[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Sejarah Kerajaan Sunda tak terlepas dengan sejarah pendahulunya yaitu kerajaan Tarumanagara. Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah).
Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Tarusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.
Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat dijadikan rujukan: Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Jawa Tengah.
Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.
Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda: ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), pembahasan tentang nama Sunda dalam bentuk kerajaan terbatas sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, dari tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Namun penerus raja-raja sunda seperti Kawali dan Pajajaran diuraikan tersendiri.
Mungkin saja para penyusun sengaja menguraikan raja-raja sunda berdasarkan pada posisi pusat pemerintahan dan Garis penerus Maharaja Tarusbawa, karena jika dikisahkan tentang sunda maka tak pula dapat dipisahkan dengan Kawali, Pajajaran, bahkan Galuh.
Penerus Tarumanagara
Kerajaan Tarumanagara berdiri sejak tahun 358 hingga 669 Masehi. Wilayah kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, dan Indramayu.
Istilah Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi di mulai sejak Tarusbawa mengubah nama Kerajaan Tarumanagara Menjadi Kerajaan Sunda, pada tahun 669 M atau tahun 591 Caka. Pada masa itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta Linggawarman pada tahun 669 M kepada Tarusbawa, menantunya yang menikah dengan Dewi Manasih. Tarusbawa kemudian diberi gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa.
Berita ini disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga terhadap Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Linggawarman. Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahirnya Kerajaan Sunda.
Perpindahan lokasi atau pembangunan istana Sunda pada masa Terusbawa digambarkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan:
Diinyana urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa denung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).
Berita yang layak dijadikan bahan kajian tentang pembangunan istana yang dilakukan Tarusbawa juga tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
”Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadtwan Sang Bima – Punta – Narayanan – Madura – Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati adalah Maharaja Tarusbawa).
Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar. Memang nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing dengan namanya sendiri, berurutan Bima – Punta – Narayana – Madura-Suradipati, atau disebut juga panca persada (bangunan keraton). Bangunan Keraton tersebut dimungkin sebagaimana yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Isi laporan tersebut menyatakan:
Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang ditinggikan – sitinggil – kepunyaan raja “Jawa” Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). [RPMSJB jilid keempat hal. 34].
Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan Banten – Cirebon.
Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan pula di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebutkan nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negaranya. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama ibukota dan wilayahnya.
Pemindahan Ibukota
Pemindahan pusat pemerintahan Tarumanagara ke Sundapura tentunya memiliki alasan, bukan karena Sundapura adalah daerah asalnya, melainkan erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan pemerintahannya. Tarusbawa menginginkan kembalinya kejayaan Tarumanagara sebagaimana pada masa Purnawarman. Ketika itu Purnawarman memindahkan ibukota Tarumanagara ke Sundapura, Tarubawa mengubah nama Kerajaan. Namun Terusbawa tidak memperhitungkan akibat politis dari pemindahan ibukota kerajaannya ke Sundapura.
Pada saat itu kondisi Tarumanagara sudah tidak sekuat masa lalu. Tarumanagara pasca meninggalnya Purnawarman sudah mulai turun pamornya di mata raja-raja daerah, terutama pasca kekacauan yangterjadi diintern istana. Banyak raja-raja daerah yang melakukan pembangkangan, terutama yang berada di wilayah sebelah timur Citarum. Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah mulai naik pamornya sebagai pesaing Tarumanagara. Dengan alasan inilah Wretikandayun kemudian menyatakan Galuh membebaskan diri dari Sunda. Sejak saat itu ditatar Sunda muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan Galuh.
Perbedaan Sunda dengan Galuh bukan hanya menyangkut masalah pemerintahan, menurut para penulis RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara Sunda dengan Galuh masing-masing memiliki entitas yang mandiri dan ada perbedaan tradisi yang mendasar. Hal yang sama dikemukan Prof. Anwas Adiwilaga, menurutnya: Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Penyatuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan “Urang Sunda”. Sebutan tersebut bukan hasil kesepakatan para penguasanya, melainkan muncul dengan sendirinya.
