Cari

Mengenal Pu Kumbayoni dan Laṅkapura - Prambanan | Kerajaan Mataram Kuno

[Hisatoriana] - Artikel ini diadaptasi dari tulisan karya Arlo Griffiths tahun 2011 dengan judul "Imagine Laṅkapura at Prambanan".  Pembahasan didasarkan pada perbaikan tentang penanggalan oleh KR Poerbatjaraka untuk peristiwa-peristiwa penting yang dirujuk dalam prasasti Śivagrha yang sangat mungkin merupakan dasar dari prasasti Śaiva terbesar di Indonesia, ia mengajukan hipotesis bahwa prasasti ini bernama Lankapura.


Monumen yang dimaksud adalah candi Prambanan atau Loro Jonggrang. Griffiths menghipotesiskan bahwa nama itu bukanlah nama asli dari candi tersebut. Tidak ada alasan kuat untuk percaya bahwa nama Roro Jonggrang adalah nama kuno Candi itu. Sebenarnya kita tahu hampir tidak ada nama asli dari candi di Pulau Jawa, dalam hal ini fokus di Jawa Tengah. Monumen lainnya adalah Abhayagiri vihāra yang dikenal sebagai Candi Ratu Baka. 

 

Dibandingkan dengan monumen kontemporer dari tempat lain di dunia Hindu dan Budha, ketidaktahuan kita tentang nama-nama asli tempat suci di Jawa Tengah adalah sebuah anomali. Nama asli dapat memberi tahu kita hal-hal penting tentang konsepsi tempat suci, yang sebenarnya menjelaskan sejarah panjang tetapi secara konsisten tidak ada upaya untuk menjelaskan nama-nama sebenarnya seperti dari Candi Borobudur dan Prambanan.

 

Prasasti Kumbayoni
Disebut juga Prasasti Ratu Boko F (BG 530)

Prasasti ini menyebut nama Cri Kumbhayoni dalam bahasa Sanskerta dan beraksara Jawa Kuna. Ada lagi tiga prasasti batu bernomer BG 530, BG 531, dan BG 532 yang kondisinya pecah-pecah dan tidak bisa dibaca sempurna.

Prasasti Ratu Boko BG 531
Kemendikbud.go.id



 

Prasasti Ratu Boko BG 532
Kemendikbud.go.id

 

Bukti yang mendukung hipotesis Griffith berasal dari prasasti yang disebut sebagai 'karya Pu Kumbhayoni'. Salah satu prasasti Sanskerta yang tidak diterbitkan yang ditemukan tahun 1954 di Ratu Baka. Yang lainnya adalah prasasti Dawangsari yang ditemukan tahun 1979 tentang kemashuran Ratu Baka, dan diterbitkan dengan cara yang tidak memuaskan pada tahun 1989, yang hanya berisi contoh yang diketahui kedua dari puisi epigrafik Jawa Kuno yang ekstensif setelah prasasti Śivagrha

 

PRASASTI PERENG jadi koleksi khusus di Museum Nasional Jakarta.
Prasasti ini ditemukan di Dusun Pereng, Desa Sumberwatu,
Prambanan, Klaten pada awal abad 19.

 

 

Kelangkaan dari naskah Jawa Kuna dari periode ini menunjukkan bahwa pembuat prasasti mengenai Kumbhayoni ini kemungkinan besar telah mengenal tugu sastra kontemporer. Griffith menanggapi pembahasan prasasti Kumbhayoni dalam makalah karya Poerbatjaraka (1932) dan Aichele (1969) dan identifikasi baru Andrea Acri (2010) dari bagian-bagian dalam Kakawin yang dapat dibaca secara alegoris. 

