Sejarah awal Pulau Jawa seolah terbungkus oleh misteri, karena sama sekali tidak diketahui keberadaannya oleh dunia sampai pulau ini dikunjungi oleh peziarah dari China, Fa Hien pada tahun 412 Masehi.
Berdasarkan buku "Occult History of Java (Sejarah Gaib Tanah Jawa)", karangan CW Leadbeater, Cetakan 1 Maret 2015, disebutkan, pada 2.000 tahun sebelum masehi (SM), Pulau Jawa sudah menjadi koloni bangsa Atlantis, tapi saat Atlantis hancur Jawa menjadi negeri terpisah.
Legenda mengenai Aji Saka ini dalam berbagai cerita juga dianggap melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke Pulau Jawa.
Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa Saka atau Soko yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja asal-mula" atau "raja pertama".
Mitos ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan ke Jawa.
Karena Aji Saka telah mengalahkan raja jahat Prabu Dewata Cengkar sang penguasan hitam yang kala itu menguasai Pulau Jawa.
Legenda ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa.
Tumbal Aji Saka untuk menangkal kekekuatan hitam pun bertahan hingga beratus-ratus tahun kemudian. Hingga sampai pada keadaan dimana jin kembali berkuasa, hujan darah dimana-mana, bencana merajalela.
Pada masa ini berkembanglah beberapa aliran ilmu gaib di Pulau Jawa diantaranya, kejawen, klenik dan kebatinan.
Lihat juga versi Videonya
Lihat juga versi Videonya
Dalam agama Hindu, Manu adalah leluhur manusia pada setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman dalam satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Menurut agama Hindu, zaman sekarang adalah Manwantara ketujuh, dan umat manusia diturunkan oleh Manu ketujuh yang bernama Waiwaswata, sebab merupakan putra Dewa Wiwaswat alias Surya.
Manu yang pertama adalah Swayambu Manu, yang dipercaya sebagai kakek moyang manusia pada Manwantara pertama. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada spesies manusia. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa merupakan pria dan wanita pertama di dunia—sama seperti Adam dan Hawa dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam—pada Manwantara pertama, atau era kehidupan pertama.
Waiwaswata Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan), yaitu dewa matahari menurut agama Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga, Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara).
Mitologi Pewayangan Jawa
Dikisahkan bahwa zaman dahulu, mulai Aceh Hingga Bali Membentang dalam satu pulau. Dalam Serat Mahaparwa karya Empu Satya tahun 851 Surya atau 879 Candra dari Mamenang (Kediri), ada sebuah pulau panjang yang belum berpenghuni dan belum punya nama. Suatu ketika para dewa yang bersemayam di kahyangan Gunung Tengguru (Himalaya) datang ke pulau tersebut dipimpin oleh Sanghyang Manikmaya (Bethara Guru) dan menamakan pulau tersebut dengan Jawa berasal dari kata Dawa (jawa = panjang) sesuai dengan keadaan dari pulau tersebut yang waktu itu membentang dari Aceh hingga Bali.Sementara itu di tanah Hindustan ada seorang brahmana yang diperintahkan Ayahnya untuk mencari pulau yang panjang (Dawa/Jawa) agar bertapa disana. Brahmana tersebut adalah Prabu Ajisaka putra Prabu Iwasaka putra Empu Ramadi putra Sanghyang Ramaparwa putra Sanghyang Hening putra Sanghyang Wenang putra Sanghyang Nurasa putra Sanghyang Nurcahya (Sayyid Anwar) putra Sanghyang Sita (Nabi Sis) putra Sanghyang Ngadamo (Nabi Adam AS).
Setelah beberapa lama akhirnya Ajisaka menemukan Pulau Jawa lalu mengelilingi seluruh pulau dan disepanjang perjalanannya banyak menemukan tanaman Jawawut. Akhirnya Ajisaka menamakan kembali pulau ini dengan nama Pulau Jawa diambil dari nama Jawawut. Setelah mengelilingi Pulau Jawa dalam 103 hari Ajisaka melakukan pembukaan hutan di Gunung Hyang (Gn. Kendeng Prabalingga) sebagai manusia pertama di Jawa dengan sebutan Empu Sengkala. Bersamaan dengan itu dimulailah Tahun Jawa / Tahun Saka dengan sengkalan Jebug Sawuk yang berarti tahun kepala satu.
