Cari

Carita Pantun Sunda | Kesusastraan Sunda




[Historiana] - Cerita Pantun ialah sekelompok cerita yang biasa dituturkan oleh para juru pantun pada pertunjukan khusus yang disebut pantun.  Dalam bentuknya yang utuh, cerita pantun adalah cerita panjang, yang umumnya cukup untuk penuturan semalam suntuk. Sekalipun belum didefinisikan secara tegas dan terperinci, kelompok cerita itu memiliki kekhasan yang dapat membedakannya dari cerita lain. Dari segi isi, misalnya, hampir seluruh cerita pantun menceritakan raja Pajajaran, keturunannya, atau leluhur Pajajaran dalam pengukuhannya sebagai penguasa yang disegani, tempat mengabdi. Di samping itu, terdapat pula satu dua cerita yang semula tidak pernah disebut sebagai cerita pantun. Misalnya, cerita Sangkuriang.

Terdapatnya kelompok cerita ini di lingkungan budaya Sunda dapat dipastikan sudah sejak lama. Dalam naskah kuno Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada tahun 1518, telah disebut adanya cerita-cerita pantun clan juru pantun. Lebih dari itu, telah ditemukan pula sebuah naskah kuno, yang ceritanya bercorak cerita panrun. Naskah itu diduga ditulis pada abad ke-16, dengan judul pantun  Ramayana (Noorduyn, 1971). Dalam hubungan mi perlu disinggung pendapat Mustapa (1913) yang mengatakan bahwa pantun adalah bentuk seni yang asli Sunda.

Belum terungkap bagaimana sesungguhnya periperkembangan cerita pantun dalam bentuk tertulis sejak masa yang paling tua. Selama ini, penyebaran dan turun-temurunnya cerita pantun dari generasi ke generasi terjadi melalui lisan. Hal yang terakhir ini dibuktikan dengan adanya sekelompok orang yang pekerjaannya memang hanya menuturkan cerita-cerita jenis itu, yaitu seni pantun. Timbulnya versi cerita dapat dihubungkan dengan usia yang telah tua dan penyebarannya secara lisan ini.

Bentuk cerita berkaitan dengan cara penyebarannya. Berdasarkan penuturannya, terdapat dua bentuk cerita, yaitu bentuk puisi (seluruhnya) dan bentuk puisi bercampur prosa. Belum diketahui mana yang lebih tua di antara kedua bentuk itu. Kecenderungan pada bentuk puisi (seluruhnya) ditunjukkan apabila diperhatikan penuturan juru pantun yang berasal dari daerah Baduy, termasuk juru pantun Ki Samid yang berasal dari Cisolok (Palabuan Ratu, Kabupaten Sukabumi). Teks pantun Ramayana pun seluruhnya ditulis dalam bentuk puisi.

Mantun yang bersifat sakral, ritual, atau ruwatan, berhubungan dengan adanya anggapan di kalangan parajuru pantun akan cerita-cerita tertentu yang dianggap keramat. Di beberapa daerah yang dianggap keramat itu adahah lakon Lutung Kasarung, sedangkan menurut seorang juru pantun Baduy lakon Gajah Lumantang. Pemihihan cerita untuk dituturkan pun konon ditentukan pula oleh tujuan diadakannya pertunjukan mantun itu. Sifat ruwatan pada setiap mantun, secara khas ditunjukkan dengan penuturan cerita yang selalu diawahi dengan rajah.

Di samping adanya cerita-cerita yang dikenal di seluruh wilayah panrun, terdapat pula cerita yang hanya dikenal atau populer di daerah tertentu. Dalam hubungan mi, kadang-kadang dihubungkan dengan kelompoknya itu, misalnya pantun  Baduypantun  Kuningan, dan pantun Priangan.

