Cari

Sang Layuwatang, apa dan siapa? | Sejarah Kuno Pulau Jawa

[Historiana] -  oleh Alam Wangsa Ungkara || Dalam lintasan sejarah Sunda-Galuh dan Medang/Mataram kuno terdapat nama Sang Layuwatang. Apa itu Layuwatang? Mari kita telusuri.

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Sejarah di Nusantara, khususnya Pulau Jawa dimulai dari abad ke-4 dengan adanya bukti awal tulisan. Bukti tulisan itu terpahat pada prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara Jawa Barat. Raja terakhir Tarumanagara adalah Linggawarman, kemudian dilanjutkan oleh menantunya Tarusbawa yang berasal dari kerajaan bawahan Tarumanagara yaitu kerajaan Sunda pada tahun 669 M. Setahun kemudia, yakni 670 M, Sang Tarusbawa mengumumkan perubahan nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini disusul oleh pernyataan Mahardhika atau lepasnya wilayah timur Sungai Citarum sebagai Kerajaan Galuh oleh Raja Galuh pertama Wretikandayun.

Mengapa Wretikandayun menyatakan melepaskan diri dari Kerajaan Sunda? Alasannya bahwa Sang Tarusbawa sebagai menantu Maharaja Tarumanagara kedudukannya tidak lebih tinggi dari Wretikandayun yang juga keturunan Tarumanagara dari jalur perempuan. Leluhur Wretikandayun adalah menantu Raja Tarumanagara sebelum Linggawarna. Leluhur Wretikandayun dimaksud adalah Manikmaya atau Praburesi Manikmaya atau Raja Mahaguru Manikmaya pendiri Kerajaan Kendan (wilayah Nagreg Bandung sekarang ini).

Raja Maha Guru Manikmaya (536 M - 568 M), berasal dari keluarga Calankayana di India Selatan adalah seorang Pemuka Agama Hindu. Atas Jasa-jasanya dalam menyebarkan Agama Hindu ditanah Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu adalah Suryawarman menikahkan Putrinya yang bernama Tirta Kancana dengan Maha Guru Manikmaya ini. Manikmaya diperkenankan mendirikan Kerajaan Kendan dengan dukungan Tarumanagata berupa penyediaan Prajurit Tarumanagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan. 

Manikmaya mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra Suraliman, hal ini berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya i Bumi Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton Kasepuhan Jawa Barat.

Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.

Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. 

Dari penikahan Suraliman dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan dan puterinya bernama Sang Kandiawati (mungkin ini sebagai gelar sebutan, bukan nama kecilnya).

 

Sang Layuwatang

Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.

Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Mungkin di Cangkuang, Bandung atau tempat lain). Diperkirakan bahwa Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu (sama dengan yang dianut Tarumanagara). Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Kini, ada temuan fondasi candi Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, mungkin terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.

Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja.  Sang Kandiawan (597-612 M) disebut sebagai Sang Layuwatang karena menjadi pertama di suatu tempat bernama Layuwatang. Diperkirakan bahwa Layuwatang adalah nama bukit (Sunda: Pasir) yang berada di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Dengan demikian, menjawab pertanyaan awal dalam artikel ini, bahwa Layuwatang adalah nama tempat. Diperkirakan Sang Kandiawan menjadi pertapa di Layuwatang mulai tahun 612 M.

Carita Parahyangan memberitakan:

“ Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”

“ ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar (Sanghyang Watang Ageung)”. (Carita Parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38). 

Secara etimologis (asal-usul kata dalam bahasa) Layuwatang, penulis belum mendapatkan sumbernya. Namun sedapat mungkin kita amati dari kata Layuwatang terdiri dari 2 kata yaitu layu dan watang. Kata layu sedapat mungkin kita telusuri dari sumber tertua. Kita dapati kata Jawa kuno dan sansekerta terdapat kata Tana Layu yang artinya Tegar, kuat, kokoh atau Abadi. Berkebalikan dengan tanalayu adalah layu yang diartikan pucat tua dan lemah atau dalam pengertian luas adalah miskin atau rakyat yang lemah. Sedangkan kata Watang dapat kita mengerti dari Carita Prahyangan yaitu berupa Balairung atau bangunan beratap (aub) tempat berteduh (ngaub). Jadi, Layu Watang dapat kita definisikan sebagai tempat ngaub/berlindung orang yang lemah. Pengertian ini mirip dengan Pangauban. Oleh karenanya kita sering mendengar bahwa Pakuan Pajajaran adalah "Pangauban Seuweu-siwi Pajajaran" (tempat belindung/bernaung para keturunan Pajajaran).