Legenda Tanah Jawa
Beberapa waktu kemudian dikisahkan Raja RUM di Brusah (Turki?) yang bernama Sultan Galbah melakukan ekspansi pada pulau-pulau yang masih sunyi, yang diantaranya mengirim 20.000 keluarga ke Pulau Jawa. Setelah beberapa lama tinggal di pulau jawa, rombongan tersebut terserang wabah penyakit sehingga tinggal 2000 keluarga, ketika terserang wabah berikutnya tinggal 200 keluarga dan ditahun ke-4 sejak kedatangannya di pulau jawa rombongan ini tinggal 20 keluarga dan memutuskan kembali ke tanah RUM untuk melaporkan keadaan kepada Sultan. Setelah mendengar laporan tentang keadaan rombongan yang dikirim ke pulau jawa, Sultan merasa sedih lalu mengutus Wali dari golongan Bani Israel yang bernama Usman Aji untuk memberi tumbal pada pulau jawa. Setelah sampai di pulau jawa Usman Aji mengelilingi pulau jawa dan bertemu dengan Empu Sengkala di Gunung Hyang. Kemudian Usman Aji memasang tumbal di titik tengah dan empat arah. Keesokan harinya terdengar petir dari segala arah dan tanah jawa bergetar bergemuruh menandakan kalahnya makhluk halus oleh tumbal tersebut. Setelah 21 hari Usman Aji kembali ke tanah Rum dengan disertai oleh Empu Sangkala dengan sengkalan Gora Sirna yang bermaksud tahun ke-7.Setelah berguru kepada Usman Aji dan bergelar Pendeta Iskak, Empu Sangkala pergi ke Hindustan menghadap Sanghyang Jagatnata (kepala para Dewa) meminta ijin untuk membawa rombongan ke pulau jawa. Dan selanjutnya Empu Sengkala membawa 20.000 keluarga yang terdiri dari bangsa Keling, Alengka/Sailon dan Siam ke pulau Jawa. Setelah berhasil membentuk masyarakat di jawa, Empu Sengkala kembali ke Rum kemudian melakukan perjalanan ke tanah Awinda (lulmat/dunia gaib yang sunyi) dan abadi di alam tersebut dengan sengkalan Anembah Geni Maletik yaitu tahun ke 32 S.
Sebagai catatan: Sanghyang Jagatnata dalam mitologi Jawa adalah Bathara Guru. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.
Sepeninggal Empu Sengkala, masyarakat jawa terus melakukan pembukaan daerah-daerah baru tapi belum ada raja yang mengatur sehingga disebut dengan jaman kukila (burung). Ketika masa manggarsari 102 Saka (160Masehi), diceritakan para dewa di kahyangan Hindi turun ke Jawa dengan sebutan Resi yang dipimpin oleh Resi Mahadewa Buda titisan Sanghyang Jagadnata. Para Resi ini kemudian menjadi sanjungan orang Jawa dan mulailah sistem Kerajaan di Pulau Jawa dengan raja-raja sebagai berikut:
- Resi Mahadewa Buda titisan Sanghyang Jagatnata berkedudukan di Medang Kamulan (140 S/217 M)
- Raja bersama putra Sanghyang Jagatnata (170 S/248 M) yaitu :
- Sanghyang Sambo bergelar Sri Maharaja Maldewa berkuasa di Medang Prawa/Sumatera
- Sanghyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda berkuasa di Medang Gili/Pasundan
- Sanghyang Indra bergelar Sri Maharaja Sakra berkuasa di Medang Gana/Mahameru
- Sanghyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman berkuasa di Medang Pura/Tegal
- Sanghyang Bayu bergelar Sri Maharaja Bima berkuasa di Medang Gora/Bali
- Sri Maharaja Prajapati titisan Sanghyang Brahma (193 S/270 M)
- Sri Maharaja Balya titisan Sanghyang Siwa berkedudukan di Medang Siwanda (199 S/277 M)
- Sri Maharaja Budwaka titisan Sanghyang Brahma (200 S/278 M)
- Sri Maharaja Berawa titisan Sanghyang Kala berkedudukan di Medang Kamulan II (226 S/304 M)
- Sri Maharaja Buda Kresna titisan Sanghyang Wisnu berkedudukan di Perwacarita (245 S/323 M)
- Sri Maharaja Dewa Esa titisan Sanghyang Rudra putra Sanghyang Tunggal (263 S/341 M)
- Sri Maharaja Kanwa titisan Sanghyang Wisnu (301 S/379 M)
Sebagai saudara dari Prabu Kurungkala yang telah terbunuh maka Prabu Sangkala Raja Samaskuta/Sumatera tidak lagi mengakui kekuasaan Sri Maharaja Kanwa. Akhirnya Sri Maharaja Kanwa menyerang Negeri Samaskuta tahun 338 S dan menghancurkan Prabu Sangkala. Setelah menghancurkan Negeri Samaskuta, Sri Maharaja Kanwa menuju gunung Pulosari/Banten hendak membinasakan Resi Prakampa (orangtua Prabu Kurungkala dan Sangkala), karena menurut pemahaman Sri Maharaja Kanwa Resi Prakampa dibalik semua peristiwa ini, tapi sebenarnya Resi Prakampa tidak tahu menahu dan tidak berdosa.
Karena keinginan angkara murka dari Sri Maharaja Kanwa itu, maka Sanghyang Wisnu muksa dari Sri Maharaja Kanwa dan digantikan oleh Sanghayang Kala. Setelah menemukan Resi Prakampa, Sri Maharaja Kanwa membunuh Sang Resi yang tidak bersalah. Karena kesaktian Resi Prakampa yang telah dianiaya oleh Sri Maharaja Kanwa, maka Gunung Kapi/Krakatau meletus diiringi dengan bencana air bah, hujan lebat dan angin taufan. Gunung Kapi runtuh masuk ke bumi, air laut menggenangi daratan dari Gunung Gede/Bogor sampai ke Gunung Rajabasa/Lampung.