Selama mi, berdasarkan tulisan yang telah diumumkan, terdapat 76 buah cerita pantun, yaitu Aria Munding Jamparing, Babakcatra, Badak Sangorah, Badak Singa, Bima Manggala, Birna Wayang, Budak Manjor atau Sulanjana, Bujang Pangalasan, Burung Baok, Buyut Orenyeng, Ciung Wanara, Dadap Malang (Sisi Cimandiri), Dalima Wayang, Demung Kalagan, Deugdeugpati Jaya Perang atau Radèn Deugdeugpati Jaya Perang, Prabu Sandap Pakuan, Gajah Lumanrang, Ganrangan, Haturwangi, Jaka Susuruh, Jalu Mantang, Jaya Mangkurat, Kenthang Panyarikan atau Pangeran Raru Kembang Pancarikan, Kidang Panandri, Kidang Pananjung, Kuda Gandar, Kuda Lalèan, Kuda Malèla, Kuda Wangi, Kujang di Hanjuang Siang, Langga Larang, Langga Sari, Lan gon Sari, Lawang Saketeng di Lebak Cawènè, Layung Kumendung, Liman Jaya Mantri, Lurung Kasarung, Lurung Leutik atau Ratu Bungsu Karma Java, Malang Sari, Manggung Kusumah, Matang Jaya, Munding Jalingan, Munding Kawangi, Munding Kawati, Munding Laya di Kusumah, Munding Liman, Munding Mintra, Munding Sari Jaya Mantri, Munding Wangi, Ngadegna Pajajaran, Nyi Sumur Bandung, Paksi Keling atau Paksi Keuling Wentang Gading, Pakujajar di Lawang Ginrung, Panambang Sari, Panggung Karaton, Prenggong Jaya, Radèn Mangprang di Kusumah, Radèn Tanjung, Radèn Tegal, Rakèan Mulang ka Kahiangan, Ramayana, Rangga Sawung Galing, Rangga Gading, Rangga Karimpal, Rangga Malèla, Rangga Sèna, Ratu Ayu, Ratu Pakuan, Ringgit Sari, Sangkuriang, Senjava Guru, Siliwangi, dan Sunda Panglokatan.

Cerita pantun telah banyak menarik perhatian para penulis, seniman dari cabang lain, budayawan, serta para peneliti.

Adiwidjaya (1950) memberikan beberapa corak paparan yang ditemukan dalam cerita pantun. la pun menyatakan cerita pantun sebagai cerita Sunda asli, warisan para leluhur. Agus Raksa Atmadja, juru tulis kontrolir J.J. Maijer, atas perintah tuannya itu melakukan pencatatan lakon-lakon pantun yang ditemukan di daerah Baduy pada kurang lebih tahun 1891. Argasasmita, mantri gudang kopi di Kawunglarang (Majalengka), mencatat teks cerita Lutung Kasarung. Teks itu ditulisnya dengan aksara Jawa, kini tersimpan sebagai naskah di Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta. Atja pernah membuat transkripsi teks Argasasmita itu ke dalam aksara Latin, tetapi sampai sekarang belum berhasil diterbitkan. Dari pekerjaannya itu, ia memperoleh petunjuk bahwa trariskripsi yang dibuat sebelumnya oleh Pleyte mempunyai banyak cacat transkripsi.

Di dalam bahasanya, Atja (1968; 1970) beberapa kali menunjuk cerita pantun sebagai perbandingan bagi naskah yang disuntingnya, terutama dalam bukunya yang kedua. Bakri (1976) menulis kembali cerita Lutung Kasarung dalam majalah Mangle, yang kemudian diterbitkan berupa buku. Djajasoepena (1971) menerbitkan hasil telaahnya mengenai makna cerita pantun Lutung Kasarung. Di samping itu. ia [tt] menulis pula tentang Carita Munding Laya di Kusumah.

Pada tahun 1836 R.A. Bratadiwidjaja, patih di Mangunreja. Kuningan. mencatat cerita Lutung Kasarung darl seorang juru pantun Kuningan yang bernama Kariawacana. Pada tanggal 21 Juni 1882 seorang asisten wedana preman yang bernama Cakrakusumah (di Rangkasbitung) berhasil menyelesaikan pencatatan cerita pantun Kuda Malela dari seorang juru panrun Baduy (Kanêkès. Lebak). Hasil pekerjaanya itu berupa naskah yang kini tersimpan di Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta. Seorang pengarang yang bernama M. Engkawidjaja (1937) menggubah cerita panrun Lutung Kasarung dalam bentuk wawacan.  Eringa (1949) menulis disertasi pada bidang filologi dan sastra mengenai cerita pantun Lurung Kasarung. K.H. Hidding diberitakan pernah ikut serta pula dalam usaha penyalinan cerita pantun ke dalam bentuk tulisan pada masa sebelum Perang Dunia Ke-2. Disertasinya (1929) tentang Nyi Pohaci Sanghyang Sri berkaitan dengan cerita pantun. K.F. Holle memprakarsai pengumpulan cerita-cerita pantun, yang kemudian dipublikasikannya pada awal abad ini. Iskandarwassid (19...) menulis beberapa artikel berdasarkan teks cerita pantun yang dipublikasikan proyek  Penelitian Pantun clan Folklore Sunda. Tulisannya yang pertama mempelajan struktur cerita pantun, berdasarkan cerita Badak Pemalang. R. Maryati Sastrawijaya (1968) membicarakan cerita pantun Deugdeugpati Jayaperang berdasarkan edisi Pleyte.

