[Historiana] - Kerajaan Sunda atau lebih dikenal Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh) sirna ing bhumi pada tahun 1579 M. Sebelum keruntuhannya, tahun-tahun akhir masa kejayaan Pajajaran menghadapi perubahan dunia dengan berbagai macam kerusuhan dan peperangan. Kesedihan rakyat Pajajaran yang telah eksis selama 909 tahun (sejak tahun 669 - 1579) menghadapi takdirnya.
Di Bogor Selatan, tepatnya di prasasti Batutulis, kesedihan datang berulang.
Prasasti Batutulis dibuat Prabu Surawisesa, Raja Sunda yang berkuasa selama 14 tahun (1521-1535 M) untuk mengenang kejayaan ayahnya (Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi). Prasasti itu dibuat di tengah kepiluan karena wilayah kekuasaan warisan ayahnya tersebut mulai tanggal satu persatu, direbut hegemoni kekuatan politik baru, yaitu kerajaan Islam.
Surawisesa adalah pengganti Sri Baduga Maharaja, putera Kentring Manik Mayang Sunda dan cucu Prabu Susuktunggal. Ia dipuji dalam ‘Carita Parahiyangan’ dengan sebutan ‘kasuran’ (perwira), ‘kadiran’ (perkasa) dan ‘kuwanen’ (pemberani).
Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis ‘Carita Parahiyangan’ memang berkaitan dengan hal ini.
Terdesaknya Kerajaan Sunda yang Hindu dan beribukota di Pakuan Pajajaran, sebetulnya sudah diantisipasi oleh Sri Baduga Maharaja. Bentuk antisipasinya adalah menjalin kerjasama dengan Portugis. Bahkan Surawisesa sendiri yang dua kali diutus pergi ke Malaka menemui Portugis.
Pada 1512, dikutip Hageman dalam Geschiedenis der Sundalanden, menyebutkan ada raja Sunda bernama Samiam datang ke Malaka untuk merundingkan urusan dagang dengan Alfonso d’Albouquerque. Pada 1521, raja tersebut datang untuk yang kedua kali. Karena tertarik menjalin hubungan dagang dengan Sunda, maka Alfonso d’Albouquerque mengutus iparnya, Henrique de Leme, untuk memimpin utusan Portugis pergi ke ibukota Sunda pada 1522.
Dalam teks yang ditulis orang Portugis itu, ada penumpukan informasi yang bisa mengacaukan persepsi sejarah. Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi menjelaskan bahwa berita Portugis tersebut ditulis dengan jarak yang cukup jauh dari kejadiannya. Mereka menuliskan nama disekaliguskan. Ratu Samiam yang datang ke Malaka pada 1512 dan 1521 disebut “Red e Zunda” (Raja Sunda).
Padahal pada tahun-tahun tersebut, Samiam atau Surawisesa, masih sebagai putera mahkota. Sedangkan pada 1522, ketika utusan Portugis melakukan kunjungan balasan, Samiam telah menggantikan ayahnya sebagai raja Sunda.
Saleh Danasasmita menambahkan bahwa secara logika tidak mungkin seorang raja pergi berlayar mengarungi samudera yang penuh marabahaya hanya untuk misi dagang dan kerjasama. Jadi, menurutnya, yang pergi ke Malaka adalah Samiam/Surawisesa yang diutus oleh ayahnya. Saat itu, dalam analisis Saleh Danasasmita, ia belum menjadi raja.
Kedatangan utusan Portugis pada 1522 kemudian menghasilkan perjanjian kerjasama yang diabadikan dalam padrão yang tinggalannya masih bisa dilihat sampai sekarang. Perjanjian tersebut bersifat internasional. Naskah perjanjian dibuat rangkap dua (in duplo), dan masing-masing pihak memegang satu lembar.
“Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield,” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu), tulis Hageman dari sumber Portugis yang ia kutip.
Isi perjanjian tersebut di antaranya ialah, pertama, Sunda dalam jangka waktu setahun akan memberikan 1.000 karung merica yang ditukar oleh Portugis dengan barang-barang kebutuhan pihak Sunda. Kedua, Portugis diizinkan untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa). Selain itu, ada satu perjanjian yang sifatnya rahasia, yaitu Sunda dan Portugis akan bersama-sama menghadapi Demak yang mulai merangsek ke barat.
