Cari

Temuan Menakjubkan Ini Bisa Ubah Kronologi Sejarah Purba Pulau Jawa

[Historiana] - Selama ini sejarah kehidupan purba di Pulau Jawa yang selama ini “dikuasai” Sangiran, Kedungbrubus, Trinil, hingga Mojokerto, bakal bergeser ke barat. Sebuah kawasan luas dari Tegal, Brebes (Jawa Tengah) hingga Majalengka di Jawa Barat, meninggalkan jejak kehidupan flora, fauna, dan manusia sejak minimal 1,5 juta tahun lalu.

Sejak 2005, sangat banyak temuan fosil menakjubkan dari Situs Purba Semedo di Kecamatan Kedungbanteng, Tegal. Sementara Bumiayu menyeruak sejak 1933. Sementaraitu di tepi sebuah sungai di Majalengka, tim paleontologi ITB telah berhasil menemukan jejak kehidupan purba berupa fosil gading gajah purba jenis Stegodon trigonocephalus pada 2018.

Berikut ini dirangkung enam temuan spektakuler kehidupan fauna dan hominid purba dari kawasan barat Jawa Tengah dan Jawa Barat yang mengubah penulisan sejarah Pulau Jawa berikut ini;


1. Tengkorak Homo Erectus

Bulan Mei 2014, Pak Dakri, pegiat penyelamatan fosil di Semedo menemukan sebongkah batu di lekukan kecil Sungai Kawi, Waturajut. Ia tidak tahu persis apa yang ada di bongkahan batu itu, namun perasaannya kuat ada sesuatu yang istimewa.

Kepala BPSMP Sangiran, waktu itu Dr Harry Widianto dan tim mengunjungi Semedo. Bongkahan batu itu dibawa ke Sangiran untuk diteliti. Menurut peneliti BPSMP Sangiran, Wahyu Widianta yang mendampingi Harry Widianto, batu itu sangat keras.

Identifikasi awal memang ada spesimen fosil menempel sangat kuat di bongkahan batu itu. Setelah dibersihkan, ternyata memang temuannya mengejutkan. Terdapat pecahan atap tengkorak bagian belakang individu hominid.

Permukaan luarnya melekat kuat di endapan pasir krikilan yang telah terkonkresi. Struktur irisan tengkorak masih jelas menunjukkan struktur diploe di bagian tengah sebagai indikator pecahan tengkorak.

Dilihat dari morofologinya, spesimen ini identik dengan tengkorak hominid dari Grogolan Wetan, Manyarejo. Diyakini dari Homo Erectus Tipik ini berumur 700.000 tahun.


2. Rahang dan Gigi Kingkong

Tahun 2014, kembali ditemukan dua spesimen sangat penting beruba fragmen mandibula dari dua individu yang berbeda.

Spesimen Semedo 3417 berupa fosil mandibula (rahang) dan gigi geligi primata besar jenis Gigantopithecus (kingkong) yang ditemukan di Situs Semedo. (Balar Yogyakarta)


Hasil analisis dan penelitian menyimpulkan dua spesimen itu berasal dari individu primata besar Gigantophitecus. Orang kemudian mengenalnya sebagai Kingkong dari Semedo.

Temuan ini sangat langka dan baru pertama kali ditemukan di Pulau Jawa, dan Indonesia umumnya. Tiga temuan lain ada di wilayah nontropis, yaitu di China, Vietnam utara dan Pakistan utara.

Namun karena ditemukan di permukaan, masih sulit menentukan fosil itu berasal dari lapisan kehidupan mana. Namun dari jejak yang tersisa di spesimen, sedimen fosil ini adalah pasir krikilan.

Berdasar riwayat sejarahnya, Gigantoptihecus hidup antara 7,5 juta tahun hingga 0,4 juta tahun. Dengan demikian rentang kehidupan makhluk ini sangat panjang dan sempat hidup berdampingan dengan hominid.


3. Alat Litik Koral Kersikan


Penelitian di Semedo menunjukkan temuan alat-alat paleolitik berbahan sangat khas, dan jarang ditemukan di lokasi lain di Indonesia.

Hingga 2014, telah terkumpul tidak kurang 500 artefak berupa alat masif berukuran sebesar genggaman tangan dan lainnya berukuran lebih kecil.