 

Griffith nenfokuskan penelitian untuk toponimi lanka atau Lankapura. Ia mengidentifikasi nama tempat lanka seputar Ratu Baka atau mungkin berjarak agak jauh dari lokasi tersebut. Ia mendasarkan pada informasi dari Kakawin Ramayana. Dalam kakawin ini mengisahkan 'surga di bumi di Lenka". Hubungan antara berbagai potongan bukti prasasti dan bukti kontekstual dari Kakawin Ramayana, menurutnya mengarah pada hipotesis bahwa Lanka(pura) memang nama vanua kuno yang sesuai dengan desa Karangasem modern tempat kompleks Prambanan berada. Karena nama-nama candi yang mengandung unsur pura terkenal baik di Indonesia maupun di tempat lain di Asia. Ia mengusulkan agar kompleks candi itu sendiri menyandang nama Lankapura.


Pu Kumbhayoni

Ada sekelompok prasasti dari abad kesembilan yang berasal dari seorang bangsawan (rakai) yang menyebut dirinya Kumbhayoni atau sinonim yang setara dengan julukan Sansekerta dari
Rsi Agastya. Ini adalah bahasa Sanskerta dan Prasasti Pereng yang berbahsa Jawa Kuno.


Prasasti Pereng disebut demikian karena berasal dari desa Pereng. Disebut pula sebagai Prasasti Wukiran ini bernomer registrasi D77. Dusun Pereng, Desa Sumberwatu, Prambanan, Klaten pada awal abad 19. Tinggi bagian badan prasasti adalah 71,5 cm dan bagian puncak 12,5 cm. Panjang prasasti adalah 35,5 cm dengan ketebalan batu yang berbeda yaitu antara 10-12 cm. Prasasti Wukiran ditemukan di Desa Pereng, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jateng pada 1890.


Karena lokasi penemuan di Dusun Pereng, ia juga kerap disebut Prasasti Pereng. Tempat ini terletak di lereng bukit antara kompleks Keraton Ratu Boko dan Candi Sojiwan, sekitar dua kilometer selatan Candi Prambanan.


Prasasti Pereng Kuak Tabir Siapa Penguasa Watak Walaing di Bukit Ratu Boko. Nama Kumbhayoni tenggelam di bawah kebesaran Rakai Pikatan dan istrinya, Pramodhawardani. Keduanya mendirikan bangunan-bangunan suci hebat yang masih bertahan hingga saat ini, yaitu Candi Prambanan dan Candi Plaosan.

Tak banyak ahli sejarah kuna berhasil menguak latar belakang dan kisah figur ini. Sementara jejak peninggalan Kumbhayoni berserakan. Ada prasasti, bangunan, serta jejak tipis nama-nama daerah yang pernah jadi wilayah kekuasaannya.

Peneliti yang memeriksa seksama sejarah Kumbhayoni bisa dihitung jari. Dua pakar sejarah kuna Mataram dari FIB UGM, Dr Djoko Dwiyanto (sudah purna tugas) dan Dr Niken Wirasanti MSi, juga tak bisa banyak berkisah tentang riwayat tokoh ini.

Niken malah membantah tesis Candi Barong atau Candi Sari Sorogedug di sebelah timur komplek situs Ratu Boko adalah bangunan peninggalan Pu Kumbhayoni, yang disebut sebagai “Bhadraloka” dalam Prasasti Wukiran.

Sementara peneliti lain dari Puslit Arkenas yang menyiapkan pemugaran Candi Barong beberapa tahun lalu, menyimpulkan candi itulah yang dimaksudkan “Bhadraloka” dalam Prasasti Wukiran. Mereka menyodorkan banyak bukti petunjuk serta intrepretasi berdasar aspek ikonografi.

Seorang yang pernah membuat penelitian secara khusus tentang Prasasti Wukiran dan Pu Kumbhayoni adalah Tres Sekar Prinanjani. Alumni FIB UI ini meneliti prasasti tersebut untuk tugas akhirnya sebagai mahasiswa jurusan arkeologi pada 2009.

Tres Sekar mengaku meneliti isi Prasasti Pereng secara bahasa, guna mengetahui siapa sosok Pu Kumbhayoni. Namun ia tidak meneliti dan memeriksa lebih jauh petunjuk di lapangan terkait toponimi daerah-daerah yang pernah disebut dalam prasati itu.

