Cari

Kapal Besar Jung Jawa, Armada Terbesar Nusantara di Masa Lampau

Perbandingan Kapal Jung dan Kapal St Maria Columbus 1492 M

[Historiana] - Kapal Jung adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika. Djong (juga disebut jong atau jung) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Melayu. Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Ghana atau bahkan Brazil di zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 4-500 ton, dengan kisaran 85-700 ton. Pada zaman Majapahit kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.


Asal Usul (Etimologi)

Banyak pendapat menyebutkan, Istilah jung berasal dari kata chuan dari bahasa Mandarin yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan pengucapan dari chuan menjadi jung tampaknya terlalu jauh. Yang lebih mendekati adalah "jong" dalam bahasa Jawa yang artinya kapal. Kata jong dapat ditemukan dalam prasasti Jawa kuno abad ke 9. Kata ini masuk bahasa Melayu pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata China mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal. Undang-undang laut Melayu yang disusun pada akhir abad ke-15 sering menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang.

Perkataan "jung" juga boleh diperkatakan berasal dari bahasa Tionghoa, yaitu Teow Chew dan Hokkien yang berasal dari selatan China. Dalam bahasa Teow Chew kapal jung disebut "jung" dan dalam bahasa hokkien disebut sebagai "jun". Teknologi perkapalan China mempunyai sejarah yang lama sejak Dinasti Han (220 SM-200 M), tetapi pada saat ini masih berupa kapal-kapal yang mengarungi sungai, bukan mengarungi samudera. Untuk mengarungi samudera, orang China pada waktu itu justru lebih suka menumpang kapal-kapal negeri "K'un-lun".  Negeri K'un-lun merujuk pada Semenanjung Malaya, Sumatera dan Jawa.

Sebuah bahasa di Tiongkok merujuk kata wangkang yang artinya kurang lebih sama dengan jung. Sedangkan Anthony Reid menyebutkan, istilah Jung dipakai pertama kali dalam catatan-catatan Rahib Odorico, John de Marignolli, dan Ibn Battuta pada abad ke 14. Asal usul kata “jung” menurut Manguin adalah dari bahasa Jawa sebagai sebutan kapal, hal ini dapat ditelusuri dalam sebuah prasasti Jawa kuno abad ke 9.

Kata "djong" sendiri adalah penulisan Belanda untuk jong, karena fonem [d͡ʒ] ditulis sebagai /dj/, sedangkan pada penulisan di Indonesia digunakan kata jong.

Lihat juga Versi Videonya


Para pelayar Nusantara

Ketika orang Portugis menguasai Malaka, mereka mendapat sebuah peta dari kapten Jawa, yang mana Albuquerque mengatakan:
"... peta besar seorang Nahkoda Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, pulau Jawa dan Banda, tindakan seperiodenya, dari siapa pun sezamannya, dan tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang dia katakan adalah benar..." — Alfonso de Albuquerque, Surat untuk raja Manuel I dari Portugal, April 1512.
Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645, menyebutkan orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa."

Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa.

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.

Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik - belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".

Untuk melintasi samudera, orang-orang Melayu (Nusantara) secara mandiri menciptakan layar jung (junk rig), yang terbuat dari tikar tenunan yang diperkuat dengan bambu, setidaknya beberapa ratus tahun sebelum masehi. Pada masa Dinasti Han (206 SM hingga 220 M) orang Cina mulai menggunakan layar seperti itu, setelah mempelajarinya dari para pelaut Melayu yang mengunjungi pantai Selatan mereka. Selain jenis layar ini, mereka juga membuat layar yang seimbang (atau yang biasa disebut layar tanja). Penemuan layar-layar jenis ini membuat berlayar di sekitar pantai barat Afrika menjadi memungkinkan, karena kemampuannya untuk berlayar melawan angin.


Konstruksi kapal Jung

Konstruksi perahu Nusantara sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi yang menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat (layar tanja) atau layar lateen dengan sekat bambu (layar jung). Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.

Duarte Barbosa melaporkan bahwa kapal-kapal dari Jawa, yang memiliki empat tiang, sangat berbeda dari kapal Portugis. Terbuat dari kayu yang sangat tebal, dan ketika kapal menua, mereka memperbaikinya dengan papan baru dan mereka memiliki empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Tali dan layar dibuat dari osier.

Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati pada saat laporan ini (1512), pada waktu itu jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya. Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan semat kayu, tanpa menggunakan rangka (kecuali untuk penguat berikutnya), maupun baut atau paku besi. Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan pasak ke dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar. Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan layar lateen. Ini sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya diikat oleh tali dan paku besi ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas. Penggambaran historis juga menunjukan adanya bowsprit (tiang cucur) dan layar bowsprit, dan juga adanya stempost (linggi haluan) dan sternpost (linggi buritan). Menurut Nicolau Pereira, jong mempunyai 3 kemudi, satu di setiap sisi dan satu di tengah. Laporan Pereira tidak biasa, karena laporan lain hanya menyebutkan 2 kemudi. Ini mungkin mengacu pada jong hibrida, dengan kemudi tengah seperti yang ada di kapal Cina (kemudi tengah menggantung) atau kemudi tengah Barat (kemudi pintle dan gudgeon).

Barbosa juga melaporkan berbagai barang yang dibawa oleh kapal-kapal ini, yang meliputi beras, daging sapi, domba, babi, dan rusa, baik dikeringkan dan maupun diasinkan, juga banyak ayam, bawang putih, dan bawang merah. Senjata yang diperdagangkan termasuk tombak, belati, dan pedang, semuanya dengan logam berornamen dan baja yang sangat bagus. Juga dibawa dengan mereka kemukus dan pewarna kuning yang disebut cazumba (kasumba) dan emas yang diproduksi di Jawa. Barbosa menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi kapal-kapal ini, yang meliputi Malaka, Cina, Kepulauan Maluku, Sumatra, Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden. Para penumpang membawa istri dan anak-anak mereka, bahkan sampai-sampai beberapa dari mereka tidak pernah meninggalkan kapal untuk pergi ke pantai, juga tidak memiliki tempat tinggal lain, karena mereka dilahirkan dan mati di kapal.

Mengutip dari Jung Jawa: Kumpulan Cerpen oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing, dituliskan dalam kata pengantar buku terbitan tahun 2009 tersebut bahwa Jung Jawa yang pertama kali digambarkan oleh Portugis adalah sebuah kapal yang mereka tawan pada tahun 1511. Orang-orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal jung-jung raksasa tersebut. “Dari Kerajaan Jawa datang kapal-kapal Junco raksasa ke kota Malaka. Bentuknya amat berbeda dibandingkan dengan kapal-kapal kita, terbuat dari kayu yang sangat tebal, sehingga apabila kayu ini menua maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya.

Ukuran dan konstruksi jung Jawa membutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat, oleh karena itu jung Jawa raksasa hanya di produksi di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang-Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir Selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya. Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.  Pegu (sekarang Bago), yang merupakan pelabuhan besar pada abad ke-16, juga memproduksi jong, oleh orang Jawa yang menetap disana.


Sejarah

Ahli astronomi Yunani dari Alexandria, Claudius Ptolemaeus, pada sekitar tahun 100 Masehi pada karyanya Geography mengatakan bahwa kapal besar datang dari Timur India. Ini dikonfirmasi juga oleh buku tak berpengarang yaitu Periplus Marae Erythraensis. Keduanya menyebutkan sebuah jenis kapal yang disebut kolandiaphonta, yang bisa jadi merupakan penerjemahan kata China K'un-lun po.

Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) karya Wan Chen (萬震) mendeskripsikan kapal yang mampu membawa 700 orang bersama dengan ebih dari 10.000 "斛" kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250-1000 ton). Kapal ini bukan berasal dari Cina, namun mereka berasal dari K'un-lun (berarti "kepulauan di bawah angin" atau "negeri Selatan"). Kapal-kapal yang disebut K'un-lun po (atau K'un-lun bo), yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 4-7 meter. Dia menjelaskan desain kapal sebagai berikut:
Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diatur ke arah yang sama, untuk menerima angin dan mengarahkannya. Layar-layar yang berada di belakang angin paling banyak menerima tekanan angin, melewatkannya dari satu sisi ke sisi yang lain, sehingga layar dapat memanfaatkan kekuatan angin. Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. Layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi. — Wan Chen, 
Sebuah buku dari tahun 260 Masehi yang dibuat Kang Tai (康泰) juga menjelaskan kapal-kapal ini, yang disebut K'un-lun po (kapal K'un-lun), memiliki 7 layar, berlayar sampai sejauh Suriah. Kata "po" ini bukan bahasa China, melainkan berasal dari kata proa - prauw - perahu. Perlu diketahui bahwa kata "perahu" sebelum abad ke-17 merujuk pada kapal-kapal besar.

Faxian dalam perjalanan pulangnya ke China dari India (413-414 M) menaiki sebuah kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K'un-lun yang menarik kapal yang lebih kecil. Topan menghantam dan memaksa sebagian penumpang untuk pindah ke kapal yang lebih kecil, akan tetapi awak kapal kecil takut kapalnya akan kelebihan muatan, dan melepas tali pengikat untuk berpisah dari kapal besar. Untungnya kapal besar tidak tenggelam dan penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa - Jawa). Setelah 5 bulan, awak dan penumpangnya membangun kapal baru yang sebanding dalam ukurannya untuk berlayar ke China.

Pada I-ch’ieh-ching yin-i, sebuah kamus yang disusun oleh Huei-lin sekitar 817 M, po disebutkan beberapa kali:
Ssu-ma Piao, dalam komentarnya pada Chuang Tzü, mengatakan bahwa kapal laut besar disebut dengan "po". Menurut Kuang Ya, Po adalah kapal pengarung samudera. Ia memiliki draft (kedalaman) 60 kaki (18 m). Kapal ini cepat dan membawa 1000 orang beserta barang dagangannya. Kapal itu juga disebut k'un-lun-po.
Pada 1178 M, petugas bea cukai Guangzhou, Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri Selatan:

Kapal yang berlayar di laut Selatan (laut Natuna Utara) dan Selatannya lagi (Samudera Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. Babi diberi makan di dalamnya dan wine difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. Saat fajar, ketika gong berdentum di kapal, hewan-hewan dapat minum, kru dan penumpang sama-sama melupakan segala bahaya. Bagi siapapun yang naik semuanya tersembunyi dan hilang dalam angkasa, gunung-gunung, daratan-daratan, dan negeri-negeri asing. Pemilik kapal dapat berkata "Untuk mencapai negeri-negeri tersebut, dengan angin yang menguntungkan, dalam beberapa hari, kita pasti melihat gunung-gunung, dan kapal ini harus disetir ke arahnya". Tapi jika angin melambat, dan tidak cukup kuat untuk dapat melihat gunung dalam waktu yang ditentukan; pada kasus itu baringan mungkin harus diubah. Dan kapalnya bisa berjalan jauh melewati daratan dan kehilangan posisinya. Angin kuat mungkin muncul, kapalnya dapat terbawa kesana dan kemari, mungkin dapat bertemu dengan beting atau terdorong ke atas karang-karang tersembunyi, maka itu mungkin dapat merusak sampai ke atap rumah di atas deknya. Sebuah kapal besar dengan kargo berat tidak perlu takut akan lautan yang berombak, tetapi di air dangkal ia justru bersedih.

Pada 1322 M, rahib Odoric dari Pordenone melaporkan bahwa kapal Nusantara dari tipe zunc[um] membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang. Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai. Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70 meter, berat muatan sekitar 500 ton dan dapat membawa 600 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa menggunakan kapal-kapal jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan buritan tumpul/datar (transom stern).

Buku karangan Wang Dayuan tahun 1349, Daoyi Zhilüe Guangzheng Xia ("Deskripsi Orang Barbar dari Kepulauan") menjelaskan "perahu kuda" di sebuah tempat bernama Gan-mai-li di Asia Tenggara. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal dagang biasa, dengan sisi lambungnya dibangun dari beberapa papan. Kapal-kapal ini tidak menggunakan paku atau mortir untuk menggabungkan kayu, sebaliknya menggunakan serat kelapa. Kapal memiliki dua atau tiga dek, dengan "rumah" di atas dek teratas. Di bagian bawah mereka membawa kemenyan yang sudah di-press, di atas itu mereka membawa beberapa ratus kuda. Wang menyebutkan secara khusus kapal-kapal ini karena lada, yang juga diangkut oleh mereka, dibawa ke tempat-tempat yang jauh dengan jumlah besar. Kapal dagang biasa biasanya hanya membawa kurang dari 1/10 dari kargo mereka.

