Cari

Perjalanan Sukma Setelah Kematian dalam Pikukuh Sunda Kuno

 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Dalam budaya kita di Nusantara mengenal 'peristiwa-peristiwa religius' seputar datangnya kematian. Pernahkah Anda mendengar kisah seseorang yang menjelang kematiannya didatangi leluhurnya? Mengapa bisa demikian? Mari kita sama-sama menyimak pemaparan berikut ini.

Memahami keagamaan zaman Sunda Kuno dapat kita telusuri dari berbagai naskah kuno yang telah diteliti para ahli filologi. Di Tatar Sunda didapatkan sejumlah naskah kuno, ada yang sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan, namun lebih banyak lagi yang masih berupa manuskrip yang  belum diteliti oleh para filolog naskah Sunda yang memang jumlahnya masih terbatas. Umumnya naskah-naskah Sunda Kuno digubah antara abad ke-14hingga termuda dalam awal abad ke-16 M.


Tentang Perjalanan Kesempurnaan Sang Atma

Ketika mengajarkan suatu kebajikan, tradisi barat (filsafat) menguraikan dan menjelaskan apa yang ingin disampaikan dalam diskursus dan telaah yang tajam dan jelas. Walaupun tidak ada istilah yang memadai, tradisi barat membuat  istilah-tanda-simbol untuk bisa mengungkapkan apapun yang ada dalam pemikirannya. Dengan demikian, demi tujuannya (menjelaskan), publik disuguhi analisis dengan penjelasan gamblang dan rasional.

Sewaka Darma ‘menjelaskan’ kesempurnaan, tidak dengan analisis dan paparan yang serba rasional,
tetapi mengambil metode naratif, cerita, kisah, dan dongeng. Dihadapkan pada dongeng, orang diajak untuk berimajinasi, membuat ruang-situasi-keadaan sebagaimana diceritakan.  Dalam  kisah, analogi banyak digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan. Beberapa di antaranya adalah “lurnyay bitan omas pndah, ngiceup bitan haripepet, bitan kunang-kunang leumpang, bitan katumbiri jadi, bitan kuwung-kuwung metu, bitan bulan ngagantar, bitan poe sabijilana” untuk menjelaskan bagaimana bayu, sabda, hedap keluar dari raga, memulai perjalanannya. Sisi menarik dari model ini adalah walaupun bercerita tentang perjalanan sang Atma menuju kesempurnaan hidup, kisah ini pun menyajikan kekayaan tafsir dan pesannya.

Berikut disajikan beberapa pokok perjalanan sang Atma.
Pertama, Perpisahan: terpisahnya bayu-sabda-hedap dari raga. Perjalanan sang Atma dimulai menuju
kesempurnaan dengan gambaran indah; menempuh jalan yang diterangi dan bersinar dengan aneka analogi. Sang Permana (sukma) melewati musuh, penderitaan, bahaya, batu berdempet, neraka.

Kedua, Sang Yama: sang Atma bertemu dan melewati Sang Yama (penjaga pintu neraka, mitologu Hindu-Budha); sang Dorakala menunjukkan arah Kahyangan. Berbagai jenis burung, tanaman, kembang, binatang, dan bunga mewarnai kisah pada tahap ini, yaitu mulai dari no. 550 s.d. 640-an. Deskripsi ini sepertinya mau menegaskan bahwa perjalanan ke alam sorga merupakan perjalanan rohani dan kesucian sebagaimana harum wewangian dan dupa semerbak di sepanjang jalan.

Ketiga, Air Pencucian. Sang Atma tiba di tempat penyucian. Di sini, sang sukma dimandikan dan dibersihkan dari nafsu, kebodohan, dasamala. Dengan demikian, terlepaslah sang sukma dari keterikatan badaniah sehingga tidak terpengaruh panca indera. Pada titik ini, digambarkan bangunan dengan tiang dari besi, balok dari besi baja, kisi tembaga, perak; ornament bangunan dari emas, permata, dan kain sutera. Di tempat inilah, setelah dibersihkan, sang sukma didandani dan berubah rupa sebagaimana wujud sejatinya,  sebagaimana ditulis: anggeus pulang jati rupa... (Sewaka Darma. No. 725).

Keempat, Para Bidadari. Sang Atma didatangi oleh para bidadari dengan berbagai keindahan dan kenyamanan. Sang Atma meniggalkan tawaran kenyamanan untuk kembali berjalan sebagaimana dinasihatkan oleh Dewata Sanghulun. Dalam titik ini, dijelaskan bahwa pencucian masih membutuhkan kesadaran untuk terus melepaskan keterikatan.

