Cari

Asal-usul Majalengka: Melacak Jejak Sindangkasih dari Kerajaan Sumedanglarang

[Historiana] - Menelusuri sejarah Majalengka (baca kecamatan Majalengka kota) selama ini mengacu pada sumber-sumber cirebon. Tidak salah memang. Namun dalam perjalanan sejarahnya, Majalengka yang dahulu Sindangkasih adalah bagian dari Kerajaan Sumedang Larang. Jadi, mari kita menelusuri sejarah Sindangkasih dari Sumedanglarang, sebelum penyerahan wilayah ini ke Cirebon.

Acuan fakta historis Sindangkasih pada data-data zaman kolonialisme Belanda. Perlu kiranya menelusuri lebih jauh pada masa kerajaan pra Islam. Mengapa demikian? karena legenda bahkan mitos Nyi Rambutkasih selalu dikaitkan bahwa saat itu Sindangkasih penganut agama Hindu.

Banyak kritikus kesejarahan Majalengka berkaitan dengan keberadaan Sindangkasih dan Ratu Nyai Rambutkasih. Munculnya silang pendapat ini adalah wajar. Sejarah tak pernah luput dari kepentingan. Pergolakan yang terjadi dalam kerajaan masa lalu pun sarat dengan kepentingan.

Nama Majalengka yang dianggap berasal dari bahasa Cirebon "Maja" dan "Langka" telah memicu silang pendapat. Sumber-sumber naskah Cirebon yang menggambarkan heroisme para pelaku sejarah peng-Islaman barangkali sudah mengalami tambahan yang jauh panggang dari api"

Beberapa sumber naskah Cirebon pun berkali-kali menghadapi bantahan demi bantahan. Sebut saja naskah Pangeran Wangsakerta dan Naskah Mertasinga yang berkaitan dengan cerita Penaklukan Talaga Manggung yang dibantah sebagai hoax. Mengapa naskah-naskah Cirebon cenderung kontroversial? Ya, barangkali naskah disusun sebagai "Pujasastra" yaitu memberikan sanjungan atau pujian bagi para penguasa Cirebon yang heroik dalam proses penyebaran Islam. Ini adalah wajar bagi wilayah tersebut. Namun seringkali menyinggung pihak-pihak yang berkaitan di wilayah lain. Sejarah memang selalu ditulis oleh pihak pemenang.

Kerajaan Sunda-Galuh 

Bicara masalah sejarah Tatar Sunda, tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Sunda dan Galuh serta Pajajaran. Batas wilayah kerajaan Galuh adalah dari Citarum ke arah timur (sebagai batas paling barat) dan Cipamali (Brebes) sebagai batas timur.

Dalam perjalanan sejarah Sunda, Ci Tarum erat kaitannya dengan Kerajaan Taruma, kerajaan yang menurut catatan-catatan Tionghoa dan sejumlah prasasti pernah ada pada abad ke-4 sampai abad ke-7. Komplek bangunan kuno dari abad ke-4, seperti di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di bagian hilir. Sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu dari abad ke-1 Masehi juga ditemukan di bagian hilir sungai ini.

Sejak runtuhnya Taruma, Ci Tarum menjadi batas alami Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma, sebelum akhirnya bersatu kembali dengan nama Kerajaan Sunda.

Ci Tarum juga disebut dalam Naskah Bujangga Manik, suatu kisah perjalanan yang kaya dengan nama-nama geografi di Pulau Jawa dari abad ke-15.

Sejak runtuhnya Taruma, Citarum menjadi batas alami wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma, sebelum akhirnya bersatu kembali dengan nama Kerajaan Sunda.

Hal ini berulang lagi sekitar abad 15, Sungai Citarum sebagai batas administratif antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh. (Map of Sunda and Galuh territory/Wikimedia Commons)
Berdasarkan peta wilayah, Sindangkasih atau Majalengka berada di wilayah Kerajaan Galuh.

Sumber-sumber Sumedang

Sejarah Kerajaan Sumedanglarang sangat berkaitan dengan Sindangkasih. Peta wilayah kekuasaan Sumedanglarang berubah-ubah beriringan dengan situasi politik yang menentukannya.

Cikal bakal kerajaan Sumedang larang adalah Kerajaan Tembong Ageung. Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).

Ketika Sumedang menerima Mahkota Binokasih dari Pajajaran, maka Sumedanglarang menjadi pelanjut kerajaan Pajajaran dengan wilayh bekas Pajajaran, kecuali Cirebon dan Banten. Sindangkasih merupakan bagian dari kerajaan Sumedanglarang.

Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi :
  1. wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia,
  2. wilayah Utara sampai Laut Jawa,
  3. wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan
  4. wilayah Timur sampai dengan Kali Brebes, Kabupaten Brebes
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.

Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut Sumedang Larang.

Dalam Kropak 410 disebutkan, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tadjimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.