Biasanya, kapal utama menarik kapal kecil dibelakangnya untuk pendaratan. Data dari catatan Marco Polo memungkinkan untuk menghitung ukuran kapal-kapal ini, yang terbesar mungkin memiliki kapasitas 500-800 ton, hampir sama dengan kapal-kapal Tiongkok yang digunakan untuk berdagang pada abad ke-19. Kapal kecil itu sendiri mungkin bisa membawa sekitar 70 ton.

Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419-1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.

Fra Mauro dalam petanya menjelaskan bahwa sebuah jong berhasil mengitari Tanjung Harapan dan berlayar jauh ke Samudera Atlantik, pada tahun 1420:
Sekitar tahun 1420 M sebuah kapal, yang disebut zoncho India, pada saat melewati samudra Hindia menuju "Pulau Pria dan Wanita", dialihkan melewati "Tanjung Diab" (Ditunjukan sebagai Tanjung Harapan di peta), melewati "Kepulauan hijau" ("isole uerde", Pulau Cabo Verde), ke "Lautan kegelapan" (Samudera Atlantik) ke arah Barat dan Barat daya. Tidak ada apa pun kecuali udara dan air yang terlihat selama 40 hari dan menurut perhitungan mereka, mereka berlayar sejauh 2.000 mil sampai keberuntungan meninggalkan mereka. Ketika cuaca mereda mereka kembali ke "Tanjung Diab" dalam 70 hari dan mendekati pantai untuk memenuhi perbekalan mereka, para pelaut melihat telur burung yang disebut roc, yang telurnya sebesar amphora. — Tulisan di peta Fra Mauro, 10-A13, 
Kapal Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus-ratus tahun sebelum abad ke-13. Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odorico, John dari Marignolli, dan Ibn Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14 mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.

Pertemuan dengan kapal jung raksasa terjadi sebelum invasi Malaka. Sejarawan Portugis João de Barros (1496–1570) menulis bahwa ketika badai besar terjadi saat armada Albuquerque berada diantara Sri Lanka dan Aceh, sebuah kapal dibawah komando Simão Martinho tenggelam, tapi krunya diselamatkan oleh Fernão Pires de Andrade dan dibawa ke kapalnya. Untuk menebus kehilangan ini, orang Portugis menangkap 5 kapal dari Gujarat yang berlayar diantara Melaka dan Sumatra. Armada kecil Albuquerque bertempur dengan sebuah jung musuh dari para muslim Melaka dekat sebuah pulau antara Lumut dan Belawan. Menurut Barros, mereka bertempur selama 2 hari. Musuhnya melakukan pembakaran pada kapal sendiri untuk membakar kapal Albuquerque saat mereka melakukan penabrakan dan penembakan meriam dari jarak dekat. Meskipun jung itu menyerah; orang Portugis sangat kagum atas jung dan awaknya yang menjulukinya O Bravo (Jung Pemberani). Para kru Portugis meminta Fernão Pires untuk membujuk Albuquerque supaya awak jung tersebut diampuni dan dipandang sebagai bawahan dari Portugal yang tidak mengetahui dengan siapa mereka bertempur. Albuquerque akhirnya setuju akan ini.