Jenisnya ada kapak penetak, kapak perimbas, alat serpih, bati inti, dan alat serut. Menariknya alat paleolitik ini ada yang berbahan batu koral kersikan (silicified coral).

Alat batu berbahan koral kersikan ini baru ditemukan di Semedo. Sisanya berbahan batu gamping kersikan silicified limestone) maupun batu rijang (chert).

Keberadaan alat-alat paleolitik batu ini dari hasil penelitian Sofwan Noerwidi dan Siswanto (2014), menguatkan posisi Semedo sebagai titik penting rangkaian situs Plestosen.

Juga menunjukkan posisi penting proses migrasi dan kolonisasi manusia purba di Jawa. Posisi geografis Semedo sangat strategis karena di titik singgungan pegunungan Serayu Utara dan dataran aluvial pantai utara Jawa.

Dataran aluvial ini didominasi endapan vulkanik dari Gunung Slamet. Bagian dasar situs Semedo diperkirakan berumur tersier pada pembentukan masa akhir Pliosen.


4. Fosil Sinomastodon Bumiayunensis

Banyak temuan fosil fauna Ordo Proboscidea di Situs Semedo ini. Di antaranya fosil Sinomastodon Bumiayunensis, Stegodon Trigonocephalus, Stegodon Pygmy Semedoensis, Stegodon Hypsilopus, Elephas Planifrons dab Elephas Hysundricus.

Keberadaan binatang-binatang besar berbelalai itu menujukkan keragaman luar biasa fauna dan lingkungan alamnya, dengan rentang waktu kehidupan sangat panjang tanpa terputus sejak 2 juta hingga 1,5 juta tahun lalu.

Jejak kehidupan Mastodon, atau kemungkinan lain Cryptomastodon, diketahui dengan temuan molar fauna itu di Semedo. Setelah Mastodon lenyap dari Jawa pada 1,5 juta tahun lalu, belum pernah lagi ditemukan jejaknya di wilayah lain.

Dengan kehadiran Mastodon ini, membuktikan pula Semedo menjadi situs prasejarah kuarter tertua di Pulau Jawa. Lokasi Semedo ini kebetulan berdekatan dengan lokasi temuan gigi molar Sinomastodon bumiayuensis pada 1932 oleh van der Maarel.


5. Hominid Tertua dari Bumiayu

Fragmen dua fosil bagian kaki manusia purba Bumiayu, Brebes, Jateng yang diperkirakan hidup pada masa Plestose Awal, lebih kurang 1,8 juta tahun lalu (IST | Dokumen Balar Yogyakarta)

Empat fragmen fosil hominid purba temuan dari situs Kali Bodas di Bumiayu, Brebes, Jateng, berdasar telaah letak perlapisannya ada di lapisan napal karbonatan, anggota Formasi Kali Glagah bagian tengah.

Usia lapisan itu diperkirakan antara 1,8 juta tahun hingga 0,8 juta tahun lalu. Posisi dan kronologi ini melewati usia 1,2 juta tahun dari Sangiran.

Temuan fosil Bumiayu ini diteliti tim Balai Arkeologi Yogyakarta dipimpin Prof Dr Harry Widianto, yang dikenal paleontolog terkemuka di Indonesia.

Dari keletakan dan usia kehidupan hominid di lapisan itu, menunjukkan kawasan Bumiayu lebih dulu dihuni manusia purba ketimbang Sangiran.


6. Fosil Stegodon Majalengka

Tim peneliti jurusan paleotologi ITB berhasil menguak keberadaan dua fosil gading gajah purba jenis Stegodon trigonocephalus pada 2018.

Proses ekskavasi fosil dua gading gajah purba jenis Stegodon Trigonocpehalus di tepi sebuah sungai di Majalengka, Jawa Barat pada 2018. (Dokumen Lab Paleontologi ITB dan Balai Arkeologi Yogyakarta)

Menurut keterangan Kepala Laboratorium Paleontologi ITB, Prof Jahdi Zaim, fosil itu terpendam di tepi sebuah sungai di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dan pertama kali teridentifikasi pada 2013.

Fosil gading yang masih utuh itu memiliki panjang lurus dari ujung ke ujung 3,3 meter. Sementara jika dihitung lengkungnya 3,6 meter.

Berdasar keletakan dan stratigrafinya, fosil itu berada di lapisan kehidupan Plestosen Awal, atau 1,5 juta tahun lalu.

Baca Juga

Sponsor