Cari

Galuh Purba di Masa Raja Rahyang Mandiminyak? - Jawa Pamotan

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Berawal dari pertanyaan dalam video youtube channel Insights & Inspirative: apakah Sang Wretikandayun berasal dari Kendan (Nagreg Bandung) atau dari Galuh Purba? pertanyaan ini menarik keingintahuan penulis untuk menelusurinya.

Ada banyak pertanyaan bahwa apakah Kerajaan Galuh dan Galuh Purba berbeda atau sama? Kerajaan Galuh ditenggarai sebagai wilayah Kawali Ciamis sekarang ini. Namun dalam kisah awal pendirian atau tepatnya pemisahan Kerajaan Galuh dari Kerajaan Tarumanagara yang berubah menjadi Kerajaan Sunda, nampaknya Galuh adalah sebuah wilayah yang luas. Tidak banyak sumber sejarah yang menggambarkan wilayah kekuasaan secara jelas. Hanya disebutkan bahwa batas kerajaan Galuh dan Sunda dipisahkan oleh Sungai Taruma (sekarang Citarum). Sebelah barat sungai Taruma adalah Kerajaan Sunda dan sebelah timur sungai Taruma adalah Kerajaan Galuh. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Sang Wretikandayun kepada Sang Tarusbawa, raja Tarumanagara yang mengubah kerajaan menjadi Kerajaan Sunda pada tahun 669 M. Sang Tarusbawa adalah menantu raja Tarumanagara, Maharaja Linggawarman. Ia pulalah yang menjadi raja pertama Kerajaan Sunda. Pernyataan Mahardika atau merdeka, telepasnya wilayah timur Sungai Taruma sebagai Galuh terjadi pada tahun 670 M. Dengan demikian Galuh dan Sunda berjalan masing-masing dalam kedudukan sejajar.


Kerajaan Galuh didirikan pada tahun 612 M oleh Sang Wretikandayun. Silsilahnya dari Kerajaan kendan (Nagreg Bandung). Leluhurnya adalah Sang Gururesi Manikmaya pendiri kerajaan Kendan, sekaligus menantu raja Tarumanagara. Gururesi Manikmayata atau Maha Guru Manikmaya atau Raja Maha Guru Manikmaya atau Sang Manikmaya adalah seorang Resi, rahib. pendeta atau Guruloka di Mandala Kendan. Mandala Kendan ini adalah cikal bakal Kerajaan kendan.

Resi Maha Guru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Sebelum Sang Manikmaya tiba di Kendan, dipastikan daerah tersebut sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri Kendan dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia berada di Kendan, dalam kapasitasnya sebagai resi.

Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal (Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ).

Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manikmaya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.

Setelah Maha Guru Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suraliman, putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suraliman, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang Suraliman berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan, putranya.

Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena hidupnya minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang Jati, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di Medang Jati.

Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang berada di wilayah Kendan, yakni Mangukuhan di kuli-kuli ; Karungkalah di Surawulan, Katungmaralah di Peles Awi, Sandangreba di Rawunglangit, dan Wretikandayun didaerah Menir.

Berbeda dengan kisah tersebut, di dalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan dibedakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ; Karungkalah menjadi pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa Kendan. Menurut salah satu versi, pemberian nama profesi tersebut bukan yang sebenarnya, namun sebagai simbol.

Sang Kandiawan menduduki tahta Kendan selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian ia digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.

Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan Kendan kepada Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya. Pewarisan demikian sebenarnya tidak biasa “digebyah uyah”, mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki ciri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.

Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi Kendan karena ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniawian, atau kepanditaannya tersebut pada masa itu dianggap sebagai suatu bentuk keahlian yang cocok untuk memimpin Kendan. Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah keberadaan Kendan, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi maha Guru Manikmaya. Namun untuk sekadar alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.

Kisah penguasa Kendan pasca Wretikandayun sengaja tidak diuraikan lebih lanjut, mengigat masa tersebut Kendan sudah malih rupa (berubah) menjadi Galuh dan sudah tidak berada lagi diposisinya semula. Selain hal tersebut, dalam perkembangannya Galuh memiliki jalan sejarah yang khas dan hingar bingar dari perpaduan masalah politik kekuasaan dan pentaatan terhadap keyakinan raja-rajanya.

Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang dilarang didalam tradisi Kendan, karena Wretikandayun didalam episode Galuh mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya. Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara. Di masa inipun terjadi peristiwa perebutan kekuasan dan masa-masa berikutnya.

Dimanakah Wilayah Kerajaan Galuh Purba?
Selama ini wilayah Kerajaan Galuh purba seakan tumpang tindih dengan wilayah Kerajaan Galuh dan Medang. Adakah batas sebenarnya dari kedua kerajaan ini? Banyak pertanyaan terkait masalah wilayah Galuh, Galuh Purba dan Medang. Ketiganya eksis pada waktu bersamaan. Sebaliknya lebih mudah memisahkan wilayah Galuh dan Sunda, yaitu sungai Taruma seperti telah dibahas di atas.

Kembali ke zaman Tarumanagara. Berdasarkan gambaran wilayah kerajaan hingga mencakup wilayah Galuh, tentunya kita harus menelusurinya dari zaman ini. Namun sayangnya, sumber catatan sejarah di zaman Kerajaan Tarumanagara sangat minim.

Ada banyak jejak nama tempat (topinimi) yang menggunakana nama "Galuh" hingga sekarang. Ada Galuh timur, Ujung Galuh, Megaluh, Galuhan, Poh Galuh dan lain-lain. Bila menjejaki naskah kuno dari pulau Bali, ada naskah lontar "Puwa Agama" yang menyebut Jagat Galuh di Daha. Masih samar-samar bagi kita untuk mengidentifikasinya karena minimnya penelitian mengenai ini.

Selaim toponimi terkait Galuh, sebutan Maharaja Galuh juga tersemat kepada penguasa Kerajaan Mataram Hindu (Medang). Dalam prasasti Prasasti Tulangan 832 Śaka (kini berada di Rijksmuseum Leiden - Belanda) Menyebut Sri Maharaja Galuh. Ditemukan di Jedung, Mojokerto, Jawa Timur. Prasastinya telah hilang, namun kopiannya disimpan di Rijksmuseum, Leiden - Belanda. Prasasti dikeluarkan oleh Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu.

Para ahli epigrafi menyebutkan bahwa gelar itu merujuk kepada Dyah Balitung. Ada kesamaan nama: "Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu". Dyah Balitung termasuk raja paling banyak mengeluarkan prasasti setelah Rakai Kayuwangi Pu Lokapala (Nastiti, dkk., 1982:3).


Galuh Purba dikisahkan Van der Meulen (1988) pada buku "Indonesia di Ambang Sejarah" menyatakan bahwa pendatang-pendatang dari tanah Kutai datang ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke-1 Masehi. Pendatang-pendatang itu masuk dari pantai Cirebon dan menetap di  pedalaman sekitar gunung Cereme, gunung Slamet dan lembah sungai Serayu.

Kerajaan Galuh Purba dibangun oleh pendatang yang menetap di kawasan Slamet (Ratu Galuh), kemungkinan kerajaan bernama Galuh Sinduala (Bojong Galuh) dan beribukota di Medang Gili (78 M) Namun ini masih di ragukan karena Bahasa dan tulisan sansekerta belum di kenal luas pada jaman itu.
Di bawah Galuh purba atau galuh Gora.. (gora adalah nama gunung slamet sebelum berubah jadi gunung agung dan akhirnya menjadi gunung slamet), berdiri kerajaan-kerajaan kecil. Pada abad 1 – 6  banyak kerajaan yang memakai kata galuh selain kerajaan Galuh Purba di Jawa. Diantaranya:
  • Kerajaan Galuh Rahyang yang berlokasi di Brebes, beribukota di Medang Pangramesan
  • Kerajaan Galuh Kalangon yang berlokasi di Roban, beribukota di Medang Pangramesan
  • Kerajaan Galuh Lalean yang berlokasi di Cilacap, beribukota di Medang Kamulan
  • Kerajaan Galuh Tanduran yang berlokasi di Pananjung, beribukota di Bagolo
  • Kerajaan Galuh Kumara yang berlokasi di Tegal, beribukota di Medangkamulyan
  • Kerajaan Galuh Pataka yang berlokasi di Nanggalacah, beribukota di Pataka
  • Kerajaan Galuh Nagara Tengah yang berlokasi di Cineam, beribukota di Bojonglopang
  • Kerajaan Galuh Imbanagara yang berlokasi di Barunay (Pabuaran), beribukota di Imbanagara
  • Kerajaan Galuh Kalingga yang berlokasi di Bojong, beribukota di Karangkamulyan
Kerajaan-kerajaan diatas  merupakan bagian-bagian dari  Kerajaan Galuh Purba  tapi justru kerajaan-kerajaan tersebut ada yang kemudian berkembang lebih besar dari  kerajaan besar Galuh Purba.
Kekuasaan Galuh Purba

Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah yang sangat luas dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen dan juga ada yang menyatakan sampai Kedu, Kulonprogo juga Purwodadi.

