Mari kita ingat kembali beberapa fenomena 'penemuan' prasasti yang menghebohkan. Kita pilih saja penemuan batu bertulis di Kaki Gunung Galunggung yang sempat heboh di tahun 2018.
Batu bertulis di lahan warga di Kaki Gunung Galunggung 2018 |
Sejumlah warga ada yang memercayai tiga batu tulis itu berkaitan dengan Gegerhanjuang sebagai cikal bakal Tasikmalaya, namun ada pula yang menganggap hal itu biasa saja yang dilakukan oleh pihak tertentu dengan motif tertentu.
Aksara Sunda Baku (Kaganga) model Baru |
Kita lihat aksara yang digunakan. Berdasarkan aksaranya, tulisan itu menggunakan "Aksara Sunda Kaganga" standar model baru. Dan apabila ditransliterasikan (sepintas berdasarkan tangkapan layar) seperti demikian: "lahana mapakasa kaNya kana galanga... dst". Tulisan itu tidak menggunakan penanda seperti pamaeh, pamepet, dan panolong. Jika saja menggunakan "pamaeh", penulis menduga kalimat itu "lahan mapak Kang kana galeng... dst" Dengan demikian tulisan itu berbahasa modern. Ditambah lagi aksara N dalam akasara latin. Fiks.. ini prasasti baru dan buatan perorangan.
Seperti diberitakan dan teras.id (24/07/2018) ternyata salah seorang penemu batu tulis yang juga salah seorang pemilik lahan di Kebon 5 Mang Anang menuturkan kesaksiannya prihal batu tulis yang menghebohkan warganet.
Anang memastikan, tiga batu tulis yang berada di blok Cipada itu bukan peninggalan Gegerhanjuang melainkan hasil pahatan Mang Herman, salah seorang pengurus lahan Kebon 5. Hanya saja menurut Anang, si pemahat batu tulis tadi mengaku mendapat sejenis wangsit untuk menulis dengan bahasa tertentu pada pahatan batu.
“Betul, batu tulis ini bukan situs Gegerhanjuang. Namun kata Abang Herman, katanya ada kaitannya dengan Gegerhanjuang karena seperti yang ia sampaikan kepada saya, ia menerima wangsit untuk memahat di batu itu tentang Gegerhanjuang,”ucap Mang Anang.
Hasil transliterasi sebagai (berdasarkan tangkapan lauar. Pen) |
Bagaimana Cara Mengenali Prasasti Asli?
Dalam prasasti biasa ada Sambanda. Di dalam prasasti alasan atau sebab-sebab suatu prasasti dikeluarkan oleh raja dapat diketahui pada bagian yang memuat sambandha. Pada sambandha inilah kita dapat mengetahui latar belakang suatu karaman mendapat anugerah prasasti. Kalau kita perhatikan sambandha prasasti itu bermacam-macam antara lain, menyebutkan tentang masalah bwattahaji, buncang haji berupa pajak yang dirasakan berat, ingin menjadi desa berdiri sendiri (merdeka), penduduk berkurang karena banyak yang mati dan ditawan musuh sehingga merasa berat memikul beban pajak, merasa berat mengerjakan kebun milik raja, mempersembahkan sima untuk bangunan suci dan sebagainya.Dengan bermacam-macam latar belakang itu sebagai alasan atau sebab-sebab seorang raja lalu menganugerahkan prasasti setelah melalui sidang lengkap kerajaan. Prasasti merupakan pegangan (agemmagem) untuk mengokohkan kedudukan satu karaman. Menurut Goris prasasti adalah merupakan undang-undang (Goris, 1948: 22). Oleh karena itu jelaslah bahwa prasasti sebagai undang-undang, merupakan dasar hukum yang dipergunakan sebagai pegangan (agemmagem) yang memuat hak-hak dan kewajiban bagi sebuah karaman yang harus ditaati oleh semua pihak.
Bagi angkatan milenial sebenarnya tidak sulit karena telah diajarkan di sekolah kelas 10 dalam pelajaran sejarah. Tetapi bagi angkatan lama tidak terlalu diajarkan mengenai prasasti secara mendalam. Sejarah kemudian ditulis yang dikenal sebagai "Historiografi". Historiografi sendiri adalah tulisan sejarah. Menurut Louis Gottschalk, historiografi adalah bentuk publikasi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, mengenai peristiwa atau kombinasi peristiwa-peristiwa di masa lampau. Historiografi memiliki pembagian waktu, berurutan dari historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern.
