Cari

Sejarah dan Mitos, Konstruksi yang saling Terkait


[Historiana] - Sejarah peradaban manusia menggambarkan rentetan peristiwa yang saling berhubungan. Manusia yang terus berkembang, berevolusi dari sesuatu yang sederhana menjadi lebih kompleks. Kita sebagai produk terakhir dari rentetan peristiwa sejarah tersebut selalu terikat masa lalu. Sayangnya, ingatan kita akan masa lalu selalu terfragmentasi, terbungkus serta tersaring oleh preferensi dan konstruksi sosial lingkungan kita. Meski begitu, selalu ada keinginan manusia melihat gambaran yang lengkap akan masa lalu tersebut.

Agregasi sumber masa lalu merupakan sebuah aktivitas memberikan makna yang tidak secara otomatis dimiliki. Semua bentuk representasi masa lalu memiliki ‘data’, sebuah pecahan yang terisolasi dari masa lalu. Imajinasi kadang dipakai untuk menambal pecahan ‘data’, tentunya apabila sumber arkeologi dan tekstual tidak ditemukan. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah selalu mengandung elemen fakta dan fiksi secara bersamaan (Bernbeck, 2005: 98-99). Representasi tersebut tentunya tidak membawa ‘sejarah’ dengan sendirinya, dengan mitos kita membuatnya menjadi sesuatu yang berarti.

Mircea Eliade menulis bahwa mitos adalah recital dari sebuah penciptaan; mengurai apa yang telah dicapai, bermula. Mitos, hanya berbicara tentang realitas, apa yang telah terjadi, apa yang terwujud. Mitos ini bukan hanya fondasi dari sebuah kepercayaan kuno atau folklore, tetapi juga bergerak dibelakang perkembangan sains modern.

Dalam sosilogi sains, mitos ini sering melibatkan mitos tentang individu genius atau seseorang dengan kualitas personalitas yang mampu membangkitkan sebuah pengetahuan didapatkan (Novick, 1988: 3-4). Misalnya Freud dalam psikologi secara heroik menaklukan kecemasan dengan menganalisis mimpi, atau klaim epistemology Malinowski dalam antropologi budaya, yang memiliki kemampuan magis dalam menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah budaya ‘dari dalam’, sedangkan von Ranke menganggap sejarah sebagai pengetahuan yang didapat melalui investigasi bebas nilai. Novick melihat bahwa tanpa mitos seperti diatas, sebuah bangun pengetahuan akan kekurangan fondasi dan otoritas. Setidaknya penyebutan figur otoritas tertentu memberikan para praktisinya sebuah dorongan moral dan superioritas atas orang yang tidak mengutip mereka.

Malinowski melihat bahwa mitos tidak hanya berurusan dengan masa lalu, tapi tetap bergerak dan berfungsi dalam kehidupan saat ini. Mitos bukan hanya sebuah cerita tetapi sebuah realitas yang terjadi; mengekspresikan, mempertebal dan mengkodifikasi keyakinan. Menjaga dan menegakan moralitas, memberikan kesahan pada sebuah ritual atau aturan praktis bagi orang-orang yang terbimbing (Malinowski, 1926: 76-79).

Durkheim berbicara mengenai fungsi dari mitos bagi organisasi sosial; memastikan adanya solidaritas dan menjaga dari kekacauan. Sedangkan Sorel menekankan bahwa fungsi mitos bukan hanya menjaga, namun juga memberikan kerangka mobilitas masa depan. Senada dengan Sorel, Levi Straus melihat bahwa mitos memberikan model logis yang mampu mengatasi kontradiksi, atau setidaknya menekan atau menutupinya, dan memberikan sebuah kesatuan konvergen narasi yang bersumber dari satu kejadian di masa lampau (Levi Strauss, 1963: 225).

