Cari

Kidung Sunda Sebuah Karya Sastra Berkisah Peristiwa Bubat


[Historiana] - Bubat dan Jawa Dalam Tradisi Naskah Sunda Kuno. Pengetahuan penulis teks naskah Sunda Kuno mengenai tokoh serta peristiwa masa lalu yang jauh terpaut dari masa penulisannya. Pastilah diperolehdari berbagai sumber yang sudah dikenalnya hingga saat penulisan teks  naskah itu.

Adapun gambaran untuk masa kemudian kemungkinan besar penulis atau pemrakarsa penulisan teks naskah tersebut sedikitnya masih mengalami atau mengenal tokoh dan peristiwa yang diabadikannya. Oleh karena itu tanpa mempertimbangkan bahan-bahan pembanding, kita sulit menafsirkan bagaimana kisah-kisah yang disebut dalam suatu teks naskah tertentu.

Hingga saat ini belum ditemukan satu teks naskah Sunda Kuno pun yang memuat secara utuh tentang kisah atau cerita peristiwa Bubat-Majapahit, khususnya dan Jawa  umumnya, kecuali dalam karya sastra berjudul Kidung  Sunda berbahasa Sunda, yang sesungguhnya merupakan terjemahan atau saduran dari bahasa sumber bahasa Kawi (Jawa Tengahan). Dalam 31 teks naskah tradisi Sunda Kuno. hanya ada beberapa teks naskah tradisi Sunda Kuno yang mencatat secara sepintas berkenaan dengan istilah Bubat dan eksistensi Jawa dalam hubungannya dengan Sunda. Naskah-naskah Sunda Kuno yang dimaksud ialah: Carita Parahyangan(CP), Kisan Perjalanan BujanggaManik(BM), Amanat Galunggung(AG), Sanghyang Siksakanda’ng Karesian(SSK),danSéwaka Darma(SD).


Pertama-tama dikemukakan terlebih dulu berkaitan dengan salah satu sumberyang menggambarkan serta  merujuk  padakisah “Peristiwa Bubat”diungkapkan dalamkarya sastra berjudul Kidung Sunda yang tertuang dalam dua serial, yakni jilid I dan II, masing-masing kerketebalan 156 dan 203 halaman. Buku yang dimaksud diterbitan (ulang) di Jakarta tahun 1980 oleh Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah.

Penyajian cerita Kidung Sunda tertuang dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia sebagai hasil terjemahan bebas oleh Haksan Wirasutisna  dari bahasa Sunda berbentuk puisi naratif bermetrum pupuh, yang sesungguhnya juga dinyatakan sebagai terjemahan atau saduran dari bahasa sumber bahasa Kawi (Jawa Tengahan). Scara eksplisit hal ini tertulis: Beunang Nyalin tina Basa Kawi, Lalakon Alam Majapait ‘Hasil Terjemahan dari bahasa Kawi, Cerita Zaman Majapahit’. Itulah sebabnya mengapa karya tersebut pada judulnya dilekatkan istilah kidung, yakni sebuah bentuk karya sastra berbahasa Jawa Tengahan yang bermetrum asli Jawa (Nusantara) dan cukup populer pada masanya.

Karya sastra bermetrum kidung telah mendesak karya-karya bermetrum kakawin yang berbahasa Jawa Kuno. Kisah dalam karya sastra Kidung Sunda ini bersifat legendaris. Tidak ada angka-angka tahun kejadian peristiwanya, sekalipun beberapa tokoh cerita yang utama diakui sebagai tokoh-tokoh historis. Seting atau tempat kejadian dimunculkan di dua tempat, yakni: Galuh Pakwan (Wilayah Sunda) dan Majapahit atau Wilwatikta (Wilayah Jawa) dengan pusat peristiwanya di sebuah lokasi yang disebut Bubat (Jawa Timur).

