Ilustrasi: ikikoue.com |
Nusantara pernah mengenal zaman tak bertcabai (cabe, lombok). Bahkan sayuran sumber rasa pedas ini sebenernya bukan asli Nusantara. Jamuan makan pada zaman Hayam Wuruk, raja Majapahit misalnya, tidak mengandung cabai, walaupun tidak berarti tidak ada rasa pedas. Pedas tanpa lombok? Bagaimana mungkin?
Menurut Hedi Hinzler, pakar Jawa kuno yang pernah mengajar pada Universitas Leiden, Belanda ini menjelaskan bahwa cabai (capsicum) baru tiba di Asia pada abad keenam belas. Dalam buku rempah-rempah bahasa Jerman karya Fuchs (terbit tahun 1543) tertera bahwa cabai yang tumbuh di India disebut sebagai lada Kalkuta. Karena bagi Indonesia bentuk cabai itu mirip dengan apa yang di Barat dikenal sebagai Piper nigrum (lada berbuntut), maka itu dinamai sebagai cabai, tjawya atau tabya.
Dalam teks-teks Jawa dan Sunda kuno sering disebut ajaran enam rasa dari India yang disebut Sad Rasa yang terdiri dari manis, asin, asam, pedas, pahit dan sepet (sepat/kelat). Hidangan akan dianggap nikmat jika mengandung enam rasa tersebut dengan perimbangan yang harmonis. Rasa pedes (pedas atau katuka) didapati dengan memadukan lada hitam, lada putih dan jahe, seperti yang dilakukan orang di India. Percampuran merica dengan jahe membuat masakan tertentu berasa pedas.
Data informasi tentang makanan kebanyakan muncul dalam prasasti yang menuliskan aneka hidangan yang disuguhkan pada upacara Sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak). Khususnya pada bagian penutup, yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian Upacara Sima. Demikian pula dalam Naskah Lontar Sunda Kuno menyinggung jenis makanan yang biasa dikonsumsi di zaman kuno. Dalam sejarah Sunda hal itu tercantum dalam beberapa naskah kuno. Misalnya, ‘Siksa Kanda ng Karesian’ dan ‘Swawarcinta’. Naskah Swawarcinta menurut N.j. Krom (1914: 41), berasal dari kelompok koleksi Bandung, ditulis menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno.
Bukan hanya dalam prasasti, naskah kuno dan panel relief juga sering menyajikan keterangan mengenai makanan. Berikut ini makanan-makanan yang dimakan orang Jawa dan Sunda Kuno.
Masakan dari nasi
Nasi tumpeng atau disebut skul paripurna biasanya disajikan dalam perayaan penetapan suatu desa sebagai sima. Dalam prasasti juga biasa disebutkan skul liwet, yaitu nasi yang ditanak dengan pangliwetan. Adapun skul dinyun adalah nasi yang ditanak dalam periuk. Sementara skul matiman adalah nasi yang ditim.Cara Memasak
Dalam Naskah ‘Siksa Kanda ng Karesian yang ditulis 1518 M dapat ditemukan cara memasak dalam kalimat : “Sa(r)wa lwir[a] ning oolahan ma : nyupar nyapir, rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, panggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruruum amis amis; sing sawatek kaolahan hareup catra tanya”. (Segala macam masakan, seperti: nyupar-nyapir, rara mandi, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruum diamis-amis; segala macam masakan, tanyalah juru masak).Beberapa cara mengolah makanan dalam naskah ini sama dengan yang disebutkan di Naskah Swawarcinta, seperti dikembang lopang dan nyopong koneng yang menggunakan bumbu kunyit (koneng). Nyanglar (sangray), nyarengseng (ditumis), nyeuseungit (diharumkan dengan bumbu), Nyanyang (diase), Kakasian (direbus), Hahanyangan (tawar/tidak diberi garam), rarameusan (diurab), diruruum amis amis (dodol, kolek atau kalua).
Secara umum teknik memasak di Sunda berdasarkan tradisi antara lain dipeuyeum (diperam), dibeuleum (dibakar), dibubuy (dibenamkan dalam abu panas), dipanggang, disangray, dikulub , diseupan (ditanak), diangeun (disayur), digoréng, dikérécék (krecek), digejos (digoreng dikasih air setelah empuk, airnya dibuang), dikéré, dipindang. Sedangkan untuk membuat penganan manis tekhniknya dengan cara kaolahan amis-amis, biasana ku cara dikolek, didodol dan dikalua.