Jawa dalam Mitologi dari Tamil
Vogel mengatakan bahwa “tidak sedikit penasaran bahwa asal-usul ras bangsa Pallawa, bukan dari Matahari atau Bulan, seperti yang biasa terjadi di antara keluarga pangeran India, tetapi dari Asvatthaman yang, seperti ayahnya Drona, adalah salah satu pahlawan terkemuka dalam wiracarita Mahabharata. Poin penting tentang kedua prajurit kuno itu adalah bahwa mereka adalah para Brahmana, anggota rumah imam (gotra) Bharadvaja "dan bahwa ada" legenda aneh yang tersimpan dalam puisi Tamil yang menghubungkan asal-usul Pallawa dengan penguasa kuno Coromandel. "Ini menceritakan bahwa" Pondaiman (yaitu Pallava) pertama adalah putra seorang Raja Cola oleh seorang Nagi atau setan-ular betina ". Dalam catatan kaki ia mengatakan bahwa" puisi Tamil Manimegalai menceritakan di mana legenda ini terjadi, juga menyebutkan nama Nagapuram di Savaka-nadu, yang menurut nama Mr. Venkayya, tampaknya adalah nama Tamil dari pulau Jawa. Dua Raja Nagapuram disebutkan, yaitu Bhumicandra dan Punyaraja, yang mengaku diturunkan dari Indra.
Pernyataan-pernyataan Vogel ini harus dielaborasi. Kita merujuk pada masalah keturunan Pallava sehubungan dengan Sejarah Malayu.
Jayaswal menganggap bahwa Pallava telah bangkit sebagai feodatory untuk bangsa Naga, yang menurutnya adalah penguasa awal di India. Virakurcha, pendiri dinasti Pallava, diinvestasikan dengan lambang kedaulatan penuh dengan pernikahannya dengan putri Naga, putri kaisar Naga, yang pada waktu itu (paruh kedua abad ketiga Masehi menurut Jayaswal) adalah Bharasiva Naga yang dominasinya diperluas melalui Nagpur dan Bastar hingga ke batas-batas negara Andhra. Keturunan Pallava tradisional seperti yang diberikan dalam prasasti mereka dinyatakan oleh Chatterji bahwa: - "ada dua prasasti yang berasal dari abad ke-9 memberikan silsilah dari Raja-Raja Pallava. Pertama, Asvatthaman, putra Drona, menikah dengan seorang Nagi dan keturunan mereka adalah Skandasisya, leluhur legendaris dari Raja Pallava. Prasasti kedua, ditemukan di North Arcot, mengatakan bahwa Virakurcha menikah dengan seorang Nagi dan memperoleh darinya lencana kerajaan dan bahwa sesudahnya datang Skandasisya Jayaswal membahas prasasti-prasasti ini, Rayakota 1 dan Velurpalaiyan 2 * * Lempengan prasasti itu menunjukkan bahwa Skandasishya merupakan seorang adhiraja adalah putra seorang wanita Naga; Asvatthaman hanya disebutkan sebagai salah satu leluhur. Yang terakhir menunjukkan bahwa Skandasishya, ayah dari Kumara Wisnu dan kakek Buddha varman, yang jelas Skanda-varman II adalah putra Kumara Wisnu II. Dalam lempengan-lempengan terakhir itu, tidak disebutkan bahwa Skandasishya adalah putra Virakurcha, tetapi ia dinyatakan telah berkembang setelah Virakurcha. Gopalan menulis bahwa “dari Virakurcha, cucu Kalabhartr, kita belajar dari lemping-lemping Velurpalayam (ayat 6) bahwa 'bersamaan dengan tangan putri Kepala Ular yang dia pegang juga lambang kerajaan dan menjadi terkenal. Ini berarti dalam bahasa yang sederhana bahwa Virakurchavarman menjadi Raja karena menikahi putri seorang kepala Naga ”. Gopalan menentukan tanggal aksesi Virakurcha sekitar 358 M. tetapi ada banyak perselisihan tentang tanggal, Jayaswal misalnya mengacu pada penaklukan Pallava dari ibukota Chola, Kanchi, sekitar 275 M. dan sezaman dengan Virakurcha sekitar 265-280 M.
Gopalan menganggap bahwa legenda yang dikutip oleh Vogel dari Manimegalai sama sekali tidak berlaku untuk Pallava. Alasannya meyakinkan dan penjelasannya adalah bahwa tradisi Chola dibawa dan diterapkan pada penakluk Pallava dari negara Chola.
Venkayya menganggap Savaka-nadu sebagai pulau Jawa saat ini dan Vogel dengan jelas mengikutinya tetapi sebenarnya identifikasi itu murni filologis dan seperti istilah lainnya: Savaka atau Javaka adalah umumnya merujuk untuk 'wilayah Melayu'.
Przyluski memperlakukan legenda Pallava dan Chola sebagai hal yang terpisah. Ia menyebut yang terakhir analog. Dia menunjukkan bagaimana legenda serupa ditemukan di semenanjung Indo-Cina sehubungan dengan Champa, Funan, Pegu, Siam, Annam, Sumatra (San-fo-ts'i) dan dalam Sejarah Malayu. Artikel bagus ini harus dipelajari oleh pembaca.