Saat melewati Pacem (Samudera Pasai), orang Portugis bertemu dengan sebuah jung, yaitu kapal yang lebih besar dan lebih cepat dari kapal terbesar mereka, Flor do Mar. Portugis saat ini memiliki satu skuadron (40-43 kapal). Portugis memerintahkannya untuk berhenti tetapi ia menembaki armada, setelah itu Portugis balas menembak. Dilaporkan oleh Gaspar Correia:
“Karena junco itu memulai serangan, sang kapten mendekatinya bersama seluruh armadanya. Kapal-kapal Portugis mulai menembaki junco, tetapi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Lalu junco berlayar pergi …. Kapal-kapal Portugis lalu menembaki tiang-tiang junco …. dan layarnya berjatuhan. Karena sangat tinggi, orang-orang kami tidak berani menaikinya, dan tembakan kami tidak merusaknya sedikit pun karena junco memiliki empat lapis papan. Meriam terbesar kami hanya mampu menembus tak lebih dari dua lapis …Melihat hal itu, sang kapten memerintahkan nau-nya untuk datang ke samping junco. (Kapal Portugis) ini adalah Flor de la Mar, kapal Portugis yang tertinggi. Dan ketika berusaha untuk menaiki junco, bagian belakang kapal tidak bisa mencapai dek kapal. Awak Junco mempertahankan diri dengan baik sehingga kapal Portugis terpaksa berlayar menjauhi kapal itu lagi. (Setelah pertempuran selama dua hari dua malam) sang kapten memutuskan untuk mematahkan dua buah kemudi yang ada diluar kapal. Setelah itu barulah junco itu menyerah." — Albuquerque.
Setelah naik, Portugis menemukan seorang anggota keluarga kerajaan Pacem, yang Albuquerque berharap dia dapat menukar tahanan Portugis dengannya.

Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.

Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot muatan jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobot muatannya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513.

Pada Januari 1513 Pati Unus mencoba mengejutkan Malaka, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350-600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa. Meskipun dikalahkan, Patih Unus berlayar pulang dan mendamparkan kapal perangnya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak. Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang diarahkan Pate Unus, mengatakan:
"Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu koin tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka." — Fernao Peres de Andrade, Suma Oriental.
Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. Takjub akan kekuatan kapal ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa untuk bekerja di Malaka. Setidaknya 1 jong dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem dibawah perintah raja John III.

Giovanni da Empoli (pedagang Florentine) mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.

Tome Pires pada 1515 diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. Dia bilang orang China membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu, karena mereka yakin satu buah kapal jong milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung China. China mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jong berukuran 400 ton dapat menghancurkan Kanton, dan penghancuran ini akan membawa kerugian besar bagi China. Orang China takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di China.

Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan tonase 400 ton dan 220 kelulus. Penyerangan dihentikan setelah perbekalan menipis dan Portugis berhasil membakar 30 jong. Perlu dicatat bahwa pada saat itu kapal-kapal Eropa telah berkembang menjadi galleon seberat 400-500 ton.

Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.


Perbedaan dengan jung China

Kapal jung Jawa berbeda dengan Jung China dari kemudi (rudder)-nya. Jung China memiliki 1 buah kemudi di tengah sedangkan jung Jawa memiliki 2 di bagian samping. Jung Jawa juga memiliki layar yang bermacam-macam, bentuknya bisa seperti layar jung/oriental (ada tulang/sekat bambunya) atau layar tanja (layar segi empat yang miring, mirip layar kapal Borobudur). Haluan dan buritan jung Jawa berbentuk meruncing atau lancip, sedangkan jung China tumpul atau datar. Bagian bawah jung China berbentuk U tanpa lunas (keel), sehingga kurang cocok mengarungi samudera, sedangkan jung Jawa memiliki lunas dan berbentuk mirip V, yang lebih stabil untuk mengarungi samudra. Kapal jung China disambungkan dengan paku atau sambungan logam lainnya, sedangkan jung Jawa tidak memakai sambungan logam seperti paku.

Kapal harta China dikatakan memiliki panjang 137 meter dan lebar 55 m. Menurut Irawan Djoko Nugroho, jung Jawa besarnya 4-5 kali kapal Flor de La Mar, kapal terbesar Portugis tahun 1513. Jika replika kapal Flor de La Mar berukuran tepat, yaitu 36 m panjangnya, jung memiliki panjang 144–180 m dan tonase 1600-2000 ton. Tetapi jika menurut perhitungan Irawan Djoko Nugroho sendiri, Flor de La Mar memiliki panjang 78 m, dan itu berarti ukuran jung Jawa adalah 313–391 M. Peneliti lain berpendapat bahwa tonase jung Jawa setidaknya adalah 1000 ton, yang mengindikasikan panjang antara 70–90 m.


