Cari

Membedah Pernyataan Ridwan Saidi: Sriwijaya Fiktif

Foto: Antara

[Historiana] - Ridwan Saidi, yang dikenal sebagai budayawan dan sejarawan Betawi menyatakan Sriwijaya dan Tarumanegara adalah kerajaan fiktif. Tak ayal lagi, pernyataan ini dinilai sebagai melawan arus pemahaman sejarah yang mapan dan diterima luas di kalangan sejarawan dalam dan luar negeri. Apakah pernyataan Ridwan cukup kuat? Mari membedah keterangan Ridwan.

Keterangan Ridwan Saidi disampaikannya dalam akun YouTube Macan Idealis yang dipandu oleh Vasco Ruseimy. Ada dua video utama terkait Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Tarumanegara. Sebenarnya pernyatan Ridwan ini telah banyak dituliskan dalam buku-bukunya yang sebagian besar diterbitkan Yayasan Renaissance Jakarta. Namun efeknya lebih terasa ketika pernyataan hasil pemikirannya dalam format video di channel youtube.

Pertama, video berjudul 'Mengejutkan !! BABE RIDWAN SAIDI NGAMUK, Ternyata Sriwijaya Adalah Kerajaan Palsu dan Fiktif' diunggah 23 Agustus 2019'. Video kedua berjudul 'GEGER !! Terbongkar Ternyata Sriwijaya Hanyalah Bajak Laut, dan Banyak Kerajaan Fiktif di Indonesia' diunggah 25 Agustus 2019.

Dalam video 'Geger !!' Ridwan menjelaskan bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah fiktif. Yang selama ini diyakini sebagai Sriwijaya bukanlah Kerajaan, melainkan gerombolan bajak laut yang bermukim di Koromandel (Chola Mandala) di pantai tenggara India Abad ke-7 Masehi. Berikut penuturan Ridwan yang menyebut nama I Ching dari Tiongkok sebagai landasan ceritanya.

1. Soal I Ching (I-Tsing)

Ridwan Saidi:
Kaisar Tiongkok pada waktu itu memanggil I Ching. I Ching adalah seorang pengelana, reporter lah, semacam Ferdinand (Fernao?) Mendes Pinto yang kita ceritakan dalam video yang lain. I Ching diminta oleh raja untuk mencari di mana lokasi Sriwijaya, karena kapal dagang Tiongkok semua terbenam di laut, di sekitar Teluk Benggala sampai Selat Malaka. I Ching pergi mencari, Abad ke-7. I Ching meluangkan waktunya sampai 25 tahun mencari lokasi Sriwijaya. Ke Bali dia pergi.

Catatan:
Berdasarkan penelusuran detikcom, I Ching juga dikenal sebagai Yi Jing, kadang juga ditulis sebagai I Tsing. Benar seperti kata Ridwan Saidi, I Ching hidup di Abad 7, yakni antara 635 sampai 713 Masehi. Dia hidup di era Dinasti Tang.

Namun I Ching bukanlah seorang pengelana atau 'reporter' semacam Mendes Pinto dari Portugal sebagaimana dikatakan Ridwan Saidi. I Ching adalah bhiksu yang menuntut ilmu ke Sriwijaya dan India. Dia termasuk orang Tiongkok yang bolak-balik ke Sumatera Selatan guna menjalani laku intelektual-keagamaan. Dahulu kala, Sriwijaya adalah pusat pendidikan agama Budha. I Ching menyebut Sriwijaya sebagai 'Shili Foshi'.