Bertempur dan Terdesak
Dalam naskah Carita Parahiyangan, Surawisesa disebutkan terlibat 15 kali peperangan dalam rangka mempertahankan wilayahnya, terutama di pesisir utara Jawa dari gempuran armada Demak dan Cirebon. Hal itu terjadi hanya dalam kurun waktu 14 tahun kepemimpinannya di Sunda. Perang melawan Demak disinggung dalam naskah tersebut dengan menyebut nama beberapa tempat, di antaranya Wahanten Girang, Ancol Kiyi, dan Kalapa.Saleh Danasasmita dalam bukunya yang lain, Menemukan Kerajaan Sunda, menjelaskan bahwa perjanjian antara Sunda dan Portugis mencemaskan Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan Demak III. Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai sudah menguasai Selat Malaka yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara. Jika Selat Sunda sebagai pintu masuk yang lain dikuasai juga oleh Portugis akibat perjanjian tersebut, maka otomatis jalur perdagangan laut Demak terputus, padahal jalur tersebut adalah urat nadi kehidupan ekonomi.
Untuk mengatasi ancaman ini, Trenggana segera mengirimkan armada yang dipimpin senapati Demak, Fadillah Khan. João de Barros (sejarawan Portugis) menyebutnya Faletehan. Sementara Tome Pinto (petualang Portugis) menyebutnya Tagaril yang mungkin ucapan Portugis untuk "Ki Fadil" (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Gabungan pasukan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fadillah Khan berjumlah 1.967 orang. Sasaran pertamanya adalah Banten sebagai pintu masuk Selat Sunda. Setahun kemudian, bersama 1452 pasukannya, Fadillah Khan menyerang Pelabuhan Kalapa. Pemimpin yang betugas di Kalapa beserta keluarganya, serta para menteri yang bertugas di pelabuhan, ditemukan tewas. Pasukan bantuan dari Pakuan Pajajaran pun berhasil dipukul mundur.
Portugis yang terikat perjanjian dengan Sunda mencoba mengirimkan bantuan, namun terlambat. Fransisco de Sa yang sedang bertugas membangun benteng di Kalapa diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Pasukan yang akan berangkat ke Sunda dengan enam buah kapal dipersiapkan dari Goa. Kapal yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk benteng terpaksa ditinggalkan karena diterpa badai di Teluk Benggala.
Bantuan ke Sunda kemudian dilanjutkan dengan bertolak dari Malaka. Karena Banten dikuasai pasukan Hasanudin (Sultan Banten), maka Portugis langsung menuju Pelabuhan Kalapa, yang sialnya — karena situasi telah berubah -- kapalnya terlalu menepi terlalu dekat ke pantai, akhirnya langsung dihajar armada Fadillah Khan.
Di sebelah timur, pasukan Cirebon mencoba bergerak lebih jauh ke selatan, berusaha menggerogoti wilayah Sunda. Dengan bantuan Demak, Cirebon berhasil mengalahkan Galuh. Lalu dua tahun kemudian Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh berhasil direbut. Meski sebelah timur Citarum telah dikuasi Cirebon, namun mereka masih belum bisa menembus ke barat, ke Pakuan Pajajaran.
Meski digempur habis-habisan, Surawisesa berusaha mati-matian untuk mempertahankan wilayahnya. Maka di sekujur perbatasan antara Sunda dan Cirebon diamuk peperangan yang hebat. Tahun 1531, Surawisesa dan pemimpin Cirebon, Syarif Hidayat, menyepakati perdamaian.
Dalam situasi seperti inilah kemudian Surawisesa mempunyai kesempatan untuk mengurusi masalah dalam negerinya. Beberapa pemberontakan dipadamkam, dan ia mencoba menerawang situasi diri dan kerajaannya.
Kepiluan dalam Upacara Srada
Warsa 1533, bertepatan dengan 12 tahun setelah ayahnya wafat, Surawisesa membuat sakakala berupa tanda peringatan bagi mendiang ayahnya dengan menyebutkan karya-karya sang ayah selama beliau memimpin Sunda.“Mungkin pemasangan batu-tulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu ‘penyempurnaan sukma’ yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi,” tulis Saleh Danasasmita.
Tanda peringatan itulah yang hari ini dikenal dengan prasasti Batutulis, dengan terjemahan sebagai berikut:
“Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (untuk) Prabu Ratu almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, mengeraskan (jalan) dengan batu, membuat hutan samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (ditulis) Dalam tahun Saka lima-pandawa-pangasuh-bumi.” (Menemukan Kerajaan Sunda, hlm 47).
Kepiluan terus berlanjut setelah Maharaja Surawisea mangkat.
