[Historiana] - Naskah (handscrft; manuscript) Sunda ialah sekelompok naskah yang ditulis dalam bahasa Sunda. Dengan ditemukannya naskah-naskah berbahasa Sunda kuno, misalnya naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, dapat disimpulkan bahwa tradisi menulis naskah di kalangan orang Sunda dimulai sejak lama. Dengan ditemukannya naskah-naskah dalam bahasa Sunda baru, dapat pula diambil kesimpulan bahwa tradisi itu berlanjut sampai sekarang, atau sekurang-kurangnya baru berhenti pada suatu periode yang belum lama berlalu.
Ekadjati dkk. (1980) membagi masa pernaskahan Sunda atas tiga periode, yaitu masa kuno (sekitar abad ke-16 dan ke-17 Masehi), masa peralihan (sekitar abad ke- 18), dan masa baru (sekitar abad ke- 19 dan ke-20).
Naskah-naskah dari masa pertama ditulis dalam bahasa Sunda kuno, dengan mempergunakan huruf Sunda kuno pula pada daun nipah atau lontar. Penul isan dilakukan dengan mempergunakan peso pangot 'sejenis pisau raut". Naskah-naskah inilah yang sering disebut naskah buhun 'kuno'.
Pada masa peralihan disebut terjadinya penulisan naskah-naskah dalam bahasa Jawa, yang merupakan petunjuk mulai terjadinya pengaruh sastra Jawa atas sastra Sunda. Naskah-naskah berbahasa Jawa masih sering ditemukan, tetapi rupanya masa itu tidak terlalu lama serta tidak meluas. Dalam beberapa naskah Sunda dapat ditemukan keterangan penyalinnya yang mengatakan bahwa naskahnya itu sengaja ditulis dalam bahasa Sunda agar banyak orang yang bisa memahaminya. Apabila ditulis dalam bahasa Jawa, akan sedikit sekali orang yang akan bisa menikmatinya. Naskah-naskah berbahasa Jawa ditulis dalam aksara Jawa pula atau dalam huruf Pegon. Berdasarkan keterangan sementara, naskah-naskah berhuruf Jawa jauh Iebih sedikit dibandingkan dengan naskah yang berhuruf Pegon. Terdapat satu dua naskah yang mempergunakan dua macam huruf sekaligus, huruf Jawa dan huruf Latin untuk teks yang sama. Dapat diduga bahwa naskah semacam itu ditulis pada masa aksara Jawa sudah kurang dikenal atau memang aksara itu tidak dikenal luas di kalangan masyarakat. Dari bahan nipah, penulisan naskah beralih mempergunakan daluang, sejenis kertas yang dibuat dari kulit kayu saeh 'sejenis pohon pelindung pesemaian kopi'. Tinta yang digunakan berwarna hitam pekat, merupakan hasil ramuan tradisional. Pena yang digunakan, konon, terbuat dari harupat 'duri ijuk enau' yang diruncingkan. Lebih kemudian, naskah-naskah mempergunakan bahan kertas buatan Eropa. Para penyalin naskah sudah mempergunakan tinta cair produksi pabrik atau potlot. Di samping itu, terdapat pula naskah-naskah yang masih ditulis dengan tinta ramuan tradisional. Misalnya, yang dibuat dari bahan buah gandola (basella rubra) yang berwarna ungu dan dari getah pisang.
Pernaskahan Sunda boleh dikatakan baru sedikit sekali yang terungkapkan sekalipun usaha ke arah itu telah dirintis sejak akhir abad ke-19 oleh ahli-ahli Belanda. Huruf Sunda kuno, serta mungkin pula bahasanya, sampai sekarang hanya dikuasai oleh beberapa orang peneliti saja. Karena itu, naskah-naskah kuno yang kini terdapat di Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta, dalam kropak-kropak, sebagian besar masih belum terungkapkan, yang jumlahnya konon sekitar 40 buah atau sekitar 100 buah.