a) Tokoh Cerita Sebagai Pengemban 

Tema Para tokoh atau pelaku yang dimunculkan dalam cerita Kidung Sunda ini pada dasarnya bersifat oposif atau berhadap-hadapan antara pihak Galuh Pakwan (Sunda) dengan pihak Majapahit atau Wilwatikta yang secara kuantitatas lebih didominasi oleh pihak Majapahit. Hal yang dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel-1 Daftar Pelaku Perang Bubat. Sumber: jatimprov.go.id
Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa tokoh pemeran penting dalam kisah Kidung Sundaini adalah dari:
I. Pihak Galuh Pakwan (Sunda):
(1) Prabu Maharaja Galuh
(2) Putri Galuh, Retnayu Citraresmi
(3) Ki Anepaken, Patih Galuh

II. Pihak Majapahit (Jawa):
(1) Ratu Hayam wuruk
(2) Patih Madu, Papatih Majapahit yang memimpin proses lamaran
(3) Ratu Kahuripan, ayahanda Hayamwuruk
(4) Raja Daha, pamanda Hayam wuruk
(5) Gajah Mada alias Ki Lembumuksa, Patih Agung Majapahit.

b) Pada Latar Tersirat Tradisi 

Latar cerita yang dimunculkan pengarang Kidung Sunda ini boleh dikatakan tidak terlalu rumit. Secara garis besarnya hanya digambarkan keadaan di dua buah lingkunan, yaitu suasana tempat atau perkotaan di pesisir pelabuhan dan suasana samar di lingkungan sekitar istana Kerajaan Majapahit. Latar cerita yang dimaksud dapat ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel-2 Latar Peristiwa Perang Bubat. Sumber: jatimprov.go.id
Berdasarkan tabel 2 ini tampak jelas bahwa pengarang Kidung Sunda ini menyajikan hampir keseluruhan peristiwa terjadi di wilayah Majapahit, bahkan tidak terlampau jauh dari pusat aktivitas pemerintahan kerajaan sehari-hari. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemicu konflik terjadi secara tiba-tiba, sekalipun bias-bias itu telah muncul lama sebagai konspirasi di antara tokoh cerita ini.

c) Pengemasan Tema dalam Bentuk Penyajian Cerita 

Teks Kidung Sunda ini intinya mengisahkan tentang perjalanan Prabu Maharaja  Galuh Pakwan mengirngi prosesi pertunangan Putri Mahkota atas lamaran Maharaja Majapahit, Prabu Hayamwuruk. Penyajian cerita tersusun ke dalam 11 konvensi metrum pupuh dari 17 konvensi metrum yang  baku. Adapun susunan nama, intensitas kemunculan, jumlah pada‘bait’, dan karakter atau sifat pupuh yang digunakan sebagai sarana gubahan kisah adalah:
  1. Jilid I terdiri atas 9 pupuh(Dangdanggula 28 pada; Kinanti38 pada; Asmarandana 48 pada; Sinom; 43 pada; Magatru 28 pada; Kinanti 43 pada; Pangkur48 pada; Sinom 20 pada; Dangdanggula 35 pada);  
  2. Jilid II terdiri atas 11 pupuh (Kinanti 67 pada; Pangkur 32 pada; Durma 83 pada; Pangkur 38 pada; Wirangrong 30 pada; Maskumambang 39 pada; Asmarandana 50 pada; Pucung 31 pada; Mijil 26 pada; Sinom 29 pada; Dangdanggula 1 pada).
Tabel 3: Komposisi Metrum Pupuh


    Tabel 3 ini sesungguhnya telah memberi indikasi bagaimanakah gambaran suasana kisah peristiwa itu secara umum terjadi yang disajikan penulis atau pengarang Kidung Sunda. Berdasarkan urutan kemunculan pupuh terbanyak, dapat disimpulkan bahwa suasana dalam kisah ini menggambarkan sebuah harapan akan terwujudnya kegembiraan yang tumbuh atas jalinan kasih asmara. Namun, harapan itu harus kandas akibat adanya sebuah ambisi terselubung dari salah satu pihak ketiga yang sangat berpengaruh sehingga  terjadilah perselisihan yang membangkitkan angkara murka pada kedua belah pihak untuk saling mempertaruhkan kehormatan dan wibawa negeri masing-masing.
Akibatnya adalah sebuah peristiwa tragedi gugurnya salah tokoh sentral dari salah satu pihak, di samping tokoh pendamping dari kedua belah pihak. “Nasi telah menjadi bubur” adalah salah satu peribahasa yang tepat ketika bias-bias pemicu peristiwa itu dapat diketahui. Akhirnya yang muncul kemudian dialami oleh tokoh sentral di pihak lainnya adalah kekecewaan yang memilukan dan mengakibatkan prihatin diri melanda jiwa sang tokoh itu hingga akhirnya menuju ke alam kematian pula. Di situ tampak sebuah tema cerita, yakni “kasih tak sampai” yang disiratkan oleh pengarang lewat sebuah karyanya yang berjudul Kidung Sunda itu.