Pasca ditemukannya Prasasti Kawali 1, para ahli sejarah Sunda kuna pada umumnya bersepakat, bahwa: “Dengan demikian pengertian Galuh dan Sunda antara 1333 – 1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali walaupun di Pakuan tentu ada seorang penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintah pusat sudah berakhir”. (RPMSJB, buku ketiga, hal. 32).
Percandian Batujaya
Candi Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Talagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sebaran candi di situs Batujaya ini diperkirakan mencapai awalnya 5 km2. Terletak di tengah-tengah areal persawahan dan sebagian candi dekat permukiman penduduk seperti candi Serut atau Batujaya VII dan Candi Sumur atau Batujaya VIII. Situs Batujaya berada pada 6 km dari garis pantai utara Jawa Barat (Ujung Karawang).
Saat ini, kompleks Candi Batujaya merupakan areal persawahan dan pemukiman penduduk. Sebagian besar bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun dalam 'unur' atau 'lemah duwur' (tanah darat menyembul diantara pesawahan). Sampai dengan pertengahan tahun 2004, penggalian dan penelitian di kompleks percandian di Batujaya masih terus berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti Situs Batujaya dari Universitas Indonesia.
Baca juga:
- Candi Situs Batujaya Karawang Jawa Barat
- Candi Batujaya Salakanagara-Tarumanagara diantara Kerajaan kalingga, Sunda dan Sriwijaya
Komplek candi Batu Jaya terdapat 62 titik sebaran candi di areal ini, tetapi tidak menutup kemungkinan kalau candi itu akan bertambah, seiring ditemukannya unur unur yang lain. Adapun candi yang sudah dipugar dan sudah memiliki bentuk candi meski belum sempurna ada 4 buah yang dinamakan: 1. Candi Jiwa atau Batujaya I, 2. Candi Blandongan atau BatuJaya V, 3 Candi Serut atau Batujaya VII, dan 4. Candi Sumur atau Batu jaya VIII.
Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.
Pada 11 Maret 2019 turun surat keputusan perihal penetapan situs Percandian Batujaya menjadi kawasan cagar budaya nasional. Kini kompleks percandian seluas 500 hektare ini berada di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telukbuyung, Kecamatan Pakisjaya, Karawang. Kawasan ini dibagi menjadi zona inti seluas 337 hektare dan sisanya zonasi penyangga.
Candi-candi tersebut diduga sebagai tempat peribadatan masyarakat Hindu-Budha pada masa itu. Sebelumnya juga ditemukan fosil dan artefak berupa delapan makam dan menhir dari zaman prasejarah masyarakat Buni. Peninggalan tersebut, sebagian disimpan di Museum Percandian Batujaya. Sebagian lain, seperti emas dan arca, disimpan Museum Kemendikbud, dan Balai Perlestarian Cagar Budaya Serang.
Percandian mulai diteliti sejak 1984 hingga saat ini. Hasil penelitian melalui carbon dating pada Candi Blandongan diketahui dibangun pada abad ke-7. Dilihat dari warna batanya diindikasikan bahwa candi-candi di Batujaya ini pernah dipugar pada masanya. Inilah salah satu keunikan dari Lokasi Percandian Batujaya. Menurut Hasan Djafar, hasil pemugaran pada masanya terlihat pada warna batanya. Warna bata yang agak gelap memiliki indikasi candi sebelum dipugar. Warna merah muda merupakan hasil pemugarannya. Pemugarannya menggunakan spesi (pengerat batu), dan hanya beberapa bagian saja yang menggunakan spesi tersebut. Berbeda dengan hasil pemugaran, pada pembangunan pertama candi-candi ini tidak lah menggunakan spesi.