Catatan pelancong abad pertengahan

Kapal Jung dunia pada tahun 1460, menurut peta Fra Mauro.
Niccolò da Conti dalam menceritakan perjalanannya di Asia antara tahun 1419 dan 1444, menggambarkan kapal-kapal besar dengan berat sekitar 2.000 ton:
Mereka membangun beberapa kapal yang jauh lebih besar dari kapal kita, yang mampu memuat 2.000 ton, dengan lima layar dan sebanyak mungkin tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga papan, untuk meningkatkan kekuatan menghadapi prahara. Beberapa kapal dibangun dalam kompartemen, yang jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan perjalanan.
Juga, pada tahun 1456, peta Fra Mauro menggambarkan keberadaan jung di Samudra Hindia serta konstruksinya:
Kapal-kapal yang disebut jung ("Zonchi") yang menavigasi laut ini membawa empat tiang atau lebih, beberapa di antaranya dapat dinaikkan atau diturunkan, dan memiliki 40 hingga 60 kabin untuk para pedagang dan hanya satu anakan. Mereka dapat menavigasi tanpa kompas , karena mereka memiliki peramal, yang berdiri di samping dan, dengan astrolab di tangan, memberi perintah kepada navigator. - Teks dari peta Fra Mauro, 09-P25,
Astrolab terbuat dari kuningan berlapis emas dari sekitar tahun 1540–70
Astrolab bola dari astronomi Islam abad pertengahan, c. 1480, di Museum Sejarah Ilmu Pengetahuan, Oxford 

Hilangnya jung Jawa dari sejarah

Dalam kata pengantar antologi cerpen berjudul jung Jawa oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing tahun 2009, disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. Serta, sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Singhasari dan Majapahit, dan Mataram berubah menjadi negara agraris.

Hilangnya selat Muria juga menjadi faktor hilangnya Jung Jawa. Galangan kapal besar sepanjang Rembang-Demak menjadi "terdampar" di tengah daratan tanpa akses ke laut. Pada tahun 1657 Tumenggung Pati mengusulkan penggalian jalur air baru dari Demak ke Juwana, tetapi sepertinya tidak dilakukan. Ini membuktikan bahwa pada saat itu selat Muria sudah hilang atau sudah mengecil. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar dan tidak lagi memiliki galangan kapal besar. Ketika VOC mendapatkan pijakan di Jawa, mereka melarang penduduk setempat untuk membangun kapal dengan tonase lebih dari 50 ton, dan menugaskan pengawas Eropa ke setiap galangan kapal.


