gaylani, Abdelkader, Abdul Qadir, Abdul Khadir - Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani, Gilani, Al Gilani, Keilany.
Masa Muda Syeikh Abdul Qadir Jaelani
Dalam usia 18 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad dia belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim. Dia menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat dia. Banyak pula orang yang bersimpati kepada dia, lalu datang menimba ilmu di sekolah dia hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Kisah Taubatnya seorang kepala perompak
Aku bergabung dengan sebuah kafilah yang pergi ke Baghdad. Ketika kami telah meninggalkan Kota Hamadan, sekelompok perompak jalanan, enam puluh penunggang kuda yang gagah menyerang kami. Mereka mengambil segala sesuatu yang dibawa kafilah tersebut.
Adegan Perompakan kafilah yang didalamnya ada Syeikh Abdul Qadir Jaelani muda Film youtube |
Salah seorang diantara mereka datang kepadaku dan bertanya, “Hai anak muda, harta apa yang engkau miliki?” aku menceritakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh keping emas. Dia bertanya, dibertanya dimana kau simpan? Aku mengatakan, “dibawah lenganku”.
Dia tertawa dan meninggalkanku sendirian. Penjahat lainnya datang dan menanyakan hal yang sama dan aku pun mengatakan hal yang sebenarnya, dia juga meninggalkanku, aku pikir mereka pasti hendak mengadukan hal tersebut kepada pemimpinnya, dimana mereka sedang membagikan hasil rampasan, pemimpin mereka bertanya tentang barang berharga milikku. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh keping emas yang dijahit dimantelku (baju) di bawah ketiak.
Dia (pemimpin perompak) lalu mengambil mantelku (baju) merobek (mengoyak) dibagian lengan, dan menemukan emas tersebut. Kemudian dia bertanya kepadaku dalam ketakjuban “uangmu (hartamu) telah aman, malah kau menceritakan kepada kami bahwa engkau memilikinya dan memberitahukan tempat engkau menyembunyikannya?”
Aku menjawab, “aku harus mengatakan yang benar dalam apa keadaan apapun, sebagaimana yang telah aku janjikan kepada ibuku”.
Ketika pemimpin perompak mendengar hal itu, ia menitiskan air mata dan berkata, “aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku, aku mencuri dan membunuh. Apa yang akan terjadi padaku?.
Dan perompak lain (anak-anak buahnya) memandangnya sambil berkata, “engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa ini, sekarang juga engkau tetap menjadi pemimpin kami dalam penyesalan”.
Keenam puluh orang itu memegang tanganku dan menyatakan penyesalannya serta keinginannya untuk mengubah jalan mereka, mereka merupakan orang pertama yang memegang tanganku dan memohonkan ampunan kepada Allah atas dosa-dosa mereka”.
Kisah di atas adalah secuil dari kisah keajaiban yang dinisbatkan pada Syaikh Abdul Qadir Jaelani
Awal kemasyhuran
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan contoh tauladan terbesar dari kenyataan bahwa dalam Islam mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban suci untuk semua orang lelaki dan perempuan dari ayunan (buaian) hingga liang kubur. Dia menjadi orang bijak terbesar dizamannya, dia menghafal Al-Quran Al-Karim dan mempelajari penafsirannya (tafsir) dari Ali Abul Wafa Al-Qail,Abu Khaththab Mahfuzh dan Abul Hasan Muhammad Al-Qadhi.
Menurut beberapa sumber,Abdul Qadir Al-Jailani belajar dengan Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin Muharrami, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad. Meskipun telah mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan tentang jalan mistik dari Syeikh Hammad Ad-Dabbas dan memasuki jalan tasawuf melalui tangannya, namun Syeikh Abdul Qadir Al-Qadir Al-Jailani telah diberi Khirqah (jubah kesufian) sebagai simbol dari jubah Rasulullah SAW oleh Qadhi Abu sa’id.
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushola. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum.
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa karya Syekh Abdul Qodir Jaelani antara lain Al-Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq dan Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelisnya. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunah.
Syekh Abdul Qodir adalah seorang alim, salafi, sunni, namun banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas namanya. Sedangkan ia berlepas diri dari semua kebohongan itu.
Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang ulama besar, yang juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia; Tarekat Qodiriyah.
Apabila sekarang ini banyak kaum Muslimin menyanjung-nyanjung dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajatnya di atas Rasulullah SAW, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun.
Adapun sebagian kaum Muslimin yang menjadikan Syekh Abdul Qodir Jaelani sebagai wasilah (perantara) dalam doa mereka, berkeyakinan bahwa doa seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.
Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara tidak ada syariatnya, dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdoa kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab doa merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah.
Allah SWT melarang mahluknya berdoa kepada selain Dia.
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah." (QS Al-Jin: 18)
Sudah menjadi keharusan bagi setiap Muslim untuk memperlakukan para ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariat.
Akhir masa Hidup Syeikh Abdul Qadir Jaelani
Syekh Abdul Qadir Jaelani meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.
”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”
Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.
Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”
”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.
Sumber:
wikipedia
Nu.or.id
Republika.co.id