Sumber tertua yang menyebutkan jenis masakan adalah kakasian dan hahanyangan. Kakasian (ksyan) disebutkan dalam Prasasti Panggumulan (902M) sedangkan hahanyangan (ḑeŋ hañaŋ) tertera dalam Prasasti Rukam (907 M). Kedua cara memasak atau jenis makanan ini juga disebutkan dalam dua naskah Sunda kuno di atas.
Bedasarkan Naskah Swawarcinta di atas dapat dirangkum beberapa cara memasak. Mamat Ruhimat dalam ‘Kaolahan Dina Naskah Sunda Kuna’ (Beberapa Olahan dalam Naskah Sunda Kuno) menjelaskan, dikembang lopang (dimasak dibumbu kuning), dikembang dadap (disayur dengan cabai merah), dipais tutung (dipepes kering), dileuleunjeur (dipindang), dilaksa-laksa (ikan mas yang disayur dicampur tepung beras), diraramandi (sisit ikan mas yang digoreng sampai renyah), dibatu rangu (tulang lunak), dirokotoy (dimasak dengan santan kental), dipadamara (diungkep memakai kaldu), disarengseng (ditumis dengan sedikit minyak), diketrik (disuir-suir/ayam suwir), dikudupung (diopor), Disaratén (disaté), dikasi (direbus), dipepes, dan dicobek,
Adanya cara memasak dikembang dadap yang menggunakan cabai, mungkin saat itu penggunaan cabai sebagai bumbu masakah telah dilakukan di Sunda, kemudian di dalam Budaya Jawa.
Masakan Ikan
Berdasarkan kesaksian para pelaut yang datang ke Asia Tenggara, hasil ikan pada masa Jawa Kuno sangat melimpah. Ikan-ikan itu biasanya disantap dengan lebih dulu diasinkan atau dikeringkan, yang disebut grih. Hingga kini orang Jawa menyebutnya gereh. Ada juga ikan yang dikeringkan yang disebut dendeng (deng atau daing). Ada dua macam rasa dendeng yang disebutkan dalam prasasti: asin atau tawar.Satuan ukuran ikan asin disebut kujur yang diketahui dari Prasasti Waharu I atau Prasasti Jenggolo dari 851 saka atau 929 M. Tidak hanya disajikan saat penetapan Sima, ikan asin juga untuk makan sehari-hari.
Umumnya jenis ikan yang biasanya diasinkan atau didendeng adalah ikan laut seperti ikan kembung (rumahan), tenggiri (tangiri), bawal (kadiwas), selar (slar), sontong/cumi-cumi (hnus), layar/pari (layar-layar), gabus, kerang-kerangan (iwak knas), kepiting laut (getam), kepiting sungai (hayuyu), dan udang (hurang). Ada pula beberapa jenis ikan lain yang dalam prasasti disebut dengan wagalan, kawan-kawan, dlag (di Sunda disebut Deleg). Ikan lainnya tak diketahui habitatnya, seperti bijanjan, bilunglung, harang, halahala, dan kandari.
Warna Masakan
Beberapa sumber informasi baik prasasti maupun naskah lontar menyebutkan warna makanan cenderung kuning. Begitulah kondisi sebelum Tanah Jawa kedatangan bangsa Eropa. Anda yang pernah melihat sejajen lemper berwarna kuning atau nasi ketan kuning akan dapat membayangkan masakan zaman kuno yang didominasi penggunaan kunyit.Naskah Swawarcinta, seperti dikembang lopang dan nyopong koneng yang menggunakan bumbu kunyit (koneng).
Masakan dari hewan ternak
Makanan sumber hewani selain ikan antara lain ayam (ayam), bebek (andah), angsa (angsa), babi ternak (celeng), kambing, dan kerbau (kbo/ hadangan). Hewan-hewan itu dalam prasasti hanya disebut sebagai penganan yang disayur. Kemungkinan ada juga makanan yang dipanggang.Selain hewan yang diternak, masyarakat Jawa Kuno juga terbiasa mengkonsumsi babi hutan (wok), kijang (kidang), kambing (wdus), kera (wrai), kalong (kaluang), sejenis burung (alap-alap), hingga kura-kura (kura).
Rakyat dan kerajaan secara umum memiliki perbedaan tingkat konsumsi daging. Terkadang kebiasaan makan bersama dalam pesta yang diselenggarakan raja, seperti penetapan sima, maksudnya adalah membagi persediaan daging pada rakyat yang jumlahnya terbatas.