Prasasti Wukiran merupakan prasasti batu (upala praśasti) berbentuk blok andesit. Puncaknya setengah lingkaran atau membulat. Secara keseluruhan, prasasti Wukiran mempunyai tinggi 84 cm yang diukur dari bawah hingga hingga ujung puncak prasasti.

Prasasti Pereng yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, secara lugas menyebut nama Pu Kumbhayoni sebagai Rakai Walaing. Rakai adalah sebutan jamak pemimpin wilayah atau watak, setingkat kecamatan untuk saat sekarang.

Watak atau kerakaian ini terdiri wanua-wanua atau desa-desa. Rakai atau pemimpin watak ini menguasai dan mengontrol wanua-wanua, yang juga memiliki struktur tersendiri di wilayahnya. Wanua ini menjadi tumpuan kehidupan masyarakat masa kuna Mataram.

Membaca isi Prasasti Pereng, Tres Sekar Prinanjani menilai, penggunaan dua bahasa dalam satu prasasti ini bukannya tanpa maksud. Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang memiliki kerumitan yang hanya dikuasai orang-orang berpengetahuan tinggi.

Karena itu menurutnya pembuat dan yang menyuruh membuat prasasti ini tentu bukan tokoh sembarangan. “Kelebihan Kumbhayoni ini dia menguasai bahasa Sanskerta dan menggunakannya untuk mengokohkan posisi sebagai keturunan raja (dewa).


Teks Prasasti Pereng yang cukup panjang dan masih bisa terbaca sangat baik dalam aksara Jawi Kuna, diawali untaian kalimat doa atau mantera dalam bahasa Sanskerta. Pembacaan pertamanya dilakukan pada 1917 oleh ahli sejarah kuna, Johan Hendrik Caspar Kern (1833).

Hendrik Kern yang dilahirkan di Purworejo ini dikenal sebagai orientalis terkemuka berdarah Belanda. Ia menguasai bahasa Sanskerta, sudah membaca, menerjemahkan, dan mengintrepretasikan banyak prasasti dari masa Mataram Kuna.

Kutipan berikut merupakan bagian kedua isi prasasti Pereng dalam bahasa Jawa Kuna. Diambil dari hasil pembacaan ahli bahasa kuna Indonesia, Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka (Agastya di Nusantara, Obor Indonesia, 1992).

“Swasti caka warsatita 784 maghamasa cuklapaksa tretiya somawara tatkala rake walaing pu kumbhayoni puyut sang ratu I halu pakwianira I jangluran maweh sawah I wukiran tampah alih I tamwahurang ngaran nikanang sawah dmak carna sang hyang winaya.”

Terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia, pada tanggal 3 Suklapaksa bulan Magha 784 Ç, Rakai Walaing Pu Kumbhayoni, cicit Sang Ratu Halu memberikan sebidang sawah di Wukiran seluas dua tampah di Tamwahurang untuk persembahan bagi Sang Hyang Winaya.

Angka tahun 784 Caka dikonversikan ke tahun Masehi menjadi 862 Masehi. Inilah tahun pembuatan Prasasti Pereng, yang artinya terjadi 6 (enam) tahun sesudah Rakai Pikatan turun tahta (856 Masehi), dan Rakai Kayuwangi membuat Prasasti Sivagrha (Siwagraha).

Badraloka atau Candi Barong
Dibangun oleh Pu Kombayoni



Prasasti ini mendeskripsikan bangunan yang identik dengan Candi Siwa di gugusan Candi Prambanan sekarang. Kisah hubungan Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, dan sosok yang diduga kuat Pu Kumbhayoni, tersurat dan tersirat dalam prasasti ini.

Dilihat dari angka tahun pembuatan Prasasti Pereng (862 M) dan tahun turun tahtanya Rakai Pikatan pada 856 Masehi, Pu Kumbhayoni masih eksis dan memiliki wilayah sendiri yang kuat ketika Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala memimpin Medang di Mamratipura.

Pusat kekuasaan Pu Kumbhayoni menurut sejarawan De Casparis, ada di puncak perbukitan Ratu Boko. Kompleks yang dikenal sebagai Keraton Ratu Boko itu sudah ada sejak bertahun-tahun sebelumnya, dikenal sebagai biara kaum Buddha.