Berdasarkan naskah lontar Carita Parahyangan, Sang Kandiawan, punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir

Sebagian para ahli dan budayawan Sunda, memperkirakan bahwa lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Bagaimana jika diluar wilayah itu? bisa jadi lebih jauh dari perkiraan kita. Misalnya, Wretikandayun sebagai pendiri Kerajaan Galuh meliputi Jawa Barat bagian Timur hingga Jawa Tengah bagian barat. Bahkan Kelahiran Wretikandayun terjadi di Sunda Sambawa (Bekasi - Jawa Barat, sekarang ini). Lokasi Sunda Sambawa berdasarkan prasasti Kebantenan. 

Baca juga: Prasasti Kebantenan berkisah tentang Sribaduga Maharaja - Raja Pajajaran | Prasasti Kebantenan IV lempeng E.45 dan Apa Agama yang Dianut Prabu Siliwangi? | Prasasti Kebantenan - Bukti Situs Keagamaan di Kerajaan Pajajaran.

Dapat dimaklumi bahwa, Wretikandayun mungkin lama menetap bersama ayahnya di Kota Sunda Sambawa, mengingat Kakeknya (Raja Suraliman) seorang Baladhika (panglima perang) Tarumanagara. Bisa jadi saat masih muda, Ayahanda Wretikandayun, yakni Sang Kandiawa (putra Suraliman) bermukim di Sunda Sambawa hingga naik tahta di Kendan (Nagreg Bandung). Hitungan ini didapatkan dari berita bahwa pernyataan Mahardhika Wretikandayun pada tahun 670 M, saat itu usia Wretikandayun 78 tahun. Sedangkan Galuh didirikan tahun 612 M di saat usia Wretikandayun 21 tahun. Dapat kita hitung mundur bahwa Wretikandayun lahir tahun 591 M di Sunda Sambawa (Bekasi).

Sebagai penggantinya, Sang Kandiawan menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir. Penunjukkan putra bungsu sebagai pengganti Raja tidak diketahui penyebabnya. Namun seperti dejavu, Pasca Wretikandayun Lengser Keprabon, ia juga menunjuk putra bungsunya menggantikannya yaitu Mandiminyak.

Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (harfiah: permata, Kerajaan Galuh). Di masa pendirian awal ini, lokasi Galuh yang dimaksud Wretikandayun belum diketahui. Pada abad ke-14 M, barulah diketahui pemindahan Ibukota Kerajaan Galuh ke lokasi baru bernama Kawali (Disparbud Ciamis, 2017). Digambarkan oleh disparbud Ciamis lokasi Kawali persisi di tengah-tengah segitiga pusat pusat kekuasaan saat itu yaitu: Saunggalah, Galunggung dan Galuh. Jadi posisi Kawali sekarang bukan Galuh (setidaknya Galuh di zaman Wretikandayun). Dijelaskan bahwa Galuh adalah Karangkamulyan, kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis sekarang ini. Raja pertama yang bertahta di Kawali adalah Prabhu Ajiguna Wisesa (1333-1340 M). Namun patut didugi, raja sebelumnya juga sudah bertahta di Kawali yaitu Prabhu Lingga Dewata (1311 – 1333). Kelak tahun 1482 M, Jayadewata atau Sang Pamanahrasa diwastu menjadi Raja Kerajaan Galuh dan Kemudian mewarisi Tahta Kerajaan Sunda dari Mertua sekaligus uwaknya Prabhu Susuk Tunggal karena menikahi putrinya bernama Sakyan Kentring Manik Mahasunda (disebut juga Kentring Manik Mayang Sunda). Kemudian Jayadewata dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja atau secara tradisonal dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Gelar Sakyan (Sakean/Kean), penulis gunakan berdasarkan naskah Daluwang (Kulit Kayu) Cariosan Prabu Siliwangi.

Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kertawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).

Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa. 


Prasasti Layuwatang

Prasasti Layuwatang
Foto: Leiden

Bagian belakang Prasasti Layuwatang
Bergambar Bajra (Vajra)
Foto: Leiden Library

Prasasti Layuwatang berangka tahun 845 M. Prasasti berupa Stambha Bauddha (pada bagian sisi terdapat vajra dan di bagian atas terdapat relief padma). Isi prasasti berupa Susunan meliputi pertanggalan dan penetapan sima oleh Sang Layuwatang Pu Mananggung (Damais 1955, 242).

Prasasti ini adalah peninggalakan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Tetapi mengapa ada sebutan Sang layuwatang? Apakah masih ada hubungannya dengan Sang Kandiawan?