Pada tahun 1923 Rd. Kartabrata mempertunjukkan cerita Lutung Kasarung dalam bentuk *ger.ding  karemen, di Bandung. Rak an Minda Kalangan atau Mochtar Kala (di Bogor) diberitakan memiliki sejumlah naskah cerita pantun, yang sering disebut pantun Bogor. Sebuah di antaranya telah diterbitkan, yang berjudul Dadap Malang Sisi Cimandiri. Tb. O. Martakusuma (1978) menulis bahasan mengenai cerita pantun Lutung Kasarung. J .J. Meijer (1891) memprakarsai pencatatan cerita pantun Baduy dan kemudian mempublikasikannya. Rustam Sutan Palindih (1949) menulis kembali cerita pantun Lutung Kasarung dalam bahasa Indonesia. C. M. Pleyte (1906, 1907, 1910, 1912) mengumpulkan cerita-cerita pantun dan kemudian mempublikasikannya. Cerita Lutung Kasarung ditranskripsi berdasarkan teks Argasasmita. Rosidi (1958, 1959, 1964) menggubah kembali cerita Lutung Kasarung dalam bahasa Indonesia (judulnya kemudian: Purbasari Ayu Wangi), menulis sebuah bahasan tentang pantun, tentang cerita Lutung Kasarung (1969), clan menanggapi prasaran Utuy Tatang Sontani yang antara lain berbicara tentang cerita panrun. Pada tahun 1970, Rosidi mendirikan Proyek Penelitian Pantun clan Folklore Sunda, yang mendokumentasikan dan mempublikasikan cerita pantun berdasarkan hasil rekaman. Tahun 1975 ia menerbitkan ringkasan tujuh buah cerita panrun, dalam bahasa Indonesia, sedangkan pada tahun 1973 ia menyajikan prasaran dalam Kongres Orientalis XXIX di Paris (Prancis) tentang kegiatan Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda.

Rusyana (1966) membahas cerita pantun, antara lain mengenai lahirnya, corak bahasanya, dan temannya, dengan berapa buah petikan cerita. Tulisannya yang terakhir (1980), tentang pantun, berupa makalah yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah bunga rampai. Dalam prasarannya ini, Rusyana meneliti proposi dan macam-macam deskripsi dalam cerita pantun, berdasarkan cerita Mundinglaya Di Kusumah edisi Pleyte.

Salmun (1938, 1954) menggubah kembali cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah, masing-masing dalam bentuk wawacan dan gending karesmèn. R. Satjadibrata (1931) menulis kembali cerita Sulanjana, sebuah cerita yang sering dipantunkan. R.T.A. Soenarja menggubah gending karesmèn Lutung Kasarung, disebutnya sandiwara alam karena dipentaskan di alam terbuka, yang telah beberapa kali dipentaskan, antara lain di Ciamis (1947), Bandung (1950, 1957), dan Jakarta (1952). Wahyu Wibisana (1962) menggubah cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah dalam bentuk gending karesm n, dengan judul Mundinglaya Saba Langit. R. S. Wiranaggapati (196 1) menerbitkan cerita Ratu Bungsu Karma Jaya, yang dicatatnya dan jurupantun Taswan pada bulanJuni 1958.

