Cari

Pemimpin Agama -Guru Agama Penipu, Wiku Lokika!! | Naskah Sunda Kuno Sewaka Darma


 "Nihan pitutur rahayu, Awakneun sang sisyia. Nu huning sewaka darma"
(Inilah petuah kebajikan/keselamatan, Untuk diamalkan seorang siswa, Yang paham Sewaka Darma).

Historiana -  Untuk bisa hidup dalam kebajikan, seseorang hendaknya mempunyai pemahaman tentang hidup dan hakekat kehidupan. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi perjalanan hidupnya, ibarat sebuah peta yang menunjukkan arah. Literasi tentang jaran belajar dan mengajar di zaman kuno terdapat diantaranya dalam Kitab Sewaka Darma. Dr. Edi S. Ekadjati menyatakan bahwa Sawakadarma (Sewaka Darma) berasal dari tahun 1435 (Abad ke-14). Naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Sunda pra-Islam atau pada zaman pengaruh Hindu-Budha masa akhir sebelum Islam di Tatar Sunda ini, yaitu antara abad ke 15 sampai dengan abad ke-16 Masehi.

Sang Sewaka Darma sebagai murid yang menerima berbagai wejangan dan moral dari gurunya (yang dinamakan pandita, mahapandita, dewatakaki, sang Nugraha). Sang Sewaka Darma mendapatkan nasehat, petuah, dan petunjuk supaya dapat menghindarkan diri dari segala godaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan.

Kitab Sunda Kuno Sewaka Darma (L. 408) menyampaikan secara tersirat bahwa pengetahuan yang dimiliki haruslah baik dan benar. Baik berarti cukup dan mampu memahami; menyangkut kemampuan dan penangkapan orang. Benar berarti pengetahuan yang dimiliki tidak menyesatkan, bukan pengetahuan palsu.

Pentingnya baik dan benar atas pengetahuan yang dimiliki orang yang ingin hidup dalam kebajikan ditegaskan dalam wanti-wanti (peringatan, jw): janganlah engkau terbawa-bawa oleh ajaran Wiku lokika (Pendeta peminta-minta) yang seolah-olah sempurna dan unggul, mampu menunjukkan jalan kematian dan kehidupan. Karena dimungkinkan untuk sesat pengetahuan, Sewaka Darma menunjukkan ajaran kebajikan keutamaan ini dengan mengacu pada petuah leluruh, para mendiang, dan nasehat dari pendahulu. Seorang yang mempunyai kebijakan merupakan orang yang mempuyai pengetahuan yang baik dan benar tersebut. Untuk memperoleh pengetahuan itu, tidak ada jalan lain, orang harus belajar atau nyantrik (belajar dari orang ahli) seperti halnya sang Sewaka Darma nyantrik kepada sang Guru.
Bagaimana seseorang bisa mempunyai pengetahuan? Belajar!

Istilah belajar dalam arti nyantrik (dalam kerangka belajar kebajikan) merupakan ungkapan yang menyangkut tindakan belajar (supaya pandai dan berpengetahuan). Dan, lebih dari itu, Belajar (nyantrik) berbeda dengan belajar saja karena kegiatan ini men-syarat-kan bahwa sang murid hidup bersama, mencontoh, dan meneladani sang Guru. Ungkapan yang digunakan Sewaka Darma untuk hal ini adalah 'menangkap seruan orang bijak, menyimak petuah sang pengasih, lanjutkan jangan tanggung'. atau '... maka amatilah aku, yang tidak mungkin berkata yang meragukan'. Dalam proses belajar (nyantrik, murid harus belajar dari sang Guru. Selain itu, ia bisa belajar dari segala hal: buku, alam, pengalaman, teladan, tindakan, dan sebagainya. 

