Cari

Propinsi Cirebon Dulu dan Sekarang?


Mengutip dari Buku "History of Java" Oleh Nurdin M Noer. Di bawah pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, status administratif Cirebon menjadi Keresidenan yang wilayahnya meliputi lima kabupaten yaitu : Cirebon, Kuningan, Maja, Bengawan Wetan, dan Galuh. Untuk kepentingan perhitungan pajak Resident John Crawfurd telah mendata Sub Division of Cheribon atau desa-desa di Cirebon, pada saat itu di wilayah Kabupaten Cirebon terdapat 152 desa. Salah satunya tercatat dalam urutan No. 23 Gegusjik (Desa Gegesik, Kab. Cirebon).

Staatsblasd tahun 1816 Nomor 28 tanggal 10 Desember 1816, dibentuk daerah Residenten dan Assisten Residenten di Jawa dan Madura dan diluar Jawa. Residenten dipimpin oleh seorang Resident yang dibantu oleh Assisten Resident (Sumber: Kendi Pertula).

Raffles menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Jawa dengan masa yang sangat singkat. Dari catatannya dalam History of Java, selama kepemimpinannya (1811-1816), Raffles mengubah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan kolonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi tulisan awal Dick van Hogendorp (1761–1822), dengan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasar hukum adat Jawa.

Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti dipraktikkan Inggris di India. Raffles menetapkan, bahwa semua tanah adalah milik negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) yang wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah. Pemimpin pribumi, seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi berkendara seperti di Inggris, yaitu memakai jalur kiri yang dipakai hingga sekarang (Syafrudin Azhar, pengantar History of Java, 2008).

Dalam catatan itu juga disebutkan, selain menerapkan kebijakan landrente, Raffles juga membagi Tanah Jawa menjadi 16 karesidenan, serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kesultnanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada kolonial Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750 -1828), Raja Kesultanan Yogyakarya, dianggap bertentangan dengan Raffles, kemudian diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Pengganti Sultan Sepuh–julukan Sri Sultan Hamengkubuwaono II–adalah Sri Sultan Hamengku Buwono III (1769- 1814). Ayahanda dari Raden Mas Ontowiryo atau Pengeran Diponegoro (1785 – 1855).

Propinsi Cirebon Masa Kolonial
Pada masa Raffles (1811) Cirebon pernah menjadi provinsi yang disebut sebagai “provinsi Cheribon”. “Kita harus membuat satu aturan tegas,” kata komisi Belanda yang bertugas meneiliti masalah ini di tahun 1811, ”Mengenai tanah di antara Kabupaten Priangan, Provinsi Cheribon dan distrik sebelah timur. Di seluruh tanah Kabupaten Priangan banyakditemui tanah yang tidak ditanami, karena tidak ada penduduk desa di situ. Di sawah atau tanah yang ditanami, tiap penduduk, mulai dari bupati sampai pejabat rendahan memiliki bagian dan mereka dapat menggunakannya sesuka hati, entah dijual, dibiarkan atau bahkan dibuang begitu saja. Mereka kehilangan hak itu apabila meninggalkan desa tersebut secara diam-diam.”

Dalam History of Java juga disebutkan,”Di Provinsi Cheribon, berdasarkan undang-undang lama, tiap distrik dan desa di Kabupaten Priangan, memiliki bagian tanahnya sendiri. Bedanya di kabupaten tersebut tanah menjadi milik desa dan perorangan. Namun di provinsi ini, desa dan tanah menjadi milik penguasa, atau keluarga dan orang kepercayaan sultan, kecuali sejumlah tanah yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.

Di Cheribon, para sultan dan pejabat lain mempunyai bagian tanah tersendiri, demikian juga rakyat biasa, di distrik timur berkebalikan dengan semuanya, tidak ada individu yang memiliki tanah. Tiap orang harus mematuhi aturan yang dibuat. Apabila seseorang merasa tidak puas, dia bisa berimigrasi ke tempat lain. Tak seorang pun merasa wajib menggarap tanah. Tiap penduduk Jawa, baik di Kabupaten Priangan, di Cheribon, atau distrik timur, merasa memiliki hak sepenuhnya atas berbagai tanaman buah-buahan dan pohon sirih, yang ada tepat di sekitar desa atau kampong mereka.