Penulis telah membahas bahwa Galuh adalah Medang. Baca juga: Mana Galuh - Mana Mataram Kuno? Analisis Sejarah dan Wilayah Kedua Kerajaan. Dalam Rajyarajya i bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4 dikisahkan bahwa Sena adalah Raja Galuh Purba sebelum digantikan oleh putranya Sanjaya. 

Tabel raja-raja Galuh dan raja-raja Medang

 

Dalam sejarah Sunda-Galuh disebutkan bahwa Sanjaya adalah menantu Sang Tarusbawa (raja pertama Kerajaan Sunda) sekaligus cicit (buyut) Sang Wretikandayun. Sanjaya putra Sena putra Mandiminyak putra Wretikandayun. Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa sebelum Sena, Mandiminyak bersama Parwati memimpin Kerajaan "Yang dulu disebut Galuh Purba atawa Keling/Kalingga". Toponimi Galuh tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur baik dalam prasasti bahwa wujudnya toponimi daerah itu masih ada hingga kini. Misalnya nama Watugaluh, Poh Galuh, Begaluhan (Bagelen), Hujung Galuh dan Wanua Galuh (Prasasti Plaosan Lor).

Ada berita dari prasasti Canggal di Gunung Wukir, Desa Canggal, Kecamatan Kadiluwih (daerah Salam) Magelang, Jawa Tengah yang ditulis dengan aksara Pallawa berbahasa Sansekerta berangka tahun 732 M (awal abad ke-8 M). Dalam prasasti Canggal ini Sanjaya menuliskan pendahulu Rakai Mataram Sang ratu Sanjaya itu adalah Senna (Bratasenawa) tanpa menyebutkan nama Kerajaannya. Bahkan Prasasti yang dibuat sendiri di zaman Sanjaya ini tidak menyebutkan nama Kerajaannya.  Sejalan dengan Carita Parahyangan, Raja Sanna (Senna) putra Mandiminyak yang dikalahkan oleh Purbasora dari Kerajaan Galuh menyingkir ke daerah Gunung Merapi. Sebelumnya Rahyang Mandiminyak (Ayah Senna) telah berada di daerah tersebut yang dinamakan Kalingga dan memimpin kerajaan bersama istrinya Parwati putri ratu Shima. Pengganti Sanna, Raja Sanjaya berhasil merebut kembali Kerajaan Galuh. Sanjaya sebelumnya telah menjadi raja Sunda, kemudian mewarisi Kerajaan dari Ayahandanya Senna di Kalingga. Otomatis seluruh Pulau Jawa berada didalam genggaman Sanjaya pada abad ke-8 Masehi.

Lokasi tepatnya pusat Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Tengah diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau Yogyakarta pada masa awal berdirinya di bawah pemerintahan Rakai Mataram Sang Sanjaya.

Kemudian, lokasi ibu kota kerajaan ini sempat berpindah-pindah, antara lain ke Mamrati pada masa Rakai Pikatan, pada era Dyah Balitung (Rakai Watukura) dipindahkan ke Poh Pitu, dan sempat kembali lagi ke Bhumi Mataram pada masa Dyah Wawa (Rakai Sumba). 

Prasasti Layuwatang diperkirakan peninggkan zaman pemerintahan Rakai Garung. Rakai Garung memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada periode 828-847 M, dan menghasilkan banyak candi-candi megah di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Prasasti Layuwatang berupa Stambha Buddha dengan relief vajra dan teratai memuat informasi mengenai perintah penetapan sima dari Sang Layuwatang Pu Mananggung. Perintah itu merupakan simbol kekuasaan raja sebagai kekuasaan dewa sebagaimana yang ada pada konsep Dewaraja (Kulke 1978, 1-40). Sang Layuwatang Pu Mananggung dapat dianggap sebagai perpanjangan raja yang berkuasa, sedangkan raja yang berkuasa merupakan perwujudan dewa di dunia. Dengan demikian, penyeruan perintah penetapan sima mengandung kesan sakral, walaupun tidak begitu kuat karena tidak secara langsung berkaitan dengan para dewa.

Terdapat relief vajra dan teratai pada Prasasti Layuwatang (Prasasti Stambha Bauddha dengan relief Vajra dan Teratai). Kedua relief itu merupakan simbol dari Buddhatatwa dan Air Amrta. Buddhatatwa dapat dipahami sebagai inti ajaran dari Buddha sehingga keberadaan simbol itu pada Prasasti Layuwatang memungkinkan asumsi bahwa prasasti itu dipuja. Air Amrta pada Prasasti Layuwatang menambahkan kesan suci pada prasasti. Kedua simbol itu, pada akhirnya, menambahkan kesan sakral dari Prasasti Stambha Buddha dengan relief vajra dan teratai atau, dalam hal ini, Prasasti Layuwatang.