Naskah Carita Parahiyangan (CP)

Perihal naskah Carita Parahiyangan, Holle (1882:94) menulis: Dat ms. Is gegriffeld op lontar en heet Tjarita Parahyangan‘naskah itu ditulis pada lontar dan dinamai Carita Parahyangan’. Kini naskah itu diberi No.406, disimpan pada Bagian Koleksi Naskah PNRI di Jakarta. Bahan tulisannya daun tal(lontar) dan jenis demikian  menurut catatan Rumpius (1750, I; 51, 56), disebut de lontarus domestica (Van der Molen, 1983: 89). Naskah tersebut ditulis pada tahun 1601 Masehi dengan aksara dan bahasa Sunda Kuno. Pada bagian episode  VIII,XIV,  dan XV, naskah CP mencatat nama tokoh Rakéan Jambri, yakni Rahyang Sanjaya dengan gelar Prabhu Harisdharmma, yang menjadi Maharaja Sunda selama 9 tahun, yaitu pada tahun 645-654 Saka/723-732 Masehi (Atja, 1967; Noorduyn, 1962a, 1962b, 1966).

Menjelang penyerahan kekuasaan kepada anaknya, Rhayang Tamperan, Sanjaya menganjurkan anaknya beralih agama  karena dengan agama yang ketika itu dianutnya, Sanjaya hanya menyebabkan orang menjadi takut saja:
(XV) ... Mojar Rahyang Sanjayangawarah anakniraR akéyan Panaraban, inya Rahyang Tamperan, "Haywa dék nurutan agama  aing, kéna aing mretakutna urang réa!" Lawasnyia ratu salapan tahun, disilihan ku Rahyang Tamperan.... (XV)  ... Tembey Sang Resiguru mangyuga taraju Jawadipa. Taraju ma inya na Galunggung, Jawa ma ti Wétan...." Rahyang Sanjaya berkata, menasihati putranya, Rakeyan Panaraban, yaitu Rahyang Tamperan: “Janganlah meniruanutanku, karena  aku  membuat  takut orang banyak!” Ia menjadi raja selama 9 tahun,  digantikan oleh Rahyang Tamperan.... Mulailah Sang Resiguru menciptakan keseimbangan di Pulau Jawa. Pengimbangnya ialah Galunggung, dan sementara Jawa di sebelah timur’.

Berdasarkan teks naskah CP pula, sejak sekitar abad ke-14 M hingga akhir abad ke-16 M, Sunda diperintah tidak kurang dari 14 orang raja. Di antara mereka ada yang berkuasa di seluruh wilayahkerajaan Sunda yang meliputi Sunda Barat (Pakwan Pajajaran) sekaligus Sunda Timur (Galuh Pakwan), ada pula yang hanya berkuasa di salah satu wilayah tersebut.