Juru Pantun

Juru pantun disebut juga tukang pantun, yaitu orang yang biasa menuturkan carita  pantun dalam sebuah pertunjukan yang disebut mantun. Sepanjang yang diketahui, pekerjaan itu hanya dilakukan oleh kaum pria. Adanya pekerjaan juru tutur itu sudah disebut dalam naskah sanghyang Siksa Kanda Karesian yang ditulis pada tahun 1518. Bagaimana perkembangan kedudukan pekerjaan itu sejak lahirnya pada masyarakat lama belum diteliti. Tetapi, pada masa sekarang (1982), pekerjaan itu tidak merupakan pekerjaan utama. Umumnya, juru pantun mempunyai mata pencaharian pokok sebagai petani. Mereka tinggal di kampung-kampung yang jauh dari kota.

Karir sebagai juru pantun, umumnya dimulai setelah mereka berusia lanjut, sekalipun masa berguru sudah dimulainya pada usia yang lebih muda. Hal itu erat bertalian dengan sistem kemasyarakatan tradisional. Selama gurunya masih mampu menjalankan tugasnya, tidak selayaknya murid tampil menyaingi. Acapkali juru pantun menurunkan keahliannya kepada salah seorang anaknya. Lakon dan lagu bertutur dihafalkan di luar kepala. Sejalan dengan fungsinya, karena menuturkan cerita pantun bukan semata-maza bercerita, terdapat calon juru pantun yang selarna menghafalkan cerita itu berpuasa. Bersamaan dengan itu, tentu dihafalkan pula berbagai jampi dan mantra serta pengetahuan mengenai jenis sajian, berbagai pantangan, cara memetik kecapi, dan sebagainya. Setiap juru pantun menjalankan tata cara mantun sebagaimana yang diajarkan gurunya.

Acapkali juru pantun dihubungkan dengan kebutaan karena banyak juru panrun yang runanetra, Hal itu tidak ada hubungannya sebagai persyaratan, tetapi orang-orang tunanetra banyak yang memilih pekerjaan itu. Daya ingat yang kuat pada orang-orang tunanetra kiranya amat membantu dalam menghafal kalimat-kalimat atau larik-larik yang terikat oleh irama, pilihan kata, dan persajakan itu. Juru pantun yang tidak buta pun banyak pula.

Karena perkembangan zaman, yang mempengaruhi berbagai segi kehidupan, pekerjaan sebagai juru pantun makin kurang diminati. Di Bandung (sekitar 1977) diketahui pernah ada satu dua orang anak muda yang belajar menjadi juru pantun, yang telah berlatarbelakangkan pendidikan tinggi pula. Dorongan belajar mereka jauh berbeda bila dibandingkan dengan calon-calon juru pantun pada masa yang lebih awal.

Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda selama usahanya melakukan pencatatan cerita-cerita pantun telah merekam lakon dan empat belas orang juru pantun, yaitu Ki Kamal, Ki Kertawiguna (dan Kabupaten Kuningan), Ki Atjeng Tamadipura (dari Sumedang), Ki Enjum, Ki Otang. Ki Hamami, Ki Subarma (dari Kabupaten Bandung), Ki Atma, Ki Asom (dari Kabupaten Subang), Ki Nasir Supandi (dan Kabupaten Purwakarta), Ki Samid, Ki Ating (dari Kabupaten Sukabumi), Ki Sajin, dan Ki Janci (dari Baduy, Lebak).

Beberapa nama juru pantun lainnya yang pernah disebut namanya ialah Ki Adsuna (dari daerah Baduy, yang meninggal sekitar tahun 1968), Ki Dascin (dari daerah Baduy, yang sebuah lakon pantunnya diumumkan oleh C.M. Pleyte pada tahun 1912), Ayah Menti (dan kampung Cihulu, kajaroan Kanékés, distrik Lebak), Ki Adut (Cikadu, Kanékés Baduy). Ki Epe Satuneng (dari kampung Cicangor, desa Ciptasari, kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, yang meninggal pada tahun 1971), Kariawacana (dari Kuningan, yang diberitakan bahwa pada tahun 1836 sebuah Iakonnya telah dicatat), dan Taswan (dan Kuningan).

