[Historiana] - Di abad ke-21 ini kita sering disuguhkan perhelatan Miss Indonesia hingga Miss Uniververse atau Miss Wolrd. Deretan wanita cantik nan seksi tampil dalam acara tersebut. Penilaian mulai dari Fisik, psikis hingga kecerdasannya (brainware). Muncul pertanyaan: Seperti apakah wanita canti Sunda kuno Zaman Kerajaan Sunda Pajajaran?
Di dunia maya (internet) Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV), lembaga pengkaji bahasa dan budaya Belanda, memiliki sejumlah dokumentasi berupa foto yang menggambarkan wanita Sunda. Dari foto tersebut tampak wanita Sunda berkulit agak kekuningan, hidungnya agak mancung, dan perawakannya cukup lenjang. Yang cukup membuat kita terkejut, adalah pakaian yang dikenakannya. Wanita tersebut dibalut kain samping batik, tetapi, balutan kain itu tidak menutup bagian dadanya (no bra).
Patut dicatat bahwa potret itu merupakan hasil jepretan juru potret kolonial, dan terjadi pada awal abad ke-20 atau masa kolonial juga. Bagaimana dengan potret wanita Sunda lalu berdasarkan kesaksian pribumi? Menyangkut pertanyaan tersebut, tulisan ini mencoba menampilkan potret wanita Sunda pada masa lalu berdasarkan kesaksian pribumi sebagaimana tampak dalam teks-teks Sunda Kuna.
Fisik dan Penampilan
Secara fisik, wanita Sunda dianggap cantik jika hidungnya menyerupai pala kurung (seperti labu), matanya bening seperti kaca dari Cina, bulu matanya lentik, ketiaknya berwarna kehijauan karena bersih tanpa bulu, dan badannya berbulu halus. Tengkuknya keras (bungkul) dan tegak sehingga kalau berjalan... tok-tok-tok, terlihat anggun. Bahunya rata dan seimbang ibarat timbangan jawa (taraju jawaeun), perutnya agak sintal berisi (kambuy beuteung), jemarinya lentik ‘taréros’, kulitnya kuning langsat, dan rambutnya tumbuh subur hitam seperti kain celupan (Carita Ratu Pakuan).Untuk menutupi bagian tubuhnya, wanita Sunda pada masa lalu memakai kain yang ditenun sendiri oleh kaum wanita. Dalam téks Carita Radén Jayakeling (Kropak 407), Sakéan Adi Larangan dinaséhati agar ia senantiasa menutupi payudaranya dengan aben yang kiranya memiliki fungsi yang sama dengan bra “pinareup mangka abenan, mulah dimangka cugenang” (buah dada tutuplah dengan aben, jangan dibiarkan menyembul). Dalam cerita Sri Ajnyana kain aben tersebut bermotif gula manikem (yang berarti ‘gula permata’) yang menambah sari kecantikannya.
Kain bawahannya ada dua jenis, kain dalam dan kain luar. Bawahan bagian dalam diikat dengan bentén, yaitu ikat pinggang dari logam mulia (emas atau perak) yang disambung- sambung. Jika tidak menggunakan bentén, alternatif yang bisa dipilih adalah kain putih (lungsir putih). Adapun kain luarnya bercorak giringsing wayang yang jika tertiup angin kelembutan bahannya menyibakkan betis kuning yang tersembunyi di baliknya. Saat ini dapat kita ketahui, bahwa membuat kain bermotif giringsing wayang (bali: gringsing wayang) cukup sulit, dapat menghabiskan waktu 2-5 tahun. Sebagai pelengkap, bagian bahu terjuntai selendang sutra Cina sebagai jaminan mutu.
Sejak jaman baheula, rambut adalah mahkota wanita. Tidak boleh sehelaipun dibiarkan tergerai ‘mulah dimangka ngarunday’ (Carita Radén Jayakeling). Rambutnya yang hitam terawat karena sering keramas senantiasa memakai sanggul model sri téja purana windu, model sanggul leluhurnya (Séwaka Darma). Diatas mahkota alami itu dihiasi lagi oleh mahkota buatan, yaitu siger yang melingkar di kepala dan tapok gelung sebagai penutup sanggul yang menambah aura raut wajah yang bercahaya (Ratu Pakuan).