Mari kita beralih ke Tiongkok kuno dan mencatat dengan sangat singkat apa yang terjadi di sana pada periode Funan.
Pada awal abad ketiga M, dinasti Han runtuh dan digantikan oleh Tiga Kerajaan - Wei, yang terdiri dari provinsi tengah dan utara dengan ibukotanya di Loyang; Wu, yang terdiri dari provinsi selatan Sungai Yangtse dengan ibukotanya di Nanking; dan Shu, yang termasuk bagian barat Kekaisaran dengan ibukotanya di Chengtu.
Setelah Tiga Kerajaan di sana mengikuti periode yang banyak gangguan di mana kita mengenal Kerajaan Tsin Barat, 265-317 M. Tsin Timur, 317-420 M. Sung yang paling awal, 420-479 M. Ch'i yang sangat singkat, 479-502 M. Liang, 502-557 M. dan Ch'en 557-589 M. Setelah itu datang periode rekonsolidasi yang dimulai dengan Dinasti Sui, 581-618 A.D., dan berlanjut dengan periode Tang berlangsung dari 618 hingga 907 M.
Selama periode 220-589 M, Latourette mengatakan bahwa “pedagang Cina tampaknya tidak pergi jauh-jauh dan terutama ke negeri asing dalam perdagangan luar negeri, tetapi orang luar menganggap Cina negara yang menguntungkan untuk urusan perdagangan". Faktanya adalah, seperti yang dikatakan Kuwabara, bahwa" kapal dagang Cina sebelum zaman Tang lebih rendah dalam segala hal dibandingkan dengan yang ada di negara-negara laut Selatan . "
Sementara hal di atas menggambarkan keadaan di barat dan timur, jelas bahwa pasti ada aktivitas perdagangan dan penjajahan yang sangat besar oleh orang India di semenanjung Indo-Cina, di Semenanjung Malaya dan di Kepulauan Malaya. Namun, catatan dari kegiatan ini pada dasarnya adalah Cina.
Epigrafi dan arkeologi sama-sama memberikan sejumlah bukti dan ada satu literatur India yang masih harus diperhatikan, Niddesa. Dr. Chatterjee mengatakan bahwa Niddesa berasal dari abad ke-3 M. dan pembaca harus catat apa yang telah ditulisnya tentang Jawa dan Sumatra dalam literatur India. Namun demikian, pada komentar bahwa semua identitasnya adalah murni filologis dan bahwa setiap yang setara dengan Jawa atau Yava dianggap berasal dari pulau Jawa saat ini.
Dalam artikel terkenal Profesor Sylvain Levi tentang Niddesa. Dia mempertimbangkan suatu bagian dalam Niddesa dan berusaha mengidentifikasi tempat-tempat yang disebutkan di dalamnya. Bagian ini adalah sebagai berikut: -
"Sekali lagi, di bawah pengaruh nafsu yang mendominasi jiwanya, untuk kesenangan, ia memulai di laut besar, kadang-kadang sedingin es, kadang-kadang panas membara, bermasalah dengan nyamuk, dengan serangga menyengat, dengan angin, matahari, dengan ular, menderita kelaparan dan kehausan, ia pergi ke Gumba, Takkola, Takkasila, Kala Mukha, Maranapura, Vesunga, Verapatha, Jawa, Tamali, Vanga, Elavaddhana, Suvarnakuta, Suvarnabhumi, Tambapanni, Suppara, Bharukaccha, dll.
Serat Pustakaraja
Serat Pustakaraja adalah karya agung dan merupakan puncak karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, disamping Serat Ajipamasa maupun Serat Witaradya. Bedanya, kalau Serat Pustakaraja berbentuk prosa, maka Serat Ajipamasa dan Serat Witaradya berbentuk puisi Jawa Baru (Macapat). Disebut Pustakaraja karena karya ini dijadikan kitab pedoman bagi seorang Raja (pakemipun panjenengan nata). Pustakaraja dapat juga diartikan 'Rajanya Kitab', karena merupakan kitab yang terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Serat Raja, amargi dados tetunggul tuwin dados baboning Serat cariyos Jawi) (Ranggawarsita, 1938: 7).Serat Pustakaraja dapat dibagi menjadi 2, yaitu Serat Pustakaraja Purwa dan Serat Pustakaraja Puwara. Serat Pustakaraja Purwa dibagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu:
- Serat Maha Parwa, meliputi: a. Serat Purwa Pada; b. Serat Sabaloka.
- Serat Maha Déwa, meliputi: a. Serat Déwa Buddha; b. Serat Dewa Raja.
- Serat Maha Resi, meliputi: a. Serat Resi Kala; b. Serat Buddha Kresna.
- Serat Maha Raja, meliputi: a. Serat Raja Kanwa; b. Serat Palindria; c. Serat Silacala; d. Serat Sumanasantaka.
- Serat Maharata, meliputi: a. Serat Dyitayama; b. Serat Tritarata; c. Serat Sindula; d. Serat Rukmawati; e. Serat Sri Sadana.