Kesaksiannya tentang Sriwijaya termuat dalam 'Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan' atau 'Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan'. Buku Yi Jing tersebut sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


2. Sriwijaya adalah bajak laut Suku Bangsa Vijayalaya?

Ridwan Saidi:
I Ching dalam laporannya mengatakan pada akhirnya dia mampir di Kedah (sekarang Malaysia). Orang Kedah mengatakan, Cek I Ching, Sriwijaya punya kerajaan 'tu tak ade lah di dekat sini. Itu adalah di Koromandel, pantai timur India. Itu bukan kerajaan. Itu adalah bajak laut lah. Lantas I Ching pergi ke Koromandel. Dia berjumpa dengan Suku Bangsa Vijayalaya. Itu I Ching menginterview mereka, mereka mengaku memang mengganggu kapal-kapal Tiongkok yang kagak mau menyetor, kalau jaman sekarang ditenggelamin.
Catatan:
Vijayalaya yang disebut Ridwan bukanlah nama suku bangsa, melainkan nama Raja Chola (Koromandel). Vijayalaya Chola of Thanjaur adalah raja yang membawa Kerajaan Chola muncul di abad pertengahan, tahun 850 M, menjadi kekuatan di India selatan. Dia memerintah hingga 1070 M.

Apakah Kerajaan Chola adalah gerombolan bajak laut? Bukan. Chola adalah kerajaan di Abad Pertengahan, bahkan Chola lah yang menginvasi Sriwijaya.


3. Suku Bangsa Shapur dari Persia?

Ridwan Saidi:
I Ching menginterview mereka (bajak laut Koromandel suku bangsa Vijayalaya). Mereka mengaku memang mengganggu kapal-kapal Tiongkok yang kagak mau menyetor ditenggelemin. Lantas I Ching bilang, kamu orang siapa suruh? Dia bilang dia disuruh oleh Suku Bangsa Shapur dari Persia. I Ching pergi ke Shapur dan dia jumpai orang Shapur itu. 
Catatan:
Shapur bukanlah nama suku bangsa sebagaimana dikatakan Ridwan Saidi. Shapur adalah nama Raja Persia Kekaisaran Sasaniyah (Sasanian). Ada dua Shapur. Pertama, Shapur Agung atau dikenal sebagai Shapur I (meninggal 270 M). Kedua, yakni Shapur II lahir 309 M. Pada tahun itu, I Ching Bhiksu dari Tiongkok tentu saja belum lahir.


4. Suku Bangsa Sangkalan nenek moyang Rohingya?

Ridwan Saidi:
Sementara itu Suku Bangsa Sangkalan dari Bangladesh menyerang habis-habisan bajak laut Sriwijaya ini (Chola/Koromandel/Bangsa Vijayalaya menurut Ridwan Saidi). Pertempuran terjadi di Teluk Benggala. Nah Suku Bangsa Sangkalan ini melindungi bangsa-bangsa Indochina. Suku Sangkalan ini kemudian terkenal sebagai orang Rohingya, hahaha... Karena itu mereka merasa berhak tinggal di Burma. 
Catatan:
Dilansir Aljazeera yang mengutip Arakan Rohingya National Organisation, Rohingya telah ada di Arakan sejak dahulu kala. Etnis Rohingya masuk dalam rumpun Indo-Arya, sama seperti orang India, Bengali, Pakistan, dan rumpun Persia. Mereka berbeda dengan orang Rakhine yang kini juga tinggal di Arakan, orang Rakhine adalah rumpun Sino-Tibetan, sama dengan orang Indo-China pada umumnya.

Buku The History of Myanmar karya William J Topich dkk menyebut penghuni kawasan Arakan pada Abad ke-4 SM adalah orang rumpun India, bukan orang rumpun Burma atau Myanmar modern seperti pada umumnya. Buktinya adalah artefak-artefak beraksara Sansekerta. Burma/Myanmar adalah kawasan Indochina awal yang berhasil di-Indianisasi. Pada Abad ke-10, barulah orang-orang etnis Burma bermigrasi dari Himalaya timur ke Arakan. Hingga saat ini, detikcom belum menemukan catatan soal Suku Bangsa Sangkalan seperti yang disebut Ridwan Saidi.


