Artikel ini tidak akan membantah ataupun membahas mengenai pernyataan Ridwan Saidi mengenai kerajaan yang fiktif. Namun, hampir setiap argumentasi Saidi, terkait pernyataannya yang kontroversial, sering menyebut-nyebut Armenia atau orang/bangsa Armenia termasuk bahasa Armenia. Benarkah di masa lalu Nusantara pernah ada interaksi dengan bangsa Armenia?
Interaksi dengan bangsa Kaukasia, disebut Saidi terjadi sejak abad ke-8 atau 9 Masehi. Benarkah? adakah jejaknya? Kata Ridwan Saidi mereka membawa aksara "Nabaten" seperti pada prasasti di Kebun Raya Bogor (?).
Selama ini, tidak ada catatan interaksi langsung bangsa Armenia di Nusantara (Indonesia) pada abad ke-8 atau 9 M. Apalagi dari postru tubuh dan penampilan fisik bangsa Armenia adalah "orang bule". Dalam sejarah bangsa Indonesia dijajah negara kita ini oleh Belanda (diselingi Inggris dan Prancis) dan Jepang. Tetapi ada yang menarik bahwa di Belanda banyak bangsa Armenia. Seperti diketahui bahwa kedangan awal bangsa Belanda ke Nusantara atas nama perusahaan Dagang yang bernama VOC. Jadi bukan pemerintahan Belanda. Barulah kemudian Pemerintahan Kerajaan Belanda mengambilalih VOC sehingga dampaknya Nusantara di bawah Belanda.
Di Belanda dikenal ada yang disebut Armenia-Belanda (Armeense Nederlanders) adalah warga negara Belanda keturunan Armenia. Jumlah orang Armenia di negara itu tidak diketahui karena Kantor Imigrasi Belanda hanya menyebutkan data tentang wagra negara asal Armenia.
Diaspora Bangsa Armenia
Diaspora Armenia mengacu pada komunitas Armenia di luar Armenia dan lokasi lain di mana orang Armenia dianggap sebagai penduduk asli. Sejak jaman dahulu, orang Armenia telah membangun komunitas di banyak wilayah di seluruh dunia. Namun, diaspora Armenia modern sebagian besar dibentuk sebagai hasil dari Perang Dunia I, ketika Genosida Armenia yang diperintahkan oleh Kekaisaran Ottoman (kekhalifahan Ustmaniyah) memaksa orang-orang yang tinggal di tanah air mereka melarikan diri atau dibunuh.Dalam bahasa Armenia, diaspora disebut sebagai spyurk (diucapkan [spʰʏrkʰ]), dieja սփիւռք dalam ortografi klasik dan սփյուռք dalam ortografi yang direformasi. Di masa lalu, kata gaghut (գաղութ diucapkan [ɡɑˈʁutʰ]) sebagian besar digunakan untuk merujuk pada komunitas Armenia di luar tanah air Armenia. Ini dipinjam dari bahasa Aram (Bahasa Syria Klasik) yang serumpun dengan bahasa Ibrani galut (גלות).
Saat ini, diaspora Armenia merujuk pada komunitas orang Armenia yang tinggal di luar Armenia. Total populasi Armenia yang hidup di seluruh dunia diperkirakan 11.000.000.
Dari jumlah tersebut, sekitar 3 juta tinggal di Armenia, 130.000 di de facto independen Nagorno-Karabakh dan 120.000 di wilayah Javakhk di negara tetangga Georgia. Ini menyisakan sekitar 7.000.000 diaspora (dengan populasi terbesar di Rusia, Amerika Serikat, Prancis, Argentina, Libanon, Suriah, Iran, Turki, Kanada, Ukraina, Yunani, dan Australia).
Kurang dari sepertiga populasi Armenia di dunia tinggal di Armenia. Wilayah populasi pra-Perang Dunia I mereka enam kali lebih besar daripada wilayah Armenia saat ini, termasuk wilayah timur Turki, bagian utara Iran, bagian selatan Georgia.
Sejarah Orang Armenia di Belanda
Interaksi Armenia dan Belanda diyakini telah dimulai pada abad ke 13 dan 14, ketika para pedagang Belanda tiba di Kilikia dan rumah dagang Armenia dibuka di Low Countries. Orang Armenia membawa karpet, pewarna, kapas, dan rempah-rempah Low Countries dari Armenia dan dari seluruh dunia.Terlepas dari komunitas Armenia kontemporer yang tersebar di Belanda, ada komunitas Armenia independen yang terkonsentrasi di Amsterdam selama abad ke-17 dan ke-18.