Kelima, Kesirnaan bunyi. Melewati para bidadari, sang sukma mencapai tangga emas,
tempat hanya ada kesirnaan suara, sunyi, hampa. Di alam Meukah, Caturloka, sang Atma lepas dari dunia, bertemu dengan leluhur. Dengan menggunakan arah mata angin, tempat para batara dijelaskan dalam hubungannya dengan hidup dan amal manusia.

Keenam, Sumber kejernihan. Setelah melewati tempat Sanghyang Lengis, Manondari, Dewi Nyanawati, Pwah Nilasita, sang Atma masuk ke sumber kejernihan, tempat Sri Dewi Pertiwi (Dalam Sunda, tokoh Sri dikenal dalam mitos lokal sebagai ‘Nyi Pohaci Sanghiyang Sri’). 

 

Ketujuh, Saridewata. Inilah tempat Wiru Mananggay dan Pwah Lakawati dan Pwah Sear Dewata. Mereka adalah wakil dari para pertapa perempuan, perawan dan tanpa bersuami. 

Kedelapan, Rahinasada. Di sinilah, sumber cahaya terang, tempat kediaman pertapa sempurna.

Kesembilan, Puncak Angkasa. Bungawari, kediaman Pwah Sanghyang Sri dengan Pwah kamadewi dan Dayang Terusnawati, Pwah naga Nagini dengan Pwah Somadewi. Inilah penghuni langit terluar yang dinamai dengan Puncak Angkasa. Sewaka Darma menjelaskan bahwa tidak ada yang lebih dari itu karena merupakan sudah selesai dan bebas. Sewaka Darma menyebut tempat tersebut sebagai penutup langit, digambarkan sebagai tempat yang besinar tanpa api yang terang tanpa padam. Jika demikian, sang Atma telah mengalami sida moksa (moksa sempurna) dan terbuka jalan menuju nirwana. Moksa berarti bebas dari ikatan (dunia); leupas berarti bebas dari dunia dan diri pribadi dan menemukan darma.


Kesepuluh, Sang Atma mendekati dan sampai ke Bumi Kencana. Bumi Kencana digambarkan sebagai tempat bersinar dan indah. Di sinilah, Sang Atma diminta duduk oleh Sang Yang Kuasa (Wisesa) sebagai yang setia dan jernih pikir.

Yang menarik di sini adalah bahwa Sang Atma mengalami pembalikan ke asal (pangkal, tangkal) dengan simbolisasi leluhur, ayah, dan ibu. Pengalaman ini bisa dilalui dengan bertapa, menemukan kebaikan, dan menemukan karma. Sang Atma kembali ke jati (inti) dan sampai ke asal yang adalah selesai atau tuntas.

Perjalanan sang Atma totog ka jati niskala, mentok di Jatiniskala. Sewaka Darma Undang menyebutkan Jati Niskala dengan penjelasan sebagai tempat dzat Tunggal Maha Kuasa. Tidak ada lagi perjalanan yang harus ditempuh oleh sang Atma: Totok ka jati niskala, Laput ti para Dewata, Leupas ti Hiang Tanhana, Kana lenyap acingtia, Mentok di Jatiniskala, (Terhindar dari para leluhur, Lepas dari Yang Nirwujud, Para kesirnaan yang terpikirkan; Sewaka Darma,No. 885)

Tentang Moksa (“Tertiup-Habis”)

Moksa merupakan konsep Hindu yang kurang lebih berarti ‘tertiup  habis’. Konsep Hindu ini  menjadi  penghujung nasihat Sang Sewaka Dharma. Maka, Sewaka Darma mengarah pada seluruh penjelasan tentang tuntunan kehidupan ke pemahaman moksa sebagai lepas bebas atau lepas keterikatan. Kesempurnaan hidup tercapai melalui moksa atau tertiup habis. Situasi lepas dari keterikatan itu (salah satunya) bisa dibaca dalam teks berikut.

 

Suka tan pabalik duka, Wareg tan pabalik lapar, Hurip tan pabaik pati, Sorga tan pabalik papa, Nohan tan pabalik wogan, hala tan balik hayu.