Pada Babad Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara (tulisan Pangeran Wangsakerta dari Cirebon) mengatakan bahwa 3 wangsa yang yang berkembang pada abad VII – VIII adalah Wangsa Kalingga, Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra, yang juga ada kesamaan dengan tulisan Fruin-Mees : Geschiedenis van Java, 1919, halaman 16-20.

Yang berarti bahwa Kerajaan Galuh Kalingga yang sebelumnya merupakan bagian kerajaan Galuh Purba, nantinya akan berkembang pesat dan pamornya mengalahkan Kerajaan Galuh Purba.

Raja Galuh Purba, Rahyang Mandiminyak?
Dalam kisah Carita Parahyangan, putra Sang Wretikandayun pendiri kerajaan Galuh. Namanya Sang Jalantara Rahyang Mandiminyak putra Wretikandayun putra Raja Kandiawan putra Raja Putra Suraliman putra Raja Maha Guru Manikmaya, pendiri Kerajaan Kendan. Dari jalur ibu ia putra Dewi Manawati yang bergelar Prameswari Déwi Candrarasmi putri Resi Makandria.

Ia berputra dari Pwah Rababu (Hasil smarakarma dengan istri kakaknya Sempakwaja) bernama Rahyang Sena atau Bratasenawa, kelak menjadi penggantinya menjadi raja Kerajaan Galuh ke-3, dan Rahyang Mandiminyak pun menikahi Dewi Parwati putri Ratu Shima (Maharani) Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah dan berputri Dewi Sanaha. Kelak Bratasenawa berputra Maharaja Harisdarma Sanjaya, Rakai Mataram.
... selanjutnya begini kerajaan-kerajaan di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menurut tuturan beberapa sang mahaka-

/68/ wi, sejak enamratus limapuluh empat tarikh Saka, di daerah Jawa Barat termasuk Jawa Pamotan, yaitu daerah antara daerah Jawa Barat sebelah timur dan daerah Jawa Tengah sebelah barat, Ketika itu ada tiga raja yang berkuasa, yaitu raja Sunda atau kemudian disebut Pakwan Pajajaran, Rajaguru Saunggalah dan Galuh Pakuan dan termasuk Jawa Pamotan. Adapun disebut begitu ialah karena daerah itu sebagai jembatan antara daerah Jawa dengan dae-

/69/ rah Sunda. Di mana lampau, termasuk daerah kekuasaan raja Indraprahasta. Tetapi akhirnya menjadi satu, sebabnya ialah banyak di antara putri Saunggalah diperistri oleh sang lelaki dari Sunda atau lelaki dari Galuh; putri Galuh diperistri oleh lelaki dari Sunda; putri Sunda diperistri oleh lelaki dari Galuh atau Saunggalah. Makanya ibu kota senandasa berpindah ke

/70/ timur atau ke barat, berikut keluarga dan tentaranya, semua harta, kekayaan raja, pakaiannya dan keluarganya, sekeluarga lelaki dan perempuan, dan semua tentaranya lengkap dengan perlengkapan perang. Selanjutnya, aku tetap mendapat kebingungan dan sangat duka dalam menyusun (kisah) raja-raja Sunda, Saunggalah,dan Galuh yang berkuasa tersebut. Tetapi sedapat mungkin, akhirnya mengambil menurut pengetahuan tentang kisah yang sudah sama dan benar yang berhasil digunakan

/71/ desa-desa. Para peitnggi kerajaan kecil, beberapa pemuka agama, yaitu sang mahabrahmana, rasi, sang dharmadyaksa kewisnuan, sang dharmadhyaksa kesiwaan, dharmadhyaksa kebudayaan, beberapa orang duta dari negara sahabat, sang juru, dipati wedana, dan banyak lagi orang penting lainnya. Semua mereka didatangkan oleh Rahyang Sanjaya. Ada juga dengan perantaraan sang Prabu Bratasenawa; ada yang dengan perantaraan