Propinsi Cirebon Kini?
Saya (Penulis) tinggal di Kabupaten Majalengka, Dibawah Kresidenan Cirebon Jawa Barat telah lama mengamati perubahan politik mengarah terbentuknya propinsi Cirebon. Memang Wilayah Ciayu Majakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan kuningan) memiliki ciri khas tertentu. Berdarkan kultur agak berbeda dengan wilayah Priangan di Jawa Barat. 
Di Majalengka, dimana sebagian penduduknya berbahasa Jawa-Cerbonan dan Bahasa Sunda. Saya sendiri bertutur bahasa Sunda dan merasa orang Sunda. Suatu saat saya ingin bergabung dengan komunitas Sunda di Bandung, mereka sangat welcome. Apalagi dilihat dari nama saya yang memang Nyunda, tetapi saya ditolak setelah saya menyerahkan fotokopi KTP. Alasannya saya orang Majalengka. Lhow... kenapa? Ah saya gak ambil pusing. Mungkin saya dianggap bukan Sunda.

Itulah skelumit kisah pribadi saya. Semoga kebangkitan semangat pendirian propinsi Cirebon bukan karena alasan Sektarian dan primordialisme baru.

Menurut pemberitaan SeputarJabar.com Pansus DPRD Majalengka Bahas Provinsi Cirebon tahun 2013. Tidak puas dengan jawaban lisan yang disampaikan Kementerian Keuangan, bahwa keuangan negara tidak memungkinkan pendirian propinsi Cirebon. Pansus di DPRD Majalengka yang membahas Pembentukan Provinsi Cirebon.

Menurut salah seorang anggota tim pansus Panitia Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) Asep Saefudin, tim pansus sebetulnya telah mendapatkan penjelasan secara gamblang baik dari Departemen Dalam Negeri menyangkut aturan pemisahan daerah ataupun dari Kementerian Keuangan menyangkut dana bagi hasil dan DAU serta dana lainnya yang akan diperoleh Kabupaten Majalengka manakala memisahkan diri dari Jawa Barat dan bergabung dengan Provinsi Cirebon.

Bagi hasil yang mungkin tidak akan diperoleh Kabupaten Majalengka jika memisahkan diri dari Jabar, yang berasal dari panas bumi Kamojang dan Garut, karena daerah tersebut berada di Jawa Barat.

"Jadi dari sisi keuangan Kabupaten Majalengka justru akan mendapatkan nilai uang yang lebih kecil dibanding dengan uang yang diterima sekarang. Bila demikian kondisi tersebut akan merugikan masyarkat, banyak hal yang dijelaskan oleh Kementerian keuangan menyangkut pendapatan dan bagi hasil," ungkap Asep.

Sedangkan Kementerian Dalam Negeri meminta DPRD Majalengka untuk mengklairifikasi dua usulan yang berbeda yang disampaikan Badan Persmusyawaratan Desa (BPD) se-Kabupaten Majalengka, yaitu yang mendukung dan yang tidak mendukung pemisahan.

Klarifikasi guna memperjelas status hukum. Karenanya DPRD Majalengka segera ke lapangan untuk menentukan sikap dewan

Sedang FajarNews.com memberitakan bahwa Pembentukan Provinsi Cirebon dinilai tidak hanya akan menguntungkan secara politis, namun juga bagi kesejahteraan masyarakat Cirebon, karena sisi ekonomi, pendidikan, infrastruktur dan bidang lainnya, akan meningkat.

Demonstrasi Menuntut pendirian Propinsi Cirebon
Foto: FajarNews
Hal itu dikemukakan Wakil Rektor II IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Dr. H. Adib, M. Ag dalam diskusi yang dilaksanakan di Aula Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati, Senin (2/5). Diskusi tersebut, digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati dengan mengambil tema, “Peran Mahasiswa dalam Mengawal Pembentukan Provinsi Cirebon.”

“Ada yang bilang pembentukan Provinsi Cirebon itu keuntungan bagi politik, saya bilang tidak. Karena tidak hanya politik, tapi juga kesejahteraan bagi masyarakat Wilayah III Cirebon. Tidak aneh kalau masyarakat kita tertinggal dari sisi infrastruktur, ekonomi ataupun pendidikan, karena kita jauh dari kantor Pemprov Jabar,” kata Adib, di hadapan peserta diskusi.

