Cari

Sandhyâkâla Jenggala dan Majapahit: Hipotesis Erupsi Gununglumpur Historis Berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, Folklor Timun Mas

Gambar 1

[Historiana] - Kerajaan  Jenggala  dan  Kerajaan  Majapahit  berpusat  di  delta  Brantas,  Jawa  Timur  pada  sekitar    abad  ke-11  sampai  awal  abad  ke-16.  Perkembangan,  kemajuan,  dan  keruntuhan  kedua  kerajaan  ini  sedikit  banyak  berkaitan  dengan  proses-proses  geologi  yang  terjadi  pada  delta Brantas. Kerajaan Jenggala hanya bertahan sekitar 50 tahun,  runtuh pada tahun 1116 M, dan sejak itu wilayahnya menjadi bagian Kerajaan Kediri. Kerajaan Majapahit berawal pada 1293  M,  maju  dalam  hampir  seratus  tahun  pertama,  mundur,  runtuh  pada  1478  M,  menjadi  bawahan Kerajaan Demak, dan berakhir pada 1518 M.

Berdasarkan  penafsiran  beberapa  sumber  sejarah  (Kitab  Pararaton,  Serat  Kanda,  Babad  Tanah  Jawi),  cerita  rakyat,  kondisi  geologi  wilayah  Jenggala  dan  Majapahit,  dan  analogi  terhadap  semburan  lumpur  panas  di  Sidoarjo  (LUSI)  yang  berlokasi  di  dekat  pusat  kerajaan  Jenggala, terbuka kemungkinan bahwa kedua kerajaan tersebut telah mengalami kemunduran yang  berarti  akibat  bencana  alam  berupa  erupsi  gunung-gununglumpur  sebelum  dianeksasi  oleh kerajaan-kerajaan pesaingnya.

Delta Brantas, Jawa Timur (lihat Gambar 1) secara politik penting sebagai tempat lahirnya dan  pusat  kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, dalam hal ini adalah: Medang, Kahuripan, Jenggala, dan Majapahit. Dalam makalah ini, kerajaan Jenggala/Janggala (1041 M) dan kerajaan Majapahit (1293-1520 M) mendapatkan pembahasan utama. Tidak banyak yang diketahui tentang Jenggala, kerajaan ini dalam waktu yang tidak lama segera lenyap dan dianeksasi oleh pesaingnya, kerajaan Kediri (Panjalu/Daha), yang terkenal dalam periode 1050-1222 M. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan dalam sejarah Indonesia yang paling terkenal. Di bawah mahapatih Gajah Mada dan raja Hayam Wuruk, kerajaan ini menguasai wilayah seluas hampir seluruh wilayah Indonesia sekarang, ditambah wilayah-wilayah Indocina, Thailand, Malaysia, Timor, dan Filipina sekarang.

Kemelut politik, perebutan  kekuasaan, dan peperangan adalah faktor-faktor yang sering dipakai sebagai alasan kemunduran dan keruntuhan(“sandhyâkâla – senjakala”) kerajaan-kerajaan Jenggala dan Majapahit. Terbentuknya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak, pada menjelang tahun 1500 M, juga sering dipakai sebagai penyebab kemunduran Majapahit. Bencana alam adalah faktor lain yang oleh beberapa peneliti dianggap sebagai faktor utama penyebab kemunduran khususnya kerajaan Majapahit.

Delta Brantas secara tektonik dan sedimentasi adalah wilayah yang labil. Zone depresi dan antiklinorium Kendeng dan depresi tengah Jawa (axial Java trough) menyusun sebagian besar wilayah delta ini. Ke dalam kedua depresi ini diendapkan sedimen volkanoklastik yang sangat tebal dalam waktu yang relatif singkat. Kedua depresi ini kemudian tertekan secara kuat membentuk jalur-jalur antiklin (antiklinorium) memanjang dari barat ke timur. Aktivitas tektonik masih berlangsung sampai sekarang. Kedua depresi ini pun menjadi tempat penampungan hasil erupsi gunungapi-gunungapi yang berlokasi di sebelah selatannya, sejak Miosen sampai sekarang.

Beberapa kitab lama yang suka dijadikan sumber sejarah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, dalam hal ini kitab Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi memuat beberapa tulisan yang dapat ditafsirkan dalam konteks geologi berhubungan dengan dinamika tektonik delta Brantas. Kitab-kitab ini menuliskan hal-hal tersebut sebagai masa akhir kerajaan atau bencana. Pararaton memuat bencana “banyu  pindah”, “pagunung anyar” terjadi pada masa Majapahit. Serat Kanda memuat bencana “guntur pawatu  gunung”, dan Babad Tanah Jawi memuat “sirna ilang krtaning bhumi” sebagai masa akhir Majapahit. Keterangan-keterangan dari kitab-kitab lama tersebut telah ditafsirkan sebagai bencana erupsi gununglumpur dan/atau gunungapi.

