Cari

Piramida Gunung Padang Ala Majalengka | Prabu Aji Putih Tembong Ageung di Patilasan Gunung Balay

Situs Gunung Padang ala Majalengka - Gunung Balay 
[Historiana] - Kini, "Piramida Gunung Padang" Ala Majalengka | Prabu Aji Putih Tembong Ageung di Patilasan Gunung Balay. Tepatnya sebuah Bukit yang sering disebut gunung yang berada di Desa Pancurendang Tonggo, Kelurahan babakan Jawa, Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat.

Batuan penyusun Punden Berundak/Piramida Gunung Balay Majalengka
Foto: Batu yang berada di puncak gunung Balay
Ekspedisi secara swadaya dilakukan pada hari Selasa, 20 Februari 2018. Tim terdiri dari Alam, Asep, Dede dan Isal.



Awalnya tertarik oleh postingan pupuhu Grup Facebook "Madjalengka Baheula (GRUMALA)" mengenai adanya petilasan Prabu Aji Putih dari Kerajaan Tembong Ageung Sumedang di Gunung Balay. Selanjutnya berbekal informasi tersebut, tim mencoba melakukan penelusuran Gunung Balay mulai pukul 10.00 WIB.

Semula dari penelusuran ingin dilakukan dari arah utara, namun ternyata dindingnya sudah longsor. Kami khawatir jika terjadi sesuatu. Kemudian kami memutar ke bagian selatan.

Batuan penyusun "punden berundak" atau terasering batu memang lebih terlihat dari arah utara. Karena penelusuran dari arah selatan, kami harus melalui puncaknya terlebih dahulu, selanjutnya turun ke arah utara. Itu pun tidak berani terlalu bawah. Penyebabnya karena semak belukar dan pepohonan menutupi pijakan kami. Tapi, jika semak-semak disingkapkan, akan terlihat batuan tersebut.

Batuan penyusun "piramida" Gunung Balay sama dengan batuan penyusun Gunung Padang Cianjur. Keduanya berasal dari batuan kekar kolom atau Columnar Joint. Indikasi adanya "kemungkinan" campur tangan manusia di Gunung Balay adalah formasi batuan kekar kolom tersusun secara horizontal (mendatar). Sebagian lagi adalah batuan sungai. Berarti ada kemungkinan batuan dari sungai-sungai terdekat sengaja diangkut untuk menyusun punden berundak/piramida Gunung Balay. Sungai-sungat yang ada adalah Sungai Cilutung/Cimanuk di sebelah selatan dengan jarak lebih kurang 2 km dan sungai Cijuray di utara dengan jarak 1,5 km.







Kata Balay sendiri berarti "dinding batu atau bata". Jadi Gunung Balay adalah "Gunung yang berdinding Batu/bata". Khusus dalam artian ini, Gunung Balay dimaksudkan adalah Gunung berdinding Batu.

Struktur bagunan punden berundak di tatar Sunda bukanlah sesuatu yang asing. Punden berundak adalah budaya asli Nusantara, khususnya Sunda dengan berbagai fungsinya. Sebagai masyarakat yang telah mengenal ajaran spiritual/agama sejak ribuan tahun, punden berundak dijadikan tempat menyepi untunk "mengaji diri". Oleh karena itu mereka yang telah mencapai pencerahan dipanggil dengan nama Aji/Haji/Kaji atau Sang Haji/Sangaji, yaitu orang yang telah mumpuni dalam memahami diri. Sesuai ungkapan bahwa "siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya".