- Serat Maha Tantra, meliputi: a. Serat Sri Kala; b. Serat Raja Watara; c. Serat Crita Kaprawa; d. Serat Ariawanda; e. Serat Para Patra.
- Serat Maha Putra, meliputi: a. Serat Mahandya Purwa; b. Serat Suktinawyasa; c. Serat Hariwangsa; d. Serat Darma Sarya; e. Serat Kumbayana; f. Serat Wanda Laksana; g. Serat Darma Mukta; h. Serat Dreta Negara.
- Serat Maha Dharma, meliputi: a. Serat Kuramaka; b. Serat Smara Dahana; c. Serat Ambarawaja; d. Serat Krida Kresna; e. Serat Kunjarakarna; f. Serat Kunjara Kresna; g. Serat Partayagnya; h. Serat Manik Harya Purwaka; i. Serat Sumantri Parta; j. Serat Dewa Ruci; k. Serat Parta Wiwaha/Mintaraga; Serat Indra Naraga; m. Serat Urubaya; n. Serat Domantara; o. Serat Bomantaka; p. Serat Baratayuda; q. Serat Kirimataya; r. Serat Darmasarana; s. Serat Yudhayana.
Serat Pustakaraja Puwara juga dibagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu:
- Serat Maha Parma, meliputi; a. Serat Budhayana; b. Serat Sariwahana; c. Serat Purusangkara; d. Serat Partakaraja; e. Serat Ajidharma; f. Serat Ajipamasa.
- Serat Maharaka, meliputi; a. Serat Witaradya; b. Serat Purwanyana; c. Serat Bandawasa; d. Serat Déwatacèngkar.
- Serat Maha Prana, meliputi: a. Serat Widayaka; b. Serat Danèswara; c. Serat Jaya Lengkara; d. Serat Dharma Kusuma; e. Serat Catasi Panuaka.
- Serat Maha Krasma, meliputi: a. Serat Surya Wisésa; b. Serat Raja Sunda; c. Serat Madu Sudana; d. Serat Panca Prabanggana.
- Serat Maha Kara, meliputi: a. Serat Mundingsari; b. Serat Raja Purwaka; c. Serat Maha Kara.
- Serat Maha Para (Ranggawarsita 1938: 10-49; Sri Mulyono, 1989: 191-200; Tedjowirawan, 2008: 84-86).
Dalam Kepustakaan Jawa (1957), Poerbatjaraka menilai bahwa Kitab (Serat) Pustakaraja pada pokoknya digubah berdasarkan kitab-kitab lakon wayang, pendengaran R. Ng. Ranggawarsita tentang cerita-cerita dari temannya, dan dongeng-dongeng yang pada waktu itu sudah ada. Semuanya itu diubah dan ditambah oleh R. Ng. Ranggawarsita menurut kehendak hatinya.
C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (Javaansche Geschiedschrijving, dalam geschiedenis van Nederlands Indie, 1938) mengakui bahwa pihak Barat belum memberikan perhatian yang berarti terhadap Pustakaraja, namun diakui bahwa R.Ng. Ranggawarsita mempunyai pergaulan dengan ahli-ahli ilmu bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan Barat. Selanjutnya dikatakan bahwa R.Ng. Ranggawarsita dalam menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh bahan-bahan ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya dikatakan juga bahwa R.Ng. Ranggawarsita (ternyata) mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan tarikh peristiwa-peristiwa yang dibukukannya. Ia selalu memberikan dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi menurut tahun Komariyah. Berdasarkan kenyataan itu bukan mustahil bila sesungguhnya R.Ng. Ranggawarsita bermaksud untuk menulis sejarah menurut tanggapan Barat. Bahwa usahanya tersebut tidak berhasil tidaklah penting. Apabila R.Ng. Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah pertama yang beraliran modern, maka kiranya kita harus membedakan karyanya dengan karya rekan-rekannya yang terdahulu, karena yang disebut belakangan ini (R.Ng. Ranggawarsita) bukanlah orang yang mempelajari ilmu sejarah, akan tetapi pendeta-pendeta magi sastra, pujangga dalam arti yang asli, “manusia ular”. Di sini C.C. Berg hanya dapat mengemukakan tidak lebih dari perkiraan-perkiraannya (Berg, 1974: 87).
Pigeaud dalam Literature of Java Volume I (1967) menyatakan:
“Rangga Warsita’s books on mythology and ancient history, which he called Pustaka Raja, Books of Kings, impress the reader in a remarkable way.
The events of myth and epic history are dated consecu-tively according to a chronology, solar and lunar years, of Rangga Warsita’s own invention, and so the Pustaka Raja makes an impression of being historically reliable, which it is not. Rangga Warsita’s chronicles of creation, cosmogony, myth and epics have parallels in the literatures of other peoples. His, at first sight preposterous, idea of dating all tales is to be considered as a consequence of his thoroughly Javanese belief in an all pervading Order, which should also be made visible in myth and ancient history” (Pigeaud, 1967: 170).