Adib mengatakan, selain masyarakat, dunia pendidikan juga akan ikut merasakan dampaknya. Jika sudah menjadi provinsi sendiri, menurut dia, perubahan status dari IAIN menjadi UIN tidak akan sulit seperti saat ini.

Ia mengungkapkan, kendala masyarakat Cirebon yang tidak mendukung secara maksimal pembentukan Provinsi Cirebon, lantaran mindset masyarakat yang berpandangan pembentukan Provinsi Cirebon hanya untuk komoditas politik saja.

Menurutnya, pandangan seperti itu harus segera diubah, karena terbentuknya Provinsi Cirebon, hakekatnya untuk menyejahterakan dan meningkatkan segi perekonomian Cirebon. Apalagi pembentukan Provinsi Cirebon, bakal dikawal para kiai.

“Mudah-mudahan dengan terbentuknya Provinsi Cirebon, daerah timur Jabar ini bisa menjadi kota internasional seperti yang terjadi dulu Sunan Gunungjati memimpin Kerajaan Cirebon,” ujar dia.

Ia mengajak mahasiswa, masyarakat dan berbagai elemen lainnya, bersama-sama mengawasi dan mengawal terwujudnya Provinsi Cirebon.
Foto: TribunNews
“Harus ada kajian dari berbagai ahli agar pembentukan Provinsi Cirebon segera terwujud. Apalagi sekarang sudah digaungkan akan menjadi Metropolitan Cirebon Raya. Melihat hal tersebut, kita jangan jadi penonton saja, akan tetapi harus menyiapkan sumber daya manusia unggulan, yaitu dengan mencetak mahasiswa yang memiliki keilmuan dan wawasan yang luas,” terangnya.

Menurutnya, dilihat dari kondisi geografis, Cirebon sudah layak menjadi sebuah provisi. Apalagi masing-masing daerah, yakni Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Kabupaten Indramayu, memiliki keunggulannya masing-masing.

“Mari bersama-sama menyuarakan ini. Butuh suara yang sangat banyak agar Cirebon jadi sebuah provinsi. Seandainya provinsi ini terwujud, maka status IAIN tak sulit lagi menjadi universitas,” jelasnya.

Sementara itu, salah seorang pembicara, Wakil Ketua DPRD Kab. Cirebon, Hj. Yuningsih mengatakan, saat Cirebon sudah menjadi provinsi, yang akan menikmati bukan kalangan politisi saja.

 “Kami sangat mendukung berdiri Provinsi Cirebon, dan ini bisa menjadi motivasi untuk mendorong mahasiswa agar mengawal dan mengawasi terwujudnya Provinsi Cirebon,” tandasnya.

Lagi-lagi, Alasan keterbatasan Anggaran negara mengemuka tahun 2016 ini.

Bila ada yang menjanjikan Provinsi Cirebon segera terbentuk, sepertinya jangan mudah percaya dulu. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, karena anggaran negara terbatas, maka belum memungkinkan untuk menyokong pembentukan daerah otonomi baru.

Artinya, Provinsi Cirebon yang sudah lama diperjuangkan oleh Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C), maupun oleh  LSM Cindrakuma (Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka), belum segera terwujud. “Belum tahu  hingga kapan moratorium akan diberlakukan. Pemerintah akan melihat kondisi fiskal terlebih dahulu sebelum mencabut moratorium,” kata Tjahjo, usai melakukan Rapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (19/2/2016).

Dalam rapat DPOD ini, Tjahjo mengatakan usulan daerah otonomi baru sangat marak dilakukan. Ia menyebut masih terdapat 87 usulan DOB yang belum diputuskan hingga saat ini. “Kemudian masih ada tambahan 199 usulan baru, baik provinsi maupun kabupaten-kota,” katanya.

Sebab, saat ini pemerintah tengah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan desa. Tjahjo mengungkapkan, pemekaran daerah pun naik dua kali lipat sejak 1999.  “Yang kecamatan dulunya 5 ribu jadi 8 ribu, yang desa dari 50 ribuan sekarang hampir 74 ribuan,” kata Tjahjo.

Provinsi Cirebo sudah lama didengungkan tapi belum juga menuai hasil. Para pejuangnya selalu memberi harapan segera terwujud, namun sepertinya masih jauh dari kenyataan.

Sekarang perjuangan membentuk Provinsi Cirebon dilakukan oleh LSM Cindrakuma. Sebelumnya diperjuangkan oleh P3C.

Sponsor