Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana) ketika menerima pengungsi Majapahit Ilustrasi |
[Historiana] - Dalam Budaya Sunda-Galuh Kuno, kisah pribadi para pemimpinnya milik rakyatnya di seluruh negeri. Apapun yang terjadi pada pemimpinannya, akan dicatat dalam Sejarah. Kisah baik dan buruk, dalam pandangan Parigeuing atau Konsep Kepemimpinan dalam naskah Lontar Sunda Kuno dikisahkan tanpa ditutup-tutupi. Dimaksudnya bila kisah baik agar menjadi contoh Urang Reya (orang banyak). Juga sebaliknya kisah buruk agar jadi cermin untuk tidak ditiru orang kemudian. Kita harus tahu salah agar mengenali benar, tanpa mengetahui mana yang salah, mustahil kita bisa menentukan mana yang benar. Belajar dari kisah-kisah masa lalu merupakan salah satu cara memperbaiki perilaku atau akhlak setiap individu. Semua individu warga negara tanpa kecuali apakah dia seorang Rama, Resi atau Ratu (Prabu). Semua wajib melakukan dharma baik dan menghindari perbuatan nista. Hukum akan menjerat pelanggar hukum negara yang disebut Pustaka Kutara dan Pustaka Manawa. Di zaman Majapahit, Manawa Dharmasastra lebih populer disebut sebagai Manupadesa.
Kita masih ingat kisah sejarah Rahyang Mandiminyak atau Prabu Suragana atau Suradharmaputra, Raja Kedua Kerajaan Galuh dengan kasusnya padaakhir abad ke-7 hingga awal Abad ke-8 (702-709 M). Begitu pula Tamperan Barmawijaya dengan skandalnya dengan Dewi Pangrenyep. Abad ke-14 Masehi, Prabu Dewa Niskala atau Ningrat Kancana menikahi Estri Larangan ti kaluaran (wanita larangan dari luar), sementara hal itu pamali bagi raja Sunda Galuh. Kisah Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun yang menculik Ratu Harisbaya istri Sultan Cirebon. Hingga Kisah perselingkuhan Bupati di zaman Belanda dikisahkan dalam naskah-naskah babad.
Mengapa kisah ini dituliskan? Bagi pemimpin sebuah kesalahan tidak untuk disembunyikan, tetapi seharusnya tidak dilakukan. Kalau tidak dilakukan, maka tidak akan ada peristiwa buruk dicatat dalam sejarah. Jadi tidak berfokus pada menutupi keburukan tetapi menghilangkan peristiwa keburukan itu sendiri. Jika terlanjur terjadi, dalam kisah babad pun diceritakan kesudahan Sang Tokoh. Misalnya Rahyang Mandiminyak dikudeta Purbasora. Tamperan Barmawijaya mati terbunuh karena dihujani anak panah oleh Pasukan Galuh. Prabu Dewa Niskala atau Ningrat Kancana harus Lengser Keprabon dari Jabatannya. Prabu Geusan Ulun harus menerima denda dengan menyerahkan wilayah Kerajaan Sindangkasih kepada Kesultanan Cirebon akibat skandal dengan Ratu Harisbaya. Begitu pula para Bupati yang memiliki skandal di zaman Hindia Belanda menerima akibatnya. Kita jadi ingat pitutur Ibu Sunan Ambu atau Sang Hyang Ambu Sri Rumbiyang Jati, bahwa “Laku hade bakal tepung ahir jeung kahadean, laku goreng bakal tepung ahir jeung kagorengan” (perbuatan baik akan berbuah kebaikan, perlaku buruk akan berbuah keburukan), Inilah yang disebut hukum karma yang abadi.
Kisah Seorang pemimpin sangat kentara di masa lalu. Bruk-brak (terbuka) serta dikisahkan sevara Eces (jelas) dan Jentre (terperinci). "Aya ma nu pa(n)deuri pakéna gawé rahayu pakeun jaya dina buana" (Prasasti Kawali I), artinya Semoga ada yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia’. Bagaimana Tipe Parigeuing atau Kepemimpinan Ideal di masa lalu?
Andai kita simak dengan saksama, kearifan lokal yang terungkap dalam naskah-naskah Sunda buhun ‘kuno’ berbahan lontar, beraksara dan berbahasa Sunda buhun, yang terungkap dalam skriptorium naskah Sunda koleksi Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut, sebenarnya sudah menyiratkan ‘konsep’ serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin.