Perang Napoleon mengakhiri kehidupan Armenia di Belanda. Kota Amsterdam hampir kehilangan penduduk setelah pendudukannya oleh Prancis. Pada 1713 kota Amsterdam mengizinkan orang-orang Armenia untuk mendirikan gereja mereka sendiri. Setelah melayani tujuannya selama sekitar satu setengah abad, bangunan ini ditutup karena berkurangnya jumlah jemaatnya. Pada tahun 1874, atas perintah Catholicos of Echmiadzin, bangunan itu dijual seharga 10.000 florin, yang dikirim kepadanya. Mungkin saja komunitas Armenia berasimilasi dengan bangsa Belanda yang lebih luas selama abad ke-19.
Orang-orang Armenia tiba di Belanda dari Indonesia (bekas Hindia Belanda pada 1950-an), Turki (1970-an), Lebanon (1970-an), Iran (1980-an), Irak (awal 1990-an), Rusia dan Armenia (1990-an).
Kelompok terbesar Armenia tiba dari Turki (Diyarbakir dan nakırnak) pada tahun 1970-an sebagai pekerja asing dalam mencari pekerjaan di pabrik tekstil di Almelo dan Hengelo.
Saat ini kebanyakan orang Armenia tinggal di pusat-pusat kota besar di bagian barat Belanda: Amsterdam, Dordrecht, Den Haag, Leiden dan Rotterdam. Ibadah gereja Armenia diadakan di Amsterdam, Maastricht dan Almelo.
Orang Armenia di Jawa - Indonesia
Banyak pedagang Armenia dari Amsterdam pergi ke Asia Tenggara pada abad ke-19 untuk berdagang, dan untuk mendirikan pabrik dan perkebunan. Pedagang Armenia menetap di sebagian Jawa, yang saat itu masih bagian dari Hindia Belanda, seperti halnya orang Armenia yang bergerak ke timur dari Kekaisaran Persia, membangun komunitas Armenia di Jawa.Pada 1808, dengan komunitas yang berkembang, George Manook (Gevork Manuch Merchell) bersama dengan yang lain, mendapatkan bantuan sebesar 25.000 gulden dari Pemerintah Belanda, mendirikan sekolah dan gereja. Pada 1852 Haileian Miabanse Thioen di Batavia, membantu membuka panti asuhan dan sekolah untuk anak-anak Armenia. Masyarakat juga membangun sebuah kapel kecil di Batavia dan mendirikan sekolah pada tahun 1855.
![]() |
Sarkies Brothers |
Pada tahun 1865, nama-nama seperti Galistan, Lazar, Joseph Amir, Manook, Arakiel Navaran, dan Stefan Arathoon muncul di almanak komersial. Dalam industri gula, Manook Jordan memiliki pabrik Mlongo, dan P. Andreas memiliki pabrik Trangkil.
Pada 6 Januari 1880, komunitas Armenia secara resmi diakui sebagai masyarakat berbadan hukum oleh pemerintah Belanda. Dalam waktu singkat orang Armenia juga meluas ke Singapura di mana mereka terlibat dalam perdagangan opium, yang berada di bawah kendali Inggris, sementara beberapa misionaris Armenia melanjutkan perjalanan ke Filipina.
Sarkies Brothers dikenal karena mendirikan jaringan hotel mewah di seluruh Asia Tenggara.
Hotel-hotel miliki Keluarga Sakies di Jawa adalah Kartika Wijaya (awalnya Jambe Dawe) di Batu, Jawa Timur, Indonesia dibangun pada tahun 1891 awalnya sebagai villa liburan untuk keluarga Sarkies, dan kemudian diubah menjadi hotel. Sepupu saudara laki-laki Arathoon Sarkies (1882–1932) juga mengelola Hotel Adelphi di Singapura dari tahun 1903 hingga 1908, sementara Hotel Majapahit (sebagai Hotel Oranje) di Surabaya, Indonesia didirikan pada tahun 1910 oleh sepupu Martin Lucas Martin Sarkies (1876–1941) dan saudaranya John yang tinggal di tangan keturunan mereka sampai tahun 1969.
Posisi Armenia yang sejak tahun 1600-an terjepit di antara dua kekuasaan besar dan paling berpengaruh, dinasti Safawiyah di Persia dan Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki, menjadi salah satu faktor pendorong eksodus warganya ke seluruh penjuru dunia. Situasi politik yang kacau memaksa mereka bertahan hidup dengan merantau.