/72/ sang rajaguru Demunawan mendatangkannya. Ketika itu istana Galuh sebagai tempat berkukup semuanya. Sehabis semuanya bersidang di situ, menyatakan maksud seluruhnya, kemudian oleh Sanjaya Jawadwipa dijadikan beberapa Kerajaan daerah keluarga, di antaranya masing-masing yaitu kerajaan daerah Sunda dan termasuk semua raja daerahnya; daerah rajagama Saunggalah dan termasuk semua raja-raja daerahnya yang dikuasai oleh sang resiguru De-

/73/ munawan dan keturunannya. Sedangkan Galuh termasuk raja-raja daerah Galuh, Jawa Pamotan, yaitu Jawa Tengah sebelah timur sebagian, yang dikuasai oleh putra Rahyang Sanjaya, yaitu Rahyang Tamperan, kemudian Jawa Tengah yang tadinya bernama Galuh Purba, yaitu Galuh Keling, atau Medang awal di daerah Tengah, dijadikan dua kerajaan daerah, yaitu kerajaan Medang diBumi Mataram yang menurut sang mahakawi selanjutnya, dan termasuk raja-raja daerahnya, di-

/74/ kuasai oleh sang prabu Bratasenawa dan Rahyang Sanjaya. Pada waktu itu, sang Prabu Senna sebagai raja maritan, jadi kekuasaannya diberikan kepada anaknya, yaitu Rahyang Sanjaya yang menguasai kerajaan Medang di Bumi Mataram, sedangkan, ayahnya menjadi pertapa di dalam asrama sampai ia meninggal. Selanjutnya Sanjaya menjadi raja Medang diBumi Mataram dengan ibukotanya Mamratipura, mulainya menjadi raja di tahun enam ratus limapuluh empat tarikh Saka. Sedangkan Jawa Timur

/75/ termasuk bumi Sambara dan raja-raja daerah yang ada di Jawa Tengah sebelah Timur, (mereka) dikuasai oleh sang Rakai Narayana dengan nama nobat sang Iswara Kesawalingga Jagatnata Bhuwatala, yaitu wangsa Keling, dan selanjutnya dikuasai keturunannya, kerajaan itu kelak oleh anaknya dipindahkan ke timur. Selanjutnya menurut kisahnya lagi, inilahraja Parwawarnana atau raja-rajayang beikuasa di kerajaan Jawa Tengah dan Jawa Timur di daerah Jawadwipa, termasuk nusa Bali....
Berdasarkan kutipan di atas, sangat erat kaitan wilayah Jawa Tengah bagian barat dan Jawa Barat bagian timur yang disebut-sebut wilayah Kerajaan Galuh dengan batas Sungai Pemali (Brebes) dan Sungai Serayu (Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas). Sedangkan di sebelah timurnya disebutkan "Jawa Pamotan". Kata Pamotan berasal dari "pa" dan "muatan" jadi "pamuatan" atau dalam bahasa Jawa "pamomotan" yang kemudian fonetiknya berubah "pamotan".  Artinya "wadah" untuk memuat sesuatu/barang atau dapat diartikan 'pelabuhan'. Rupanya tempat bongkar-muat barang di zamannya. Nama tempat pamotan sebagai topinimi daerah sebagai nama kecamatan di Rembang Jawa Tengah. Pamotan sangat strategis yang menghubungkan Rembang (ke arah barat), Lasem (ke arah utara) dan Jatirogo Tuban, Jawa Timur. Mungkin di zaman Galuh Purba, daerah ini sebagai tempat bongkar-muat pelbagai kebutuhan penduduk di Jawadwipa. Pun demikian Pamotan di Sidoarjo Jawa Timur dan Pangandaran Jawa Barat, bisa ditafsirkan adalah wilayah yang dekat dengan pelabuhan laut atau sungai.