Sayuran
Lalap dari sayuran mentah juga sejak dulu sudah dikenal. Dalam Prasasti Watukura I (902 M), lalapan diistilahkan dengan Rumwahrumwah. Adapula kuluban, yang oleh orang Sunda saat ini diartikan sebagai sayuran yang direbus. Sementara dudutan juga sering disebut mungkin sejenis kangkung, salada, atau genjer yang cara memanennya seperti didudut atau dicabut.Dalam prasasti di atas disebut "Rumbah" yang dalam bahasa Sunda dimaksudkan lalapan mentah atau bahan sayuran yang masih mentah disebut rumbah (rumwah).
Camilan
Selain lauk pauk dan masakan dari nasi, ternyata orang Jawa Kuno juga mengenal berbagai camilan. Prasasti Sanguran di Malang dari 850 saka (928 M), menyebutkan panganan bernama tambul dan dwadwal atau dodol.Makanan Raja (Rajamangsa)
Prasasti sering menyebut makanan yang menjadi hak istimewa, atau istilahnya rajamangsa. Makanan ini termasuk kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri.Hak mengkonsumsi makanan itu umumnya dijumpai pada prasasti yang memuat pemberian hak istimewa yang dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit.
Ada juga asu buntung atau anjing yang tak berekor. Sementara cacing, tikus, keledai dan katak juga dijadikan masakan. Padahal hewan-hewan itu, menurut Nagarakrtagama termasuk makanan pantangan yang jika dilanggar mengakibatkan dihina musuh dan mati dalam kondisi bernoda.
Bumbu Dapur
Bagaimana rasa makanan-makanan itu? Yang jelas tak akan sama dengan rasa makanan saat ini. Bumbu Jawa yang kini populer baru pada masa kemudian diimpor. Jintan misalnya, tumbuh di Timur Tengah. Kuma-kuma (saffron) dibawa dari Mediterania. Adapun ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania.Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an. Laos adalah tanaman Jawa. Marco Polo pernah mencatat tanaman ini diproduksi di Jawa pada abad 13. Adapun jahe dan bawang disebut sebagai produk yang diperjualbelikan di desa.
“Kita dapat memperkirakan makanan pada abad 10 M mungkin saja dibumbui dengan jahe, kunyit, kapulaga, dan laos, juga merica,” tulis Antoinette M. Barret Jones, peneliti epigrafi Indonesia asal Australia dalam Early Tenth Century Jawa From the Inscriptions.
================================================
Tambahan.
Prasasti yang memuat data informasi Kuliner kuno di Tanah Jawa adalah sebagai berikut:
- Prasasti Taji 910 M, hidangan yang tersedia untuk para hadirin sebanyak 57 karung beras, 6 ekor kerbau, 100 ayam. Hidangan lainnya yaitu aneka makanan yang disinkan, daging asin yang dikeringkan, ikan kaḍiwas, ikan gurame, biluŋluŋ, telur dan rumahan. Sedangkan minumannya disuguhkan bermacam macam tuak yang terbuat dari jnu, bunga campaga, bunga pandan dan bunga karamān.
- Prasasti Pangumulan 902M, hidangan yang disediakan saat upacara penetapan sima di desa Paṅgumulan antara lain nasi mantiman, makanan yang diasingkan (bertumpuk-tumpuk), ikan kakap, ikan kadawas yang dikeringkan, rumahan, layar-layar, udang hala hala dan telur. Sedangkan bahan yang dijadikan sayur yaitu 2 ekor kerbau dan seekor kambing. Ada juga amwil lamwil, kasyan, kwĕlan yang dipiṅkā, dan sayuran yang berupa rumwarumwah, sayuran lalap matang, ḍuḍutan, tetis. Minuman yang disediakan yaitu minuman keras seperti tuak, siddhu, jātirasa dan air kelapa.
- Prasasti Watukura I 902 M, hadirin yang hadir di upacara penetapan sima di desa Watukura di hidangkan berbagai makanan seperti ambil ambil, kasyan, let let, tahulan, ikan wagalan, haryyas, sayuran lalap matang, sunda, rumbah, haraŋ haraŋ, ikan kakap kering, ikan kadiwas, tenggiri, cumi cumi, udang dan biluŋluŋ. Minuman yang dihidangkan yaitu pāṇa, siddhu, mastawa, kiñca, kilaŋ, dan tuak.
- Prasasti Mantyasih I 907 M, hidangan yang disediakan antara lain yaitu masakan dari daging kerbau, babi, kijang dan kambing. Ada juga makanan enak lainnya seperti haraŋ haraŋ, daging asin, daging hañaŋ, daging taruŋ, udang, hala hala dan telur.