Menurut Hasan Djafar, keunikan lain dari Percandian Batujaya dapat ditemukan di Candi Blandongan. Candi ini dibangun di atas pemakaman. Mengapa disebut pemakaman? Oleh karena saat penggalian di Candi Blandongan ditemukan beberapa tengkorak manusia dewasa beserta bekal kuburnya berupa gerabah, dan peralatan yang terbuat besi. Bahkan beberapa tengkorak manusia menggunakan perhiasan. Identifikasi tengkorak sebagai manusia dewasa dapat dilihat bentuk gigi dan jumlah giginya. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa umur dari tengkorak-tengkorak tersebut berasal dari abad ke-2 Masehi.
Masyarakat yang membangun candi-candi ini mengetahui bahwa ada pemakaman di dalam tanah. Mereka menganggap bahwa yang dimakamkan itu adalah leluhurnya. Mereka pun tetap menghormati dengan tidak mengganggu pemakaman tersebut, dan tetap melanjutkan pembangunan candi. Mereka juga mengikuti posisi makam tersebut yang berorientasi baratdaya-timurlaut.
![]() |
Kerangka anak-anak yang ditemukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang pada 2013 saat membuat parit di halaman Candi Blandongan di Situs Batujaya. Foto: Kemendikbud.go.id |
Penanggalan
Berdasarkan analisis radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik Cina, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.
Bagaimana situasi keagamaan Tarumanagara terkait percandian Batujaya? Adakah hubungan antara percandian Batujaya dengan Kerajaan Sunda? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Masih memerlukan temuan-temuan baru di lokasi ekskavasi percandiangan Batujaya-Pakisajaya Karawang. Namun demikian, kita coba membuat hipotesis keberadaan candi-candi itu dengan Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda.
Jika berdasarkan penanggalan C-14 bahwa Candi-candi Batujaya-Pakisjaya Karawang berasal dari abad ke-5 hingga abad ke-7 berarti masih masa kerajaan Tarumanagara. Pada abad ke-5, Tarumanagara dibawah kekuasaan Purnawarman. Sedangkan di abad ke-7 adalah masa akhir kerajaan Tarumanagara dibawah kekuasaan Linggawarman. Pasca Linggawarman mengangkat menantunya sebagai Maharaja Tarumanagara, yaitu Sang Tarusbawa. Setahun kemudian pada 670 M nama kerajaan diubah menjadi Kerajaan Sunda. Ini terjadi pada abad ke-7 M. Kurun waktu ini adalah masa-masa pembangunan Candi Batu Jaya-Pakisjaya awal sebelum perombakan pada periode berikutnya.
Menurut penelitian para ahli Arkeologi dari Balar Bandung dan BPCB Serang Banten, Candi termuda dibangun atau diperbaiki pada abad ke-12 M. Kurun waktu ini juga berada dalam masa kekuasaan Kerajaan Sunda. Tidak ada sumber naskah atau prasasti yang ditemukan di tatar Pasundan yang menyebutkan secara spesifik mengenai candi-candi ini. Namun ada beberapa naskah lontar Sunda Kuno yang menyebut keberadaan candi diantaranya adalah Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Naskah Swawar Cinta. Jika dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian menyebutkan bahwa kesucian seseorang, diantaranya didapatkan setelah beribadah di candi. Sedangkah dalan Naskah Swawar Cinta menyebut gambaran candi yang terdiri dari Candi Abang (Candi merah) dan Candi Putih.
Menurut Hasan Djafar, bahwa percandian bata merah di Batujaya-Pakisjaya ini, dahulu berwarna putih dengan balutan staco (campuran kapur dan pasir). Bisa jadi ini yang disebut Candi Putih dalam Naskah Swawar Cinta. Mungkin juga sebagian percandian ini tetap warna bata merah sehingga disebut Candi Abang.
Daerah Bekasi dan sekitarnya di zaman dulu
Mengutip dari situs resmi Pemprov Jawa Barat, Bekasi zaman dahulu bernama Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Menurut para ahli sejarah, Dayeuh Sundasembawa adalah ibu kota Kerajaan Tarumanegara. Dayeuh Sundasembawa juga adalah daerah asal Maharaja Tarusbawa, pendiri kerajaan Sunda.