Kejadian itu ditulis secara rinci dalam inskripsi Pereng, yang ditemukan di Dusun Pereng, Sumberrejo, Prambanan. Tahun persis penemuan belum diketahui, namun prasasti itu jadi koleksi Museum Nasional sejak 1890.

Prasasti berbahasa Sanskerta campur Jawa Kuna itu pertama kali dibaca sejarawan Cohen Stuart (1868 dan 1875), ditelaah Hendrik Kern pada 1917. Sebagian intrepretasinya memicu polemik Prof RM Ng Poerbatjaraka, pakar sejarah NJ Krom, dan epigraf Dr Boechari.

 

Wilayah Kekuasaan Pu Kumbayoni


Bagian menarik dari inskripsi ini yang jarang dibicarakan adalah bagian terakhir dari teks prasasti yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Yaitu tentang nama-nama daerah yang menjadi kekuasaan Pu Kumbhayoni.

Berikut kutipan aslinya yang ditulis Tres Sekar Priyanjani (FIB UI, 2009); “tungan dawet langka sereh vulakan ni wala walaim lodwam wanwa nirang dhiman kumbhayoni naranira”.

Pembacaan versi Poerbatjaraka mengutip teks alih aksara Cohen Stuart, Kawi Oorkonden No XXIII sebagai berikut; “tunggang dawet langka sereh wulakann i wala walaing lodwang wanwanirang dhiman kumbhayoni ngarann ira.”

Alihbahasanya ke Indonesia menurut Poerbatjaraka adalah sebagai berikut; “Tunggang, Dawet, Langka, Sereh, air terjun Wala, Walaing, Lodwang adalah tanah-tanah garapan milik Kumbhayoni yang bijaksana.”


Sekarang menjadi jelas, ada tujuh (7) daerah atau wanwa/wanua disebut milik Pu Kumbhayoni sebagai rakai di Watak Walaing. Pusat kekuasaan Watak Walaing ini belum jelas benar, namun sejarawan De Casparis menyebut Walaing adalah nama kuna perbukitan Ratu Boko.

Lokasi penemuan prasasti Wukiran/Pereng tidak jauh dari puncak bukit Ratu Boko, yaitu di Dusun Pereng di antara bukit Ratu Boko dengan Candi Sojiwan. Ini mengindikasikan secara kuat pusat kekuasaan Pu Kumbhayoni pastinya tak jauh dari lokasi tersebut.

Lantas, di manakah daerah atau wanua-wanua atau desa-desa yang jadi wilayah bawahan Walaing? Sejumlah kalangan, termasuk komunitas dan peminat sejarah kuna Jawa mengarahkan perhatian ke daerah berbukit gunung di selatan bukit Ratu Boko.

Wilayah itu dimulai dari dataran rendah di selatan perbukitan Ratu Boko, ke timur hingga melampaui Candi Barong dan Dawangsari, berlanjut ke tenggara ke arah bukit Breksi dan Candi Ijo.


Ke selatan meliputi daerah di Sumberejo, Prambanan yang sekarang, terus ke selatan hingga arah Petir dan Piyungan. Di Sumberejo ini terdapat situs penting dan sangat menarik, yang dikenal sebagai situs Gepolo.

Masuk wilayah Dusun Gunungsari, situs ini menunjukkan peninggalan arca-arca berukuran jumbo. Arca paling menyolok yang masih berdiri tegak saat ini adalah arca Agastya. Sebagian tubuh arca raksasa ini rusak seperti disengaja.


Jejak kekunaan lain yang fantastis di kawasan situs ini arca Ganesha, yang terjungkal ke jurang di selatan bekas dusun Gepolo. Ukuran pedestal arca Ganesha ini sangat besar. Sayang tubuh hingga kepala arca jumbo ini tidak ditemukan lagi.

Jejak wanua yang dimaksud dalam prasasti Pereng samar-samar ditemukan di dua dusun yang terletak di perbukitan tenggara Candi Ijo. Di daerah ini terdapat dua dusun bernama Nglangkap dan Mlakan.