Referensi

  1. Nugroho, Irawan Djoko. 2011. "Majapahit Peradaban Maritim." Suluh Nuswantara Bakti.
  2. Reid, Anthony. 2012. "Anthony Reid and the Study of Southeast Asian Past." Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 
  3. Junk, Online Etymology Dictionary.
  4. Reid, Anthony. 2000. "Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia." Silkworm Books. 
  5. Coelho, P. 2002. "Collins Compact Dictionary." HarperCollins.
  6. Manguin, Pierre-Yves. 1993. "Trading Ships of the South China Sea." Journal of the Economic and Social History of the Orient. 253-280.
  7. Illustrated London Dictionary. London: DK. 1998.
  8. Cartas de Afonso de Albuquerque, Volume 1, p. 64, April 1, 1512
  9. de Couto, Diogo. 1602. "Decada Quarta da Asia." Portugal.
  10. Pires, Tome. "Suma Oriental." London: The Hakluyt Society.
  11. Johnstone, Paul. 1980. "The Seacraft of Prehistory." Cambridge: Harvard University Press. 
  12. Shaffer, Lynda Norene. 1996. "Maritime Southeast Asia to 1500". M.E. Sharpe.
  13. Michel Munoz, Paul. 2008. "Early Kingdoms of the Indonesian Archipleago and Malay Peninsula." 
  14. Maguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11: 266–276 – via JSTOR.
  15. a b Manguin, P.Y. 1980. "The Cambridge History of Southeast Asia." Cambridge: Cambridge University Press.
  16. Maguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11: 266–276 – via JSTOR.
  17. Barbosa, Duarte. 1866. "A Description of the Coast of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century." The Hakluyt Society.
  18. a b Kurniawan, Rendra F. Jung Jawa: Kumpulan Cerpen. Babel Publishing. 
  19. Dick-Read, Robert. 2005. "The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times". Thurlton.
  20. "Strange Things of the South", Wan Chen, from Robert Temple
  21. Reid, Anthony. 1988. "Southeast Asia in the Age of Commerce". New Haven: Yale University Press.
  22. Micheal Jacq-Hergoualc'h. 2002. "The Malay Peninsula: Crossroads of the Maritime Silk-Road (100 BC-1300 AD)". BRILL.
  23. Christie, Anthony. 1957. "An Obscure passage from the Periplus: Kolandiaphonta ta Megista". London: University of London.
  24. Needham, Volume 4, Part 3, 464.
  25. Yule, Sir Henry. 1866. "Cathay and the way thither: Being a Collection of Medieval Notices of China vol. 1". London: The Hakluyt Society.
  26. Hikayat Raja-Raja Pasai, 3: 98: Sa-telah itu, mak disuroh baginda musta'idkan segala kelengkapan dan segala alat senjata peperangan akan mendatangi negeri Pasai itu, sa-kira-kira empat ratus jong yang besar-besar dan lain daripada itu banyak lagi daripada malangbang dan kelulus.
  27. Lombard, Denys. 1990. "The Javanese Crossroads." Essay of Global History. 
  28. Kwee, H. K. 1997. "Dao Yi Zhi Lue as a maritime traders’ guidebook." Unpublished honour’s thesis, National University of Singapore.
  29. Wake, Christopher. 1997. "The Great Ocean-Going Ships of Southern China in the Age of Chinese Maritime Voyaging to India, Twelfth to Fifteenth Centuries". International Journal of Maritime History.
  30. R. H. Major, ed. 1857. "The travels of Niccolo Conti", India in the Fifteenth Century, Hakluyt Society, hlm. 27 Discussed in Needham, Science and Civilisation in China, p. 452
  31. Tulisan dari peta Fra Mauro, 10-A13, original Italian: "Circa hi ani del Signor 1420 una naue ouer çoncho de india discorse per una trauersa per el mar de india a la uia de le isole de hi homeni e de le done de fuora dal cauo de diab e tra le isole uerde e le oscuritade a la uia de ponente e de garbin per 40 çornade, non trouando mai altro che aiere e aqua, e per suo arbitrio iscorse 2000 mia e declinata la fortuna i fece suo retorno in çorni 70 fina al sopradito cauo de diab. E acostandose la naue a le riue per suo bisogno, i marinari uedeno uno ouo de uno oselo nominato chrocho, el qual ouo era de la grandeça de una bota d'anfora." 
  32. IbnBatutaTravel, Saudi Aramco world.
  33. Dion, Mark. "Sumatra through Portuguese Eyes: Excerpts from João de Barros' 'Decadas da Asia',". Indonesia (Volume 9, 1970): 128–162.
  34. Correia, Gaspar. Lendas da India vol. 2. p. 219.
  35. Winstedt. A history of Malay. p.70.
  36. Schottenhammer, Angela (2019). Early Global Interconnectivity across the Indian Ocean World, Volume II. Switzerland: Palgrave Macmillan. hlm. 173. ISBN 978-3-319-97801-7.
  37. da Empoli, Giovanni. 2010. "Lettera di Giovanni da Empoli". California.
  38. Pires, Tome. "Suma Oriental." London: The Hakluyt Society. 
  39. Sumatra, 431. William Marsden, Cambridge University Press. 2012. "The History of Sumatra: Containing an Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants."
  40. Nugroho, Irawan Djoko. Majapahit Kerajaan Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. 
  41. "I ship it! Historic Ship Harbour at RWS". S.E.A. Aquarium at Resorts World Sentosa (dalam bahasa Inggris). 2014-06-04. Diakses tanggal 2018-08-14.
  42. wikipedia.org
Baca Juga

Sponsor