Dari daftar itu terlihat bahwa terdapatnya juru pantun tersebar di seluruh wilayah tatar Sunda. Sejalan dengan itu, terdapat pengelompokan, sekalipun belum didefinisikan secara jelas. Misalnya, pantun Baduy, pantun Kuningan, dan pantun Priangan. Tiap juru pantun rata-rata memiliki lakon antara dua sampai lima buah. Juru pantun Ki Samid yang tidak mengenal lagi makna sebagian kata-kata dan larik-larik yang dituturkannya, amat jelas menunjukkan bahwa pada mulanya cerita pantun secara turun-temurun dihafalkan di luar kepala.

Pantun Rajah

Sejenis mantra yang mengawali penuturan carita  pantun. Disebut juga rajah pamunah. Di samping sebagai pembuka, kadang-kadang terdapat pula rajah sebagai penutup, tetapi biasanya lebih pendek dan isinya pun agak berlainan.

Rajah pada awal penuturan merupakan pengangkat cerita yang berisi berbagai permohonan juru  pantun secara panjang lebar, permintaan perlindungan, permintaan maaf kepada para leluhur yang kisah-kisahnya akan dibangkit-bangkit lagi, jangan-jangan salah sebut nama atau pangkatnya. Diseru pula nama para leluhur yang lebih kemudian dengan segala jasanya atau wilayah kekuasaannya, yang di antara mereka pernah diberitakan dalani sejarah lama, sekurang-kurangnya dalam babad. Tanpa menyebut nama, rajah pun meminta perlindungan dari para leluhur yang membuka (nu ngabedah) dan yang selalu menguasai (nu ngageugeuh) kampung tempat diselenggarakannya pagelaran itu.

Telaah perbandingan atas larik-larik lama dalam rajah, yang kadang-kadang sudah rusak dan samar pertautannya, membuahkan hasil bahwa beberapa larik ternyata menyinggung peristiwa yang sudah sangat tua. Deskripsi nama tempat, gunung atau sungai, sekalipun samar kiranya adalah deskripsi tempat penting, atau batas Kerajaan Pajajaran. Di antara larik-larik yang samar maknanya dan telah tertukar urutannya, dengan telaah perbandingan yang agak rumit, membenikan tafsiran bahwa larik-larik rajah itu menunjuk adanya naskah yang diduga menjadi acuan galur cerita pantun.

Rajah pada akhir penuturan berisi permohonan pula agar dengan selesainya penuturan cerita itu, semua leluhur yang semula diseru kembalilah ke tempat asalnya, serta memohon keselamatan bagi semua yang berada di Iingkungan itu, khususnya keluarga yang mengadakan selamatan.

Dengan demikian, dilihat dari segi isinya, rajah pantun tidaklah merupakan bagian langsung dari cerita, walaupun disampaikannya dalam penuturan yang tidak terpisah. Tetapi konon, bukanlah cerita pantun kalau tidak ada rajah-nya.

Corak rajah pantun banyak bergantung pada latar belakang juru pantun-nya (pendidikan, daerah asal, dan sebagainya). Rajah pantun Baduy amat jelas berbeda coraknya dengan pantun kuningan. Juru pantun yang pernah mesantren banyak memasukkan larik-larik yang bermakna keagamaan (Islam), sekalipun tetap pula menyebut batara-batari (dewa-dewi).

Pantun Buhun

Corak penuturan canta  pantun dengan gaya lama, yang dianggap belum terlalu banyak berubah dari corak "asal"-nya; demikian pula mengenai keutuhan ceritanya. Cerita disajikan selengkapnya dalam larik-larik yang masih menunjukkan ungkapan-ungkapan lama. Di dalamnya sering ditemukan kata-kata lama yang pada masa sekarang sudah tidak dipergunakan lagi atau telah bergeser maknanya.

Penuturan cerita, dalam mantun,  hanya diiringi kecapi yang dipetik sendiri oleh juru pantun. Konon ada pula yang ditambah dengan iringan bunyi seruling, atau cékcrék (kecrék), atau tarawangsa 'sejenis rebab' yang dibawakan oleh seorang pembantunya. Tata pertunjukan masih kuat mempertaharikan tata cara tradisional sehingga suasana ritual sangat terasa.

Istilah pantun buhun digunakan untuk membedakannya dengan corak pantun 'gaya baru", yang telah banyak memasukkan unsur-unsur kesenian lain ke dalamnya pantun  Beton.
Baca Juga

Sponsor