Meski mitos sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak berubah sepanjang jaman. Pada kenyataanya mitos selalu berubah, dipertanyakan, atau kadang ditinggalkan, sesuai dengan perubahan kebutuhan dan kegunaan para aktornya. Mitos yang berada dalam bahaya-jika prediksinya gagal termaterialisasikan - memerlukan revisi. Setiap budaya merubah dan merevisi mitos-nya sesuai dengan bergantinya keadaan dan persepsi. Pavel Tychkin (2015: 461) menyatakan bahwa sekarang telah terjadi perubahan pandangan dalam studi mitos. Mitos yang dulu dianggap hanya sebagai reproduksi monoton cara pandang kuno, sekarang sudah ditinggalkan.

Satu hal yang pasti, memegang secara literal pada klaim terhadap mitos tertentu merupakan kesalahan besar. Mencampurkan antara nilai mitos dengan interpretasi literal mengantar pada religiusitas dan pengetahuan yang paling buruk. Literalisme seperti itu hanya akan membelah keyakinan kita dan bukannya mempersatukan kesadaran kita. Sebuah mitos yang statik dan tak berubah, hanya akan membuat sebuah mitos yang menggambarkan sebuah dunia yang asing dan tidak relevan dengan dunia kontemporer. Para pengikutnya menjadi orang asing terhadap modernitas dan kemajuan zaman. Kepercayaan buta tersebut akan memaksa seseorang mengorbankan intelektualitas dan emosi mereka. Kejujuran keduanya dikorbankan demi keamanan pengertian kurang tepat akan kredo mereka. Dan literalisme semacam ini, menurut Sproul (1991) lebih dekat pada pemujaan sebuah tafsir atau aliran pemikiran tertentu, ketimbang kejujuran yang tulus akan kredo mereka sendiri.

Pengetahuan kita mengenai masa lalu (misalnya sejarah) merupakan permainan ingatan. Dengan menyelami kedalaman sebuah peristiwa dan memotong rangkaian kejadian, para penulis sejarah selalu memanipulasi fakta dalam proses pembentukan narasinya. Atau dengan kata lain, hanya fakta yang menurut penulis penting, yang layak untuk diingat, dicatat dan diekspresikan (Glassner, 2004).

Sebuah budaya selalu menggunakan fakta sebagaimana mereka memahaminya dalam lingkup temporal dan spasial. Selain perbedaan bangun metafora dalam mengekspresikan nilai-nilai budaya, kadang kita juga harus memaklumi tingkat pengetahuan sains dan metode yang tersedia bagi sebuah masyarakat atau pembuat mitos. Mitos merupakan bagian integral dari semua sistem kepercayaan—baik religi, tradisi maupun sains—dan memberikan fondasi realitas yang terpusat. Selanjutnya fondasi realitas tersebut membangun sebuah struktur penilaian dan hubungan disekelilingnya. Dengan adanya sebuah mitos, sebuah sikap atas realitas membuat sebuah sistem kepercayaan dapat memahami masa lalu sebagai sesuatu yang masuk akal, masa ini sebagai masa yang berarti dan masa depan menjadi mungkin. Melalui pemusatan penilaian, sebuah mitos membangun kehidupannya sendiri.

Sering terjadi kegagalan atau perbedaan dalam memahami metafora sebuah mitos. Salah satunya penyebabnya adalah banyak mitos yang kita pegang berasal dari ekspresi kultur yang berbeda, baik tempat maupun waktu. Berbagai materi budaya dari budaya lain yang tidak memiliki kesamaan sejarah atau perspektif. Oleh karenanya sangat mudah terjadi kesalahan dalam memahami metafora sebuah mitos dan menganggapnya sebagai pernyataan yang literal. Lebih salah lagi apabila kita memiliki mentalitas parokial yang melihat metafora, symbol dan penilaian kita sendiri sebagai titik akhir dan penentu kriteria dalam menilai mitos budaya lain. Memahami symbol metafora, melihat arti dari dalam sistem mitos itu sendiri- dapat menghilangkan kesalahan dalam membaca dan memahaminya. Namun, ada bahaya ketika sebuah mitologi yang kita pahami sebagai satu-satunya kebenaran.