Dalam tulisan ini, dapat ditunjukkan beberapa orang raja yang bertakhta diKerajaan Sunda pada sekitar abad XIV-XVM sebagai berikut: (1) Prabu Linggadewata, dikenal sebagai sang  mokténg  Kikis,  memerintah  22  tahun (1311-1333 M), digantikan menantunya, ialah (2) Prabu Ajiguna Linggawisesa, dikenal sebagai sang mokténg Kiding, memerintah 7 tahun (1333-1340 M), digantikan puteranya, ialah (3) Prabu Ragamulya Luhurprabawa alias Sang Aki Kolot, dikenal sebagai sanglumah ing Taman, memerintah 10 tahun (1340-1350 M), digantikan puteranya, ialah (4) Prabu Maharaja Linggabhuwanawisesa, dikenal sebagai sang mokténg Bubat, memerintah selama 7 tahun (1350-1357 M), digantikan oleh adiknya, bernama (5) Rahyang Bunisora atau  MangkbhÅ«mi Åšuradhipati yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Sang Lumah ing Geger Omas di Jampang. Ia menjadi wali raja Sunda lamanya 14 tahun (1357-1371 M), digantikan oleh keponakannya sekaligus juga menantunya, yaitu PrabhÅ« Niskalawastu Kancana atau Resiguru DewatabhÅ«wana atau Ratu Dewata, juga yang dikenal dengan sebutan Sang Lumah ing Nusalarang, menjadi raja Sunda lamanya 104 tahun (1371-14756 M).

Di dalam teks naskah Jawa Kuno, Pararaton (Brandes, e.a., 1920: 36, 157-158) terdapat episode (Pasunda Bubat, yang menewaskan Ratu Sunda) Sang Ratu Maharaja pada tahun 1279 Saka (1357 Masehi), Prof. Poerbatjaraka berpendapat: Waar wij nu gezien hebben date een zekere Maharadja, koning van Sunda, in 1279 te Bubat sneuvelde. Is het m.i. niet te gwaagd om aan te namen dat hij dezelfde Maharadja is, die in 1255 het hof Pakwan Padjadjaran stichte ‘Maka kini kita telah melihat bahwa seorang Maharaja, ratu Sunda, pada  tahun  1279 tewas di Bubat. Menurut pendapat Undang A Darsa, tidaklah berbahaya untuk menduga bahwa, dia adalah Maharaja yang sama dengan yang menyusuk keraton Pakwan Pajajaran (dalam pengertian: nyusuk= stichten!)’.

Disadari oleh  Poerbatjaraka bahwa, pendapatnya itu bertentangan dengan pendapat C.M. Pleyte (1911: 167) dan Hoesein Djajadiningrat (1913: 142; 1983: 157) yang kedua-duanya sepakat bahwa, Maharaja yang disebut dalam teks naskah Pararaton adalah pendahulu Niskala Wastu Kancana.Berkenaan dengan Carita Parahiyangan, Poerbatjaraka (1919-1921: 394) menyatakan, na schrivers grondig onderzoek is ‘terbukti teks naskah itu kacau’, tidak bisa  diharapkan lagi. Untuk mendukung pendapatnya itu, Poerbatjaraka mengutip keterangan Holle (1867: 561; 1882:  94), dan selanjutnya Belau berpendirian bahwa, Carita Parahiyangan tidak terlalu tinggi nilainya apabila disejajarkan dengan keterangan otentik, seperti: prasasti Batutulis, piagam Kebantenan, dan sebuah kronik (tarikh) seperti naskah Pararaton yang telah diakui kesahihannya (de betrouwbaarheid algemeen wordt  erkend). Namun anehnya, biarpun begitu Poerbatjaraka mengutip juga penggalan kalimat-kalimat pendek yang dapat dianggap menguatkan keterangannya, bagian yang juga pernah dikutip oleh Holle dan Pleyte. Berikut ini  dapat ditunjukkan bagian yang dimaksud (lihat lempir 21ab: Atja, 1968; Atja & Saleh Danasasmita, 1981; Darsa & Ekadjati, 1995):
XVIII (...) Manak deui Prebu Maharaja, lawasnya ratu tujuh tahun, kéna kabawaku kalawisaya, kabancana ku seuweu di manten ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réa sangkan nu angkat ka Jawa mumul lakian diSunda.Panprangrang di Majapahit. Aya ma seuweu prebu, wangi ngarannya,  inyana Prebu Niskala Wastu Kancana nu surup di Nusa Larang ring Giri Wanakusumah.