5. Sriwijaya adalah sebutan Ibu Kota Kerajaan Champa Abad ke-13?

Ridwan Saidi:
Ada lagi Sriwijaya Abad 13, tapi ini adalah Kerajaan Champa. Itu ada di Champa, yang sekarang Vietnam. Champa ini ibu kotanya adalah Wijaya. Dia beribu kota di situ. Mereka mengatakan 'Sri Wijaya', 'Wijaya yang Manis'. 'Sri' kan artinya 'manis' dan 'indah'. Mereka membuat prasasti, prasasti sekitar tujuh yang ditemukan di sekitar Sumatera bagian selatan dan Bangka itu prasasti kembaran. Jadi ada dua prasasti dibikin dua kopi. Ditaruh di Sumatera bagian selatan, Jambi dan Bangka. Itu karena di situ ada komunitas Champa. (Sriwijaya di versi Abad ke-7) Itu bajak laut. Kalau di versi Abad ke-13 itu Champa. 

Catatan:
Memang benar, Vijaya (atau bisa juga dibaca 'wijaya') merupakan Ibu Kota Kerajaan Champa. Dalam buku 'Champa and the Archeology of Mỹ Sơn (Vietnam)' dikatakan Vijaya adalah ibu kota terakhir Kerajaan Champa. Bila menggunakan peta saat ini, lokasi Vijaya ada di Provinsi Binh Dinh Vietnam. Champa beserta ibu kotanya dicaplok Vietnam pada 1471 M. Namun detikcom belum menemukan keterangan yang mendukung teori bahwa Sriwijaya adalah Vijaya Ibu Kota Champa, selain keterangan Ridwan Saidi sendiri.

Vijaya adalah nama atau istilah yang umum dalam Bahasa Sanskerta. Selain menjadi nama Ibu Kota Champa pada Abad Pertengahan, Pangeran Vijaya juga menjadi nama Raja Pertama Sri Lanka yang legendaris. Raja pertama Majapahit juga bernama Wijaya. Di Thailand, nama Srivijaya bahkan dipakai sebagai nama universitas, yakni Rajamanggala University of Technology Srivijaya.


6. Jejak Kerajaan Sriwijaya tak ada?

Ridwan Saidi:
Orang ingin membuktikan bahwa itu adalah riil ya (keberadaan Kerajaan Sriwijaya), tapi dia nggak bisa buktikan sampai gini hari. Jejaknya nggak ada. Lalu dia buatlah lukisan-lukisan seolah-olah Kerajaan Sriwijaya di pinggir Sungai Musi. Kagak ada.
Catatan:
Artefak-artefak peninggalan Kerajaan Sriwijaya benar-benar ada. Di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang terdapat Arca Ganesha setinggi 175 cm. Pernah pula ditemukan di daerah 35 Ilir Kota Palembang, yakni Prasasti Kedukan Bukit, memuat Bahasa Melayu Kuno. Ada pula Prasasti Talang Tuo, dilansir Kemendikbud, dibikin tahun 684 M, ditemukan di sebelah barat Kota Palembang tahun 1920. Candi Muaro Jambi juga merupakan peninggalan Sriwijaya.

Sejarawan JJ Rizal tetap yakin Kerajaan Sriwijaya benar-benar pernah ada. Dia tidak setuju dengan pernyataan Ridwan yang menyangkal keberadaan Sriwijaya. "Saya tidak setuju selama dia tidak dapat menunjukkan bukti yang dikatakannya. Sementara ini, Sriwijaya sudah menjadi accepted history. Penelitian dan penulisan Sriwijaya sudah berjalan selama satu abad lebih. Tak mudah menyatakan Sriwijaya kereajaan fiktif dengan perjalanan panjang risetnya yang begitu intensif, terutama sejak 1980-an oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan peneliti EFEO (Sekolah Prancis untuk Timur Jauh) Prancis," tutur JJ Rizal kepada wartawan.

Sumber: detik.co
Baca Juga

Sponsor