Masih belum jelas pula asal - usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tadjimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).

Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tadjimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.

Prabu Tadjimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakra Buana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih.

Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."

Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan - perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke - 8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun - dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.

Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tadjimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tadjimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan tokoh Surya Dewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Talaga, Majalengka.

Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut - nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tadjimalela. Namun, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tadjimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.

Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tadjimalela raja pertama dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung sebagai raja kedua Kerajaan Sumedang Larang yang berkedudukan di Cicanting.

Kisah awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi Babad Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya. Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.

Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tadjimalela.

rabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tadjimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.

Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya, Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan sebagai raja ketiga Kerajaan Sumedang Larang. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.

Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan.

Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing - masing berkedudukan di tempat yang berbeda - beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.

Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Kerajaan Sumedang Larang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.

Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirtakusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Kerajaan Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Sintawati alias Nyi Mas Patuakan sebagai raja keenam Sumedang Larang.

Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.

Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga. Putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya, putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.

Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang.

Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung. Ratu Parung berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.

Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa ketujuh Kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra Pangeran Pamelakaran dari putri Sindangkasih. Pangeran Pamelekaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Syekh Datuk Kahfi.

Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.

Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa kedelapan Kerajaan Sumedang Larang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira - kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.

Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.

Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.

Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu :
  • Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
  • Kiyai Rangga Haji
  • Kiyai Demang Watang Walakung
  • Santowaan Wirakusumah
  • Santowaan Cikeruh
  • Santowaan Awiluar
Yang melahirkan keturunan anak - cucu di Kecamatan Pagaden

Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra - putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun sebagai raja kesembilan. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi :
  • kali Cipamali di sebelah Timur,
  • Kali Cisadane di sebelah Barat, sedangkan
  • di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.

Sindang Kasih

Dalam buku Haan, Frederik: I. "Commentaar § 1-1500. II. Staten en Tabellen", 1912 mengaskan bahwa Sindangkasih yang dimaksud adalah Majalengka. Buku ini merupakan komentar atau review sejarah penyerangan Mataram ke Batavia dari sudut pandang Belanda. Kejadian pada 17 Juni 1741.



Klik untuk memperbesar


Bagian dari Parakanmuncang

Sindangkasih merupakan wilayah Parakanmuncang. Sistem kerajaan Sumedanglarang menyebutnya Umbul, setingkat Kabupaten. Dalam sejarah Parakanmuncang, disebut sebagai kerajaan Parakanmuncang.

Surat-surat dari Ki Somahita (Tumenggung Tanubaya) Parakan Muncang ke Batavia
tahun 1689 s.d 1741 ke pemerintah Hindia Belanda

Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.

Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante dan 18 umbul.
  • Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun - Angun
  • Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
  • Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha (R. Wirawangsa)
Di Kabupaten Parakanmuncang
  1. Selacau
  2. Daerah Ngabei Cucuk
  3. Manabaya
  4. Kadungora
  5. Kandangwesi (Bungbulang)
  6. Galunggung (Singaparna)
  7. Sindangkasih
  8. Cihaur
  9. Taraju
Peta Cirebon-Cheribon tahun 1827
Pada Peta Cirebon-Cheribon tahun 1827 di atas tertera Sindang (kabupaten Sindangkasih?) yang berbatasan di sebelah barat dengan Parakanmuncang dan Kabupaten Limbangan di selatan. Saat itu wilayah Kabupaten Sindang sampai ke pesisir laut jawa, maka tidak heran jika Palimanan dan Kedondong masuk ke Sindang(kasih) yang selanjutnya menjadi Kabupaten Majalengka.

Sindangkasih Majalengka tahun 1840, namun ada cata unik menarik sekaligus menggelitik keingintahuan -silahkan baca di: Kabupaten Sindangkasih: Kabupaten Majalengka Zaman Belanda yang menjelaskan bahwa tahun 1844 (setelah Besluit Gubernur Jendral Hindia Belanda tentang pemindahan kabupaten Maja ke Sindangkasih dan perubahan Maja menjadi Majalengka) masih menyebut kota Sindangkasih. Mungkin saat itu nama kota belum tersosialisasi dengan merata.

Dalam peta, bila dimasukan dengan peta zaman sekarang akan seperti ini:
Batas kabupaten pada peta Cheribon 1937
diaplikasi pada peta modern
Tidak seperti zaman berikutnya, batas kabupaten biasanya aliran sungai. batas seperti itu mengacu pada budaya asli leluhur Sunda sejak zaman Kerajaan Galuh-Sunda Pajajaran. Sepertinya lebih pada pertimbangan ekonomi atau politik Belanda. Akibatnya, pada peta di atas terlihat batas peta sebagian wilayah majalengka modern masuk ke Kabupaten Parakanmuntjang (Parakanmuncang, sekarang masuk Sumedang). Mungkin kota Sindangkasih (Kota Kecamatan Majalengka sekarang) masuk ke Parakanmuncang.