- Prasasti Mantyasih III, yaitu hidangan berupa masakan dari daging kerbau,babi, kijang dan kambing serta bermacam macam haraŋ haraŋ.
- Prasasti Rukam 907 M, makanan yang dihidangkan pada upacara penetapan sima di desa Rukam antara lain nasi paripūrṇna timan, haraŋ haraŋ, ikan kakap kering, ikan kadiwas, ikan ḍuri, daging hañaŋ yang dikeringkan, ikan gurame, rumahan, layar layar, hala hala, udang, dlag yang diggoreng dengan telur, dan kepiting. Selain makanan tersebut, ada juga sayuran yang dibuat menggunakan daging kerbau, sapi dan babi. Makanan makanan tersebut memiliki cita rasa yang sangat sedap, selain sayur daging ada lagi sayur lainnya seperti amwil amwil, atah atah, kasya kasyan, saṅasaṅān, ḍalamman, hinaryyasan, rumwarumwah, sayuran lalap matang, ḍuḍutan dan tetis. Sedangkan minumannya tersedia tuak, siddhū, ciñca.
- Prasasti Lintakan 919 M, hidangan yang di berikan tidak tertulis, namun minuman yang disajikan antara lain tuak, siddhu, dan ciñca.
- Prasasti Saŋguran 928 M, hidangan yang disajikan berupa nasi ḍaṇḍanani hiniru, ambil ambil, kasyan, lit lit, masakan ranak, sangasangān, āryya, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, daging asin, bilunglung, ikan kaḍiwas, udang, ikan gurame, layalayar, halahala dan telur yang dikeringkan. Selain makanan tersebut ada juga atatmipihan serta sayur yang tidak diketahui bahannya. Minumannya disediakan siddhu, ciñca, kila. Selain makanan utama, hadirin juga diberikan makanan penutup seperti tambul dan dodol.
- Prasasti Guluŋ guluŋ 929 M, hidangan yang diketahui yaitu berupa nasi paripurṇna.
- Prasasti Jeru Jeru 930 M, hidangan yang disajikan pada upacara sima di desa Jeru Jeru diletakkan di atas daun kawung (daun pohon enau) berupa nasi paripūrṇna, sangkab, wulu, kaṇḍari, ikan kaḍiwas, daging asin, slar, capacapa, rumahan, udang, bilulung, halahala, telur yang dikeringkan dan wuluninggangan, masakan kasyan dengan rasa manis, tĕwangān, ranak, alap alap, sayuran lalap matang, tetis dan tambul. Minuman yang disediakan belum diketahui.
- Prasasti alasantan 939 M, hidangan yang disajikan antara lain berupa dandanan hinirusan, ambil ambil, lit lit, ranak, sangasangān, haryyas, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, daging hañaṅ, daging asin, ikan kakap, udang, bijañjan, ikan kadiwas, ikan gurame, layar layar, hala hala, telur yang dikeringkan, sunda, atak pīhan, daging kerbau, ikan praṅ paṅ paṅ, daging kijang, babi dan angsa. Minuman yang di sajikan yaitu siddhu, tuak dan kilaṅ serta hidangan penutup yaitu tambul yang diañjap, kura, wuku, rih, hasam dan dodol.
- Prasasti Paradah 943 M, hidangan yang disajikan pada upacara penetapan sima di desa Paradah berupa nasi dākdannan linirusan, ambil ambil, kasyan, lidlid, waragalan, rumbarumbah, sayuran lalap matang, tetis, daging hañaŋ, daging asin, ikan kakap, rumahan, ikan kadiwas, ikan gurame, udang, kepiting, bilulung, layarlayar, halahala, telur yang dikeringkan, suṇḍa, atak pīhan, tahulan, sīnangannan, haryya, sayur, bermacam macam ikan dan daging kijang. Sedangkan minuman yang disediakan yaitu siddhu, tuak dan ciñca. Dan juga hidangan penutup yaitu tambul yang diañjap, kura, wuku, rima, asam dan dodol, serta memakan rujak setelah memakai bunga dan jnu.
Referensi
- "Inilah Makanan Orang Jawa Kuno" oleh Risa Herdahita Putri, 30 Desember 2017 historia.id Diakses 10 Mei 2019.
- “Makanan Djawa kuno: tanpa lombok dan kuning” oleh Joss Wibisono, 1 Februari 2015 gatolotjo.com Diakses 10 Mei 2019.
- kekunoan.com