Dasar penelusuran Gung Balay sebagai Mandala Sindangkasih adalah dari Naskah Swawarcinta.
nemu imah kabuyutan,
lemah saki[l]lan pasagi,
teherna ngalingga manik,
rampés gurindaeu[nu]nana,
lamunna diutamakeun,
pinahayu dén sang pandita,
ditarawas dicacaran,
dituaran dipinggiran.
Dé(k) dihuru, suga(n)na panas babakna,
kaaré panycanagarana. Tuluy diduruk,
disasap dimangka linyih,
disaraan diradinan, anggeus ma éta sakitu,
diilikan dibudiyan, disiaran halana hayuna, yogiya rampés
dipahayu, geus ma rampés dipahayu.
doraka diprecinta, diwindu diadu-adu,
diréka diwalangsanga. Diteukteuk disampuraykeun,
ditandé dipasigarankeun, ditiru dijiyeu(n) batur,
diréka ti(ng)kah mandala, diririncik diririak,
diturunkeun ditaékkeun,
dihaeuc-haeuc. beunang ngamanon yuyukeun,
ti pinggir ku batu putih,
beunang ngala ti na tasik.
Wastu beunang nu mahayu,
bantar beunang ngadu balay,
lemah dikakancanakeun, (ka)was papagét[n]an,
Wastu man(a)n di galunggung,
ru(m)bay manan di daksina.
Katurut di jampang manggung, sarwa deung catih hiyang,
kéna tunyjuk mulah carut, sugan sora sagala.
Batur ta di jamburaya, ngarann(a) punycak niskala,
dibalay[a] sakuli(li)ngna,
diawuran (ma)nik a[s]sra, dibaur deung adur omas,
diselang disegé sipat,
ditilik ti kajauhan, caré(n)tam heuleut-heuleutna.
Tajurna sarba kusumah, kusumah ngaraning kembang,
handong bang deung ha(n)dong putih,
handong lungsir kayu puri(ng), mandakaki jambu danti,
wéra tumpang wéra lancar, kembang bulan kembang tanjung,
jelag deung manyara parat,
Menemukan rumah kabuyutan.
Tanah sejengkal persegi,kemudian
ngalingga manik
yang bagus kalau diasah,
kalau dijadikan keutamaan,
diperindah oleh sang pandita,
disiangi, dipangkas,ditebangi,
diratakan pinggirnya.
Akan dibakar,
supaya panas tempat tinggalna,
terkuasai mancanegaranya.
Kemudian dibakar,diratakan supaya bersih,
disapukan dan dibersihkan.
Setelah selesai itu, diamati diperhatikan,
dicari buruk dan baiknya.Pantas, baik, diperindah,
sudah baik tambah diperindah.
Pintunya diperbagus.
Berdampingan diluruskan.
Direka-reka seperti walangsanga.
Dipotong dibiarkan tergerai,
dionggokkan seperti belahan kayu,
ditiru seperti pertapaan,direka seperti mandala,
ditetesi diririak,
diturunkan dinaikkan
dipercepat.
Hasil menggubah seperti mata kepiting,
dari samping dengan batu putih,
hasil mengambil dari danau.
Nyata hasil memperindah,
bantar hasil ngadu balay,
tanahnya dibuat seperti emas,
seperti ukiran.
Lebih jelas daripada di Galunggung,
lebih panjang daripada di selatan.
Ditiru di Jampangmanggung,
Sama dengan catih hiyang,
karena petunjuk jangan disalahkan,
barangkali merendahakan semua.
Pertapaan di Jamburaya,
Namanya puncak niskala,
dipagari batu sekelilingnya,
ditaburi manik asra,
dicampur dengan adur emas,
diselingi
dilihat dari kejauhan,
gemerlapan warna-warni.
Kebunnya serba bunga-bungaan,
kusumah nama bunganya,
hanjuang merah dan hanjuang putih,
hanjuang lungsir,
kayu puring,
mandakaki, jambu danti,
wera tumpang, wera lancer
,kembang bulan, bunga tanjung, jelag
dan manyara parat,
Mungkin sepintas menganggap aneh, mengapa kesimpulan sumber naskah dari Swawarcinta. Ya, ini kami lakukan dengan alasan sebagai berikut:

Pertama dengan mengupas maksud arti sebenarnya dari naskah sebagai "Hidden Code". Kebiasaan karuhun Sunda untuk menyampaikan sesuatu tidak secara to the point, melaikan menggunakan siloka. Apalagi untuk memberitakan adanya Kamandalaan di zaman itu, ketika Islam telah dianut oleh orang Sunda. Adanya penghancuran Kemandalaan atau Kabuyutan menjadi alasan dibalik penggunaan siloka dalam menyampaikan pesan kepada anak cucu.

Kedua, Penulis adalah orang Sunda asli Majalengka. Entah dari Jalur mana, sedangkan diceritakan bahwa leluhur kami ikut menyebarkan Islam bersama Pangeran Muhammad dari Cirebon. Barangkali saat itu Mama Kyai, karuhun kami mempelajari Islam di Cirebon tetapi beliau asli Majalengka. Hal ini juga terjadi pada utusan Pajajaran ke Cirebon, tetapi masuk Islam di Cirebon dan menjadi bagian dari para penyebar Islam. Penulis memiliki nama Wangsa Ungkara (konon Raden Wangsa Ungkara) yang secara resmi tidak lagi digunakan oleh keluarga kami. Alasannya itu nama dari Resi/Wiku/Brahmana Hindu dan secar jelas menunjuk pada Dewa Syiwa.

Dari dua alasan di atas, kami meyakini ada tinggalan agama Hindu yang masih terpendam di Majalengka. Semoga dengan adanya tulisan ini, ada banyak pihak yang menyadari pentingnya sejarah. Sejarah penting bagi kita untuk mengenali jati diri kita di masa lalu, memahami diri kita sekarang dan dapat menentukan masa depan kita.

Lengkapnya ekspedisi Gunung Balay dapat disaksikan pada Video berikut:



Rahayu Bagja Byakta Waluya
Baca Juga

Sponsor