Pada masa Ratu Dewata, tanpa diketahui asal muasalnya tiba tiba datang serbuan musuh hingga masuk ke Buruan Ageung (alun alun) Pakuan, hingga terjadi perang di Buruan Ageung, menewas kan dua pembesar Pajajaran. Hal ini dikisahkan, :”Datangna ban cana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.” Namun musuh dapat dihalau keluar Pakuan, mengingat masa itu Pakauan masih memiliki para perwira yang pernah beberapakali mendampingi Prabu Surawisesa, berpengalaman melakukan pertempuran di barat Citarum. Para perwira ini mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan pe ninggalan Sri Baduga tidak mudah ditembus musuh, karena posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan. Posisi Pakuan berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau sekelilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui datangnya musuh. Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Sedangkan tebing Cihaliwung, Cisadane dan Cipaku dapat dijadikan sebagai pelindung alamiah.
Musuh tak mengenal lelah untuk menaklukan Pakuan. Mereka memancing dengan cara menyerang dan merusak kabuyutan-kabuyutan, bertujuan agar kekuatan Pajajaran keluar dari Pakuan, dan Pakuan agar mudah diduduki. Hal ini berdasarkan pada alas an, bahwa kabuyutan sampai dengan masa Pajajaran masih diang gap sebagai Dangiang Sunda, tempat harga diri raja-raja Sunda (dan Galuh) mempertahankan kehormatannya. Kisah tentang nilai kehormatan ini merupakan amanat langsung dari Prabu Darmasiksa, raja Pajajaran, yang sebelumnya raja di Saunggalah (kawasan Galuh), bahkan Sri Baduga pun pernah mengeluarkan piteket yang memerintahkan untuk membunuh siapa saja yang menggangu kabuyutan Sunda Sembawa, sebagaimana yang ditemukan didalam prasasti Kabantenan. Amanat dari Prabu (Rakean) Darmasika menyebutkan,: “lebih berharga kulit lasun (musang) di jariyan (tempat sampah) Jika dibandingkan raja putra yang tidak mampu mempertahankannya kabuyutannya.” Inilah alasan musuh musuh menyerang Kabuyutan-kabuyutan Sunda - Pajajaran.
Kabuyutan-kabuyutan yang diserang pada waktu itu, antara lain di Sumedang; Ciranjang dan Jayagiri. Tak kurang dari para pandita yang dibunuh secara keji, seperti pandita di Sumedang dan Ciranjang; Pandita di Jayagiri dibenamkan kedasar laut hidup-hidup; sedangkan seorang Pandita sakti bernama Munding Rahiang dibenamkan kelaut hidup-hidup, akan tetapi masyarakat meyakini, Pandita tersebut hanya hilang dari penglihatan manusia bersama raganya. Kemudian diberi nama Hyang Kalingan. Kisah ini pun dituliskan didalam naskah Carita Patahyangan, menyebutkan:
“Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang Pandita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. Hana sang pandi ta sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya. Sinaguhniya ngaraniya Hyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan. Samangkana ta précinta..”
Ratu Dewata digantikan oleh Ratu Sakti, putranya, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Konon, kabar Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan Ratu Dewata yang dianggap alim. Ratu Sakti dianggap sering melanggar agama dan darigama, atau ngarumpak sagala larangan yang ditabukan, bahkan tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang harus memegang Purbatisti–Purbajati.
Kisah Ratu sakti dituliskan dalam Naskah Carita Parahyangan. Pada akhirnya naskah ini menyebutkan dengan kalimat : “Aja tinut de sang kawuri pola sang nata - Janganlah ditiru oleh mereka yang (hidup) kemu dian kelakuan raja ini.“ Ratu Sakti setelah wafat dimakamkan di Pengpelangan.
Pengganti Ratu Sakti adalah Prabu Nilakendra, berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi. Pada masa pemerintah Prabu Nilakendra Pakuan jajaran sudah kembali menata Pakuan. Prabu Nilakendra membuat bendera-bendera (Sanghyang Panji); memperindah keraton; membalay tanah dan membuat taman-taman disekitar pintu larangan; membangun tiang-tiang keraton yang berjumlah tujuh belas; serta membuat ukiran dengan bermacam-macam kisah. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan: ”To haan di Majaya ..... Nu ngibuda Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan. Nu migawe bale-bobot pituwe Jas jajar, tinulis pinarada warnana caca ritaan.”
Pembangunan kembali fisik Pakuan dimungkinkan tidak disertai dengan membangun kekuatan spiritual, spiritual dan keamanan. Padahal keadaan masa itu merupakan akumulasi dari keadaan sebelumnya. Pajajaran mulai turun pamor sepeninggal Prabu Surawisesa. Pada masa Nilakendra musuh makin gencar mengganggu keamanan wilayah Pajajaran, bahkan sudah sangat mengganggu keamanan didalam kota Pakuan. Naskah Carita Parahyang an menggambarkan,: “Pada jaman manusia sejagat tidak mengala mi kejahatan disebutnya jaman sejahtera (kreta), jauh dari keseng saraan dan hidup bahagia. Tidak ada yang menyebabkan kehancu- ran alam. Pada jaman dopara, jaman perunggu; seterusnya ber ganti kejaman kali, jaman beusi - Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sangha ra, kreta, kreta. Dopara luha gumenti tang kali (Kaliyuga).” . Inilah gambaran pada akhir masa Prabu Nilakendra.