Pak Irin (57), warga setempat mengatakan, nama Nglangkap dan Mlakan sudah ada turun temurun. Ia tidak tahu lagi sejak kapan nama itu digunakan. Ia menggelang saat ditanya apakah mengetahui tempat bernama Wulakan dan Langka.

Namun keberadaan nama Nglangkap dan Mlakan ini sangat menarik. Kedua nama itu memiliki kedekatan nama dengan Langka dan Wulakan, seperti disebut dalam prasati Pereng. Kedekatan nama ini bahkan secara pengucapan begitu mirip.

Masa 1.157 tahun berlalu sejak prasasti Pereng dibuat, nama tempat bisa berubah secara penyebutan maupun penulisan. Bisa jadi Nglangkap merupakan perubahan nama Langka, dan Mlakan adalah nama baru Wulakan.

Dilihat dari letak geografinya di kawasan perbukitan dan lembah di selatan dan tenggara Ratu Boko, posisi kedua dusun ini sangat mendukung. Sementara nama-nama lain seperti Tunggang, Dawet, Sereh, Lodwang, sejauh ini belum ketemu jejak lokasinya.

Satu lagi yang dituliskan dalam prasasti Pereng adalah nama i wala. Poerbatjaraka menyebut Wala sebagai wanua kekuasaan Walaing yang ada air terjunnya. Di manakah daerah di perbukitan dan lembah Prambanan selatan yang memiliki air terjun?



Referensi

  1. Griffiths, Arlo. 2011. "Imagine Laṅkapura at Prambanan". academia.edu Diakses 1 September 2020. 
  2. Ingalls, D.H.H. 1962. ‘Cynics and Pāśupatas;The seeking of dishonor’, Harvard Theological Review 55:281–98.
  3. Jákl, J. 2008. "Hariśraya A: Cantos 1, 2, 3, 10 and 2c; Edition and translation. MA thesis, Leiden University.
  4. "Menelusuri Jejak Pu Kumbhayoni: Hasil Penelusuran untuk Mencari Dua Dusun Kuno di Antara Bukit dan Lembah di Selatan Ratu Boko" Penulis: Setya Krisna Sumargo Editor: Mona Kriesdinar tribunjogja 19 Maret 2019 Diakes 2 September 2020.
  5. "Menelusuri Jejak Pu Kumbhayoni: Prasasti Pereng Kuak Tabir Siapa Penguasa Watak Walaing di Bukit Ratu Boko". Penulis: Setya Krisna Sumargo Editor: Mona Kriesdinar tribunjogja 19 Maret 2019 Diakes 2 September 2020.
  6. Stutterheim, W.F. 1925. "Rāma-Legenden und Rāma-Reliefs in Indonesien". München: Müller. [2 vols.]
  7. ________________. 1928. ‘De plaatsing der Rama-reliefs van tjandi Lara-Djonggrang en de zonne-omloop’, BKI 84:118–31.
  8. ________________. 1956. "Studies in Indonesian archaeology". The Hague: Nijhoff.
  9. ________________. 1989. "Rāma-legends and Rāma-reliefs in Indonesia". New Delhi: Indira Gandhi Na-tional Centre for Arts and Abhinav Publications. [2 vols.]
  10. Vogel, J.Ph. 1921. ‘Het eerste Rāma relief van Prambanan’, BKI 77:202–15
  11. Vries Robbé, A. de. 1984. ‘Teja in de beeldende kunst van Indonesië’, BKI 140:276–88.
  12. Weatherbee, D.E. 2000. ‘The Hyang Haji of the Gandasuli II inscription’, in: Lokesh Chandra (ed), Society and culture of Southeast Asia; Continuities and changes, pp.345–53.New Delhi: IAIC and Aditya Prakashan.
  13. Winstedt, R.O. 1929. ‘A Patani version of the Rāmā yana’, in: Feestbundel Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, pp.423–34. Weltevreden: Kolff.
Baca Juga

Sponsor