Naskah-naskah dari masa baru, sebagian sudah menjadi koleksi museum atau perpustakaan lembaga-lembaga penelitian. Koleksi terbanyak terdapat di Bagian Naskah Museum Nasional (Jakarta). Di samping itu, terdapat pula dalam jumlah kecil di Museum Geusan Ulun (Sumedang). Museum Negeri Jawa Barat (Bandung), Museum Yayasan Tri Mulya (Cigugur, Kuningan), dan EFEO (Bandung). Naskah-naskah yang terdapat di Bagian Naskah Museum Nasional telah dibuat katalogusnya. Keterangan terbaru memberitakan bahwa naskah Sunda masih banyak tersebar di kalangan masyarakat sebagai milik perseorangan. Sebagian masih dipelihara dengan baik-baik, kadang-kadang seperti "dirahasiakan' oleh pemiliknya. Sebagian lagi, sudah mulai longgar pemilikannya, sering dipinjamkan dengan cara mudah atau mungkin juga dijual.
Naskah Sunda terdapat pula pada beberapa koleksi di luar negeri, misalnya di Universiteit Bibliotheek Leiden (UBL) negeri Belanda, dan National Library of Australia di Australia.
Usaha menyelamatkan naskah untuk dikoleksikan di perpustakaan atau museum, rupanya telah dilakukan ketika pemerintah Belanda berkuasa di Indonesia. Penulis naskah Basa Sunda Sukapura (koleksi Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta) yang bernama Sundareang (nama samaran) mengemukakan dalam naskahnya itu bahwa pada tahun 1875 keluar pengumuman pemerintah yang meminta masyarakat agar menyerahkan naskah-naskah yang mereka miliki. Konon, setelah dikumpulkan, naskah-naskah tersebut tidak dikembalikan lagi kepada para pemiliknya. Beberapa judul naskah yang telah diserahkan ada disebut dalam tulisan itu beserta nama pemiliknya.
Kenyataan bahwa sampai sekarang masih banyak naskah yang menjadi milik masyarakat, dapat dipahami dengan dua macam tafsiran: mungkin merupakan hasil pembangkangan atas maklumat itu, atau mungkin naskah tersebar itu merupakan hasil penulisan baru atau mungkin pula karena kedua-duanya. Memang banyak sekali naskah (terutama kelompok cerita) yang ditulis atau disalin sesudah tahun 1875.
Kemungkinan terjadinya pembangkangan dapat dihubungkan dengan peranan naskah bagi para pemiliknya pada masa itu. Bagi mereka, naskah itu bukan semata-mata buku yang hanya berisi cerita, melainkan sebuah warisan, sebuah benda pusaka yang harus disimpan dan dipelihara baik-baik karena kemudian harus diwariskan pula kepada anak cucunya. Naskah Cisondari (sebuah koleksi di Cisondari, Ciwidey, Kabupaten Bandung) diperlakukan sebagai benda pusaka, yang hanya dikeluarkan dari tempatnya pada setiap bulan Maulud, untuk disucikan bersama benda-benda pusaka Iainnya. Seorang ibu, pemilik dan penembang Wawacan Ogin atau Layang Sunda tetap pada keyakinannya bahwa ia merasa terangkat dari kesengsaraan yang mencekam dirinya karena ia sering membaca (naskah) wawacan itu sendirian di malam sepi. Beberapa orang peneliti kadang-kadang terdengar mengeluh atas sikap "tertutup" para pemilik naskah, yang selalu merahasiakan naskah-naskah yang dimilikinya. Sikap para pemilik naskah itu baru bisa dipahami apabila kita telah memahami apa makna serta fungsi naskah bagi mereka. Berdasarkan bentuk karangannya, Ekadjati dkk. (1980) menyimpulkan bahwa bentuk prosa dan puisi dalam naskah barn hampir sama banyaknya. Pengelompokan atas isinya memberikan gambaran bahwa bagian terbesar naskah Sunda merupakan karya sastra, sastra-sejarah (babad), pendidikan, agama, dan bidang ilmu pengetahuan.
Ekadjati dkk. (1980, 1981, 1982) telah melakukan penelitian secara menye!uruh mengenai pernaskahan Sunda. Usaha yang sejenis telah pula dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran (1981) bekerja sama dengan Toyota Fondation (Jepang), dan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan EFEO (Ecole Francaice d' Extreme Orient). Di samping itu, Ekadjati (1979) dan Emuch Hermansoemantri (1979) telah melakukan telaah naskah untuk disertasinya di Universitas Indonesia, Jakarta.