Bekasi merupakan lokasi ditemukannya Prasasti Kebantenan, empat prasasti yang memuat keputusan dari Sri Baduga Maharaja yang ditulis dalam lima lempeng tembaga. Berdasarkan isi prasasti, kita dapat mengetahui bahwa Sunda Sambawa dan Jayagiri adalah 2 nama untuk 2 tempat yang berbeda. Artinya di Bekasi dan sekitarnya ada nama tempat Sunda Sambawa dan Jayagiri.
![]() |
Prasasti Jayagiri (Prasasti Kebantenan I) Lempeng 1 (E.42a) Recto |
![]() |
Prasasti Sunda Sambawa I (Prasasti Kebantenan II) Lempeng E.43 recto |
Prasasti Kebantenan I merupakan tanda peringatan dari Rahyang Niskala Wastu Kancana, turun kepada Hyang Ningrat Kancana, kemudian diamanatkan kepada raja yang berkuasa di Pakuan Pajajaran sehubungan dengan penitipan dayeuhan di Jayagiri dan Sundasembawa agar ada yang mengurus. Untuk itu diharapkan agar tidak ada yang berani mengganggu dengan memungut pajak atau sumbangan lain dari penduduk yang sangat taat beragama dan rajin memelihara tempat bersemayam para dewa.
Prasasti Kebantenan II berisi pengukuhan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja (abad ke-15), raja Pakuan Pajajaran terhadap tanah tempat bersemayam para dewa di Sundasembawa sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Daerah itu ditentukan batas-batasnya: sebelah timur dari Ciraub sampai Sanghyang Salila; di barat dari Ruseb sampai Munjul, terus ke Cibakekeng, Cihonje, sampai ke muara Cimuncang; di selatan dari hutan Comon. Juga disebutkan bahwa sepanjang jalan besar ke arah hulu merupakan tanah larangan yang disediakan untuk para wiku sehingga jangan sampai ada yang mengingkari keputusan itu.
Berdasarkan prasasti Kebanten II, penulis membuat sketsa keletakan Kabuyutan/Dewasasana Sunda Sembawa sebagai berikut:
![]() |
Sketsa penulis keletakan Sunda Sembawa Berdasarkan Prasasti Kebantenan II |
Berdasarkan sketsa peta keletakan Sunda Sembawa di atas, maka lokasi ini mestinya berada di Kota/Kabupaten Bekasi sebagaimana diklaim bahwa posisi Sunda Sembawa di Bekasi. Namun, penulis belum menemukan nama-nama lokasi yang disebutkan dalam prasasti. Untuk itu, kita menelusurinya ke bahasa Sunda Kuno dan jawa Kuno. Beberapa kata tidak ditemukan. Kita mencoba menelusurinya ke dalam Bahasa Melayu Kuno. Ini dilakukan mengingat di wilayah pesisir bagian barat Jawa barat dikenal berbahasa campuran Sunda-Melayu yang disebut Sunda Kamalayon (Sunda ke-Melayu-melayuan). Termasuk bahasa Melayu Kreol, artinya bahasa Melayu yang dituturkan oleh penutur bukan Melayu (dalam hal ini orang Sunda). Selain itu wilayah Bekasi-Jakarta hingga masyarakat pesisir propinsi Banten yang berbahasa Melayu kreol juga dengan Dialek Melayu-Baba yakni campuran bahasa Melayu dan Hokkien. Hal ini terjadi karena daerah pesisir yang berdekatan dengan pelabuhan menjadi pusat pertemuan antar bangsa. Dan bahasa Melayu telah lama digunakan sebagai Lingua Franca, bahasa penghubung percakapan dalam perniagaan dan keagamaan sejak zaman kuno.