Lebih lanjut, sikap batin atau motivasi seorang murid yang ingin belajar pun menjadi perhatian dan penting. Ia belajar bukan untuk sombong atau sejenisnya, tetapi semata-mata menghindari 'bencana, kehancuran, kenistaan, derita'. Sewaka Darma menjelaskan (lebih tepatnya menggambarkan dan menghadirkan) motivasi belajar seorang murid dengan ungkapan "aing mumul ditinggalkeun, meungpeung aya na ngajayak, nu magahan pileumpangen. Nyang puhu kita kumuha, aing (lamun ha) mo reujeung, suganing kapalikatan, rea geusan Lolita. Lamuning ninggalkeun maneh, anggeus hamo nyorangan, ngawasakeun na banycana"(aku enggan ditinggalkan, mumpung ada yang perduli, penunjuk arah yang mesti dilalui. Ya tuan bagaimanakah aku, bila aku tak mungkin bersama, barangkali terkena jebakan, banyak tempat ketamakan. Jika aku tak turut serta, sudah tentu dengan sendirinya, menyerahkan kepada bencana). Sewaka Darma juga menekankan sikap kepercayaan, proses mempercayakan dirinya kepada sang guru.

Dalam proses belajar, seorang murid dituntut untuk memahami dan sekaligus melakukan dan mempraktikkan pengetahuannya seperti dituliskan: "Nyaur Sang Sewaka Darma, umun teher manganjali, sumembah ka Sang Pandita: "Aum nyana pretyaksa, satya malekas sabda". Suatu perintah yang sangat jelas adalah "Semogalah demikian kiranya, berjanjilah menjalankan petuah". Dengan demikian, pemahaman yang dimaksudkan pun tidak sekedar 'mengetahui atau mengerti' ataupun juga 'memahami dan mendalami' pengetahuan yang dimilikinya. Karena dalam proses belajar (nyantrik), ia melakukan, mengalami, atau mempraktikkan apa yang diajarkan, ia 'menghayati' ajaran Sang Guru.

Di sisi lain, Sang Guru pun tidak bisa hanya memberikan pengetahuan, apalagi pengetahuan 'asal' secara 'asal-asalan'. Sebab guru seperti itu hanyalah Wiku lokika yang kurang dalam pengetahuan dan tidak baik dalam tindakan (sombong, sok pintar). Ia harus bisa memberikan pengetahuan dan pengalaman sekaligus. Sang Guru harus menjadi sosok yang 'saur sahingan ning tuhu, sabda sahingan ning byakta' (bicaranya harus yang jujur dan berucapnya harus yang nyata). Dalam semboyan singkat bisa kita katakan: "Lakukan apa yang ditulis dan tulislah apa yang dilakukan"

Dalam konteks pengajaran, hal itu sangat jelas: lakukan apa yang diajarkan dan ajarakan apa yang dilakukan. Seorang guru harus menjaga kepercayaan dengan mengatakan apa yang benar dan bukan palsu, dengan rendah hati, dan sadar diri. Seorang guru juga memberikan teladan dan perhatian kepada murid sebagaimana dilukiskan dalam Sewaka Darma:

Jeueung geuing aing leumpang, turut leukahing ku sia, teher nu iyatna-yatna

(Perhatikan caraku berjalan, ikuti langkahku olehmu, lalu hendaklah berhati-hati).

 

Referensi

  1. Bachtiar,  T  dkk.  2007.  Menyelamatkan  Alam  Sunda  dan  Kajian  lainnya  mengenai Kebudayaan Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda. 
  2. Darsa,  Undang  A.  &  Edi  S.  Ekadjati.  2006.  Gambaran  Kosmologi  Sunda.  Bandung: Kiblat 
  3. Ekadjati,  Edi S, dkk. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka.
  4. Ekadjati, Edi S. 2009. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
  5. Edi S. Ekadjati. 2014, Kebudayaan Sunda. Bandung: PT. DUnia Pustaka Jaya. 
  6. Rosidi, Ajip. 2009. Manusia Sunda. Bandung: Kiblat. 
  7. Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat. 
  8. Setiawan Hawe. 2010. Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda 
  9. Siswantara, Yusuf, S.S. M.Hum. 2015. "Keutamaan: Kritik Teks Atas Naskah Sewaka Darma". Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Unpar. neliti.com Diakses 9 Februari 2022.
  10. Siswantara, Yusuf. 2016. "Sewaka Darma - Pembelajaran Keutamaan Kehidupan" Jurnal MELINTAS, Department of PhilosophyFaculty of PhilosophyParahyangan Catholic University Bandung, Indonesia. unpar.ac.id
  11. Wahyu Wibisana, Buku Lima abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi, Jilid I - Juni 2000, Saleh Sanasasmita dkk, Sewaka Darma – 1987
Baca Juga

Sponsor