Pameunteung beuheung melingkar di lehernya. Lengan kanan bagian atas dihiasi oleh kilatbahu yang berkilauan, sementara pada pergelangan tangan kiri melingkar gelang kancana (Ratu Pakuan). Subang kecil yang menempel di telinga berkilauan seperti bintang yang mengambang di angkasa (Séwaka Darma).
Prilaku
Pesona kecantikan wanita Sunda pada masa lalu juga nampak dari prilakunya. Ketika menunduk tampak bagai dewata yang sedang berkaca di air telaga, sedangkan ketika menengadah tampak seperti orang yang sedang membentangkan panah atau bahkan seperti orang yang memohon belas kasihan déwata karena perbuatan dosanya (Ratu Pakuan).Agar dicintai dan disayangi oleh suami ‘kacigeuy tuang caroge’, dua keterampilan wajib dimiliki wanita, yaitu menenun dan memasak. Di depan rumah para wanita menenun kain untuk dipakai keluarganya. Bahkan wanita dianggap motékar apabila mampu menenun dan menganji pada waktu gelap malam. Motif yang biasa ditenun adalah kembang kapuk dan kembang gadung. Keterampilan memasak juga diutamakan. Memasak sayur, merebus lalapan, mengolah ikan dan ayam. Tidak semudah yang dikira, karena setiap ikan atau ayam diolah berdasarkan jenisnya. Ikan paray dikembang lopang sedang udang lezatnya dikembang dadap. Ikan lendi dipepes sedikit asam, sedang lele dicobek. Demikian juga memasak ayam. Ayam danten baiknya dibikin pecel ‘dipepecel’, sedang ayam bikang (betina) enak dipanggang (Sanghyang Swawarcinta). Itulah keutamaan kaum wanita.
Lain dengan sekarang, pada jaman dahulu wanita lah yang melamar pria. Taan Ajung Larang melamar Bujangga Manik dengan cara mengirim benda-benda bersiloka berkaitan dengan perasaan cinta yang hendak diutarakannya. Sirih diikat dengan benang, kemudian ditambah kapur karang dan susuh dari Kawarang dan Melayu, serta pinang tiwi yang berair. Semua ditata dalam baki dan ditutupi dengan saputangan. Tak cukup dengan semua itu, demi mendapatkan hati sang pujaan, berbagai wewangian, kain dan sabuk pilihan, serta senjata keris maléla dipersembahkan. Sirih-pinang adalah seupaheun pananya tineung, simbol pernyataan sekaligus pertanyaan cinta (Bujangga Manik).
Dalam teks-teks Sunda Kuna, peran laki-laki lebih menonjol dibanding wanita. Tokoh utama yang sering muncul dalam teks adalah lelaki. Sri Ajnyana, Bujangga Manik, Manabaya, Purnawijaya, Jayakeling, Manarah, semuanya laki-laki. Mungkin pengarang teks-teks Sunda Kuna didominasi kaum adam. Meski demikian, banyak pula figur-figur wanita dalam NSK, yang memiliki peran penting. Salah satunya Deuwi Sita. Walau menghadapi berbagai fitnah dan cobaan, ia tetap bertahan, bahkan mampu membesarkan kedua anaknya (Bujanggalawa dan Puspalawa). Single parent. Tanpa bantuan Ramadéwa, sang suami tercinta yang mengahanyutkannya ke sungai (Kisah Putera Rama dan Rawana).
Wanita yang telah menjadi ibu mendapat tempat istimewa pada masyarakat Sunda Kuna. Ambu adalah sosok yang selalu disebut diawal disusul ayah dan pangguruan. Seorang pertapa yang membakar dupa berharap asapnya yang membumbung ke angkasa dapat tercium oleh Sunan Ambu di Kahiangan (Swawarcinta). Manondari, ibu dari anak Rawana, pun mendapat tempat yang sangat layak di surga (Séwaka Darma).
Seperti itulah potret wanita Sunda yang tercatat dalam teks-teks Sunda Kuna jauh sebelum kedatangan Belanda di Tatar Sunda dan Nusantara. Selamat membayangkan! Tetapi jangan sekali-kali membayangkan mereka tanpa bra seperti potret-potret jaman kolonial, ya!
Sumber: by Aditia Gunawan naskah-sunda.blogspot.com diakses 19 Juli 2018