Kata Raub dapat kita hipotesakan berasal dari bahasa Melayu yaitu kata Rao atau Rawa. Kemudian kata Raub mendapat awal Ci ~ Cai yang artinya air. Dahulu di Bekasi banyak rawa dan sekarang ini banyak toponimi menggunakan kata rawa. Contohnya Rawa Lumbu, Rawa Bebek, Rawa Gede, Rawa Panjang, Rawa Tembaga, Rawa Baru, Rawa Pasung, dan masih banyak lagi. Kita tidak dapat mengidentifikasi, daerah mana yang dimaksud Raub/rao/rawa dalam prasasti. Kemungkinan adalah Rawa Tembaga (Raub Rambra). Rawa Tembaga yang dahulu melintas cukup luas di sepanjang Bekasi, saat ini sudah berubah menjadi Kantor Pemkot Bekasi, Gelanggang Olah Raga (GOR) Bekasi, stadion, monumen, perumahan, bahkan pusat perbelanjaan seperti Metropolitan Mal, Bekasi Cyber Park, Living Plaza, Mega Bekasi Hypermall, dan Bekasi Square. Rawa Panjang pun saat ini hanya tinggal nama jalan saja karena sudah dibangun beberapa perumahan.
Kedua nama daerah Sanghyang Salila. Sebutan Sanghyang sebagai pernghormatan atau pengangungan dari orang Sunda terhadap seseorang, objek sakral atau tempat sakral. Salila dalam bahas Sunda berarti 'Selama'. Jika kata Salila dalam bahas Sunda diterapkan rasanya kurang tepat dengan Sanghyang. Kita lihat dalam bahasa Sansekerta, Salilā yang artinya air hujan, hujan atau air. Mungkin Sanghyang Salilā berupa petirtaan, danau, sungai atau bagian sungai berupa situ (lubuk sungai). Tentunya sekarang telah berada di bawah lapisan aspal dan beton kota Bekasi. Dalam Buddisme (jika terkait candi Buddhis), Salila mengacu pada "hujan", menurut Ratnagotravibhāga (Uttaratantra) abad ke-3, ayat 4.43-44 .—
"... dikatakan bahwa [pikiran Sang Buddha dalam aktivitasnya] seperti awan (megha). Seperti halnya, di musim hujan, awan-awan keluar, tanpa usaha apapun, Banyaknya air di bumi, Menyebabkan panen berlimpah; Sang Buddha Menurunkan hujan (salila) dari Ajaran Tertinggi (saddharma) Dari awan Welas Asih, tanpa pikiran mencari, Untuk membawa tanaman kebajikan di antara makhluk hidup. Sama seperti awan mengeluarkan hujan (salila), digerakkan oleh angin, ke atas bumi di mana Orang-orang berperilaku di jalan perbuatan bajik; Demikian pula, awan Sang Buddha Menuangkan hujan dari Ajaran Tertinggi Saat kebajikan meningkat di dunia Karena angin Welas asih ”.
Topinimi di sebelah barat Sunda Sembawa yaitu Ruseb, Munjul, Cibakekeng, Cihonje, dan muara Cimuncang adalah berasal dari bahasa Sunda yang artinya dikenali hingga sekarang sebagai nama-nama sungai. Namun, toponimi ini tidak kita kenali lagi di wilayah Bekasi. Jika dahulu ada Dewasasana berupa wilayah Sima atau Swatantra, kini hanya tertinggal dalam motto Kabupaten Bekasi 'Swatantra Wibawa Mukti'.
Kembali ke prasasti Kebantenan.Dengan memerhatikan prasasti Kebantenan ini, kita mengetahui bahwa pada abad ke-15, daerah ini termasuk wilayah kerajaan Sunda-Pajajaran. Ditandai bukti pengukuran daerah Sima: Sundasembawa dan Jayagiri oleh Sri Baduga Maharaja.