Terjemahan Poerbatjaraka terhadap kutipan tersebut adalah sebagai berikut:
(...) en  kreeg  weer  een  zoon  Preboe  Maharadja.  Toen  deze  7  jaar  regeerde  is  hij  geraakt  in  valstrik,  in  een  bedrog  door  een dochter,  bekend  onder  den  naam  Tohaan (kroonprinces),die  een  groote  bruidschat  begeerde,  waarom  vele  menschen  naar Djawa trokken, omdat zijn niet in Soenda wilde trouwen. Men voerde strijd te Madjapahit. Er was een zoon van Preboe Wangi genaamd  Preboe Niskala Wastoe Kancana, die gestorven is op eiland Larang,op den berg Wana Koesoema (Poerbatjaraka, 1919-1921: 396).

Adapun terjemahan kami adalah sebagai berikut:
(...) Berputera pula Prebu Maharaja, lamanya menjadi ratu 7 tahun, karena terkena jerat perbuatan khianat, terbawa bencana oleh  puterinya yang bernama Tohaan (puteri mahkota). Menginginkan maskawin yang besar. Itulah penyebab  banyak  orang yang pergi ke Jawa, enggan yang bersuami di Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit. Adalah seorang putera prebu, harum namanya, ialah Prebu Niskala Wastu Kancana, yang wafat di Nusa Larang di Gunung Wanakusumah.

Naskah Kisah Perjalanan Bujangga Manik (BM)

Intisari teks naskah ini berisi catatan data topografi perjalanan Bujangga Manik mengelilingi Pulau Jawa pada akhir abad ke-15 Masehi dengan meninggalkan aspek-aspek kisah penting, seperti, gambaran tataruang istana Pakuan, detail-detail kehidupannya sebagai pertapa atau peziarah, dan perjalanannya yang terakhir menuju kesorgaan setelah dia meninggal dunia. Naskah lontar yang berisi kisah Bujangga Manik kini tersimpan  dalam koleksi Bodleian Library di Oxford, London Inggris semenjak tahun 1627 (atau 1629) yang diserahkan ke perpustakaan oleh seorang kolektor benda antik dari Newport, bernama Andrew James. Demikianlah Bujangga Manik mencatat (brs. 80-85):

Sadatang ka tungtung Sunda,
meuntasing di Cipamali,
datang ka alas Jawa.
Ku ngaing geus kaideran,
lurah-lirih Majapahit,
palataran alas Demak.

‘Sesampainya ke perbatasan Sunda,
kuseberangi sungai Cipamali,
tibalah ke wilayah Jawa.
Semua telah kujelajahi,
beberapa daerah Majapahit,
dataran wilayah Demak’.

Berdasaran kutipan catatan itu dapat diketahui bahwa Sunda, dan Jawa dalam hal ini kerajaan Majapahit masih eksis, tetapi Demak pun tampak sudah muncul. Dalam kaitan ini, Atja & Ayatrohaédi (1986:50) mengemukakan bahwa pada tahun 1476 M, Raden Patah diangkat menjadi Adipati Demak. Tiga tahun berikutnya (1479 M), Raden Patah melenyapkan prabhawa Wilwatikta dengan dukungan para guru agama, yaitu para wali sembilan. Dengan demikian, catatan kisah perjalanan Bujangga Manik itu besar kemungkinan dilakukan pada sekitar tahun tersebut.Di sisi lain, teks naskah BM mencatat kebanggaan tokohnya setelah mengembara ke wilayah Jawa (brs. 327-331):

Teher bisa carék Jawa,
weruh di na eusi tangtu,
lapat di tata pustaka,
weruh di na darma pitutur,
bisa di sanghiang darma.


Kemudian pandai pula berbahasa Jawa,
mengerti tentang hal hukum,
menguasai tentang berbagai kitab,
paham dalam hal adat-istiadat,
mahir di dalam bidang peradilan.