Gelar Sang Layuwatang dalam Prasasti tahun 845 M tentu berbeda dengan Sang Layuwatang yang tersemat pada Raja Kandiawan dari Kendan. Namun jika dilihat dari nama tempat, Layuwatang mengacu pada lokasi kuno di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Penulis belum menemukan sumber pembanding, Sang Layuwatang selain nama tempat mungkin juga sebagai gelar keagamaan. Gelar keagamaan ataupun gelar politik kekuasaan sering kita dapatkan baik dari prasasti peninggalan Mataram Kuno (Medang) atau pun naskah-naskah lontar yang mengacu pada nama tempat diikuti nama diri. Gelar Rakai/Rakean/Rarkyan diikuti nama tempat dan kemudian nama diri. Sang Layuwatang adalah Gelar bagi sosok pengayom pelindung kaum yang lemah.

Memunculkan lagi pertanyaan bagi kita, apakah Layuwatang Kuningan yang dimaksud dalam Prasasti Layuwatang dengan pimpinannya berbeda sosoknya? Mengapa ada di Jawa Tengah? Mungkinkah Sang Layuwatang hadir sebagai penghormatan raja kepada pemangku Kemandalaan yang bergelar Layuwatang dan kepala kemandalaan/kabuyutan itu disebut Sang Layuwatang? Tidak ada lagi sumber lain yang menyebut gelar Sang Layuwatang.

Di zaman itu, tidak ada kerajaan dominan terhadap lainnya. Banyaknya kerajaan yang ada memiliki kemandirin (otonom). Munculnya raja utama atau Maharaja mirip dengan Yang dipertuan Agung. Konsepnya mirip dengan Federasi. Sepintas mirip dengan negara kota (polis) di Yunan. Hampir bisa disebutkan bahwa nama kerajaan cenderung merujuk ke nama tempat ibukota kerajaan itu. Namun dalam bidang keagamaan,ada kebersamaan dalam event tertentu. Bisa jadi dihadirkannya tamu kehormatan yang diundang dalam upacara keagamaan dari berbagai kerajaan. Sulit dibayangkan cara pandang state seperti view orang Barat dan Tiongkok. Di Nusantara menganut konsep Mandala. Dimana kesetiaan suatu wilayah bisa jadi diberikan ke 2 kerajaan atau lebih.

Carita Parahyangan mengisahkan Demunawan (Rahyangtang Kuku atau Seuweukarma) mendirikan Kerajaan Saunggalah di Kuningan. Kekuasannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara,  Pagerwesi,  Rahasea,  Kahuripan,  Sumajajah,  Pasugihan,  Padurungan,  Darongdong, Pagergunung, Muladarma, dan Batutihang. Nama Pagerwesi dan Kahuripan juga disebutkan dalam beberapa prasasti peninggalan Dyah Balitung raja Mataram Kuno, juga wanua Galuh. Dan.. lebih menarik lagi, Dyah Balitung dalam prasasti tulangan (832 saka/910 M) bergelar "Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu"

Ada misteri yang mengusik keingintahuan lebih dalam, bahwa Ciung Wanara atau Manarah mirip dengan Rakai Warak Dyah Manara (804-827) adalahsalah seorang Raja Medang/Mataram Kuno (Prasasti Wanua Tengah III ditemukan tahun 1983 berangka tahun 830 Saka/908 M). Dalam sejarah Sunda, Ciung Wanarah atau Sang Manarah adalah salah seoang raja Galuh. Sementara di Kerajaan Sunda saat itu dipimpin oleh Rakeyan Banga (739-766 M). Mungkinkah Sang Manarah adalah Dyah Manara?

Carita Parahyang memberitakan: Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.  Nurutkeun carita  Jawa,  Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep nga-rusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge. Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabeatna hade. Sang Manisri  lilana  jadi  ratu  geneppuluh  taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang Siksa (CP XV)
 
(Kemudian Sang  Manarah menjadi raja  di Jawa Pawatan/Pamotan (?) menurut ucapan Jawa.  Rahiyang Tanperan menjadi raja selama 7 tahun, karena kelakuannya senang membinasakan orang yang sedang bertapa. Oleh  karena itu ia tidak lama menjadi raja. Sang Manarah menjadi raja selama 80 tahun, karena sempurna menunaikan kewajiban agama. Sang Manisri menjadi raja selama 60 tahun, karena memerhatikan Sanghiyang Siksa).