(Suka tanpa kembali duka, Kenyang tanpa kembali lapar, Hidup tanpa kembali maut, Bahagia tanpa kembali derita, Pasti tanpa kembali kebetulan, Buruk tanpa kembali baik Sewaka Darma, No. 890).


Moksa digambarkan sebagai berada dalam situasi atau keadaan kehidupan. Dari teks di atas, ditemukan  pola kontradiksi dalam menggambarkan situasi moksa. Yang dimaksudkan di sini adalah kontradiksi antara baik dan buruk. Maksudnya, dapat dilihat adanya penilaian atas baik-buruk situasi dan keadaan. Kalau diperhatikan, semua ungkapan diawali dengan situasi positif (suka, kenyang, hidup, bahagia,  pasti) dan diakhiri dengan situasi negatif (duka, lapar, maut, derita, kebetulan). Penilaian mengandung  keterikatan; artinya, suka dan bahagia lebih baik dari duka dan derita; oleh karenanya, layak dikejar.

Situasi ‘lepas  bebas’ tidaklah demikian. Pola positif-negatif di atas dipatahkan oleh satu ungkapan pembalikan (bala tan balik hayu) dengan pola keadaan negatif (bala, buruk) tanpa kembali ke keadaan positif (hayu, baik). Dalam situasi lepas bebas, sudah tidak dikenal keadaan-keadaan tersebut. Lebih  lanjut, keadaan lepas bebas dikaitkan dengan eksistensi (keberadaan) manusia dengan penggambaran sebagai berikut.

Luput ti para Dewata, Leupas ti Hiang Tanhana, Kana lenyep aciangtia, Kana rehe tan padenge, Kana lenyap tan pawastu, Nu lengis tan pakahanan, Tina ganal hanteu  pasat,  Deung  alit  hanteu  padeukeut  Deung  anggeus  hanteu  padeukeut,  Hanteu deungeuna dicandung Teka hanteu bayarana, Hantue deungeu(n)na sarua.


(Lepas dari Nirwujud, Pada kesirnaan yang tak terpikirkan, Keheningan tanpa mendengarkan, Pada kesirnaan tanpa wujud, Halus tanpa kurungan, Kasar tanpa terjerat, Halus tak bersuara, Tuntas tak berdekatan, Tidak dibuat suka dimadu, Hingga hilang marabahayanya, Tidak sama dengan yang lain. Sewaka Darma, No. 900).

Situasi  tidak  terikat  atau lepas  bebas  itu  mencapai  puncaknya  saat  sang  Atman sudah tidak menginginkan atau tidak mempunyai kehendak untuk lepas  bebas.  Keadaan  ini  digambarkan  dengan  Leupas  ti  Hiang  Tanhana (kesirnaan yang tak terpikirkan). Sang Atma mengalami situasi alam: suka tan pabalik duka, wareg tan pabalik lapar, hurip tan pabalik pati, sorga tan pabalik papa, hayu tan pabalik hala, nohan tan pabalik wogan, moksa leupas tan pabalik wulat (... lepas sempurna tak nampak kembali). Totog ka Jatiniskala (mentok di alam maha gaib sejati). Sang atma sampai di Sang Hyang Tunggal Maha Kuasa, pencipta batas tanpa terkena batas. Setelah melewati para leluhur dan para dewa, Sang Atma hilang dari Nirwujud dan akhirnya menemukan jati niskala, tempat sang  pencipta.  Ia masuk dalam kesirnaan yang tak terpikirkan lagi, halus tanpa kurungan, dan lepas meresap, moksa ‘tertiup habis sempurna secara hakiki’.

Moksa, Ada dan Tiada

Sewaka  Darma menggambarkan suatu kosmologi Sunda. Tentunya, kosmologi di sini tidak bisa dimengerti dalam konteks pengetahuan barat, yaitu pengetahuan alam semesta dengan pengaturan serba jelas dan eksak. Kosmologi Sunda mempunyai ciri khasnya tersendiri. Di awal ditegaskan bahwa  perjalanan Sang Atma berakhir di Jatiniskala sebagai  tujuan  akhir perjalanan sang Atma, dunia  maha  gaib, tempat dzat Yang Pencipta. Jatiniskala ini merupakan suatu dunia tempat pembuat batas tanpa terkena batas. Dalam kosmologi Sunda, dengan merujuk pada Naskah Sunda Kuna yaitu Jatiraga, kosmologi Sunda merupakan perpaduan antara Sunda asli (hyang), dengan Budhisme (moksa) dan  Hinduisme (dewa-dewi). Dalam kosmologinya, Naskah Jatiraga menjelaskan bahwa orang Sunda  memandang dunia dan alam semesta ini dalam tiga tatanan alam, yaitu sakala “dunia nyata”, niskala “dunia gaib”, dan jatiniskala “kemahagaiban sejati”.