Berikut ini nukilan teks naskah BM yang mencatat sebuah tempat bernama Bubat-Majapahit tanpa menyingung kisah tentang peristiwa yang pernah terjadi di tempat tersebut (brs. 798-811):

Sacunduk aing ka Wakul,
sadatang ka Pacéléngan,
ngalalar aing ka Bubat,
cunduk aing ka Manguntur,
ka buruan Majapahit,
ngalalar ka Darma Anyar,
na Karang Kajramanaan,
ti Kidulna Karangjaka.
Sadatang ka Palintahan,
samungkur ti Majapahit,
nanjak ka Gunung Pawitra,
rabut gunung Gajah Mungkur.
Ti kénca na alas Gresik,
ti Kidul Gunung Rajuna.


Setibanya aku ke Wakul,
datang ke Pacéléngan,
aku berjalan lewat Bubat,
aku tiba di Manguntur,
ke alun-alun Majapahit,
berjalan lewat Darma Anyar,
itulah Karang Kajramanaan,
dari arah selatannya ialah Karangjaka.
Setibanya ke Palintahan,
setelah meninggalkan Majapahit,
berjalan mendaki ke Gunung Pawitra,
tempat suci Gunung Gajah Mungkur.
Dari arah kirinya ialah wilayah Gresik,
di Selatan adalah Gunung Rajuna

Naskah Amanat Galunggung (AG) Teks naskah AG mencatat tentang Jawa serta etnis lain yang diamsalkan perlu  diwaspadai dalam menilai kewibawaan seorang raja dalam rangka memelihara tinggalan tradisi leluhur yang mesti dijaga dan dihormati. Hal dimaksud tampak dalam catatan (lempir 1a-1b) berikut.
Jaga dapetna pretapa dapetna pagengeun sakti, beunangna ku [Sunda], Jawa, Lampung, Baluk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na Galunggung. Asing iya nu meunangkeun kabuyutan na Galunggung, inya sakti tapa, iya jaya prang, inya heubeul nyéwana, inya bagyana drabya sakatiwa-tiwana, inya ta supagi katinggalan rama  resi. Lamun miprangkeuna kabuyutan na Galunggung, antuk na kabuyutan, awak urang na kabuyutan. Nu leuwih diparaspadé, pahi deung na Galunggung. Jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalih.Muliana kulit lasun di jaryan, madan na rajaputraantukna beunang ku sakalih.
‘Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh [Sunda], Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan di Galunggung. Siapa pun yang  dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi. Apabila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit  dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain’.

Naskah Sanghyang Siksakanda’ng Karesian (SSK) 

Teks naskah SSK adalah sebuah teks didaktis berisi berbagai  tuntunan norma, petunjuk-petunjuk serta pelajaran moral bagi para pembaca. Teks naskah SSK dianggap sebagai semacam “Ensiklopedi Sunda Kuno” (Suhamir, 1962) karena telah mampu memberi gambaran tentang pedoman ahlak umum bagi kehidupan masyarakat pada masa itu, termasuk berbagai ilmu pengetahuan yang harus dikuasai sebagai pedoman kehidupan praktis sehari-hari.