Mitologi seperti itu hanya akan mengarah pada perpecahan. Untuk dapat memahami berbagai mitos yang ada, kita harus dapat memberikan mitos budaya lain dengan kebebasan yang sama dengan yang kita miliki. Dengan cara itu, mitos dapat menjadi sebuah sistem abadi yang terbebas dari ekspresi particular dan temporalnya—atau setidaknya kita lebih toleran terhadap ekspresi partikularnya yang berbeda dengan mitologi kita.

Pemikiran mengenai masa lalu atau sistem pengetahuan sebagai sebuah mitologi diharapkan dapat meredakan ketegangan antar berbagai ekstrim. Perbedaan pencatatan dan ingatan manusia akan sebuah peristiwa yang sama mengindikasikan bangun mitologis yang berbeda. Dengan mengarungi berbagai perbedaan tersebut, kita diharap mampu memberikan penjelasan dan pengertian yang lebih lengkap. Harus ada kesadaran dikalangan penuntut ilmu, bahwa semua penjelasan tentang realitas selalu bersifat sementara dan parsial.

Banyak yang kita pahami saat ini akan kelihatan lemah dan kekanak-kanakan dalam beberapa abad kedepan—sebagaimana kita melihat berbagai mitologi sebelum kita. Tidak pernah ada hanya benar dan salah, karena gambaran yang sempurna akan realitas akan selalu tak tercapai. Kepercayaan diri yang terlalu tinggi sangat tidak diperlukan bahkan terlalu berbahaya bagi manusia yang selalu ingin belajar. Akan ada satu titik dimana kita harus mengakui bahwa kita kehabisan pengetahuan untuk menjelaskan sebuah fenomena. Dan dititik itulah manusia harus terinspirasi dan secara fleksibel melakukan dobrakan dengan mengembangkan imajinasinya -tentunya berpijak pada realitas, dalam mengembangkan sebuah pengetahuan yang berguna—untuk tujuan kemaanusiaan. Namun kadang, kita stuck pada satu titik, tanpa bisa berbuat apa-apa! Perlu kejujuran untuk mengakui kenyataan seperti itu. Pada akhirnya, sistem pengetahuan manusia selalu merupakan negosiasi dan perpaduan antara realisme, fleksibilitas, kegunaan dan inspirasi.

Tidak ada satu teori atau narasi apapun yang bisa mengklaim sebuah kebenaran absolut. Pandangan tersebut diharap dapat menghasilkan sebuah mitologi baru yang tidak hanya berupa mitos yang menjelma menjadi dogma yang statis dan mati, tetapi mampu membebaskan kita dari belenggu-belenggu konstruksi masa lalu yang tidak perlu.


Referensi

  1. Bernbeck, Reinhardt. 2005. ‘The Past as Fact and Fiction: From Historical Novels to Novel Histories’, dalam Pollock, Susan & Reinhard Bernbeck (ed). Archaeologies of the Middle East: Critical Prespectives. Blackwell Studies in Global Archaeology [4]. Cornwall: Blackwell Publishing.
  2. Glassner, Jean-Jacques. Mesopotamian Chronicles. Writing from the Ancient World [19]. Atlanta: Society of Biblical Literature. 
  3. Lévi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books, Inc.
    Liverani, Mario. 2014. The Ancient Near East: History, Society and Economy (terj. Eng. Soraia Tabatabai). New York: Routledge. 
  4. Malinowski, Bronislaw. 1948. “Myth in Primitive Psychology”, dalam Magic, Science and Religion and Other Essays. Glencoe: The Free Press.
  5. Novick, Peter. 1988. That Noble Dream: The “Objectivity Question” and the American Historical Profession. New York: Cambridge University Press. 
  6. Sproul, Barbara C. 1991. Primal Myths: Creation Myths Around the World. New York: Harper Collins.
  7. Tychkin, Pavel. 2015. “Myth as an Anthropological Phenomenon in the Context of Modern Cognitive Process”. Procedia: Social and Behavioral Sciences 166.

Sponsor