Pertama, Dunia Sakala adalah dunia nyata sebagaimana dialami sekarang ini. Dunia ini diisi atau ditempati oleh makhluk hidup: manusia, hewan, dan tumbuhan. Mereka (yang hidup di alam sakala) terdiri atas dua unsur: badan fisik dan badan nonfisik (rohani). Mereka bisa dilihat, dirasa, dan diraba secara fisik. Dalam peristiwa kematian, badan nonfisik akan lepas atau keluar dari badan fisik untuk kemudian masuk dalam dunia lain, yaitu niskala.Kedua, Dunia Niskala  adalah  dunia  gaib  atau  roh.  Dunia  ini  diisi  atau ditempati oleh makhluk gaib: roh manusia, dewa-dewi, hantu (istilah awam), syanu (roh netral). Jika dalam Sewaka Darma disebutkan tiga unsur dalam diri manusia yaitu bayu-sabda-hedap, bisa jadi yang dimaksudkan adalah syaku atau roh netral (syanu) yang bergabung  dengan  bayu-sabda-hedap. Jika roh netral (syanu) ini bergabung dengan unsur badan-fisik, terciptalah gabungan antara anasir fisik dan nonfisik (rohaniah) sehingga menjelma menjadi makhluk hidup di dunia sakala, entah sebagai manusia (penjelmaan paling sempurna), hewan, atau tumbuhan. Sebagai perwujudan paling sempurna, manusia mempunyai ‘kewajiban’ untuk berbuat baik. Kebaikan akan  mengantar roh manusia (syaku) kepada kesempurnaan, tetapi  kejahatan akan membawa manusia kepada ketidaksempurnaan. Pada akhir hidupnya, makhluk akan dipisahkan dari bayu-sabda-hedap dan menjadi roh. Roh akan terarah pada kesempurnaan dan akhirnya menjadi sempurna atau moksa.   Sementara itu, keburukan akan menghantar roh manusia untuk disucikan kembali dalam kawah (neraka) dan harus mengalami reinkarnasi ke bentuk yang sesuai dengan perbuatannya yang buruk; bisa berbentuk raksasa.

Ketiga, Dunia Jatiniskala yang adalah dunia mahagaib nan sempurna tempat dzat Yang Mahatunggal, sang Hyang Manon, Yang Maha Pencipta, Si Ijunajati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam zatnya. Dalam perjalanan ke kesempurnaan, dunia jatiniskala ini menjadi tujuan akhir pengembaraan manusia. Tentang hal ini, Sewaka Darma menjelaskan tahap-tahapnya dengan cukup  rinci. Di gerbang kematian, (roh) manusia akan meninggalkan jasad atau badannya. Syaku (Roh netral yang bergabung dengan sabda-hedap-bayu) ini akan berjalan dan memulai pengembaraannya di dunia niskala (alam gaib). Di sinilah, sang Atma memasuki tahap-tahap alam. Mulai dari sang Yama (penjaga Negara), sang Atma melewati lisan langit dengan berbagai ilustrasi dan deskripsi bebungaan dan  pepohonan Tibalah sang Atma di tempat penyucian, dibersihkan, dan disiapkan. Setelah dirasa cukup,  sang Atma diingatkan untuk melepas keindahan duniawi seperti di dunia sakala supaya ringan dan damai, terlepas bebas dari ketidaksempurnaan. Tingkat-tingkat sorga atau kahyangan dilalui sang Atma. Setiap tahap ditempati oleh dewa-dewi sebagai penghuninya. Karena memang bukan tempatnya, sang Atma tidak boleh  berhenti dalam tiap-tiap tingkat. Sang Atma harus terus berjalan menunju tempat yang semestinya menjadi tempatnya. Ia diundang untuk sampai tangga emas dan tiba di Bumi  Kencana. Di sanalah ia disambut oleh SangYang Mahakuasa.


Anaking Sanghiang Atma, mana cunduk mara dareyuk, mana datang mara diundang, nu tuhu teher laksana, ageing teher herang tinueng. Mana cunduk ka puhun, mana na datang ka tangkal, mana na nepi ka jati, mana na deuheus ka anggeus, datang ka ambu ka ayah...