Menurut Sri Mulyono, Serat Pustakaraja, khususnya Serat Pustakaraja Purwa, adalah hasil saduran kembali cerita dalam Mahabharata dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Serat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita Mahabharata versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). Serat Pustakaraja isinya sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan Ramayana maupun Mahabharata. Keanehan dalam Serat Pustakaraja tersebut justru sering dinilai “sangat menakjubkan” sehingga para sarjana berkesimpulan bahwa kitab tersebut adalah wishfull thinking pujangga R.Ng. Ranggawarsita sendiri. Di samping itu salah satu maksud tujuan disusunnya Serat Pustakaraja adalah untuk mendidik anak cucu dengan mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu yang terpenting dari segala uraian karya-karya pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Serat Pustakaraja) adalah menempatkan jatining panembah, yaitu memberikan penerangan bahwa dewa-dewa (para Jawata) yang diartikan sebagai nenek moyang orang Jawa itu bukanlah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi hanya sebagai titah biasa (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana, 1980: 2).
Serat Rukmawati
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Serat Pustakaraja menyatakan:Serat Rukmawati, wiyosipun punika cariyos lalampahan-ipun Dèwi Rukmawati, putranipun Sang Hyang Anantaboga anggènipun amemeca saha mitulungi sarana dha-teng sadhengaha ingkang nedha tulung. Kaanggit dé-ning Mpu Sindura ing Mamenang, panganggitipun anuju ing taun Suryasangkala 853, kaétang ing taun Candra-sangkala amarengi 879 (Ranggawarsita, 1938: 17).
(Serat Rukmawati, inilah cerita kisah perjalanan hidup Dewi Rukmawati, putra Sang Hyang Anantaboga ketika meramalkan dan menolong memberikan jalan (petunjuk) kepada siapapun yang meminta pertolongan (padanya). Dikarang oleh Mpu Sindura di Mamenang, penggubahannya pada tahun Suryasangkala 853, dihitung (ber-dasarkan) tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879).
Adapun cerita dalam Serat Rukmawati dimulai dari tahun Suryasangkala 453 (Uninga – marganing – yoga) atau terhitung tahun Candrasangkala 467 (Resi – rasaning – catur) sampai dengan tahun Suryasangkala 456 (Karasa – marganing – dadi) atau terhitung tahun Candrasangkala 470 (Kagunturan – sabda – pakarti – muluk) (Kamajaya, 1994: 33).
Dikemukakan dalam Serat Rukmawati bahwa pada waktu itu pulau Jawa masih bersatu dengan Bali, Madura dan Sumatra. Di Jawa ada empat raja:
- Prabu Brahmanaraja (putra Sang Hyang Brahma), kerajaannya di Gilingwesi tanah Prayangan (Priangan).
- Prabu Sri Mahapunggung, kerajaannya di Purwacarita, termasuk tanah Kendal atau Pekalongan.
- Prabu Basurata kerajaannya di Wiratha yang pertama di tanah Tegal. Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata adalah putra Sang Hyang Wisnu.
- Sri Maharaja Sindhula (putra Prabu Watugunung), kerajaannya di Medanggalungan tanah Pekalongan (Ranggawarsita, 1939: 2-3; Kamajaya 1994: 2).
Pada waktu itu bidadari bernama Dewi Rukmawati, putra Sang Hyang Anantaboga, turun ke dunia dan berdiam di pertapaan di Gunung Mahendra (Gunung Lawu) di tanah Surakarta. Dewi Rukmawati dengan ketajaman penglihatan batinnya sering meramal dan menolong orang yang sedang bersedih sehingga ia termashur sampai ke mancapraja (mancanegara). Pada waktu itu Prabu Basurata mendapat ilham dalam mimpinya bahwa ia hendaknya mencari cara agar mendapatkan putra. Ilham raja tersebut disampaikan kepada para pertapa. Resi Wisama (putra Bathara Laksmana) cucu Sang Hyang Resi Wismana, cicit Sang Hyang Pancaresi, menyarankan agar Prabu Basurata meminta petunjuk kepada Dewi Rukmawati di Gunung Mahendra. Prabu Basurata dengan diiringi Resi Wisama kemudian pergi berkunjung ke Gunung Mahendra. Oleh Dewi Rukmawati, Prabu Basurata disarankan agar pergi ke hutan Madura di tanah Hindi, termasuk dalam wilayah negara Ngayodya, sebab di sana terdapat Jamur Dipa yang tumbuh dari abu Resi Anggira atau yang juga disebut juga Maharesi Paspa. Konon terjadinya abu tersebut bermula ketika Resi Anggira yang dari kanak-kanak sampai tua melakukan tapa brata, sehingga didatangi Sang Hyang Jagadnata untuk memberikan anugerah. Permintaan Resi Anggira adalah bahwa hendaknya telapak tangannya memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga apa yang diraba, terutama kepala seseorang, seketika akan menjadi abu. Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Hyang Jagadnata, akan tetapi Resi Anggira ingin mencoba kesaktian telapak tangannya dengan meraba kepala Sang Hyang Jagadnata. Sang Hyang Jagadnata menolak, tetapi terus dikejar oleh Resi Anggira. Sang Hyang Jagadnata kemudian lenyap dan tidak berapa lama muncullah Sang Hyang Wisnu menyamar sebagai seorang wanita yang sangat cantik bernama Dewi Anggarini. Ketika Resi Anggira mencoba merayu dan ingin mencumbu Dewi Anggarini maka ia disarankan untuk mandi keramas dahulu. Ketika membersihkan rambutnya, Resi Anggira lupa bahwa tangannya sudah memiliki kesaktian yang dahsyat, sehingga akhirnya ia sendiri yang menjadi abu. Karena berujud abu ia juga disebut Maharsi Paspa. Di dalam abu tersebut kemudian tumbuhlah jamur yang terkenal sebagai Jamur Dipa yang dapat menjadi sarana untuk mendapatkan seorang putera yang istimewa. Karena itu Prabu Basurata disarankan untuk mengambil/memetik Jamur Dipa ke hutan Madura di tanah India (Ranggawarsita, 1939: 12-14; Kamajaya, 1994: 3-10).