Catatan: Jawa Pamotan menurut naskah Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa2 sargah 4 adalah wilayah Jawa Tengah sebelah Timur. Jawa Pamotan adalah penghubung antara Sunda dan Jawa. Saat itu yang disebut negeri Jawa adalah bagian Timur saja. Sedangkan bagian Tengah disebut Jawa Pamotan. Kini, Pamotan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Jadi.. memang benar, Ciung Wanara bertahta di Jawa Tengah saat itu sebagai Galuh? Jadi wajar jika kita sulit membedakan teritorial mana Galuh, mana Mataram/Medang? Wajar pula beberapa prasasti peninggalan Mataram Kuno/Medang menyebut daerah Donan (Cilacap) yang diyakini dalam sejarah Sunda bahwa Cilacap adalah Kerajaan Dayeuh Luhur yang dikisahkan bawahan Kerajaan Pajajaran di kemudian hari. Daerah Jawa Tengah telah mencatat sejarahnya sejak abad ke-8 hingga 10 M, kemudian hilang dari catatatn sejarah sejak abad ke-11 hingga 15 Masehi.

Kembali ke memunculkan pertanyaan: Apakah Sang Layuwatang Pu Mananggung adalah merujuk kepada seoang Pendeta berasal dari Layungwatang Kuningan?


Referensi

  1. Alnoza, Muhammad dan Agus Aris Munandar. 2021. "Upaya Pemberian Makna pada Prasasti Berbentuk Stambha dari Jawa Tengah (Abad IX-X Masehi)".  Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol 11 No. 1 (2021). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
  2. Arif, H.A. Kholiq dan Otto Sukatno CR. 2010. "Mata Air Peradaban: Dua Milenium Wonosobo".Yogyakarta: LKIS. google books
  3. Boechari. 1965. "Rakryan Mahamantri i Hino Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadotunggadewi". Laporan KPIN II, Jilid IV, Seksi D, 55-84
  4. ———. 2012. An Inscribed Linga from Rambianak. Dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti, oleh Boechari, 331-341. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  5. ———. 2012b. "Epigrafi dan Sejarah Indonesia". Dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti, oleh Boechari, 3-29. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. googlebooks Diakses 25 Oktober 2021.
  6. Bosch, Frederik David Kan. 1920. "Het Steenen zuiltje van Kadiloewih". Notulen van de Algemeene en Directievergaderingen van het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel LVIII, 52-57
  7. Brandes, Jan Laurens Andries. 1913. "Oud-Javansche Oorkonden". Batavia: Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
  8. Darmosoetopo, Riboet. 1988. "Prasasti Salimar dalam interpretasi, ekspektasi dan eksplanasi". Yogyakarta: Kegiatan Ilmiah IAAI Yogyakarta
  9. ———. 1997. "Hubungan Tanah Sima dengan Bangunan Keagamaan di Jawa pada abad IX-XIV". Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada (tidak diterbitkan)
  10. Damais, Louis-Charles. 1952. I. Études d’épigraphie indonésienne. Bulletin de l’Ecole française d’Extrême-Orient,1-106
  11. ———. 1955. IV. Études d’épigraphie indonésienne: Discussion de la date des incriptions. Bulletin de l’Ecole française d’Extrême-Orient, 7-209
  12. Dispar Ciamis. 2017. "Sejarah Kawali Ciamis". Dinas Priwisata Kabupaten Ciamis, 12 April 2017 Diakses 25 Oktober 2021.
  13. Djafar, Hassan. et al. 2016. "Prasasti Batu Pembacaan Ulang dan Alih Aksara I". Jakarta: Museum Nasional Indonesia Drajat, Hari Untoro. (1986). "Analisa Pendahuluan Bentuk Prasasti Batu." Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV: Cipanas 3-4 Maret 1986, Jilid IV Manusia, Lingkungan Hidup, Teknologi, Sosial-Budaya, Konsepsi dan Metodologi, 469-479 
  14. Heryana, Agus. 2014. "Jejak Kepemimpinan Orang Sunda: Pemaknaan Ajaran dalam Naskah Carita Parahyangan". Patanjala Vol. 6  No. 2, Juni  2014: 163-178. Neliti.com edisi online. Diakses 25 Oktober 2021. 
  15. Maziyah, Siti. "Kondisi Jawa Tengah pada Abad VIII sampai Abad XV M". artikel neliti.com Diakses 25 Oktober 2021.
  16. "Seksi Sejarah Kuno I, Seminar Sejarah Nasional III". Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1982/1983.

Baca Juga

Sponsor