Folklor (folklore)/cerita rakyat “Timun Mas” yang diyakini berkembang pada masa kerajaan Jenggala dan Kediri bila dihayati isinya sambil mengingat konteks geologi wilayah Jenggala juga dapat menunjukkan suatu asal kejadian fenomena semacam erupsi gununglumpur.

Berbagai keterangan di atas, yang meliputi keterangan-keterangan geologi, sejarah, cerita rakyat, dan menganalogi kepada kejadian bencana erupsi gununglumpur “Lusi” pada masa kini – yang terjadi di wilayah yang  dulunya menjadi wilayah kerajaan Jenggala dan Majapahit – telah diramu sedemikian rupa di dalam makalah ini dan menghasilkan suatu tesis bahwa kemunduran dan keruntuhan kerajaan-kerajaan Jenggala dan Majapahit selain oleh alasan politik, juga oleh bencana geologi.

Delta Brantas terbentuk di aliran hilir sungai Brantas. Di sekitar wilayah Mojokerto, sungai Brantas yang  mengalir dari barat ke timur bercabang menjadi dua: (1) cabang sungai ke arah timurlaut bernama kali Mas/ kali Surabaya/kali Kencana dan bermuara di Tanjung Perak dan (2) cabang sungai ke arah timur tenggara  bernama kali Porong dan bermuara di utara Bangil di Selat Madura. Sungai Brantas, kali Mas, dan kali Porong membentuk delta. Kota Mojokerto terdapat di puncak delta, dan kota Surabaya serta kota Bangil terdapat di kaki delta. Delta ini terbentuk berabad-abad lamanya, sehingga ia menjadi tempat kelahiran dan perkembangan  kerajaan-kerajaan di atasnya (Medang, Kahuripan, Jenggala, Majapahit). Kemajuan dan kemunduran kerajaan-kerajaan ini kelihatannya banyak dipengaruhi oleh segala yang terjadi dengan Delta Brantas (Nash, 1931).

Di sebelah selatan delta Brantas terdapat kompleks gunungapi Anjasmoro, Welirang, dan Arjuna. Di depan kompleks gunung api ini terdapat gunung Penanggungan. Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, gunung Penanggungan adalah sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984; Lombard, 2005). Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur, selain berurat nadi Sungai Brantas, kerajaan-kerajaan itu mengelilingi gunung Penanggungan, misalnya: Medang, Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Setiap kali ada kekacauan di wilayah kerajaan-kerajaan itu, maka gunung Penanggungan sering dijadikan tempat mengungsi sambil  mengatur strategi. Gunung Penanggungan juga menjadi tempat pemakaman pembesar-pembesar Medang dan Kahuripan.

Raja Erlangga, putra mahkota kerajaan Medang pada tahun 1016/1017 M (Soeroto, 1963; Supangkat, 2005) mengungsi ke gunung Penanggungan setelah terjadi “pralaya” di kerajaan Medang yang menewaskan raja   Dharmawangsa. Dari gunung Penanggungan, delta Brantas dengan sepenuhnya dapat dilihat dan dipelajari. Hal ini penting dalam penyusunan strategi perang. Erlangga kemudian dapat mengalahkan kerajaan-kerajaan kecil  di  delta  Brantas dan mendirikan kerajaan Kahuripan dari sisa-sisa kerajaan Medang yang telah terpecah di delta  Brantas pada tahun 1019 M. Wilayah kerajaan Kahuripan membentang dari Pasuruan di timur sampai Madiun di barat, kemudian Bali dan Jawa Tengah. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat  perdagangan yang penting (Wikipedia, 2007a)

Kesamaan tempat antara wilayah Jenggala, Majapahit, dan lokasi semburan lumpur-air panas “Lusi” yaitu sama-sama di delta Brantas; tataan geologi yang sama untuk ketiga wilayah tersebut; catatan-catatan/sumber sejarah yang tersimpan dalam buku-buku tua seperti Babad Pararaton dan Serat Kanda; cerita rakyat masa Jenggala  “Timun Mas”; dan prinsip geologi “the present is the key to the past” (masa kini adalah kunci ke masa lalu);  telah melatarbelakangi dugaan/hipotesis bahwa bencana lumpur panas “Lusi” pada masa sekarang pernah juga  terjadi pada masa lalu, yaitu pada masa pemerintahan kerajaan Jenggala dan Majapahit; dan bencana tersebut telah berperan cukup penting dalam memundurkan kedua kerajaan ini.

Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi (Jawa Kuno). Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri atas 1126 baris (Wikipedia, 2007h). Isinya adalah awal sejarah raja-raja Singhasari sampai masa akhir Majapahit. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton. Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (1600 M), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600 Saka, tahun pertama lebih mendekati kebenaran daripada tahun kedua. Sementara itu, menurut Slamet Muljana, Pararaton ditulis pada tahun 1535 Saka atau1613 M (Muljana, 1968).

Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah, terutama pada bagian awal, tempat terjadinya fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar seperti C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian pada masa depan (Berg, 1962). Meskipun demikian, sebagian besar ahli sejarah dapat menerima kesejarahan Pararaton pada tingkat  tertentu, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber Cina (Johns, 1964).

Di dalam hubungan dengan bencana-bencana selama masa Majapahit, kitab Pararaton mencatat dua hal (Brandes, 1897; Mangkudimedja, 1979; Daldjoeni, 1992):
-Bencana yang disebut “BANYU PINDAH” (terjadi tahun 1256 Saka atau 1334 M).
-Bencana yang disebut “PAGUNUNG ANYAR” (terjadi tahun 1296 Saka atau 1374 M)

Secara harafiah, Banyu Pindah = Air Pindah, Pagunung Anyar = Gunung Baru. 

Mengenai bencana Banyu Pindah, penelitian Nash (1931) menyatakan bahwa aliran sungai Brantas memang dinamis.  Penyebabnya adalah kenaikan dan penurunan tanah di delta Brantas. Lombard (2005) menulis tentang “Prasasti Kelagyan” pada zaman Erlangga dengan angka tahun 959 Saka (1037 M). Kelagyan saat ini adalah nama sebuah desa (Kelagen) di sebelah utara Kali Porong. Prasasti Kelagyan menceritakan bahwa pada suatu hari sungai Brantas  yang semula mengalir ke utara tiba-tiba mengalir ke timur memutuskan hubungan negeri Jenggala dengan laut, merusak tanaman dan menggenangi pemukiman. Erlangga bertindak dengan membangun bendungan besar di Waringin  Pitu sehingga memaksa sungai kembali mengalir ke utara. Mungkin, bencana “Banyu Pindah” dalam Pararaton mirip dengan kejadian tersebut. Bencana seperti ini kelihatannya terjadi berkali-kali, baik pada masa  Kahuripan,  Jenggala, maupun Majapahit. Bencana yang dicatat di dalam Pararaton adalah bencana yang terjadi pada tahun 1256 Caka (1334 M) pada zaman Majapahit. Bencana “Pagunung Anyar” diperkirakan merupakan bencana erupsi gununglumpur. Saat ini, Gunung Anyar adalah nama sebuah gununglumpur di dekat kota Surabaya yang  berstatus  istirahat (dormant). Gununglumpur ini membentuk kelurusan baratdaya-timurlaut dengan gununglumpur-gununglumpur lain di wilayah Sidoarjo-Madura: LUSI (lumpur Sidoarjo)-Kalang Anyar-Gunung Anyar-Bangkalan.

Penelitian Nash (1931) di wilayah bekas Majapahit menemukan bukti-bukti bahwa pernah terjadi berbagai deformasi tanah yang pangkalnya terjadi di perbukitan Tunggorono di sebelah selatan kota Jombang sekarang,  kemudian menjalar ke timurlaut ke Jombatan dan Segunung. Akhirnya, gerakan deformasi tersebut  mengenai  lokasi pelabuhan Canggu di sekitar Mojokerto sekarang, lalu makin ke timur menuju Bangsal (sekitar 25 km di sebelah barat lokasi semburan LUSI sekarang). Di dekat Bangsal ada sebuah desa yang  bernama  Gunung  Anyar. Begitu juga di tempat pangkal bencana terjadi di selatan Jombang terdapat sebuah desa bernama Denanyar yang semula bernama Redianyar (gunung baru). Semua nama gunung anyar/gunung baru ini adalah hasil erupsi gununglumpur. Erupsi gununglumpur dapat memunculkan bentukan topografi gunung baru (anyar) yang semula tidak ada. Berdasarkan hal itu, bencana Pagunung Anyar di dalam Kitab Pararaton dapat mengggambarkan suatu  erupsi  gununglumpur. Kalau erupsi semua gununglumpur itu memiliki dampak seluas semburan Lusi sekarang, bisa dibayangkan bagaimana terganggunya kehidupan di Majapahit. Serangan fatal mungkin terjadi karena terangkatnya pelabuhan Canggu di dekat Mojokerto oleh bencana ini, sehingga Majapahit yang merupakan kerajaan maritim mengalami kesulitan perhubungan laut.

Sumber dan Bacaan Lebih Lanjut:
humanitus.org

Baca Juga

Sponsor