Peta geologi P Jawa, dimana rembang adalah pesisir laut

Di wilayah Jawa Barat pun terdapat nama desa Pamotan. Desa Pamotan berada di Kecamatan Kalipucang Kabupaten Pangandaran propinsi Jawa Barat. Dalam sejarahnya, wilayah desa Pamotan ini merupakan kerajaan kecil atau 'ke-dalem-an'. Posisi kerajaan berada di tepi sungai Cipamotan anak sungai Citanduy yang selanjutnya bermuara ke sagara anakan /Nusa Kambangan di pantai selatan Jawa (Samudera Hindia). Sejarah yang disampaikan secara tutur tinular (budaya lisan) baru muncul di era Kesultanan Mataram Islam. Secara lebih luas, wilayah ini masuk dalam wilayah kerajaan Galuh Pangauban (pasca runtuhnya Pajajaran 1579).

Meski mungkin tidak sama persis dengan 1.287 tahun lalu, topografi wilayah saat ini di sekitar Kadiluwih tidak jauh berbeda. Prasasti Canggal menurut Soekmono merupakan penanda tegas berdirinya candi Siwa sekaligus menandai awal trah Mataram Kuno di bawah Sri Sanjaya pada 732 Masehi.

Sulit bagi kita membayangkan peta pulau Jawa di masa lalu. Tentunya topografi wilayah tidak seperti sekarang ini. Berdasarkan data penelitian geologis, telah terjadi sedimentasi di pesisir pulau jawa baik di pantai utara maupun pantai selatan Jawa. Secara arkeologis, temuan Jangkar Kapal dan perahu yang jauh dari laut, membuktikan adanya sedimentasi pantai bahkan sungai dan perubahan rupa bumi (topografi) Pulau Jawa dari masa ke masa.


Perahu kuno abad ke-7/8 M ditemukan tahun 2008
di Punjulharjo-Rembang


Galuh Purba dahulu Wilayah Indraprahasta
Masih menurut kutipan di atas, bahwa daerah yang disebutkan di atas dahulu adalah wilayah Kerajaan Indraprahasta yang berpusat di Cirebon Girang. Kerajaan Indraprahasta Cirebon Girang, didirikan oleh Maharesi Santanu pada tahun 398 Masehi. Penyebutan Maharesi menunjukkan bahwa kemandalaan tersebut berbasis agama Hindu-Buddha (Siwa-Buddha). Maharesi Sentanu memimpin Mandala Indraprahasta sejak tahun 398 – 432 Masehi. Maharesi Sentanu dinobatkan sebagai raja dengan gelar Praburesi Indraswara Salakakretabuwana Permaisurinya bernama Indari, putri Dewawarman VIII raja Kerajaan Salakanagara. Kerajaan kecil ini berada di bawah kerajaan salakanagara berlanjut hingga ke kerajaan Tarumanagara. Kedudukan maharesi di Mandala yang kemudian dinobatkan sebagai raja, disebut "Rajamandala" Raja-raja Indraprahasta (perubahan bentuk dari Mandala): 285 – 645 Caka = 360 tahun candra atau 398 – 747 Masehi = 349 tahun Surya. 


Tahun 747 Masehi, Prabu Wiratara yang membantu Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Prabu Sena. Prabu Wiratara mempunyai kakak bernama Citrakirana yang diperistri oleh Purbasora. Tahun 645 Caka (748 Masehi) terjadi Peristiwa Sunda menyerbu Indraprahasta. Setelah Galuh ditaklukkan, Sanjaya menumpas pendukung Purbasora. Terutama kerajaan Indraprahasta, yang turut membantu Purbasora waktu merebut kekuasaan Galuh dari Sena. Indraprahasta yang didirikan sejak jaman Salakanagara - Tarumanagara, ahirnya diratakan dengan tanah oleh Sanjaya, seolah tidak pernah ada kerajaan disitu.”Indraprahasta sirna ing bhumi”.

Penetapan nama dan batas wilayah dilakukan oleh Sanjaya dengan mengumpulkan para raja bawah serta raja-raja dari negri sahabat. Upaya pengumpulan para raja dalam sebuat gotrasawala didukung oleh ayah Sanjaya yaitu Bratasenawa atau Sang Sena atau Sang Sana putra Mandiminyak.

Jejak Sanjaya ada pada Prasasti Canggal (732 M) di Candi Canggal atau Candi gunung Wukir. Pendirian lingga di atas bukit Sthirangga juga dapat ditafsirkan sebagai “tugu” peringatan kekuasaan Sañjaya atas kemenangannya terhadap musuh-musuhnya.