Namun demikian, di luar perdagangan, sulit melacak kesejarahan dan aspek-aspek kultural diaspora Armenia di Hindia Belanda. Pasalnya, sedikit sekali catatan tertulis yang ditinggalkan orang-orang Armenia di Indonesia.
Dalam artikel “Orang Kristen Armenia Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah” (2013), Alle G. Hoekema mengatakan bahwa sikap menutup diri di kalangan diaspora Armenia adalah kelemahan besar. Dalam rentang masa kolonial, orang-orang Armenia mendapat kedudukan yang setara dengan orang Belanda. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, tak sedikit di antara mereka yang ikut terbunuh.
Simpulan
Berdasarkan kronologi diaspora bangsa Armenia akibat tekanan politik genosida Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki. Masuk ke bebrapa negara diseputar Eropa hingga ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Peristiwa eksodus bangsa Armenia dimlau abad ke-13 atau ke-14 M setelah berdirinya kekhalifahan Turki Utsmani (1517–1924),Bangsa Armenis tiba di Indonesia pada abad ke-19 ke Batavia dan lebih fokus di Surabaya. Mereka lebih fokus pada perniagaan hingga mampu menjadi orang-orang kaya di Hindia Belanda. Tidak ada catatan bahwa mereka menyentuh bidang budaya dan kesejarahan lokal. Tidak ada pula catatan bahasa mereka mempengaruhi budaya lokal di Jawa apalagi bidang kesejarahan masa lampau.
Terkait Galuh yang didirikan tahun 612 M (abad ke-7 M), Tarumanagara didirikan abad ke-4. Dari prasasti-prasasti diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan dia memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. dan Sriwijaya dalam catatan Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 (abad ke-7 M) dan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.Jadi adalah ketidakmungkinan bangsa Armenia dan bahasanya mengatur penduduk pribumi pada abad ke-7 dimana mereka belum hadir di Nusantara.
Referensi
- Armenia Diaspora today Anthropological Perspectives. Articles in the Caucasus Anallytical Digest No. 29. laender-analysen.de pdf Diakses 16 Februari 2020.
- Vahan M. Kurkjian. A History of Armenia, pp. 471
- Hansen, Randall. Immigration and asylum: from 1900 to the present. p. 13.
Dufoix, Stéphane (2008). Diasporas. Berkeley, California: University of California Press. p. 84. ISBN 978-0-520-25359-9. - Harutyunyan, Arus (2009). Contesting National Identities in an Ethnically Homogeneous State: The Case of Armenian Democratization. Western Michigan University. p. 56. ISBN 978-1-109-12012-7.
- Ačaṙean, Hračʿeay (1971–1979). Hayerēn Armatakan Baṙaran [Dictionary of Armenian Root Words]. 1. Yerevan: Yerevan University Press. p. 505.
- Melvin Ember; Carol R. Ember; Ian A. Skoggard (2004). Encyclopedia of diasporas: immigrant and refugee cultures around the world. Dordrecht, Netherlands: Kluwer Academic Publishers. p. 37. ISBN 978-0-306-48321-9.
- Diaspora: Volume 1, Issue 1. Oxford University Press. 1991. ISBN 978-0-19-507081-1.
- Herzig, Edmund (2004-12-10). The Armenians: Past And Present In The Making Of National Identity. p. 126. ISBN 9780203004937. googlebook Diakses 16 Februari 2020.
- Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian (2004). Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures around the World. Springer. pp. 36–43. ISBN 0-306-48321-1.
- Harutyunyan, Arus. Contesting National Identities in an Ethnically Homogeneous State: The Case of Armenian Democratization. Western Michigan University. p. 192. ISBN 9781109120127. Disertasi - googlebooks Diakses 16 Februari 2020.
- "Armenia seeks to boost population". BBC News. 2007-02-21. Archived from the original on 3 September 2008. Retrieved 2008-09-05. BBC News atau archive.org Diakses 16 Februari 2020.
- Melvin Ember; Carol R. Ember; Ian A. Skoggard (2004). Encyclopedia of diasporas: immigrant and refugee cultures around the world. Dordrecht, Netherlands: Kluwer Academic Publishers. p. 36. ISBN 978-0-306-48321-9. "Currently, only one-sixth of that land [ancestral territory] is inhabited by Armenians, due first to variously coerced emigrations and finally to the genocide of the Armenian inhabitants of the Ottoman Turkish Empire in 1915."