Prasasti yang kita bahas di awal artikel, semestinya masuk dalam historiografi tradisional. Mengingat prasasti semacam itu seharus peninggalan zaman kuno di nusantara yaitu zaman kerajaan. Memahami dan mengidentifikasi prasasti sebagai asli atau palsu tak terlepas dan proses penelitian ilmiah bidang sejarah. Prasasti adalah salah satu sumber primer dalam penelitian sejarah.
1. Heuristik
Heuristik adalah metode pertama yang dilakukan dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini, para peneliti sejarah mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan. Sumber yang bisa digunakan terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Sumber primer: berasal langsung dari para pelaku sejarah, seperti naskah, prasasti, artefak, dokumen-dokumen, foto, bangunan, catatan harian, hasil wawancara, video, dll.
b. Sumber sekunder: sumber sekunder berasal dari pihak yang bukan pelaku sejarah, melainkan pihak lain di luar para pelaku sejarah (peneliti misalnya). Benda-benda yang termasuk sumber sekunder antara lain adalah laporan penelitian, ensiklopedia, catatan lapangan peneliti, buku, dll.
Sebagai contoh, misalnya kamu ingin meneliti satu candi. Kamu harus mengetahui latar belakang candi tersebut melalui laporan penelitian ataupun buku. Kemudian untuk mendapatkan ukuran, foto, dan hal-hal lain yang aktual, kamu perlu mendapatkan data primer sehingga kamu harus mengunjungi candi tersebut secara langsung.Meski begitu, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, seperti;
- bahasa: bahasa yang digunakan dalam sumber sejarah bukanlah bahasa yang dipakai saat ini, sehingga sulit dipahami. Misalnya, Bahasa Indonesia kuno atau Bahasa Belanda kuno.
- Usia sumber sejarah: banyak sumber sejarah yang usianya sudah tua, sehingga sangat rapuh jika disentuh/digunakan.
- Akses sumber sejarah: tidak semua orang bisa mengakses sumber sejarah yang dibutuhkan.
- Sulit dipahami: ada beberapa catatan sejarah yang menggunakan tulisan tangan dan terkadang sulit dipahami.
2. Kritik/Verifikasi
Setelah melakukan heuristik, metode selanjutnya adalah kritik atau disebut juga verifikasi. Ini adalah metode untuk autentikasi (membuktikan sumber sejarah yang bersangkutan adalah asli) dan kredibilitas sumber sejarah. Ada dua macam kritik yang dilakukan:
a. Kritik estern (autentisitas): kritik terhadap keakuratan dan keaslian sumber, seperti materi sumber sejarah (dokumen dengan tulisannya) dan para pelaku sejarahnya. Aspek yang dikaji adalah waktu (penanggalan), bahan pembuat sumber, dan pembuktian keaslian.
b. Kritik intern (kredibilitas): kritik terhadap kredibilitas sumber. Artinya, peneliti perlu menguji isi (konten) sumber, baik secara kebendaan maupun tulisan. Kritik intern yang dapat dilakukan misalnya;
- Melihat usia informan. Semakin tua usianya, umumnya daya ingat dan kemampuan panca inderanya sudah berkurang.
- Menganalisis peran informan dalam peristiwa sejarah yang sedang diteliti.
- Melakukan cek silang antara informan satu dengan informan lainnya.
3. Interpretasi/Eksplanasi
Metode penelitian sejarah yang ketiga adalah interpretasi. Di sini peneliti melakukan penafsiran akan makna atas fakta-fakta yang ada serta hubungan antara berbagai fakta yang harus dilandasi oleh sikap objektif. Kalaupun membutuhkan sikap subjektif, haruslah subjektif rasional. Rekonstruksi peristiwa sejarah disampaikan secara deskriptif dan harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Ada dua cara melakukan interpretasi, yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan).
Pada metode ketiga ini, peneliti dituntut untuk berimajinasi yang terbatas. Batasan di sini adalah fakta-fakta sejarah yang ada tidak boleh menyimpang. Selain itu peneliti harus sangat berhati-hati karena di sini sangat rentan bagi peneliti untuk memasukkan sisi subjektifnya.
4. Historiografi/Penulisan Sejarah
Metode terakhir adalah historiografi. Penulisan sejarah merupakan upaya peneliti sejarah dalam melakukan rekonstruksi sumber-sumber yang telah ditemukan, diseleksi, dan dikritisi. Pada tahap ini, peneliti perlu memperhatikan beberapa kaidah penulisan, seperti;
- Bahasa dan format penulisan yang digunakan harus baik dan benar menurut tata bahasa.
- Memperhatikan konsistensi, misalnya penggunaan tanda baca, penggunaan istilah, dan rujukan sumber.
- Istilah dan kata-kata tertentu harus digunakan sesuai konteks permasalahannya