Cri Sanjaya atau Raja Sanjaya memerintahkan pendirian lingga di bukit Sthiranga (Gunung Wukir). Lingga itu merupakan perwujudan (personifikasi) tertinggi Dewa Siwa. Kita kutipkan bait pertama prasasti tersebut. “çākendre’tigete çrutīndriya-rasair ankikrteatsare. vārendau dhavala trayodaçi-tithau bhadrottare kartike, lagne kumbhamaye sthīranga-vidite prāstisthipat parvate, lingam laksana-laksitamnarapatiç çri Sañjayaç çantaye.”

Dalam bait (pada) 2 sampai dengan bait 6 digambarkan seolah-olah sang raja ibarat sebagai dewa-dewa di dalam agama Hindu. Sedangkan pada bait ke-7 digambarkan Pulau Jawa yang tak ada tandingannya tentang hasil buminya terutama hasil padinya.

Negeri itu juga kaya akan emas; pulau yang penuh dengan tempa-tempat pemujaan suci, terutama pemujaan “lingga” yang didirikan di daerah suci yang bernama Kuñjarakuñja, untuk keselamatan rakyat dan dunia.

Pangeran Mandiminyak yang kemudian menjadi Maharaja Mandiminyak sendiri adalah ayah dari Sena dan Sannah, istri Sena. Keduanya satu ayah namun berbeda ibu. Pernikahan ini disebut "pernikahan manu" atau sedarah. Sena dan Sannaha adalah orangtua Sanjaya.

Mandiminyak bersama istrinya Parwati memimpin Kerajaan Kalingga Utara. Setelah Sang Wretikandayun wafat, Mandiminyak juga menjadi raja ke-2 di Kerajaan Galuh menggantikan ayahnya. Oleh karena itu, wilayah kekuasan Mandiminyak sangat luas.

Menurut beberapa peneliti, bahwa di zaman pemerintahan raja Galuh Prabasura atau purbasura atau Purbasora serta Sang Manarah atau Ciung Wanara dan Hariang Banga(h) masih dianggap masa Kerajaan Galuh purba. Terlebih lagi di zaman pemerintahan Wretikandayun.

Jadi, sangat sulit kita melihat batas wilayah Galuh purba dan Galuh Kawi dari awal sejarah pembentukannya. Tetapi jelaslah bahwa Sang Wretikandayun bisa disebutkan berasal dari Kendan juga berasal dari Galuh Purba. Percampuran leluhurnya antar wilayah sangat mungkin terjadi.

Kurangnya bahan dan minimnya pengetahuan penulis dalam merangkai sejarah lokal dengan sejarah lokal di daerah lain, merupakan bagi penulis. Meski dengan suah payah memilah dan merangkai dengan pengetahuan seadanya. Namun di sinilah penulis belajar, pembaca-pembaca kritis menjadi sebuah anugerah. Jejaring sosial memudahkan kita tetap berkomunikasi dan berbagi pengetahuan. Semoga bisa kita gunakan semaksimal mungkin. Penulis masih harus belajar lagi dengan saudara-saudari pembaca semuanya.

Leuwih iwangan, Kurang wuwuhan. Pun
Rahayu


Referensi
  1. Atja. 1968. "Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda". Bandung,  Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  2. Ayatrohaedi dan Atja. 1991. "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4" Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan. ebook version: kemdikbud.go.id Diakses 18 Juni 2020.
  3. Fruin-Mees Willemine. 1919."Geschiedenis van Java". Weltevreden : Commissie Voor de Volkslectuur
  4. Soekmono, Dr. 2017. “Candi: Fungsi dan Pengertiannya”. Jakarta : Jendela Pustaka.
  5. Meulen, W.J Van der. 1988. "Indonesia di Ambang Sejarah". Editor: Sutarjo Adisusilo J. R. Yogyakarta: Kanisius
  6. Sevin, Oliver. 2001. "Migrations, colonisation agricole et terres neuves en Indonésie, Volume 1-2". Presses Univ de Bordeaux. ebook version - Diakses 19 Juni 2020.
  7. Gorsel, JT Van. 2018. "Bibliography of The Geology of Indonesia and Surrounding Areas". Edition 7 - III Java, Madura, and the Java Sea. vangorselslist.com Diakses 19 Juni 2020.

Sponsor