Ronggowarsito dan Peristiwa Gunung Kapi
Iguchi mengutip Kitab Karya Ronggowarsito III, dengan Mengacu pada Serat Mahaparwa karya Empu Satya pada tahun 851 Sakla (929 Masehi sezaman dengan Era Kerajaan Kediri)Setelah surut Pulau Jawa terbelah menjadi dua, dibagian barat dinamakan Pulau Sumatera dan dibagian timur masih disebut dengan pulau Jawa. Sebagian Gunung Krakatau tenggelam dan menjadi Selat Sunda dan Negeri Samaskuta amblas ke bumi menjadi danau Sinkara (Singkarak) di Padang.
Dalam buku "Catatsrophe - An Investigation into the origin of the modern world", David Keys memperkirakan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau adalah petengahan Abad ke-6 Masehi atau tahun 535 Masehi. Ia juga merujuk Catatan China dalam "History of Southern Dynasties (of Sung)" bahwa pada Desember tahun 529 Masehi terdengar gemuruh yang datangnya dari arah barat daya negeri itu sebanyak 2 kali ledakan. Suara tersebut diperkirakan berasal dari letusan Gunung Krakatau. Dr Wohletz dan David Keys membuat simulasi komputer atas peristiwa letusan Krakatau itu dengan memperkirakan bahwa sebaran magma sebanyak 200 kubik per kilometer dengan diameter 50 kilometer (diperkiran lebih besar dari letusan Gunung Tambora Flores tahun 1815 M). Peristiwa itu membuat Gunung Proto-Krakatau meninggalkan kawah kaldera sehingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Hasilnya seperti pada gambar di atas.
Muncul sebuah pertanyaan apa yang terjadi sebenarnya sehingga terdapat rentang perbedaan tahun kejadian yang jauh sekitar 119 tahun. David Keys memperkirakan kejadiannya tahun 535 M senebtara dalam Buku Raja Purwa (The Book of Ancient Kings) ditulis tahun 436 Masehi. Mungkin terdapat kekeliruan disaat buku Raja Purwa ditulis berdasarka tradisi lisan sebelumnya yang disampaikan secara turun. Sementara dokumen dibuat 1000 tahun kemudian, tentu terjadi bias dan kekeliruan. Yang terpenting bagi kita, menurut David Keys, adalah adanya peristiwa dan indikasi bukti sejarah letusan Gunung Krakatau di masa lalu.
Hasil simulasi Komputer oleh Dr Wohletz atas peristiwa letusan Gunung Kratau juga tidak dapat menentukan kapan peristiwa itu terjadi. Hanya bisa menampilkan efek dari letusan tersebut. Catatan paling kuno dari negeri China menyebutkan bahwa dahulu Pulau Jawa dan Sumatera adalah daratan yang menyatu. Kondisi seperti itu hingga tahun 400 Masehi, Jawa dan Sumatera tetap menyatu. Demikian seperti dikutip dari artikel Prof Chihara, seorang ahli penelitian arsitektur Jawa Kuno. Namun pendapat Prof Chihara belum dapat dijadikan bukti sejarah.
Tahun 416 Masehi adalah masa pemerintahan Tarumanagara oleh raja ke-3 yaitu Sang Purnawarman (395-434 M). Kemudian dilanjutkan masa pemerintahan Sang Wisnuwarman (434-445 M). Pada dua paruh terang, bulan Magha tiga ratus lima puluh tujuh di tahun Saka (357 S/435 M). Maharaja Tarumanagara mengutus dutanya di negeri China. Meskipun demikian, prasasti Pasir Muara (Kebon Kopi II) menuliskan bahwa:
Ini sabdakalanda rakryang juru pengambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca.
Terjemahan dari tulisan tersebut adalah:
“Ini tanda ucapan rahyang juru pengambat, Berpulihkan haji sunda dalam tahun 854 Saka bahwa pemerintah daerah dipulihkan kepada Raja Sunda”.
Prasasti Pasir Muara (Prasasti Kebon Kopi II) ini berangka tahun 854 C (932 M). Prasasti yang berbahasa Melayu kuna ini ditemukan di Desa Kebon Kopi, Kabupaten Bogor. Diperkirakan bahwa "Juru Pangambat" sebagai seorang "pemangku". Angka tahun yang dibaca oleh David Keys pada Prasasti Muara adalah bukan 854 Saka melainkan terbalik menjadi 458 Saka atau sekira tahun 535/536 Masehi.