Oleh sebab itu, Tumenggung Tanubaya (ki Somahita) menjadi Umbul Sindangkasih, yaitu Garda pertahan Mataram di Tatar Pasundan yang merupakan Wilayah Ukur dengan Bupati Wedana Dipati Ukur. Umbul Sindang Kasih adalah 1 dari 3 Umbul wilayah Ukur yang tidak patuh pada Dipati Ukur, hingga melaporkan Dipati Ukur ke Sultan Agung Mataram.

Sesepuh dan Budayawan Majalengka, Deddy Ahdiat pernah menggali asal usul Kota Majalengka secara supranatural yang diliput SCTV dalam program Potret, dan dikatakan bahwa Majalengka adalah Mataram peralihan. Awalnya membingungkan, ternyata benar bila mengikuti kisah penangkapan Dipati ukur tahun 1632.

Penangkapnya adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati pada tahun 1632

Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung.
  • Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
  • Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan.
  • Batas di sebelah Selatan laut.
  • Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayahnya karena telah dikuasai oleh Cirebon.

Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1578 - 1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.

Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.

Dalam  surat Rangga Gempol II menyebutkan Sindangkasih dengan kalimat "ditambah Sindangkasih" daerah muara Cideres ke Cilutung. Jadi wilayh ini berada di seberang Cilutung bila dilihat dari Sumedang. Sungai biasanya menjadi batas wilayah di tatar pasundan.

Sewaktu Kerajaan Sumedanglarang di bawah Mataram, terdapat Umbul Sindangkasih (bagian dari kabupaten[?] Parakanmuncang. Umbul Sindangkasih dipimpin Somahita.

Saat itu, Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedang Larang berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten atau VOC yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan VOC dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Gambaran bahwa Kerajaan Sindangkasih tak jauh dari Cideres dan Cilutung. Daerah yang termasuk Kerajaan Sindang dengan wilayah kekuasaanya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakan Jawa, Munjul, dan Cijati. Bila dilihat kondisinya sekarang ini, menunjukkan Kecamatan Majalengka Sekarang. karena perkembangan zaman wilayahnya bertambah Tarikolot (mungkin dulu dimasukan ke Cijati), Cicurug, Sidamukti (mungkin dulu dimasukan ke Munjul), Cibodas (Mungkin dulu sudah dimasukan ke Sindangkasih), Cikasarung, Kawunggirang (mungkin dulunya perbatasan, dan yang masuk ke Sindangkasih hanya Kawunghilir? karena dahulu kawunghilir dan kawunggirang adalah satu desa yakni: Kawungluwuk). Ini pun bukti tertulis sebagai sumber sejarah awal belum penulis dapatkan.

Kita memiliki persepsi tersendiri tentang konsepsi kerajaan. Bila mengacu kepada sistem pemerintahan Mataram (selanjutnya diadopsi, baca=diterapkan oleh Mataram - di Sumedang Larang) akan bingung. Bisa jadi yang sering disebut-sebut kerajaan di Pasundan bisa berupa Kampung, dukuh atau desa. Bisa pula kerajaan yang dimaksuksud hanyah kamandalaan atau kabuyutan. Bisa dibaca juga pada Mandala di Wilayah Kerajaan Sunda.


Memang dalam sejarahnya, Kemandalaan atau kabuyutan ada yang berkembang menjadi kerajaan. Misalnya Kamandalaan Kendan menjadi Kerajaan kendan dengan rajanya Manikmaya. Bisa jadi yang dimaksud Ratu atau Raja Sindang Kasih adalah seorang resi, mengingat saat itu Sindang Kasih sering disebut-sebut masih menganut agama Hindu. Lalu, dimana buktinya? Masih penulis cari bukti fisiknya. Kami dengan beberapa orang tim nyukcruk galur Sindang kasih dianatara Cideres dan Cilutung, khususnya perbukitan. Kami mencurigai bahwa saat itu Sindangkasih sudah tidak beragama Hindu tetapi Budha Tanrayana.

Kami yakin, jika memang benar dahulu rakyat di wilayah sindang kasih beragama Hindu atau Budha akan ada jejak-jejaknya. Kecuali telah dihancurkan semua ketika proses Islamisasi dari Cirebon berlangsung. Sindangkasih bisa jadi pada masa pra-Islam merupakan Kabuyutan atau kamandalaan atau Kabataraan.


Referensi


  1. "Kabupaten Sumedang" wikipedia.org
  2. "Citarum dalam Persfektif Sejarah". National Geographic.co.id
  3. "Surat-surat Tumenggung Tanubaya Parakanmuncang" sejarah-nusantara.anri.go.id
  4. Haan, Frederik: I. "Commentaar § 1-1500. II. Staten en Tabellen", staatsbibliothek-berlin.de

Sponsor