 

(Anakku Sanghiyang Atma, makanya tiba silahkan pada duduk, makanya datang memang diundang, yang setia juga rupawan, terhormat lagi pula jernih  pikir. Makaa, kini, tiba kepada leluhur, maka kini  datang kepada nenek moyang, maka kini sampai ke asal, maka kini sampai ke tuntas, datang kepada ibu dan ayah’. Sewaka Darma, No. 880).


Terhadap sambutan itu, sang Atma hanya merasakan suasana kedamaian, sebagaimana digambarkan:  suka tan pabalik duka, wareg tan pabalik lapar...  moksa leupas tan pabalik wulut (‘suka tanpa kembali  duka, kenyang tanpa kembali lapar ... lepas sempurna tanpa nampak kembali’). Akhirnya, perjalanan  memasuki dunia ketiga: Jatiniskala. Sang Atma mencapai moksa dalam batas ambang dunia Jatiniskala, tetapi tidak akan masuk ke dalam Jatiniskala itu (Mentog di Jatiniskala), saat sang Atma akan melepaskan bayu-sabda-hedap.

Kosmologi di atas digambarkan layaknya jagad besar, alam semesta. Lapis-lapis dunia pun digambarkan dengan piramida. Penangkapan ini dipertegas dalam penjelasan Sewaka Darma dalam perjalanan sang Atma, dari darat-bumi menuju ke udara-langit, bahkan langit terluar dan mentog di Jatiniskala (tempat sang Pencipta). Atau, dengan kata lain, pengembaraan sang Atma di alam niskala kiranya menjadi perjalanan ‘keluar jagad’. Yang menarik sehubungan dengan kosmologi Sunda dan juga perjalanan sang Atma dalam Sewaka Darma adalah paradoksnya (lebih tepatnya, pembalikan arah). Perjalanan kosmologis sang Atma bukanlah perjalanan keluar, ke alam semesta yang tidak  terkira luasnya. Sebaliknya, pengembaraan itu adalah perjalanan ke dalam diri sang Atma sendiri.  Dalam perjalanan itu, sang Atma membuka selapis demi selapis misteri dirinya sendiri.  Kunci misteri ini adalah bayu-sabda-hedap. Pada saat menempati suatu lapis, sang Atma bisa memasuki lapis berikutnya jika ia pempunyai kunci pembukanya. Anehnya, kunci itu hanya bisa berfungsi dan pintu gerbang terbuka jika kunci itu hilang. Dengan hilangnya kunci, terbukalah lapis misteri, sang Atma masuk ke dalamnya. Ada pertanyaan mengapa harus hilang. Dalam nalar, sesuatu yang hilang tidak bisa berfungsi, atau, sesuatu bisa berfungsi kalau ia ada. Dalam perjalanaan sang Atma, terjadi paradoks: sesuatu berfungsi pada saat ia hilang. Artinya, ia lepas. Sang Atma melepas kelekatan-kelekatan. Lapis (bayu-sabda-hedap) dilepaskan dari diri Atma.

Dalam pelepasan lapis-lapis itu, sang Atma semakin menyadari inti sejati dirinya sebagai roh murni yang teramat halus, dan pada saat sampai pada inti sejati dirinya, sang Atma menjadi lepas bebas, habis  tertiup, moksa, Kosong. Inilah gambaran kesempurnaan Jatinistemen sebagaimana digambarkan dalam Jatiraga:


Inya sida Jatinistemen, Ya sida tan hana paran, Sida mwaksah tan hana tuduhan. Sira  ta  manggih  tan  parupa, Tan Hyang tan abayu, Tan asabda tan hadap, Tan atutur tan aswarga, Tan amwaksah tan alepas, Tan hyang tan dewata, Tan warna tan darma. Apan sekar nala sadakala, Tan katemu inajyan, Tana katemu inangen-angen.

 

(Itulah kesempurnaan jatinistemen, Yang sempurna tanpa ada tujuan, Kesempurnaan moksa tanpa ada perintah. Dialah yang menjumpai tanpa wujud, tanpa bayangan dan tanpa kediaman, Yang Maha Agung tanpa perlu kekuatan, Tanpa perlu ucapan, tanpa perlu itikad, Tanpa perlu cerita, tanpa perlu sorga, Tanpa perlu kebebasan, tanpa perlu lepas, Tanpa perlu hyang, tanpa perlu dewata, Tanpa perlu macam jenis, tanpa perlu aturan (Jatiraga,No 305-315).