Berkenaan dengan bidang kebahasaan yangtercatat dalam teks naskah SSK dapat diketahui bahwa sebenarnya  di  wilayah Kerajaan Sunda telah dikenal bermacam-macam bahasa. Bahkan, pada  masa  itu sudah dikenal profesi jurubahasa yang bertugas sebagai penerjemah di dalam pergaulan antarbangsa, antara orang Sunda dengan orang-orang dari negeri luar yang sering mengunjungi bandar-bandar Kerajaan Sunda untuk   keperluan   berniaga dan sebagainya. Profesi jurubahasa itu dikenal dengan istilah Jurubasa Darmamurcaya. Adapun bahasa-bahasa asing yang dikenal ketika itu adalah bahasa:
Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kalantan, Bangka, Buwun, Bétén, Tulangbawang, Séla, Pasay, Parayaman, Nagara Dékan, Dinah, Andeles, Tégo, Maloko, Badan, Pégo, Malangkabo, Meukah, Burétét, Lawé, Sasak, Sembawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpangtiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Séran, Gedah, Solot, Solodong, Baluk, Indragiri, Tanjungpura,  Sakampung, Cempa, dan Jawa.
Jika kita cermati bahasa Sunda yang dipergunakan, terhitung dari bukti  tertuanya sebagai bahasa tulis, dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa hal bahasa Sunda yang dipergunakan  itu memperlihatkan adanya saling pengaruh dengan bahasa lain. Pengaruh yang nampak agak menonjol dibandingkan dengan bahasa lain, berasal dari bahasa Sanskerta, Jawa, dan Melayu. Bahkan, teks naskah SSK mencatat, antara lain,Jawa pada tempat secara khusus dengan menyebutkan:
Kitu upamana urang leumpang ka Jawa, hamo nurut carékna deungeun carana, mangu rasa urang. Anggeus ma urang pulang deui  ka Sunda,  hanteu  bisa carék Jawa, asa hanteu datang nyaba. Poos tukuna  beunang  tandang, ja hanteu bisa nurut carékna.‘Demikianlah umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa dan adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau. Percuma hasil jerih payahnya sebab tidak bisa berbicara bahasanya’.
Selain Jawa, yang dianggap memiliki peranan penting oleh orang Sunda adalah Cina, walaupun peranan penting itu tidak berbekas dalam bahasa. Teks naskah itumenyebutkan: Ini  ma  upama janma  tandang  ka  Cina. Heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di tingkah Cina, di polah Cina, di karampésan Cina.Katemu na carék teulu: kanista, madya, utama.‘Ini mengumpamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina,  paham  perilaku  orang  Cina, kebiasaanCina, pasakanCina, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah, sedang, dan tinggi’..


Naskah Séwaka Darma(SD)

Di samping itu, teks naskah SD pun memberitakan adanya keterampilan orang Sunda di bidang musik dengan  dikenalnya berbagai nama alat gamelan atau alunan suaranya, sebagaimana tampak pada kutipan (brs. 45-52) berikut:

sada canang
sada gangsa tumpang kembang
sada kumbang tarawangsa ngeuik
sada titilaring bumi
sada tatabeuhan Jawa
sada gobéng diréka calintuh dianjung

sada handaru kacapi langsa
sada keruk sagung


‘suara canang’
‘bunyi gamelan tumpang kembang’,
‘bunyi kumbang dan tarawangsamenyayat’,
‘bunyi peninggalan bumi’,
‘bunyi gamelan Jawa’,
‘bunyi baling-baling ditingkah calintuhdi dangau’,
‘bunyi gema kecapi penuh khawatir’,
‘bunyi suara sedih semua’.


Kesimpulan

  1. Tidak ada naskah Sunda Kuno yang menceritakan tentang “Peristiwa Bubat ”secara khusus dan panjang  lebar, kecuali penyebutan informasi pendek dalam teks naskah Kisah "Perjalanan Bujangga Manik".
  2. Sebutan untuk istilah “Jawa”dalam tradisi naskah Sunda Kuno pada umumnya mengacukan kita terhadap sebuah gambaran jalinan ilmu pengetahuan yang harmonis antara Sunda-Jawa (naskah CP, BM, SSK, AG, dan SD).
  3. Tidak ada satu pun naskah Sunda kuno yang menguraikan nuansa-nuansa kebencian setelah “Peristiwa Bubat, justru yang tampak adalah fenomerna penyesalan kedua pihak pendukungnya (naskah CP). 
  4. Isu Bubat “dikenal kembali” dalam masyarakat Sunda Modern setelah terbitnyakembali karya sastra berjudulKidung  Sunda sebagai kajian disertasi CC. Berg dalam tahun 1930-an, yakni dalam karya-karya susastra yang terbit kemudian setelah tahun 1950-an.

Sumber:
Darsa, Undang A. 2018. "Catatan tentag 'Bubat dan Jawa' dalam Tradisi Naskah Sunda Kuno". Disajikan pada kegiatanSeminar“Pasunda-Bubat: Sejarah yang Paripurna”Diselenggarakan oleh PemprovJawa Timurdi Surabaya, 6 Maret 2018. PDF jatimprov.go.id Diakses 1 Mei 2020.
Baca Juga

Sponsor