Pada tahun 535 M adalah masa pemerintahan peralihan diTarumanagara raja ke-6 yaitu Chandrawarman (515-535 M) ke raja ke-7 yaitu Suryawarman 535-568 M). Dalam masa pemerintahan Suryawarman ini, Menantunya yaitu Gururesi Manikmaya mendirikan kerajaan Kendan (di sekitar Bandung). Menurut Keys, ini juga mungkin berkaitan dengan kedudukan pemerintahan Tarumanagara akibat letusan Gunung Krakatau yang memblah pulau menjadi dua yaitu Jawa dan Sumatra.
Pulau Api seperti dalam ilustrasi di atas, menjelaskan seperti yang dimaksud dalam The book of Kings in the land of Archipelago adalah pulau dimana Gunung Api (Gunung Kapi atau Krakatau) berada. Fakta bahwa Jawa Barat, Pulau Api menyatu dengan pulau Sumatera. Terbelahnya kedua bagian pulau panjang (Dawa) tersebut setidaknya pada abad ke-2 Mashi.Peristiwa letusan Kratakau tahun 1883 mengkonfirmasi betapa besarnya efek letusan tersebut. Letusan Krakatau 1883 mengguncang dunia, dimana 813 meter gunung itu meledak ke udara. Suara ledakannya terdengar sejauh 3500 km hingga Perth bagian barat Australia dan Pulau Rodrigues di Samudra Hindia yang berjarak 4800 km jauhnya. Mega Tsunami menghancurkan kota dan perkampungan di sepanjang pantai Jawa dan Sumatera dan merenggut 10 ribu jiwa bahkan ada yang menyebutkan angka 36.417 jiwa.
Mempengaruhi Eropa
Letusan Gunung Krakatau 1883 dilaporkan dalam Jurnal Nature. Sebuah puisi Victorian dikutip oleh Gerald Manley Hopkins (1884 - 1889) yang menjelaskan warna matahari ketika terbenam (sunset) pada 19 Oktober 1884 di Dublin.Sebanyak 11 baris puisi St Telemachus karya Alfred Tennyson dikutip untuk menggambarkan siatuasi Eropa sebagai efek letusan Gunung Krakatau.
Had the fierce ashes of some fiery peak
Been hurl’d so high they ranged about the globe?
For day by day, thro’ many a blood-red eve,
In that four-hundredth summer after Christ,
The wrathful sunset glared against a cross
Rear’d on the tumbled ruins of an old fane
No longer sacred to the Sun, and flamed
Bahwa abu ganas dari puncak gunung yang berapi menutupi dunia. Hari demi hari, malam berwarna merah darah, Pada musim panas ke empat ratus setelah Kristus (400 Masehi), seolah Matahari terbenam dalam murka melotot ke salib. Tidak lagi suci bagi Matahari, dan dinyalakan.
Mengutip dari Davis Keys, bahwa puisi tersebut menggambarkan "Kakatau" dimana puisi Victorian tersebut ditulis pasca kejadian letusan Gunung Krakatau. Pada tahun 2003, Prof Jeff Matthews menjabarkan bahwa puisi St Telemachus telah menggambarkan kondisi atmosfer saat itu (1884) sama dengan kondisi tahun 400 M ketika seorang pendeta Almachius (st Telemachus) mendengar suara Tuhan di Asia (Sekarang Asia Minor atau Anatoria) yang menuju Romawi untuk menghentikan permainan Gladiator. Setelah kematian St Telemachus sebagai Martir, Kaisar Honorius melarang Gladiator di Romawi untuk selamanya.
Sejak letusan besar Gunung Krakatau 1883, tidak ada lagi gunung terslihat di selat Sunda. Namun mulai tahun 1927 muncul Gunung Anak Krakatau yang terus tumbuh. Hingga tahun 2005 ketinggiannya mencapai 300 meter.
Referensi
- Iguchii, Masatoshi. 2015. "Java Essay: The History and Culture of a Southern Country". UK ed. edition: Troubador Publishing Ltd. ISBN-13: 978-1784621513 google Books Diakses 3 Juli 2019.
- Judd, J.W. "The earlier eruption of Krakatau", Nature 40, 1889, 365. Pustaka Raja Purwa (Book of Ancient King).
- Leadbeater, C.W. 1951. "The Occult History Of Java". India, Adyar Madras: The Theosophical Publishing House. Versi online theosophist.org Diakses 3 Juli 2019.
- Tennyson, Alfred. "St Telemachus. telelib Diakses 3 Juli 2019.
- "Ancient Times in the Malay Peninsula". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society Vol. XVII. 1939. Indian Agricultural Research Institute, New Delhi. SINGAPORE: Printers Limited. archive.org Diakses 3 Juli 2019.
- "Menelusuri Jejak Cerita Rama Dalam Serat Pustakaraja Karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita" Majalah Jumantara Edisi : Vol. 3 No. 1 - April 2012. perpusnas.go.id Diakses 3 Juli 2019