Menurut teks Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, seseorang digelari pemimpin, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai kharisma/pamor, yakni Emét ‘tidak konsumtif’. Imeut ‘teliti, cermat’. Rajeun ‘rajin’. Leukeun ‘tekun’. Paka Pradana ‘beretika’. Morogol-rogol ‘beretos kerja tinggi’. Purusa ning Sa ‘berjiwa pahlawan, jujur, berani’. Widagda ‘bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa’. Gapitan ‘berani berkorban’, Karawaléya ‘dermawan’,Cangcingan ‘terampil’, serta Langsitan ‘rapekan’/cekatan’.
Selain pangimbuhning twah, seorang pemimpin dituntut memiliki sifat Dasa prasanta, yakni: Guna ‘bijaksana’, Ramah ‘bijak, atau bestari’, Hook ‘kagum’, Pésok ‘memikat hati’, Asih ‘sayang, cinta kasih’, Karunya ‘iba/belas kasih’, Mupreruk ‘membujuk dan menentramkan hati’, Ngulas‘memuji dan mengoreksi’, Nyecep ‘membesarkan hati dan memberikan kata-kata yang menyejukkan’, Ngala angen ‘mengambil hati’. Di samping itu, seorang pemimpin harus mampu menjauhi empat karakter yang negatif, yang dikenal dengan sebutan ‘opat paharaman’ atau empat hal yang diharamkan, yakni sifat babarian , pundungan, humandeuar, dan kukulutus serta menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia, yang dikenal Catur Buta, yaitu Burangkak, Mariris, Maréndé, dan Wirang.
Seorang pemimpin, menurut teks naskah Sanghyang Hayu,adalah pemimpin yang menjiwai konsep ‘tiga rahasia’, terdiri atas lima bagian, yakni lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin, yaitu Budi-Guna-Pradana (bijak-arif–saleh), Kaya-Wak-Cita (sehat/kuat-bersabda-hati), Pratiwi-Akasa-Antara (bumi–angkasa-antara), Mata-Tutuk-Talinga (penglihatan-ucapan-pendengaran), Bayu-Sabda-Hedap (energi–ucapan/sabda-itikad/kalbu dan pikiran). Tiga rahasia itu harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, terdiri atas: Animan (lemah lembut), Ahiman (tegas/panceg hate), Mahiman (berwawasan luas), Lagiman (gesit/cekatan/trampil), Prapti (tepat sasaran), Prakamya (ulet/tekun), Isitwa (jujur), Wasitwa (terbuka untuk dikritik).
Lihat juga versi Videonya...
Konsep figur pemimpin dan kepemimpinan Sunda menurut Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, koleksi skriptorium Kabuyutan Ciburuy, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, perkataan, dan perbuatan dengan benar), manajer (kemampuan dalam hal manajerial), entertainer (kaitannya dengan human relations/bernegosiasi), entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan), commander (menjadi pendorong atau motivator), designer (sebagai perancang ideal), father (bertindak kebapakan), servicer (pelayan yang baik & bertanggung jawab),dan teacher (guru, pendidik, dan pengajar serta menjadi ‘teladan’ bagi masyarakat/bawahannya).
Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, yang akhirnya menuju kepada pemimpin ideal yang mampu bertindak sebagai “master/tokoh” yang dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya, serta mampu memerdayakan dan menyejahterakan orang banyak.
Referensi
- Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati. 1995. "Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406): Pengantar dan Transliterasi". Jakarta: yayasan Kebudayaan Nusantara.
- Ekadjati, Edi Suhardi. 1983. "Naskah Sunda. Inventarisasi dan Pencatatan". Bandung: Kerjasama Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran dengan The Toyota Foundation (Laporan Penelitian).
- Suryani NS, Elis. 1990. "Wawacan Panji Wulung: Sebuah Kajian Filologis. (Tesis)". Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
- Suryani NS, Elis & Undang A. Darsa. 2003. "Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia". Bandung: Alqaprint.
- Suryani NS, Elis & A. Marzuki. 2005. "Kamus Bahasa Sunda Buhun". Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
- Suryani NS, Elis, dkk. 2006. "Kamus Bahasa dan Seni Budaya Sunda Buhun Abad 11 s.d 20 Masehi". Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Laporan Penelitian).
- Suryani NS, Elis. 2007. "Mengenal Aksara, Naskah, dan Prasasti Sunda". Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya.
- Suryani NS, Elis. 2007. "Keanekaragaman Budaya Sunda Buhun". Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya.
- Suryani NS, Elis. 2012. "Konsep figur pemimpin dan kepemimpinan yang terungkap dalam skriptorium naskah sunda buhun kabuyutan ciburuy". Makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara, September 2012. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dari Laman LIPIN.or Diakses 29 Nopember 2020.