Pada jaman ini, musuh halus sudah nampak kepermukaan, seperti adanya pembangkangan masyarakat dan pembesar kepada perangkat pemerintahan dan pemuka agama. Konon terbetik kabar, di Pakuan sudah tidak mengabaikan lagi prinsip,: ”nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang" (makan sekedar lapar, minum menghilangkan dahaga), bahkan naskah Carita Parahyang an menyebutkan: “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Para petani merasa kurang akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu).
Disatu sisi rakyat Pakuan sudah mulai frustasi, karena takut sewaktu-waktu musuh datang menyerang. Masalah ini sangat jarang di perhatikan oleh masyarakat peminat sejarah Sunda, pada umumnya hanya melihat gangguan yang datang dari luar, yakni Banten dan Cirebon. Padahal jika Pajajaran masih dianggap kuat, seperti terakhir pada Prabu Surawisesa Jayaperkosa, maka suatu hal yang mustahil jika Banten dan Cirebon berani langsung menyerang kota Pakuan. Dalam keadaan demikian datang pasukan Tambuh Sangkane dari Banten menyerang Pakuan. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan : ”Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan" (Prabu Nilakendra kalah perang, sejak itu tidak berdiam di keraton). Namun ada yang menafsirkan buraknya Pajajaran dari naskah Waruga Jagat (Sumedang) dan Pancakaki Karuhun Kabeh (Cisondari) dalam tahun Jim Akhir, adalah peristiwa yang menyangkut saat Prabu Nilakendra meninggalkan keraton karena kalah perang. Rombongan raja dan para pengiringnya mengungsi kearah Sukabumi Selatan.
Sepeningal Nilakendra para penduduk banyak yang mengungsi kesekitar pelosok kotanya, sebagian lagi ke Pulasari. Para kerabat keraton sebagian besar masih banyak yang tinggal di Keraton, namun ada juga yang kembali ke negara dibawah Pajajaran. Sisanya bertahan bersama pasukan pengawal yang dipercaya menjaganya. Para penjaga ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan Bareusan Panganginan, dalam tradisi pantun disebutkan, dipimpin oleh tiga orang Senapati, yakni Demang haurtangtu; Puun Bu luh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.
Benteng Pakuan sekalipun sudah ditinggalkan oleh rajanya, benteng itu masih tetap sulit dijebol, sehingga Maulana Yusuf memerlukan waktu sembilan tahun sejak naik tahta untuk untuk mempersiapkan penyerangan besar-besaran. Didalam Serat Banten menyebutkan pe ristiwa pemberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerang an ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, “Nalika kesah pu nika-ing sasih Muharam singgih-wimbaning sasih sapisan-dinten ahad tahun alif-punika sakalanya-bumi rusak rekeih iki" (Waktu keberangkatan itu-terjadi bulan Muharam-tepat pada awal bulan-hari Ahad tahun Alif-inilah tahun Sakanya-satu lima kosong satu).
Hanya beberapa saat benteng Pakuan dapat dikuasainya. Konon menurut berita Banten, gerbang Pakuan dibukakan oleh Ki Jonggo, salah seorang komandan pasukan pengawal, yang masih saudara dengan salah satu komandan pasukan Banten. Itu pun di lakukan karena merasa sakit hati, tak pernah dapat kenaikan pangkat. Me nurut sumber dari Cirebon Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakha masa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala-Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian te rang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’ awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Referensi
- Danasasmita, Saleh. 2014. "Menemukan Kerajaan Sunda". Bandung: Kiblat Buku Utama.
- Hageman, JJ. 1852. "Geschiedenis der Sundalande". Monograf. Batavia : Lango versi digital
- Tresnawati, Euis.,. "Kerajaan Sumedang Larang" E-Jurnal "Patanjala" Kemendikbud. pdf
- Permana, Agus Setia., "Pakuan (1482-1579): Upaya rekonstruksi sejarah melalui sumber tradisional dan sejarawan modern". tuturussangrakean.blogspot.co.id
- Mago: Cruzada dos Feiticeiros Perseguidores do Vácuo. Site.google.com
- "Kesedihan di Balik Prasasti Batutulis" oleh Irfan Teguh 24 September 2017. Tirto.id Diakses 21 Nopember 2019