Moksa adalah keadaan lepas dari segala keterikatan, atau bahwa sang Atma sudah hilang keterikatan dengan ‘ketidaksempurnaan’ hidup. Dalam Jatiraga, dijelaskan lebih lanjut bahwa moksa bukanlah tidak ada atau tiada, sebab ‘tiada tiadaku sendiri’.  Keadaan sempurna merupakan perjalanan sang  Atma sampai pada situasi ‘habis tertiup angin’ (kosong), tetapi sekaligus karena kosong, ia berada di  manapun. Kekosongan bukanlah tidak ada semata-mata. Kekosongan di sini seumpama warna putih,  ketika tidak ada warna apapun; hanya putih. Tetapi, putih di sini bukanlah tanpa warna; sebaliknya, putih berarti semua warna. Demikianlah kosong bukanlah tidak ada, sebab kosong adalah segalanya.  Tidak di manapun adalah ada di manapun. Konsekuensinya, perjalanan sang Atma adalah perjalanan ke dalam inti jati diri. Pada titik akhir perjalanannya, disadari bahwa sang Atma juga melakukan gerak ke luar dan menjadi segalanya.

 

Itulah tujuan Sang Atma dalam naskah-naskah Sunda Kuno adalah "Mulih Ka Jati Mulang ka Asal".

Hidup yang Baik Berarti Pengendalian Kefanaan

Dalam pembukaannya, dinyatakan dengan tegas bahwa Sewaka Darmamerupakan kidung nasihat/tuntunan yang dikidungkan atau dinyanyikan untuk  membangun  rasa  pribadi  dan  diamalkan  sang siswa/murid yang belajar darma  (Ini Kawih Panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaran(n)a  pangwereg darma ngawangun rasa sorangan. Nihan pitutur rahayu, awakaneun sang sisyia, nu huning Sewaka Darma). Sewaka Darma memuat unsur pedagogi nilai karena pengajarannya. Dalam kidungnya, Sewaka Darma tidak menjelaskan tuntunan tentang apa ini dan apa itu. Sewaka Darma  hanya memaparkan tindakan konkret dan petunjuk praktis dengan kekayaan ilustrasi metaforis. Bukan  ‘apa’-nya, tetapi ‘bagaimana’-nya. Yang menarik adalah bahwa penjelasan praktis-konkret ini  disambung dengan penjelasan filosofis-spiritual tentang pemahaman kenyataan dan dunia, serta keyakinan akan kehidupan masa depan (sesudah kematian). Sewaka Darma memberikan pembekalan  kepada sang siswa tentang apa yang harus dilakukan, tetapi sekaligus mendasari sang siswa dengan pemahaman: perjalanan sang Atma menuju kesempurnaan: moksa, kesejatian diri manusia, dan  kehidupan bumi.

Demi pendasaran itu, Sewaka Darma  memberikan dua tuntunan: ajaran praktis & ajaran nonpraktis. Yang dimaksud dengan ajaran praktis adalah apa yang harus dikerjakan dan diperhatikan dalam kehidupan di dunia, entah tentang diri sendiri, orang lain, maupun hal bendawi. Manusia sebaiknya menguasai dan mengendalikan diri, mengatur dan mengolah tindakan-tindakannya sehingga mencapai kebaikan hidup. Yang dimaksud dengan ajaran nonpraktis adalah apa yang sebaiknya dipahami dan dimengerti tentang kenyataan dan tujuan kehidupan. Sewaka Darma menjelaskan peralihan kehidupan, perjalanan sang Atma setelah kehidupan fana, tahap-tahap perjalanan, dan tujuan perjalanan (moksa).

Referensi

  1. Wahyu Wibisana. 2000. "Buku Lima abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi". Jilid I - Juni 2000, Saleh Sanasasmita dkk, Sewaka Darma – 1987
  2. Siswantara, Yusuf. 2016. "Sewaka Darma - Pembelajaran Keutamaan Kehidupan" Jurnal MELINTAS, Department of PhilosophyFaculty of PhilosophyParahyangan Catholic University Bandung, Indonesia. unpar.ac.id
  3. Munandar, Agus Aris. 2010. "Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14 - ke-16 M)". Jurnal Ilmiah Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010, hlm 27-48. Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sponsor