Prasasti Kebantenan ini dengan jelas dikatakan adanya daerah keagamaan yang diresmikan oleh Raja Sunda, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di Pakuan. Prasasti itu berisi pesan sang raja untuk tak mengganggu gugat permukiman Jayagiri dan Sundasembawa, serta tanah dewa sasana yang ada di Gunung Samaya. Daerah itu merupakan larangan yang tak boleh ditarik pajak. Di sana tempat tinggal bagi para wiku. Bagi yang menggangu akan dibunuh.
Prasasti ini menyebut daerah larangan itu kabuyutan dan kawikuan atau dewasasana. Dewasasana adalah sebutan tempat peribadatan atau Rabut dalam naskah Bujangga Manik, mengindikasikan sebagai tempat peribadatan agama Hindu-Buddha. Pengertian Dewasasana dari kata Dewa dan Sasama (tempat). Jadi tempat bersemayamnya dewa. Berikutnya terdapat penyebutan Wiku yang berasal dari kata Bikhu atau Biksu. Menunjukan lebih khusus sebagai sarana peribadatan Agama Buddha. Mungkinkah percandian Batujaya-Pakisjaya juga dikenal dan masih dilindungi di zaman Sri Baduga Maharaja?
Adakah Pengaruh Sriwijaya?
Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir mempunyai 2 orang putra, yakni Manasih dan Sobakancana. Manasih dinikahkan dengan Terusbawa, penerus Tarumanagara yang kemudian menjadi nama Sunda, sedangkan Sobakancana di nikahkan dengan Sri Jayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya. Hal ini menumbuhkan hubungan kekerabatan diantara raja Sunda dan Sriwijaya.
Peristiwa pernikahan Sobakancana dengan Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya bisa diperkirakan terjadi antara tahun 669 M (abad ke-7). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Canid Batujaya-Pakisjaya tidak terkait dengan kekuasaan Sriwijaya. Mungkin saja pada periode pengembangannya pada abad ke-12 M. itu pun di masa-masa akhir Kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan Kerajaan Sriwijaya yang menerapkan agama resmi kerajaan adalah Buddha, bisa jadi sering menggunakan candi-candi di batujaya-Pakisjaya Karawang atas dasar kesamaan agama. Demikian pula pola hubungan ini terjadi antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Pala dengan mendirikan Wihara Nalanda di India Timur.
Sriwijaya bukan cuma dikenal sebagai kerajaan besar saja. Nama Sriwijaya juga sering disebut-sebut dalam berita asing sebagai pusat peradaban dan pengetahuan Buddhis. Bhiksu terkenal Tiongkok, I-tsing, pernah mengatakan, di Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi, terdapat perguruan tinggi agama Budhha yang cukup baik, dengan lebih dari 1.000 orang bhiksu. Selain memberi pengajaran agama Buddha, para bhiksu itu juga melakukan penelitian dan mempelajari ilmu-ilmu yang ada. Masih menurut I-tsing, sebelum belajar Buddhisme ke Nalanda, India, sebaiknya singgah dulu dua atau tiga bulan di Sriwijaya untuk mendalami pengetahuan agama Buddhia dan mempelajari Bahasa Sanskerta. Di kawasan Asia saat itu memang ada dua pusat studi agama Buddha yang sangat terkenal, yaitu di Nalanda dan Sriwijaya sendiri. Keduanya memiliki hubungan istimewa yang tercatat dalam sejarah. Sebagaimana dituliskan dalam Prasasti Nalanda (abad ke-9 Masehi), Raja Dewapaladewa —dari Dinasti Pala, India— memberi izin kepada raja Sriwijaya, Balaputeradewa, untuk mendirikan asrama di kompleks wihara Nalanda. Permintaan Balaputeradewa agar Dewapaladewa membebaskan pajak bagi beberapa desa di sekitar Nalanda, demi pemeliharaan asrama tersebut, juga dikabulkan. Hubungan damai yang dijembatani oleh agama ini tetap terus berlangsung hingga ke masa-masa berikutnya.
Menurut beberapa literatur sejarah Sunda, wilayah kerajaan Sunda dibatasi Sungai Citarum di sebelah timur hingga ke barat pulau Jawa. Pada kesempatan lain wilayah Sunda menyatu dengan Kerajaan Galuh hingga batas sungai Cipamali Brebes Jawa Tengah. Jika melihat sejarah Kerajaan Sunda sejak tahun 699 M (abad ke-7) hingga burak atau runtuh tahun 1579 M (Abad ke-16), setidaknya ada beberapa raja Sunda yang 'menyaksikan' pembangunan Percantian Batujaya-Pakisjaya dalam rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-12 M. Dari 40 daftar raja-raja Sunda-Pajajaran yang berkuasa, terdapat 25 raja yang 'menyaksikan' pembangunan percandian ini, ataukah para raja ini tidak mengetahuinya? Berikut daftar 25 raja Sunda dalam rentang waktu abad ke-7 hingga abad ke-12 M:
- Rakeyan Sundasembawa Sang Tarusbawa/ Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa (669 - 723)
- Rakeyan Mataram/Rakeyan Jambri Prabu Harisdarma rahyang Sanjaya (723 - 732)
- Rakeyan Panaraban Prabu Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Rakeyan Hujung Hulon Prabu Gilingwesi (783 - 795)
- Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara (795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Rakeyan Windusakti Prabu Darmaraksa (891 - 895)
- Rakeyan Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi Sang Mokteng Hujungcariang (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 - 942)
- Rakeyan Watuagung Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Prabu Limbur Kancana Sang Mokteng Galuh Pakuan Tapakmanggala Jayasatru (954 - 964)
- Rakeyan Sundasambawa Prabu Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Wulung Gadung Sang Mokteng Jayagiri (973 - 989)
- Rakeyan Gendang Prabu Brajawisésa (989 - 1012)
- Prabu Déwa Sanghyang Sang Mokteng Patapan (1012 - 1019)
- Prabu Sanghyang Ageung (1019 - 1030)
- Prabu Detya Maharaja Sri JayabhupatiJayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandaleswara Nindita Harogowardhana Wikramattunggadewa (1030 - 1042)
- Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Salakasundabuana Sang Mokténg Winduraja (1042 - 1065)
- Prabu Langlangbumi Sang Mokténg Kerta (1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur Langlangbhumisutah (1155 - 1157)
- Prabu Darmakusuma Sang Mokténg Winduraja (1157 - 1175)
- Rakeyan Saunggalah Prabu Darmasiksa Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
Rentang waktu keberadaan percandian Batujaya-Pakisjaya ini, bisa jadi dilihat dan diketahui oleh Rakeyan Sundasambawa Maharaja Tarusbawa hingga Rakeyan Saunggalah Prabu Darmasiksa Sanghyang Wisnu. Sedangkan dalam kronologi sejarah Tarumanagara, bahwa agama resmi Kerajaan ini adalah Hindu Waisnawa (penyembah Dewa Wisnu). Bisa jadi keberadaan candi-candi ini wujud toleransi yang tinggi di zaman itu. Namun sayang, belum ditemukan literatur mengenai keberadaan percandian Batujaya-Pakisjaya ini dengan para raja di Kerajaan Sunda.
Referensi
- "Candi Situs Batujaya" perpusnas.go.id Diakses 13 September 2020.
- "Kompleks Percandian Batujaya Resmi Jadi Kawasan Cagar Budaya Nasional" Kompas.com - 04/04/2019 Diakses 13 September 2020.
- "Percandian Batujaya, Dibangun di Atas Pemakaman" Penulis Dit. PCBM - 16 April 2018 kemdikbud.go.id Diakses 13 September 2020.
- "Sriwijaya dan Nalanda: Hubungan Damai Dijembatani Agama" Penulis bpcbjambi - 27/08/2018 kemdikbud.go.id Diakses 13 September 2020.